Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,742
Nil Desperandum
Drama

Jangan terluka sendirian. Kau bisa datang padaku. Meski aku tak bisa menghapus luka itu, tapi aku bisa mendengarkanmu.

.....

Dia bukan seperti akan peduli dengan kesulitan orang. Tipikal cuek, yang kalau dipanggil hanya menyahut seadanya.

Kalau dipikir-pikir sudah mirip seperti makhluk bulu di rumahnya yang ogah-ogahan. Apa kalau disogok makanan baru mempan?

"Gio, sini, nyemil bareng!" ajak Nara begitu melihat Gio yang datang dari pintu belakang, baru mulai dengan shift siangnya.

"Hmp, sok aja!" sahutnya yang langsung pergi ke ruang staf, menggantung tas selempangnya, lalu mengenakan apron di gantungan.

Nara tampak sedikit kecewa.

"Biarin aja lah, susah kalo anaknya udah antisosial," sebut Dina sambil masih sibuk ngemil keripik singkong kiloan yang dibungkus plastik bening yang ditaruh di atas meja.

Antisosial... Nara pernah baca untuk tidak sembarangan menyebut orang dengan panggilan yang memiliki konotasi negatif seperti itu. Mungkin Gio hanya tipe introvert yang tak terlalu suka berinteraksi dengan banyak orang.

"Hmp!" pada akhirnya Nara hanya mengiyakan karena malas berdebat yang tidak perlu.

Berbanding terbalik dengan kemarin, dimana mereka super sibuk karena event sabtu sore hingga malam, hari ini cafe sedikit sepi, jadi mereka bisa sedikit santai di belakang bar. Tak jarang anak-anak itu membawa jajanan dari rumah untuk bisa dinikmati bersama seperti saat ini.

"Jadi beli hp baru, Na?"

Pertanyaan itu membuat mood Nara kembali naik. Ia langsung tersenyum.

"Aku udah order. Kayanya besok udah nyampe."

"Yeay... Jadi hp yang waktu itu kamu mau?"

Nara mengangguk sambil memakan keripik yang ada di capitan tangannya.

"Widih... Lumayan 'kan tuh harganya."

Nara tersenyum getir.

"Karena ituuu... aku ngga bisa jajan lagi sembarangan. Seblaaak, sateee!" Nara menggoyang-goyangkan tangan Dina dengan kedua tangannya seperti merengek menahan gemas.

"Hehe, sabar... sabar... aku traktir."

"Bener?"

"Taun depan."

Nara langsung mencibir.

Keduanya kemudian terkekeh bareng.

"Tapi hari ini tip event kemarin dibagiin kan yah?" Nara semangat lagi.


*****


Sudah masuk waktu sore dimana kurang dari satu jam lagi Nara dan Dina selesai dengan jam kerja mereka. Keduanya sedang membereskan area bar, sementara suasana di cafe sedang kosong tanpa pelanggan. Hari minggu sore sampai malam biasa jadi waktu sepi karena orang-orang yang bersiap kerja dan sekolah senin paginya.

"Bu Rani, amplop tip event kemarin yang Ibu suruh ambil ngga ada loh, Bu!" terdengar suara Mitha, barista bagian shift siang.

Ia baru saja mengecek laci kecil di bawah meja kerja di ruang staf belakang tempat amplop disimpan.

Itu adalah tip cash yang datang dari klien privat yang menyewa cafe secara eksklusif untuk acara gathering komunitas fashion.

Karena hari ini semua orang sudah berkumpul hingga uang tip yang tak sempat dibagikan kemarin (karena para staf yang sibuk beres-beres setelah acara selesai) bisa segera dibagikan.

Tapi ucapan Mitha tadi seketika membuat suasana menjadi sunyi sesaat.

Bu Rani, supervisor di sana, dengan cepat menghampirinya.

"Seriusan? Kamu udah cek? Coba cari lagi, kali aja nyelip."

"Engga Bu, udah saya cek, beneran ngga ada."

Bu Rani memeriksa ulang. Tak lama kemudian ia bersama dengan Mitha keluar dari ruangan, bertanya ke arah staf di sekitar.

"Kalian ada yang liat amplop tip di laci?"

Nara dan Dina saling pandang, kemudian menggeleng.

Bu Rani menghela napas panjang. Itu bukan uang yang sedikit. Jumlahnya sekitar 1 juta untuk dibagikan ke mereka semua.

"Kemarin malem saya titip Nara karena harus pulang duluan." Bu Rani menoleh pada Nara, "Nar, kamu bener udah simpen amplopnya di laci?"

Nara buru-buru mengangguk.

"Udah Bu, saya taro di laci, sesuai yang Ibu suruh. Saya ngga buka lagi abis itu."

"Serius?" suara Mitha terdengar seperti angin yang menusuk telinga. Ia menggaruk pelipisnya, "Ini aneh loh Bu, sebelumnya belum pernah ada kejadian kaya gini. Tip cash event selalu aman-aman aja. Iya ngga, Din?"

