Masukan nama pengguna
Aku selalu percaya bahwa hidup punya caranya sendiri untuk memberi kejutan. Ada pertemuan yang terasa kebetulan, tapi ternyata jadi titik balik dalam hidup. Begitu juga saat aku bertemu dengannya—Arvan.
Hari itu aku hanya ingin menenangkan diri di sebuah kafe kecil di sudut kota. Tempatnya sederhana, tidak pernah terlalu ramai, dan itu yang kusukai. Aku duduk di dekat jendela, membuka buku catatan, mencoba menuliskan sesuatu yang entah apa. Pulpenku jatuh ke lantai, bergulir hingga kaki meja seberang.
Seorang laki-laki meraihnya lebih dulu. “Ini punyamu?” tanyanya sambil mengulurkan pulpen itu.
Aku mendongak. Rambutnya agak berantakan, wajahnya teduh, ada sorot mata yang hangat. Aku mengangguk singkat, menerima pulpen itu. Seharusnya selesai di situ, tapi kemudian ia bertanya, “Boleh duduk di sini? Kayaknya meja lain penuh.”
Aku melirik sekeliling. Nyatanya masih ada kursi kosong, tapi entah kenapa aku hanya mengangguk. Ia duduk, lalu memesan kopi hitam.
Awalnya kami diam. Aku pura-pura sibuk dengan catatan, sementara ia memainkan ponselnya. Tapi akhirnya ia membuka obrolan.
“Kamu suka nulis?” tanyanya sambil melirik bukuku.
Aku mengangguk ragu. “Cuma hobi. Nggak ada yang spesial.”
Dia tersenyum. “Aku nggak bisa nulis, tapi suka dengar orang cerita. Menurutku setiap orang punya kisah, cuma nggak semua pandai merangkai kata. Kamu beruntung bisa.”
Aku menatapnya sejenak. Ada ketulusan dalam suaranya. Bukan basa-basi. Seolah ia sungguh-sungguh peduli.
Namanya Arvan.
Sejak hari itu, pertemuan kami berlanjut. Entah kebetulan atau memang takdir, aku dan dia sering kembali ke kafe yang sama. Kadang aku lebih dulu tiba, kadang dia. Perlahan, tanpa kusadari, kami mulai membagi banyak hal.
Arvan bercerita tentang pekerjaannya yang tidak tetap, tentang kesukaannya pada musik lawas, tentang hobinya berjalan di taman saat malam. Aku pun bercerita tentang buku favoritku, tentang keluargaku, bahkan tentang hal-hal kecil yang biasanya kusimpan sendiri.
Ada sesuatu pada dirinya yang membuatku merasa aman. Dia tidak pernah menghakimi, hanya mendengarkan dengan sabar.
Suatu malam, kami duduk di bangku taman kota. Lampu jalan temaram, udara dingin menusuk, tapi aku merasa hangat.
“Aku jarang nyaman ngobrol sama orang,” katanya tiba-tiba. “Tapi sama kamu… aku bisa jadi diri sendiri.”
Aku terdiam, hatiku bergetar. Aku ingin mengatakan hal yang sama, tapi hanya tersenyum.
Malam itu aku pulang dengan hati yang penuh.
Hari-hari berikutnya, kedekatan kami semakin erat. Aku mulai terbiasa ada dia di sampingku. Bahkan ketika tidak bertemu, pesan singkatnya sudah cukup membuatku tersenyum seharian.
Namun, semakin dekat, semakin aku sadar ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang awalnya tidak kusadari.
Itu bermula ketika ia menanyakan hal sederhana.
“Sekar, kamu biasanya ibadah di mana?” tanyanya ketika kami pulang berjalan dari taman.
Aku menyebutkan tempat ibadahku, dan dia mengangguk pelan. Lalu dengan tenang ia menyebutkan tempat ibadahnya—yang berbeda.
Aku tertegun, meski mencoba menyembunyikannya dengan senyum. “Oh…” hanya itu yang keluar dari mulutku.
