Cerpen
Disukai
4
Dilihat
3,758
Satu nama yang diam
Romantis

---

> Arga selalu bilang, Lira itu kayak pohon mangga di halaman rumahnya.

Nggak pernah pergi, selalu ada, meskipun nggak pernah dia perhatikan.




Mereka tumbuh bersama di gang kecil yang sempit, tempat setiap anak saling mengenal, dan suara ibu-ibu memanggil dari dapur jadi lagu sore hari. Sejak kecil, Lira dan Arga tak terpisahkan. Mereka seperti bayangan satu sama lain—ke mana Arga pergi, Lira ikut. Ke mana Lira melangkah, Arga menyusul.


Tapi kedekatan yang terlalu biasa kadang malah jadi tidak terlihat.

Buat Arga, Lira adalah teman yang selalu ada. Titik. Bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih jauh.


“Gue putus lagi,” keluh Arga sore itu, melempar ranselnya ke sofa rumah Lira. Tangannya mengacak rambutnya sendiri dengan frustrasi. “Ternyata dia cuma butuh gue pas lagi berantem sama mantannya.”


Lira meletakkan dua gelas teh hangat di atas meja. Ia sudah menebak kalimat itu sejak Arga mengirim pesan: ‘Nanti gue ke rumah, butuh curhat.’ Kalimat yang sudah terlalu sering ia terima, tapi tetap ia tunggu-tunggu. Hanya agar bisa melihat wajah itu lagi. Hanya agar bisa duduk berdampingan, meski tahu hatinya selalu tertinggal.


“Kamu tuh gampang jatuh cinta, tapi nggak pernah nanya dulu ke hatimu sendiri… siapa yang benar-benar kamu butuh,” ucap Lira sambil duduk, menatap Arga yang sedang menunduk.


“Hah?” Arga mendongak. “Maksud lo?”


“Enggak, nggak penting.” Lira buru-buru tersenyum, padahal hatinya sedikit sesak.


Ia ingin bilang:

“Aku, Ga. Aku yang selalu ada tiap kali kamu patah, kecewa, dan jatuh. Aku yang gak pernah pergi meskipun kamu selalu cerita tentang cewek lain. Tapi kamu nggak pernah nanya hatimu sendiri: kenapa aku nggak pernah jauh?”


Tapi kata-kata itu seperti selalu tertahan di tenggorokan. Dan ia sudah terlalu sering kalah oleh ketakutannya sendiri—takut kehilangan, meskipun mungkin tak pernah benar-benar dimiliki.


Lira terbiasa diam, karena diam tak menuntut apa-apa. Diam tak bisa disalahkan. Diam tak mengubah apa pun. Tapi diam jugalah yang perlahan mengikis hatinya sendiri.



---


Malam itu, hujan turun pelan-pelan.

Langit seperti menyimpan duka, dan udara jadi dingin.

Di ruang tamu rumah Lira, dua sahabat duduk bersebelahan. Salah satunya tak sadar bahwa pelan-pelan, waktu sedang mencuri seseorang dari hidupnya.


Arga masih terus bercerita. Tentang bagaimana cewek terakhir yang ia pacari mendadak berubah sikap. Tentang bagaimana ia merasa jadi korban. Lira mendengar, mengangguk, menyelipkan kalimat pendek agar Arga merasa dimengerti. Padahal, ia sedang menahan batuk di balik selimut tebal.


Sudah beberapa minggu ini dadanya terasa aneh. Awalnya cuma nyeri ringan, lalu disusul sesak napas yang datang tanpa alasan. Tapi ia belum bilang siapa pun. Termasuk Arga. Terutama Arga.


Baginya, mendengar Arga tertawa dan bercerita sudah cukup.

Ia takut kalau berkata jujur, dunia Arga akan terguncang.

Dan Lira tidak ingin menjadi beban bagi siapa pun, bahkan bagi orang yang diam-diam paling ia cinta.



---


Malam semakin larut. Arga akhirnya pulang, seperti biasa.

Dan seperti biasa juga, Lira berdiri di depan pintu, menatap punggungnya yang menjauh di tengah gerimis. Dalam hatinya ia membisikkan sesuatu:


> “Tuhan… jika suatu saat aku tidak bisa lagi berdiri di sini untuk melihat dia pergi… tolong jaga dia, ya. Walaupun dia nggak pernah benar-benar melihat aku.”