"Hah?!" Dina menoleh, agak kaget namanya disebut, seperti diajak Mitha untuk turut bersekutu.

Ia hanya mengangguk ragu-ragu.

Sementara seorang lain yang berdiri di dekatnya mulai dengan perasaan tak nyaman.

Nara, ia sadar sindiran itu ditujukan untuk siapa. Karena dirinya memang yang paling baru berada di sana dibandingkan yang lain. Baru 3 bulan bekerja. Terlebih lagi ia juga tahu kalau Mitha tampak tidak terlalu suka dengan kehadirannya dari awal.

"Kenapa sekarang tiba-tiba...." Mita membiarkan kalimatnya menggantung. Ia lalu melihat ke arah Nara langsung.

"Nar, katanya kamu baru beli hp baru, ya?"

Nara langsung tampak gugup. Lebih karena merasa dirinya dipojokan.

"Mba Mitha curiga sama saya sekarang?"

"Abis... kebetulan, atau emang kebetulan...?" sindirannya kian tajam dan jelas.

Nara setengah menganga, menahan napas.

"Serius... Saya sama sekali ngga tau apa-apa. Bukan saya yang ambil amplopnya."

"Tapi terakhir kamu yang pegang 'kan?!"

"Iya, saya yang pegang, terus langsung saya taro di laci. Itu juga karena Bu Rani yang nitipin."

"Tapi nyatanya ngga ada sekarang."

"Ya..a.. mana saya tauuu...."

Wajah Nara merah, tak tahu lagi harus menyakinkan mereka seperti apa. Matanya menatap ke semua, satu-persatu, mencari sedikit rasa percaya, tapi tak menemukannya.

Bahkan bila benar bukan ia yang mengambil, amplop itu tetap dianggap hilang karenanya. Karena ia yang terakhir memegangnya.

"Hp baru kamu berapa harganya?"

Nara menghela napas keras.

"Saya beli pake gaji saya bulan lalu sama tabungan. Seriusan...!" suara Nara menekan naik.

Dirinya sudah tak bisa berkata-kata lagi. Air matanya justru jatuh begitu saja menggantikan suara hatinya.

"Yahh, drama...." suara Mitha terdengar bergumam, meski dengan volume yang amat kecil.

Nara bisa mendengarnya. Suara yang memprofokasi ruang harga dirinya. Ia tak ingin menjadi lemah. Buru-buru gadis itu mengusap matanya. Tapi semakin ia mencoba menahannya, air matanya justru semakin tak bisa berhenti.

"Udah-udah, tenang dulu semuanya!" tegas Bu Rani, melihat keadaan yang sudah mulai tak terkendali. "Kita ringkas dulu situasinya saat ini. Amplop udah dipastiin ngga ada, saya udah periksa. Nara simpen amplop itu malem setelah beres event, iya, Nar?"

Nara mengangguk gemetar sambil menggigit bibir, berusaha keras menekan sisa tangisnya.

"Saya ngga mau ada kesalah pahaman. Jadi biar semuanya jelas, clear, kita periksa tas bawaan masing-masing, kalian setuju?"

Hampir semua dari mereka mengangguk sepakat, termasuk Gio dan dua staf lain yang berdiri diam melihat semuanya.

Tas para staf termasuk Bu Rani sendiri diperiksa satu-persatu. Pun bawaan mereka yang lain. Atau tempat-tempat yang mungkin bisa dijadikan tempat menyembunyikan sesuatu. Hasilnya nihil. Amplop tip masih belum ditemukan.

Tapi itu tak cukup membuat Nara merasa lega. Karena dirinya masih jadi orang yang paling dicurigai.

Gio tampak mendekat ke arah Bu Rani. Ia bicara dengan suara yang kecil tapi masih bisa di dengar yang lain.

"Bu, kalau bisa kita cek CCTV sekarang. Mungkin bisa nemuin sesuatu di situ."

Bu Rani menoleh, ia ragu sejenak tapi kemudian mengangguk.

"Kamu bantu saya ngecek," Bu Rani lalu beralih ke staf yang lain. "Yang lain bisa kembali dulu. Buat Nara sama yang shift pagi, udah waktunya kalian pulang 'kan? Hasilnya nanti kami kabari lagi. Sekalian saya lapor sama Pak Ardi buat kedepannya bagaimana."

Para staf keluar satu-persatu. Mitha sempat bergumam yang sengaja agar bisa didengar orang.

"Paling juga ngga ketemu. Apalagi kalo diambilnya kemaren malem, langsung dibawa pulang!"

Dan lirikan itu jelas ia sematkan pada Nara. Membuat gadis itu kian tertunduk.

Mitha pergi duluan disusul cepat Dina.

Hanya Nara yang tersisa sejenak, menatap Bu Rani dan Gio dengan wajah yang hampir putus asa. Namun ia sadar suaranya sudah tak punya daya, dan memilih pergi.