Ia menatapku sejenak. Ada sesuatu di matanya yang membuatku tidak bisa berpura-pura. Seperti ada jarak yang tiba-tiba tumbuh di antara kami.
Hari-hari setelah itu tetap berjalan, tapi aku mulai merasakan keganjilan. Setiap kali kami membicarakan masa depan, selalu ada jeda. Selalu ada ruang hening di antara kata-kata.
Aku pernah bercanda, “Kalau nanti kamu sukses, jangan lupa traktir aku, ya.”
Dia tertawa, tapi tawa itu hambar. “Iya, kalau nanti…” jawabnya pelan, seolah ada kalimat yang tidak ia ucapkan.
Aku mengerti maksudnya, meski ia tidak mengatakan. Perbedaan keyakinan itu seperti tembok besar. Kami bisa berlari bersama, tapi akan selalu ada dinding yang menghadang di ujung jalan.
Suatu sore, aku memberanikan diri membicarakannya. Kami duduk di kafe, sama seperti saat pertama bertemu.
“Arvan,” panggilku pelan.
“Hmm?” Ia menatapku sambil menyeruput kopi hitamnya.
“Kamu nggak pernah kepikiran, ya… tentang kita?”
Ia terdiam. Lama. Lalu meletakkan gelas kopi dengan perlahan. “Kepikiran, Sekar. Setiap hari. Tapi justru itu yang bikin aku takut.”
Aku menunduk.
“Aku sayang sama kamu,” katanya lirih. “Tapi kita nggak mungkin, kan? Kamu tahu sendiri kenapa.”
Dadaku serasa diremas. Aku ingin menyangkal, ingin berkata cinta bisa mengalahkan segalanya. Tapi kata-kata itu tertahan di ujung lidah.
Karena aku tahu, ini bukan soal kurang cinta. Ini soal keyakinan, soal keluarga, soal masa depan yang tak bisa dipaksa.
Air mataku menggenang, tapi kutahan sekuat tenaga. Aku hanya tersenyum tipis. “Iya, aku tahu.”
Malam itu aku pulang dengan hati hancur. Aku menangis sejadi-jadinya di kamar, memeluk bantal seakan itu bisa menggantikan dirinya.
Untuk pertama kalinya aku sadar, betapa kejamnya kenyataan. Bagaimana mungkin dua orang yang saling mencintai harus berpisah hanya karena dilahirkan dengan keyakinan berbeda?
Tapi begitulah adanya.
Hari-hari setelah percakapan itu terasa aneh. Aku dan Arvan masih bertemu, masih berbicara, masih tertawa bersama, tapi ada sesuatu yang hilang.
Ada jarak tak kasatmata yang tiba-tiba membentang.
Kami mencoba menutupinya dengan candaan, dengan obrolan ringan, dengan berjalan-jalan di taman seperti biasa. Namun setiap kali mata kami bertemu, aku tahu: kami sama-sama menyimpan luka.
Suatu malam, aku berdiri di balkon kamar. Udara Bandung dingin menusuk, bintang-bintang bersembunyi di balik awan tipis. Pikiranku penuh oleh Arvan.
Aku tahu aku jatuh cinta padanya. Bukan sekadar suka, bukan sekadar nyaman. Aku benar-benar mencintainya.
Tapi cinta itu seperti bunga yang tumbuh di tanah berbatu. Indah, tapi rapuh.
Ponselku bergetar. Pesan darinya.
“Kamu lagi apa?”
Aku mengetik cepat.
“Di balkon. Lagi mikirin sesuatu.”
Balasan datang hampir seketika.
“Tentang kita?”
Aku menggigit bibir. Jari-jariku gemetar.
“Iya…”
Lalu hening. Lama ia tidak membalas. Aku menatap layar ponsel berkali-kali, berharap ada notifikasi muncul. Dan akhirnya…
“Maaf ya, Sekar. Aku juga nggak berhenti mikirin kita.”
Air mataku jatuh. Aku memeluk ponsel seakan ia bisa merasakan betapa sakitnya aku.
Keesokan harinya, aku memutuskan menemuinya. Kami duduk di sebuah taman kecil, jauh dari keramaian. Daun-daun berguguran, angin bertiup pelan.