Sesampainya di kamar, Lira membuka buku catatan kecilnya. Di sana sudah penuh dengan tulisan yang tak pernah ia tunjukkan ke siapa pun. Di halaman terakhir malam itu, ia menulis:


> “Aku cuma ingin jadi yang kamu cari. Tapi mungkin aku terlalu mudah ditemukan, sampai kamu nggak sadar aku di sini.”





---


Besoknya, Lira tetap hadir di sekolah seperti biasa. Wajahnya sedikit pucat, tapi senyumnya masih sama. Arga tidak menyadari apa pun. Tidak pada bibir Lira yang lebih kering dari biasanya, tidak pada langkahnya yang lebih pelan, tidak pada suara yang kadang tersendat saat menjawab.


Baginya, Lira adalah teman.

Dan teman, ya... selalu ada. Bukan?



---


“Kamu tahu, dia beda,” kata Arga, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru nemu mainan baru di pasar malam. “Dia perhatian banget, terus dia ngerti musik juga… kayak gue.”


Lira tersenyum tipis. Mereka sedang duduk di kantin belakang sekolah, meja favorit yang biasanya hanya mereka berdua yang tempati. Tapi hari itu rasanya bukan seperti biasanya. Suara Arga penuh semangat, tapi bukan karena Lira. Senyum itu bukan untuk Lira. Binar di matanya juga bukan karena Lira.


“Oh ya? Seneng dong berarti?” jawab Lira datar, berusaha menutupi sesuatu yang pelan-pelan menghimpit dadanya.


“Iya banget. Namanya Dira. Anak kelas sebelah. Lo tau kan yang suka main gitar waktu pensi?”


Lira mengangguk. Tentu dia tahu. Dira, dengan rambut panjang dan senyum yang manis, yang pernah satu kali membuat Lira merasa kecil hanya karena berdiri di dekatnya. Dira yang pandai memainkan gitar sambil menyanyi—sesuatu yang Arga pasti sukai.


“Dia tuh… ngerti gue, gitu,” lanjut Arga. “Pas gue cerita soal bokap nyokap gue yang ribet, dia bisa dengerin. Bukan kayak mantan-mantan gue yang cuma peduli pas gue ngasih coklat.”


Lira tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena pahit. Ia sudah mendengar semua keluhan itu ribuan kali. Tentang mantan-mantan Arga, tentang masalah keluarganya, tentang sekolah, tentang apa pun yang membuat Arga butuh tempat pulang. Tapi Lira tak pernah disebut sebagai tempat itu.


Ia hanya hadir. Tanpa tanda. Tanpa nama. Tanpa peran yang benar-benar terlihat.


“Kamu suka banget sama dia ya?” tanya Lira akhirnya, suaranya pelan.


“Kayaknya sih gitu. Gue pengen serius, Li.”


Serius.

Kata itu menancap seperti duri kecil yang tak bisa dicabut.



---


Beberapa hari setelahnya, Lira mulai menghindari tempat-tempat yang biasa ia dan Arga datangi. Ia lebih sering duduk sendiri di perpustakaan, memandangi jendela, atau menulis hal-hal yang tidak akan pernah dikirimkan.


Kesehatannya mulai menurun. Batuknya makin keras, dan kadang disertai pusing yang membuatnya harus menutup mata lama-lama. Tapi ia tetap berusaha hadir di sekolah. Ia tidak ingin kehilangan satu-satunya rutinitas yang membuatnya merasa normal.


Arga, seperti biasa, tidak menyadari.


Saat mereka bertemu di lorong sekolah, Arga akan tersenyum dan menceritakan sesuatu tentang Dira. Tentang betapa serunya main gitar bareng di rumah Dira. Tentang betapa enaknya kue buatan ibunya Dira. Tentang bagaimana Dira mengingatkan dia pada masa kecil yang hangat—ironisnya, masa kecil itu dihabiskan bersama Lira.



---


Suatu malam, Lira duduk di meja belajarnya. Lampu kecil menyala temaram. Di hadapannya, sebuah kertas kosong dan pulpen biru yang ujungnya sudah patah. Ia mencoba menulis:


> “Ga, aku capek jadi bayangan. Aku ingin jadi cahaya, walau cuma sebentar.”