*****


Sejak sore sepulang kerja hingga malam hari, Nara terus mengurung diri di kamar. Ibunya sampai harus memanggilnya berulang kali untuk makan malam. Tak biasanya putrinya itu seperti ini.

Tapi Nara tak punya tenaga untuk mengamuk. Ia bukan tipe yang akan bercerita soal masalah yang dialaminya pada orang rumah.

Ia memendamnya dalam hati. Dalam tangisan tanpa suara. Duduk meringkuk di atas ranjang, menenggelamkan kepalanya, meratapi nasib.

Apa sesakit ini tak dipercayai orang? Apa sesakit ini dituduh dan difitnah? Ia merasa semua yang terjadi adalah kesalahan.

Kenapa ia harus jadi orang yang baru bekerja 3 bulan? Kenapa hidupnya harus mengalami tuduhan palsu? Kenapa ia harus membeli ponsel baru? Kenapa Mitha, seniornya, begitu amat memojokannya?

Dan kenapa ia harus melamar kerja di sana waktu itu, bila akhirnya ia harus dihinakan seperti ini?

Padahal ia sudah bekerja sangat keras. Ia sadar dirinya harus lebih giat dari yang lain karena ia masih baru. Ia ingin menunjukan diri, menjadi orang yang dipercaya, juga terampil. Bahkan tak jarang ia harus bekerja lembur dari pagi sampai malam tiap kali ada event, seperti waktu sabtu kemarin.

Tidakkah usahanya sudah cukup keras? Bila tidak bisa dibalas dengan hadiah, setidaknya jangan nasib sial yang menimpanya seperti saat ini.

Kenapa dunia sungguh begitu tidak adil padanya?

Air mata Nara tak bisa berhenti keluar.


*****


Sebuah amplop krem polos tergeletak di atas meja kamar Nara. Surat yang ditulisnya kemarin malam dengan tersedu. Meski tak sempat ia bawa ke tempat kerja hari ini.

Apa yang akan dipikirkan orang-orang bila ia berhenti sekarang? Apa ia akan dianggap tak bertanggung jawab?

Ia ingin membersihkan namanya lebih dulu. Adakah keajaiban yang bisa membantunya untuk itu?

Apa pengecekan CCTV kemarin sudah membuahkan hasil?

Nara merasa sanksi.

Kamera tidak mengarah langsung ke laci meja, tapi ke arah pintu masuk ruang staf. Wajar bila banyak yang hilir-mudik ke sana.

Kalau dipikir-pikir lagi, ia sempat masuk ke ruang staf saat tak seharusnya dirinya berada di sana karena harus mengambil barang yang tertinggal. Apa itu bisa memberatkannya?

Sial! Kenapa kamu harus masuk ke ruangan staf waktu itu, Naraaa! Nara memaki dirinya sendiri dalam hati.

Gadis itu memejam gemas. Begitu kembali membuka matanya, ia bisa melihat Dina yang juga baru datang sepertinya.

"Din...." Nara hendak menyapa, tapi Dina terlihat buru-buru pergi setelah menyimpan tas dan mengambil apronnya.

Bahkan Dina pun menjauhinya sekarang. Orang yang sebelumnya begitu dekat dengannya.

Sakit. Hatinya terasa begitu sakit.

Gadis itu tahu, hari ini akan jadi neraka kedua baginya. Setelah yang pertama sudah ia rasakan kemarin sore.


*****


"Untuk sekarang, saya harap kalian bekerja seperti biasa. Penyelidikan masih berlangsung. Nanti kalau sudah ada hasil, saya akan segera kabari."

Pak Ardi, manager cafe yang datang tadi siang, hanya mengatakan itu di depan para pegawainya.

Dan saat itu, kepala Nara lah yang tertunduk paling dalam.

Gadis itu terduduk lemas di pojok ruang ganti staf, di antara dinginnya dinding dan loker logam di sisi satunya. Wajahnya tertunduk dalam lengan yang ditekuk di atas lutut.

Ia sudah tak mampu lagi menahan tangisnya.

Sepanjang waktu tadi ia harus menerima tatapan penuh kecurigaan dari orang-orang, lalu sesegera mungkin tersenyum tiap kali pelanggan datang.

Ia merasa sungguh lelah.

Di antara hening itu, suara langkah seseorang terdengar mendekat setelah menutup kembali pintu ruangan.

"Kalo ngga salah kenapa harus sembunyi?"

Nara mengangkat kepalanya.

Ucapan tadi bukan kalimat profokasi. Suaranya terlalu tenang.

"Pelakunya pasti bakal ketahuan. Cepat atau lambat."

Nara terpekur sebentar. Gio bertingkah seperti sedang berusaha menenangkannya saat ini.

"Kamu percaya aku ngga bo'ong?"