“Arvan,” kataku lirih, “kamu percaya nggak kalau cinta bisa ngalahin apa pun?”
Ia menatapku. Matanya lembut, tapi penuh keraguan. “Aku pengen percaya. Tapi kenyataannya… nggak segampang itu.”
“Aku tahu,” jawabku cepat, mencoba menahan getar suara. “Tapi aku juga nggak mau nyerah begitu aja. Kita kan bisa berjuang?”
Arvan menghela napas panjang. “Sekar, kamu tahu keluarga aku gimana. Kamu tahu lingkungan kita gimana. Cinta kita mungkin kuat, tapi dunia di luar sana lebih keras. Aku nggak mau kamu sengsara kalau terus sama aku.”
Aku tercekat. Kata “sengsara” itu menusuk.
“Jadi kamu nyerah?” tanyaku dengan suara parau.
Dia menunduk, menatap tanah. “Bukan nyerah… aku cuma nggak mau lihat kamu terluka karena aku.”
Aku menggenggam tangannya erat, seolah takut ia menghilang. “Kalau harus terluka, aku rela. Asal sama kamu.”
Dia menatapku, matanya berkaca-kaca. “Sekar… jangan bilang gitu.”
Tangannya gemetar di genggamanku. Aku tahu, dalam hatinya, dia sama hancurnya denganku.
Hari-hari selanjutnya menjadi perjuangan batin. Kami masih bertemu, tapi lebih sering diam. Setiap kata seakan tersangkut di tenggorokan.
Aku mulai terbiasa menahan tangis di tengah tawa. Terbiasa menyembunyikan luka di balik senyum.
Suatu sore, aku pulang dari kafe sendirian. Hujan turun deras, menempelkan dingin ke kulitku. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh, tapi aku membiarkan diriku basah kuyup.
Di dalam hati, aku berteriak: Kenapa harus begini?
Kenapa aku dipertemukan dengannya kalau akhirnya hanya untuk dipisahkan?
Arvan pun tak kalah tersiksa. Suatu malam, ia menemuiku dengan wajah letih.
“Aku nggak bisa tidur,” katanya. “Setiap malam aku mikirin kamu. Mikirin kita. Rasanya seperti ditarik dua arah. Aku pengen terus sama kamu, tapi aku juga takut bikin kamu menderita.”
Aku hanya bisa menatapnya. Wajahnya yang biasanya teduh kini penuh resah.
Aku mendekat, menggenggam tangannya. “Kalau memang takut, kita bisa jalani pelan-pelan. Kita nggak harus mikirin jauh dulu. Yang penting sekarang, kita bareng.”
Ia terdiam lama. Kemudian menggeleng lemah. “Kamu kuat, Sekar. Tapi aku? Aku nggak sekuat itu.”
Kalimat itu membuatku ingin menjerit. Ingin marah. Tapi aku hanya bisa menangis dalam hati.
Aku mulai menulis lagi di buku catatanku. Kali ini bukan fiksi, bukan puisi, tapi curahan hati.
Aku menulis tentang pertemuan kami, tentang tawa dan percakapan yang selalu membuatku lupa dunia. Tentang tatapan matanya yang selalu berhasil menenangkan badai di dadaku.
Tapi di halaman-halaman berikutnya, tintaku berubah menjadi air mata. Aku menulis tentang rasa sakit karena perbedaan yang tak bisa dijembatani. Tentang ketakutan kehilangan, tentang kerinduan yang mungkin tak pernah pulang.
Setiap kali selesai menulis, aku merasa sedikit lega. Tapi esoknya luka itu kembali berdarah.
Suatu hari, aku memutuskan mengajak Arvan berjalan lebih jauh, ke sebuah bukit kecil di pinggiran kota. Dari atas sana, kami bisa melihat pemandangan Bandung yang dipenuhi lampu-lampu malam.
Aku berdiri di sampingnya, angin malam meniup rambutku.
“Cantik, ya,” gumamku.
“Iya,” jawabnya singkat.