Tapi ia merobeknya. Lagi-lagi, tak jadi.

Sama seperti malam-malam sebelumnya, tulisan itu hanya berakhir di tempat sampah.

Bukan karena tak jujur. Tapi karena ia tak ingin merusak sesuatu yang bahkan tak pernah benar-benar utuh.


Lira bukan tipe yang meminta. Ia percaya, jika seseorang ingin tinggal, mereka akan tinggal. Tapi setiap hari, Arga makin jauh, meski langkahnya tetap berada di samping Lira.



---


Suatu hari, Arga datang ke rumah Lira sambil membawa gitar.


“Lihat, gue udah bisa main lagu yang Dira suka!” katanya bangga.


Lira mengangguk, pura-pura tertarik. Padahal dadanya kembali sesak. Ia batuk pelan, tapi tetap tersenyum.


“Kamu nggak pernah mainin lagu buat aku,” ucap Lira sambil tertawa kecil, seolah bercanda.


Arga mengernyit. “Lo mau? Tapi kan lo bukan tipe yang suka musik?”


Lira menggeleng. “Bukan soal musiknya, Ga. Tapi soal siapa yang nyanyiin.”


Kalimat itu menggantung di udara.

Arga tidak menanggapi. Ia hanya memainkan senar gitarnya lagi, seolah tak mengerti makna tersembunyi di balik kata-kata Lira.


Dan seperti biasa, Lira mengubur harapannya sendiri.



---


Malam itu, hujan turun deras. Lira berdiri di depan jendela kamarnya, memandangi butiran air yang menari di balik kaca.


Ia menutup matanya dan berkata pelan, seakan berdoa:


> “Kalau memang aku bukan tempat pulang, setidaknya biarkan aku jadi jalan pulang yang kamu lewati… meskipun kamu nggak pernah berhenti.”

---

Langit sore menggelap lebih cepat dari biasanya. Angin dari arah utara bertiup pelan, menyisakan dingin yang merambat masuk ke dalam jaket tipis Lira. Ia duduk di bangku panjang halaman belakang sekolah, bangku yang sudah mulai lapuk, di bawah pohon flamboyan yang sudah lama tak berbunga. Di sinilah ia dan Arga biasa duduk, berbagi cerita, atau sekadar diam, menikmati suara dunia yang kadang terlalu bising untuk hati yang lelah.


Hari ini, Arga tidak datang.


Sudah tiga hari berturut-turut, ia tidak melihat Arga di sekolah. Tak ada pesan, tak ada kabar. Lira sudah mencoba menghubungi, tapi hanya dibalas dengan tanda centang satu. Ia tahu, Arga sedang berjuang dengan dunianya sendiri. Dunia yang rumit. Rumah yang tak pernah benar-benar bisa disebut rumah. Ayah yang sering pulang dengan mata merah, dan suara bentakan yang masih terngiang-ngiang di kepala Arga.


Tapi tetap saja, ada sesuatu yang membuat hati Lira lebih gelisah dari biasanya.


Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan selembar foto polaroid kecil. Itu foto mereka berdua. Arga sedang tertawa, dan Lira hanya memandanginya sambil tersenyum. Ia ingat betul hari itu. Arga baru saja mendapat nilai bagus di ujian matematika—hal langka yang membuatnya sangat senang, dan Lira membelikannya es krim stroberi. Hari itu langit cerah dan angin berbau bunga. Hari itu, Arga memanggilnya "rumah".


Lira mengusap foto itu perlahan.


"Kalau aku nggak ada, kamu akan baik-baik aja kan, Ga?" bisiknya lirih.



---


Tiga hari kemudian, Arga datang.


Tidak sendiri. Bersama seorang perempuan baru. Rambutnya panjang, matanya lentik, dan cara dia menggandeng Arga seperti menandakan bahwa dia ingin semua orang tahu: ini milikku.


Lira melihatnya dari kejauhan. Ia tidak menangis. Tidak juga marah. Hanya diam. Seperti biasa.


Arga sempat meliriknya, hanya sekilas. Tapi cukup bagi Lira untuk tahu, ada hal yang ingin Arga katakan—yang tidak pernah terucap. Mungkin karena tidak penting, atau karena terlalu penting.