"Kamu masih nangis padahal udah ngga ada orang. Siapa yang mau coba kamu tipu?" jawab Gio cuek

Nara menyesap bibirnya sambil mulai berpaling.

"Siapa yang nangis," elaknya, sambil diam-diam mengusap mata.

"Itu baru bohong."

Gio berjalan mendekat tanpa aba-aba.

"Masih basah," katanya lagi, sengaja melongok melihat wajah Nara.

Nara yang terkejut membulatkan matanya. Kali ini buru-buru ia mengusap matanya dengan kedua tangan.

"Kamu ke sini cuman mau ngeledek?" suara Nara terdengar parau.

Gio hanya santai bergerak duduk di sampingnya. Sementara Nara masih memperhatikan dengan matanya yang melirik bingung.

Tak ada suara lagi dari mereka. Keduanya hanya duduk diam seperti itu.

Beberapa kali Nara mencuri pandang ke arahnya karena mulai canggung.

"Kamu tahu salah satu alasan kenapa orang bisa berhati dingin?"

Nara menoleh polos, mendengarkan.

"Karena ada luka yang ngga bisa dia tangani. Jadi cara terbaik mengatasinya adalah dengan menjadi mati rasa. Berharap itu bisa mengurangi rasa sakitnya. Lalu dia terbiasa dengan perasaan itu."

Nara mengerejap, mencoba menerka maksud Gio mengatakan hal itu padanya.

"Kamu mau aku mati rasa juga?"

"Kebalikannya. Justru bagus kamu bisa nangis kaya sekarang, ngeluarin emosi rasa sakit kamu. Biarpun kaya anak kecil."

Cih, Nara mencibir. Padahal di awal tadi ia sudah mulai tersentuh ucapannya. Memang tak seharusnya ia berharap lebih pada makhluk satu itu.

Tapi dengan cara yang unik, entah kenapa perasaannya jadi terasa lebih baik.

"Jadi mau kamu tuh apa sebenernya? Ujung-ujungnya ngeledekin mulu...."

"Ngehibur orang. Takut dia mati bunuh diri," celetuknya.

Mata Nara melotot. Anak ini kalau bicara kadang tak pernah disaring dulu.

"Gitu caranya ngehibur?" keluh Nara.

Gio menghela napas, lalu bangkit berdiri.

"Kayanya kamu udah mendingan. Udah bisa sewot. Aku pergi sekarang."

Dahi Nara berkerut. Ia masih belum ingin sendirian. Ia masih butuh teman bicara, meskipun orang itu sedikit menjengkelkan seperti Gio.

Tapi ujungnya ia tak bisa mengatakannya. Gadis itu tertunduk murung.

"Nil desperandum...." sebut Gio tiba-tiba.

Nara mendongak.

"Hah?!"

Gio menarik wajahnya kembali, berjalan keluar dan hilang di balik pintu.

"Tadi itu... Nil... apa?"


*****


"Nar, ada paket kamu tuh di atas meja. Lumayan berat, isinya apaan?" tanya ibunya begitu Nara pulang ke rumah memberi salam.

Nara hanya melengos pergi, tak menjawab pertanyaan itu.

Itu pasti adalah ponsel yang baru ia beli online. Normalnya ia akan berlari kegirangan mendatangi paketnya. Meminta ibunya untuk bantu membuat video unboxing agar ia bisa komplain kalau-kalau ada masalah dengan ponsel barunya. Karena jelas ini bukan barang murah.

Tapi hari itu antusiasmenya tak ada. Masih trauma, gara-gara membeli ponsel itu dirinya jadi dituduh mencuri.

Pada akhirnya ia hanya menatap paket kotak panjang berwarna krem itu dan meninggalkannya di sana, masuk ke dalam kamar.


*****


Besoknya siang hari sekitar jam 14.30, Pak Ardi mengumpulkan para staf. Masih terkait masalah tip event yang hilang waktu itu.

Pak Ardi menyebut ditemukan moment mencurigakan dari seseorang saat memeriksa rekaman CCTV.

Di saat semua terdiam, Nara kian menenggelamkan kepalanya. Entah bagaimana ia merasa ini tentang dirinya. Setelah dua hari berturut-turut dipojokan, dianggap sebagai pencuri, Nara menjadi merasa hina. Merasa rendah diri. Menganggap hal buruk bisa kembali menghujaninya kapan saja.

Pak Ardi kembali berbicara, "Rekaman itu sebelumnya hilang atau sengaja dihapus."

Semua orang langsung dibuat terkejut. Itu adalah fakta yang sebelumnya tidak pernah Pak Ardi beberkan pada mereka.

"Tapi beruntung rekaman itu berhasil kami pulihkan. Dan berkat itu kita tahu sekarang siapa yang sudah mengambil amplop itu. Dan yang jelas, bukan Nara."

Nara yang sedari tadi tertunduk dengan cepat mengangkat kepalanya. Ia tercengang, masih belum sepenuhnya percaya.