Aku meliriknya. Wajahnya tidak sedang menatap kota, tapi menatapku. Ada sesuatu di matanya—cinta, rindu, dan juga kesedihan.
“Sekar,” katanya pelan, “kalau suatu hari aku pergi… kamu bakal benci aku nggak?”
Pertanyaan itu menusukku. Aku menarik napas dalam.
“Kalau kamu pergi, aku bakal sakit. Tapi aku nggak akan benci. Karena aku tahu, kamu juga mencintai aku.”
Arvan menutup mata sejenak, seolah menahan air mata.
Malam itu kami duduk lama tanpa banyak bicara. Tapi aku tahu, kata-kata yang tak terucap justru lebih banyak daripada yang terucap.
Hari-hari setelahnya semakin berat. Aku bisa merasakan Arvan mulai menjauh sedikit demi sedikit. Ia masih mengirim pesan, tapi lebih singkat. Ia masih menemuiku, tapi lebih jarang.
Dan aku? Aku hanya bisa berpura-pura tidak peduli, padahal setiap jarak yang ia buat menusukku perlahan.
Sampai akhirnya, aku sadar: mungkin aku harus bersiap. Bersiap untuk kehilangan.
Hari itu hujan turun sejak pagi. Langit kelabu, udara lembap, dan jendela kamarku berembun. Seharusnya aku malas keluar, tapi ada pesan dari Arvan:
“Kita bisa ketemu sebentar sore ini? Aku perlu ngomong.”
Hanya satu kalimat, tapi cukup membuat jantungku berdegup kencang. Aku tahu, ini bukan pertemuan biasa.
Aku datang ke taman kecil tempat kami sering duduk. Taman itu sepi, hanya ada beberapa orang berteduh di bawah pohon. Bangku yang biasa kami tempati basah, tapi Arvan sudah duduk di sana, mengenakan jaket hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya.
Aku melangkah mendekat. Hujan masih menetes dari ranting pohon, membasahi rambutku.
“Arvan,” panggilku pelan.
Ia menoleh. Senyumnya tipis, tapi matanya sembab. Aku langsung tahu: ia sudah lama berperang dengan dirinya sendiri sebelum mengundangku kemari.
“Kamu baik-baik aja?” tanyaku, meski aku tahu jawabannya.
Dia menghela napas panjang, lalu menatapku lurus. “Sekar… aku nggak bisa lanjut kayak gini.”
Aku terdiam. Kata-kata itu menghantam dadaku lebih keras dari hujan yang jatuh di atas kepala.
“Apa maksud kamu?” suaraku bergetar.
“Aku nggak bisa terus deket sama kamu, sementara aku tahu ujungnya buntu. Aku nggak mau bikin kamu makin dalam, makin sakit. Aku—” suaranya pecah, “aku harus berhenti di sini.”
Aku menatapnya tanpa berkedip. Rasanya dunia berhenti berputar.
“Jadi kamu nyerah?” tanyaku dengan suara nyaris tak terdengar.
Dia menggigit bibir. Air matanya jatuh, meski cepat ia hapus dengan punggung tangan. “Aku bukan nyerah, Sekar. Aku cuma… memilih buat nggak bikin kamu sengsara di masa depan. Aku tahu, aku bukan jalan yang tepat buatmu.”
Aku ingin berteriak, ingin marah, ingin mengguncangnya dan bilang bahwa aku tidak peduli dengan masa depan, dengan apa pun, asalkan kami bersama. Tapi yang keluar dari mulutku hanyalah bisikan lirih:
“Arvan, aku cinta kamu…”
Dia menutup mata, menunduk, lalu berkata, “Aku juga cinta kamu. Lebih dari yang bisa aku ucapin. Tapi justru karena itu, aku harus pergi.”
Aku tidak bisa menahan air mataku. Hujan, tangis, semua bercampur. Aku meraih tangannya, menggenggam erat, seolah itu bisa mencegahnya menghilang.
“Jangan pergi,” pintaku, suaraku patah. “Kalau kamu pergi, aku nggak tahu harus gimana.”