Ketika bel pulang berbunyi, Lira tidak langsung beranjak. Ia menunggu semua orang pergi lebih dulu. Lalu berjalan perlahan ke arah ruang musik. Ruangan itu sudah lama tidak terpakai. Tapi kuncinya selalu ada di balik papan pengumuman, seperti janji rahasia yang tidak pernah diucapkan.


Di dalam ruangan itu, Lira duduk di depan piano tua. Tangannya bergerak pelan menyusuri tuts-tuts yang berdebu. Ia mulai memainkan lagu yang dulu sering mereka nyanyikan bersama.


"Langit mungkin runtuh esok hari,

Tapi kamu,

Kamu tetap bisa tersenyum hari ini."


Suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam bunyi angin yang merayap masuk dari jendela kecil di pojok ruangan. Tapi bagi Lira, lagu itu adalah doa. Sebuah pengakuan. Yang tidak pernah akan ia ucapkan di hadapan Arga.



---


Lira semakin sering absen dari sekolah.


Kadang sehari, kadang dua. Kadang ia datang hanya untuk duduk di pojok perpustakaan, membaca buku tanpa betul-betul membacanya. Tubuhnya terlihat lebih kurus. Warna kulitnya memucat. Tapi ia tetap tersenyum jika ada yang menyapanya.


"Capek aja," katanya ringan setiap kali teman-temannya bertanya.


Suatu hari, Arga datang menghampiri. Tanpa pacarnya. Tanpa senyum. Ia hanya berdiri di depan Lira yang duduk di bawah pohon flamboyan.


"Kamu kenapa sih akhir-akhir ini?"


Lira menatap langit.


"Nggak kenapa-kenapa."


"Jangan bohong, Lir."


Ia hanya diam. Lalu berkata pelan, "Kamu bahagia, Ga?"


Arga mengerutkan kening. "Maksudnya?"


"Aku cuma pengen tahu… kalau aku nggak ada, kamu tetap bahagia, kan?"


Arga tertawa kecil, seperti menganggap itu candaan.


"Lira, kamu tuh aneh deh."


"Iya. Aku emang aneh," jawabnya sambil tersenyum.


Dan itu adalah terakhir kalinya mereka berbicara panjang.



---


Malam itu, Lira menulis surat.


Bukan surat cinta. Hanya surat biasa. Tapi berisi semua yang tak pernah bisa ia ucapkan. Tentang rasa yang diam-diam tumbuh. Tentang kecewa yang diam-diam menyakitkan. Tentang kebahagiaan yang hanya bisa ia lihat dari jauh.


"Arga, kamu nggak pernah sadar, tapi aku selalu ada. Bahkan saat kamu nggak melihatku. Bahkan saat kamu mencintai orang lain. Aku tetap di sini. Tapi mungkin sekarang, waktuku untuk pergi sudah dekat. Maaf kalau aku nggak pamit."


Ia melipat surat itu rapi dan meletakkannya di dalam buku catatan kecil berwarna biru, yang sampul depannya sudah mulai robek. Buku itu ia simpan di laci meja sekolah, laci yang selama ini hanya ia dan Arga yang tahu kuncinya.


Pagi itu, Lira tidak datang ke sekolah.


Dan hari-hari berikutnya, bangku di bawah pohon flamboyan tetap kosong. Tak ada lagi nyanyian pelan dari ruang musik. Tak ada lagi senyum tipis yang menyambut Arga dari kejauhan.


Yang tersisa hanya angin, dan satu nama yang diam.

---

Lira semakin jarang terlihat.


Bahkan Mira, adiknya, mulai jarang datang ke sekolah. Tak ada lagi kabar apa pun tentangnya. Arga sesekali berdiri di depan ruang kelas Lira yang kosong, hanya untuk memastikan kenyataan: dia benar-benar tak ada di sana.


Di rumah, Arga membuka kembali buku catatan lamanya. Halaman-halaman yang pernah dipenuhi coretan tangan Lira, puisi singkat yang ditulis saat mereka sedang bosan di kelas, dan kalimat-kalimat yang dulu ia anggap candaan belaka. Kini terasa seperti pesan terakhir yang tidak sempat ia baca dengan sungguh-sungguh.