Ia tak salah dengar 'kan? Pak Ardi mengatakan tadi bukan ia pelakunya 'kan? Nara bertanya-tanya. Kedua tangannya mengepal memegang apron yang dikenakannya, bukan karena takut. Tapi saking leganya ia, saking senangnya dirinya saat ini. Bibir gadis itu melengkung naik.

"Dan mulai hari ini, rekan kalian Dina, sudah tidak lagi bekerja di sini."

Senyum Nara berhenti tiba-tiba mendengar kalimat pengumuman itu.

"Dina?! Jangan-jangan...." wajah Nara berubah pucat kembali.


*****


Nara datang ke ruangan Pak Ardi di lantai 2. Ia ingin mengetahui lebih jelas tentang kronologi kejadiannya.

Ia sama sekali tak sadar, sebelum Pak Ardi mengumpulkan para staf dan memberitahukan pengumuman itu, orang-orang di sana sudah bisa menebak siapa pelakunya. Karena hanya Dina yang tidak berada di sana saat itu.

Mereka juga mendengar Dina yang dipanggil langsung menemui Pak Ardi. Semuanya sadar, termasuk Mitha.

Nara hanya terlalu sibuk dengan tekanan batin yang dirasakannya. Terus menundukan wajah, menghindari tatap dengan rekan-rekannya yang lain. Hingga tak sadar, Mitha yang paling menyudutkannya waktu itu, mulai merasa malu dan sengaja menjauhi pandang darinya.

Dan belum ada kata maaf.

"Maap Pak, jadi pelakunya... Dina?" Nara bertanya ragu-ragu.

Pak Ardi langsung mengangguk.

Itu membuat Nara seketika menahan napas.

"Kenapa Dina...?"

Pertanyaan itu sebenarnya adalah gumaman Nara. Kekecewaannya, juga rasa tak percayanya Dina bisa sampai melakukan hal itu. Tapi Pak Ardi turut mendengar, dan merasa Nara berhak mengetahui alasannya.

"Katanya dia terdesak, mau bantu lunasin hutang pacaranya. Dia bilang juga dia mau ganti nanti kalau sudah punya uang," terang Pak Ardi menjelaskan.

Wajah Nara masih cukup pucat untuk menerima informasi lanjutan.

Dina, orang yang begitu ramah padanya saat pertama kali dirinya kerja di sana. Orang yang membuatnya merasa diterima. Apalagi bila melihat sikap jomplang rekan sekaligus seniornya yang lain di sana, Mitha.

Kenapa harus Dina? Dalam hati, Nara terus mempertanyakannya.

Mungkin Dina hanya salah memilih pacar. Atau dirinya terlalu nekat hingga menggunakan cara yang tidak benar. Biarpun sadar dirinya sudah dikhianati, tapi perasaan sedih itu tetap ada, apalagi mengetahui kalau Dina sudah tidak lagi bekerja bersamanya di sana.

Malah tinggal Mitha, senior yang menyebalkan itu, Nara menekuk wajahnya.

"Kalau tidak ada yang mau kamu tanyakan lagi, kamu bisa kembali bekerja," seru Pak Ardi padanya.

Nara beranjak, tapi langkahnya kemudian berhenti ditempat. Ia kembali berbalik.

"Apa Dina ngga bisa dikasih kesempatan kedua, Pak? Uang tip event yang diambil bisa dipotong dari gajinya bulan ini," Nara tersenyum canggung.

Pak Ardi mengerenyit.

"Saya cukup terkejut kamu bisa mengatakan ini. Saya sempat dengar malah kamu yang dituduh mengambil uang itu oleh rekan kamu sendiri."

Ya 'kan? Nara sendiri merasa dirinya sedang tak waras saat ini. Kenapa ia masih berusaha membela Dina yang sudah menempatkannya dalam situasi sulit terakhir belakangan? Ia tak tahu. Tapi ia tetap ingin mengatakannya. 

Pak Ardi mengatupkan kedua tangannya di atas meja dan berdeham berat.

"Sejujurnya itu sulit. Tindakan Dina sudah terlalu jauh. Ia bahkan berani menghapus rekaman CCTV yang memberatkannya. Dan baru mau mengaku setelah didesak."

Nara pasrah, ia tak bisa apa-apa lagi bila sudah seperti itu situasinya.

"Beruntung Gio berhasil memulihkan datanya dan membuat kamu bebas dari tuduhan."

Kepala Nara terangkat cepat dengan pupil matanya yang seketika membesar.

"Gio?!"

Yang membantu memulihkannya?


***** 


Nara keluar dari ruangan Pak Ardi. Dirinya berdiri terdiam membelakangi pintu.

"Dia datang ke saya kemarin. Minta izin buat coba pulihkan file yang terhapus. Saya biarkan karena saya tahu anak itu cermat. Dan... ya, berkat dia bagian yang terhapus itu bisa dipulihkan sebagian besar. Cukup buat kami menyusun alur gerakan staf saat kejadian."