Ia merasa aneh. Ada kehampaan yang tidak bisa dijelaskan. Kehampaan yang muncul bukan karena Lira sedang pergi, tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya… ia merasa ditinggalkan.


Dan ia tidak siap.


Mira akhirnya menghubunginya. “Kak Lira mau ketemu kamu. Tapi… mungkin ini terakhir kali.”


Kata-kata itu membuat Arga terdiam cukup lama. Jantungnya seperti diseret paksa untuk menghadapi kenyataan yang selama ini ia tolak. Ia datang ke rumah sakit malam itu juga.


Kamar bernomor 217.


Di dalamnya, Lira terbaring dengan selang infus di tangan. Wajahnya pucat, tapi senyumnya masih sama—lembut dan tenang, seakan tak ada yang berubah. Tapi bagi Arga, segalanya berubah.


“Maaf, aku lama nggak ngabarin,” kata Lira, suaranya serak.


Arga menarik kursi, duduk di sampingnya. Ia ingin bilang banyak hal, tapi semuanya hanya berkumpul di tenggorokan. Tak satu pun keluar.


Lira menatap langit-langit. “Dulu kamu pernah bilang… kamu bingung kenapa nggak pernah bisa nemuin orang yang benar-benar ngerti kamu.”


Arga mengangguk pelan.


“Aku pengen bilang… aku ngerti kamu. Dari dulu. Tapi aku sadar, ngerti doang nggak cukup buat bikin seseorang bertahan.”


Arga mengepalkan jemarinya. “Jangan ngomong kayak gitu…”


Lira tersenyum. “Aku nggak nyalahin kamu, Ga. Nggak pernah. Bahkan aku bahagia… bisa nemenin kamu sejauh ini.”


Air mata yang ditahan Arga akhirnya jatuh juga. “Kenapa kamu nggak pernah bilang? Kenapa kamu harus nunggu sampai segininya?”


Lira menatapnya. Matanya tidak berkaca-kaca, tapi penuh ketenangan.


“Soalnya kalau aku bilang, kamu bakal pergi. Dan kalau kamu pergi… aku nggak tahu harus pegangan ke siapa lagi.”


Arga menggenggam tangan Lira dengan kedua tangannya. “Aku bodoh. Aku terlalu sibuk nyari yang mirip ‘rumah’, sampai lupa… rumahnya udah dari dulu ada di samping gue.”


Lira menutup mata perlahan. “Aku capek, Ga…”


Arga mengangguk, suaranya hampir tak terdengar. “Istirahatlah. Aku di sini.”


Malam itu, Arga tidak pulang. Ia tertidur di samping ranjang, masih menggenggam tangan Lira yang dingin tapi masih hangat oleh sisa-sisa hidup.


Namun pagi datang seperti pencuri yang tak bisa dicegah.


Dan saat Arga terbangun, yang tersisa hanyalah tangan yang tak lagi menggenggam balik.



---


Satu minggu setelah kepergian Lira, sekolah kembali seperti biasa. Hanya Arga yang tidak kembali menjadi ‘biasa’. Ia datang suatu pagi, ke ruang kelas yang dulu mereka bagi. Ia membuka laci meja Lira dan menemukan satu buku catatan kecil berwarna biru.


Di halaman terakhir, tulisan tangan Lira yang sedikit goyah tertulis:


> “Kalau suatu hari aku nggak bisa lagi berdiri di sebelah kamu, aku harap kamu tetap bisa melangkah. Tapi tolong… jangan pernah lupa siapa yang selama ini diam-diam menyayangi kamu dengan sepenuh hati, bahkan tanpa pernah diminta.”





---


Tahun berlalu.


Arga duduk di bangku taman kecil di dekat sekolah lama mereka. Ia meletakkan bunga mawar putih di bawah pohon flamboyan yang kini berbunga lagi.


“Lira…” bisiknya.


“Sekarang aku ngerti. Cinta itu bukan soal seberapa sering kita diucapkan, tapi seberapa dalam kita diam-diam bertahan. Kamu… adalah satu nama yang diam, tapi tak pernah hilang dari hidupku.”


Ia tersenyum kecil, menatap langit yang mendung.


Dan untuk pertama kalinya, Arga menangis… bukan karena kehilangan.


Tapi karena akhirnya, ia benar-benar mengerti.



Selesai.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)