Nara sungguh-sungguh tak tahu. Ia kira saat Pak Ardi mengatakan rekaman yang terhapus berhasil dipulihkan, itu adalah kerjaan teknisi atau semacamnya. Ia sama sekali tak memiliki dugaan kalau itu adalah Gio.

Mata Nara mulai berkaca-kaca. Ia menengadahkan kepala, sengaja menahan air matanya agar tidak jauh.

Ia pikir dirinya sendirian selama ini.

Ia tahu Gio memang sempat datang untuk sedikit menghibur atau menggodanya. Ia hanya tak menyangka, Gio, orang yang tampak bodo amat itu, ternyata adalah orang yang sudah diam-diam menolongnya.

Kali ini Nara merasa kalau dirinya adalah manusia paling beruntung di dunia.

Gadis itu menyeringai geli, mengingat sebelumnya ia menganggap diri sebagai manusia yang paling sial karena terkena tuduhan palsu.

Apa kerja dunia memang selucu ini?


*****


Ada dua hal yang mendominasi pikiran Nara sekarang. Paket ponsel barunya yang harus segera ia unboxing begitu pulang kerja nanti, dan juga... Gio, makhluk sok cuek yang harus segera ia beri ucapan terima kasih setulus jiwa dan raganya.

Seharian ini ia terus memperhatikan pemuda itu. Mencari waktu yang tepat untuk bicara. Tidak sulit sebenarnya, karena Gio memang tipe yang suka sendirian.

Gio sedang mencuci piring dan gelas kotor di wastafel. Nara yang sudah memperhatikannya lama, perlahan datang menghampiri.

"Gio!"

"Hmp?"

"Sini, aku yang bantu lap...."

Gio hanya terpekur sebentar lalu mengangguk. Sambil mengelap gelas yang sudah dicuci, Nara sibuk berpikir menyusun kata-kata. Dari mana ia harus memulai? 

"Gio... ada yang mau kamu kasih tau ke aku?" ucapan Nara barusan seketika melenceng dari niatan awalnya yang bermaksud langsung berterima kasih.

"Ngga ada," Gio menjawab tanpa berpikir.

Entah mengapa itu membuat Nara mendengus sebal.

"Coba kamu pikir-pikir lagi... pasti ada."

Gio mengerenyit menoleh. 

"Ngga ada," jawabnya singkat, lalu dengan cepat berpaling melanjutkan pekerjaannya.

Nara menggigit bibir. Perasaannya berubah seketika dari yang merasa bersyukur kini menjadi jengkel.

Momen kedua saat Gio duduk di belakang bar memainkan ponselnya (saat itu para pelanggan sedang sibuk dengan laptop mereka). Nara kembali menghampiri. Duduk di dekatnya, menjaga jarak nyaman.

"Gio?" 

"Kenapa?" 

"Hmm... apa yang kamu lakuin kemarin malem?"

"Tidur."

"Sebelum tidur. Di tempat kerja," Nara sengaja membuatnya lebih spesifik.

Dahi Gio kembali berkerut melihatnya.

"Ya kerja," ia kembali sibuk dengan ponselnya.

"Selain ker-ja?!" pertanyaan Nara kini terkesan ngotot, dengan senyum yang ia paksakan.

"Ngapain lagi? Ngga ada," jawabnya asal.

"Pasti ada!"

Gio menoleh kaget, pun terganggu.

"Kenapa malah kamu yang marah?"

Nara mengerejapkan mata beberapa kali, lalu menekan senyum.

Ia yang bodoh harus bicara dengan makhluk bebal satu ini.

Gadis itu menggeleng, kemudian pergi.

Sudah fix, Gio memang tidak berniat untuk memberitahu dirinya kalau ia yang sudah menolongnya.

Kalau saja Pak Ardi tidak menyinggung soal itu padanya waktu itu, Nara pasti tidak akan pernah tahu. Soal pertolongan Gio padanya.

Kepalanya tertunduk. Kalau itu yang terjadi, ia pasti akan merasa sangat menyesal. Kecewa dalam ketidaktahuannya. Nara menghela napas dalam. Ia pikir sudah cukup untuknya bermain-main. Setelah ini ia akan berterima kasih pada Gio dengan benar.


*****


"Aku denger dari Pak Ardi kalau kamu yang udah bantu pulihin rekaman CCTV yang ilang. Thank you...." Nara tersenyum tulus. 

Ia sudah selesai dengan shiftnya, dan tak langsung pulang. Sengaja meluangkan waktunya untuk bicara berdua dengan Gio.

Gio hanya tersenyum tipis sambil mengelap meja bar. 

"Hmp, sama-sama."

"Gimana caranya? Keren! Udah kaya di film-film."

"Cuma pake sofware sederhana doang. Datanya juga belum lama dihapus, jadi masih bisa direcover."

Nara hanya mengangguk. Ia kembali menatap Gio.

"Kenapa ngga ngomong kalo kamu yang udah bantu aku?" ada selipan rasa kecewa dari pertanyaan Nara tadi.

"Itu bukan hal besar. Ngapain diomong-omongin?"

"Tapi... hal ngga besar itu yang udah nyelametin aku dari masalah serius. Thank you!" ucapan terima kasih kedua dari Nara.

"Hmp!"

Gio tak terlalu meresponnya. Nara sedikit kecewa. Tapi rasa terima kasihnya tetap begitu besar. 

Ia akan mengingat ini. Selamanya.


*****


Cafe sudah tutup sejak setengah jam lalu. Setelah sibuk closingan, dua orang itu keluar dari pintu belakang meninggalkan cafe dengan lampu-lampu yang sudah dimatikan.

Ini adalah waktu yang Nara tunggu-tunggu. Bisa pulang 'bareng' dengan Gio — karena perombakan jadwal shift setelah kekosongan karyawan akibat kepergian Dina.

"Besok kamu libur kan? Aku traktir kamu yah, pagi sebelum aku kerja. Buat ucapan terima kasih... karena udah nolong aku waktu itu."

"Ngga perlu," jawab singkat Gio.

"Tapi aku pengen traktir!" Nara bersikeras.

Gio langsung merengut melihatnya.

"Gini caranya neraktir? Maksa orang yang ditraktir?"

Sadar dirinya salah, Nara seketika membuang wajah mengulum bibir. Ia memainkan tali selempang dari tas yang dikenakannya.

"Ngga pulang?" tanya Gio, menoleh ke belakang menyadari Nara belum beranjak.

"Aku traktir...." Nara memasang wajah merayu. "sekarang deh, kalo besok kamu maunya istirahat."

Gio menarik wajah, menghela napas panjang, sebelum akhirnya menatap kembali Nara.

"Denger Na, kamu buang-buang waktu kalo sama aku. Kamu ajak aja yang lain. Mereka udah tau kamu ngga bohong. Kalian udah baik-baik aja. Masalah selesai."

Nara menekuk wajahnya. Penolakan Gio jelas membuatnya bete.

"Tapi cuman kamu yang ada waktu aku terpojok sendirian," tutur Nara dalam.

"Itu karena aku tau kamu ngga bohong. Kalo engga, siapa yang tau aku ngga ada bedanya sama yang lain."

"Karena itu cuma kamu yang bisa diandelin. Yang bisa bedain mana yang jujur dan yang engga. Yang ngga akan ninggalin orang. Bahkan di saat terpuruknya sekalipun...." Nara seperti menggumam di akhir.

Gio menekan bibir. Dari awal ia benci hubungan. Pertemanan, cinta, apapun itu. Merepotkan. 

"Aku ngga bisa lakuin itu selamanya. Aku bukan lie detector berjalan."

"Ngga masalah," Nara menjawab tanpa berpikir, dengan senyum polosnya yang juga cepat melengkung naik ke atas. 

Gio terpekur sejenak.

Yah... Memang sesederhana ini pikiran Nara. Karena itu dia bisa dengan mudahnya dimanfaatkan orang, jadi target empuk untuk disalah pahami.

"Aku bilang aku ngga suka hal-hal merepotkan kaya gitu. Aku pergi sekarang."

Gio berlalu ke parkiran belakang khusus karyawan. Mengabaikan Nara yang langsung menghentakan kaki karena kesal.

"Kenapa temenan doang sama kamu tuh mahal banget kayanya!" keluh Nara yang jelas sampai ke telinga Gio. Tapi lelaki itu tak merespon. Sedikitpun.

Gio sudah menaiki motornya. Nara, yang setengah mati menguatkan diri menjadi mode muka tembok, terus menghampirinya sampai ke sana.

"Apa lagi? Pulang sana, udah malem," seru Gio yang terus dikuntit seperti itu.

Gio mengenakan helmnya. Sementara Nara masih berdiri diam di sana. Saat Gio menoleh sebelum benar-benar pergi, tangan Nara sudah terulur ke arahnya.

"Saat ngga ada orang yang percaya sama kamu. Saat ngga ada satupun orang yang bisa kamu andelin. Dateng ke aku." 

Nara menarik tangannya kembali, memiringkan wajah, memberi pesan penuh.

"Jangan terluka sendirian. Aku mungkin ngga bisa menghapus luka itu, tapi aku bisa mendengarkan kamu." 

Nara mengakhirinya dengan senyuman tulus.

Gio terdiam. Darahnya seperti berdesir, namun terasa hangat. 

Tapi ia lekas sadar. Tak mau terlena keadaan. Tak butuh berharap pada seseorang. Karena hati manusia mudah goyah dan berubah.

Gio menarik wajahnya dan meluncur pergi bersama motornya meninggalkan Nara.

Helaan napas panjang nan berat keluar dari mulut gadis itu.

Padahal sebelumnya saat dirinya masih kena tuduh, Gio jauh lebih ramah padanya. Bibir Nara mengerucut cemberut, ia tahu Gio hanya merasa kasihan padanya.

"Dasar hati batu...." gumamnya sebal.


***** 


Hari demi hari Nara terus ditolak. Bukan sebagai kekasih, hanya sebagai teman. Itu saja Gio tidak mau.

Dasar makhluk dingin! rese! penyendiri! antisosial!

Nara diam-diam mengulum bibirnya.

Ia jadi ingat dengan sosok Dina. Sudah sebulan sejak insiden waktu itu ia lost contact dengannya.

Terakhir Dina hanya meninggalkan sebuah pesan singat.

'Maaf Nar, maaf banget. Aku ngga maksud buat kamu yang jadi di tuduh. Maaf.'

Setelah itu nomor Nara diblokir.

Kalau memang merasa bersalah, harusnya jangan kabur seperti itu. Mereka masih bisa berteman di luar cafe, sesal Nara.

Ia menghela napas panjang. Merapikan apronnya, sudah siap untuk kerja shift siangnya.

Gadis itu mengangkat kepala. Langsung tersenyum melihat Gio sedang berjalan ke arahnya.

Tuhan maha baik, sudah memberikan pemandangan yang menyegarkan mata untuknya memulai hari, setelah kemarin dirinya juga bersenang-senang saat libur kerja.

Nara bahkan mungkin tak ingat pernah menulis surat pengunduran diri yang amplopnya kini entah tergeletak dimana.

"Hei...." Nara mengangkat tangannya menyapa.

Tapi langkah Gio sama sekali tak berhenti. Lajunya cepat melewati Nara, yang kini hanya bisa tercengang, bingung, dengan tangan kanannya yang masih terangkat naik.

Nara menundukan wajah, menekan senyum.

Makhluk itu sama sekali tidak berubah.

Siapa yang peduli.

Pemuda dingin, rese, penyendiri menyebalkan itu bagaimanapun tetap adalah penolongnya.

"Ngga pa-pa Nara, its ok!" Nara menghibur diri. Meski akhirnya ia berjalan ke arah bar dengan mulut mencibir.

Dilihatnya suasana cafe yang tak seperti biasa. Orang-orang sibuk dengan ponsel mereka. Para pelanggan yang saling berbisik, bahkan Rizki, anak cabang lain yang dipindahkan ke sana sejak sebulan lalu. Di belakang bar ia sibuk memperhatikan ponselnya.

"Nar, udah dateng?" sapanya begitu Nara mendekat.

"Hmp! Liat apaan A?"

"Oh, ini, heboh kemaren!"

"Kemaren?" dahi Nara mengerenyit.

"Oh iya, kemaren kamu libur kan ya, makanya ngga tau."

"Ngga tau apaan?"

"Nih, kamu tonton aja videonya," Rizki menyondorkan ponselnya pada Nara.

Video yang diupload salah seorang pelanggan di akun media sosialnya. Latarnya begitu familiar.

"Kamu tuh cuma anak haram!" terlihat seorang ibu sosialita yang sedang memaki di cafe tempat mereka bekerja.

Dan orang yang dimakinya itu adalah... Gio?!

Mata Nara membelalak kaget.

Kenapa Gio? Nara terdiam pucat.

Diingat-ingat lagi saat berpapasan dengannya barusan, Gio memang tak tampak sedang baik-baik saja.

Apa ia sedang terluka sendirian sekarang? Ia bahkan tak pantas mendapatkan makian itu.

"A Rizki... Gio di mana sekarang?"


*****


Gio duduk memojok. Satu kakinya menyelonjor lurus di lantai, sementara kakinya yang lain naik menekuk menahan tangannya yang menyandar di atas lutut. Tak ada ekpresi apapun di wajahnya. Namun auranya begitu kental.

Dingin dan suram.

Gosip itu jelas sudah menyebar ke semua rekan kerjanya. 

Ia risih, tapi tak terlalu peduli. Dari awal ia tahu manusia itu merepotkan. Bergunjing, membicarakan orang. Menghakimi orang yang mereka anggap bersalah. Tak peduli berita itu benar atau salah. 

Ia hanya ingin menyelamatkan kewarasan jiwa dan raganya, karena itu dirinya menjauh sejenak.

Suara langkah kaki terdengar mendekat dan kini berhenti tepat di depannya yang tengah terpejam lelah.

Gio mengangkat wajahnya. Nara sudah berdiri di sana, membuka tangan mengulurkannya ke depan.

Di ruang yang sama. Di dinding yang sama. Di bawah cahaya lampu yang sama. Seperti takdir sengaja menempatkan mereka di sana. Hanya saja jiwa yang terluka itu bertukar peran.

"Dasar bandel. Udah aku bilang jangan terluka sendirian."

Nara tersenyum tulus.

Mata dua orang itu bertemu.

Sejenak waktu seakan berhenti untuk mereka.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)