Dia mengangkat wajahku dengan lembut. Jemarinya dingin, tapi hangat di hati. “Sekar, kamu kuat. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Kamu bisa hidup tanpa aku. Kamu bisa bahagia, meski bukan sama aku.”
Aku menggeleng keras. “Aku nggak mau bahagia sama orang lain. Aku cuma mau sama kamu.”
Dia tersenyum getir. “Kalau semua cuma soal mau, aku juga cuma mau sama kamu. Tapi kita nggak hidup di dunia yang sempurna, Sekar. Kita hidup di dunia yang penuh aturan, keyakinan, batasan. Dan kita nggak bisa pura-pura nggak tahu itu semua.”
Aku terisak, memeluknya erat-erat. Dia membalas pelukanku, sama kuatnya, sama putus asanya. Untuk beberapa menit, kami hanya berdiam, seakan ingin membekukan waktu.
Tapi waktu tetap berjalan. Dan akhirnya, dia melepaskan pelukanku perlahan.
“Sekar, izinkan aku pergi. Jangan benci aku, ya?”
Aku menatapnya dengan mata kabur. “Aku nggak akan pernah benci kamu. Tapi aku juga nggak akan pernah berhenti cinta sama kamu.”
Dia menunduk, mengecup keningku sekali, lalu berbalik. Langkahnya berat, tapi pasti.
Aku berdiri mematung, melihat punggungnya menjauh di antara hujan, sampai sosoknya hilang di balik kabut sore.
Dan saat itu, aku tahu: bagian dari diriku ikut pergi bersamanya.
Hari-hari setelah perpisahan itu adalah neraka kecil. Aku bangun setiap pagi dengan rasa hampa. Ponselku sepi. Tidak ada lagi pesan singkat yang menanyakan “lagi apa?”. Tidak ada lagi tawa bersamanya.
Aku mencoba menyibukkan diri. Menulis, bekerja, membaca. Tapi semua terasa kosong. Setiap kata yang kutulis, setiap halaman yang kubaca, hanya mengingatkanku padanya.
Di jalan, aku sering merasa seolah melihat punggungnya di kerumunan. Di kafe, aku menunggu suara langkahnya. Di taman, aku menatap bangku kosong dan merasa sesak.
Cinta itu masih ada, tapi orangnya sudah pergi.
Suatu malam, aku kembali menulis di buku catatanku. Tanganku gemetar, tapi aku memaksa.
Aku menulis:
“Arvan, kalau kamu baca ini suatu hari, ketahuilah aku nggak pernah menyesal ketemu kamu. Aku nggak pernah menyesal mencintaimu, meski akhirnya sakit. Karena aku lebih memilih sakit karena kehilangan, daripada tidak pernah mengenal cinta yang sebenar-benarnya.”
Air mataku menodai halaman itu. Tapi aku terus menulis.
“Aku nggak tahu apakah suatu hari kita bisa bertemu lagi, atau tidak. Tapi cintaku akan selalu ada. Diam, tersembunyi, tapi abadi. Rindu ini mungkin tidak akan pernah pulang, tapi aku akan menjaganya. Untuk selamanya.”
Aku menutup buku itu, memeluknya erat. Seolah dengan begitu, aku masih bisa memeluk kenangan kami.
Waktu berjalan. Luka itu perlahan berubah bentuk. Tidak lagi menganga, tapi meninggalkan bekas yang tidak akan pernah hilang.
Aku belajar menerima, meski tidak pernah benar-benar merelakan. Aku belajar tersenyum, meski di dalam hati masih ada ruang kosong.
Dan setiap kali hujan turun, setiap kali aku duduk sendirian di kafe, aku tahu: di suatu tempat, ada seorang laki-laki bernama Arvan yang pernah membuatku merasa utuh, meski akhirnya aku harus kehilangan.
Aku menutup mataku, membiarkan rindu itu mengalir. Rindu yang tidak akan pernah pulang.
Waktu memang tidak pernah berhenti. Meskipun hatiku seolah tertinggal di hari ketika Arvan memutuskan pergi, hari-hari tetap berjalan. Matahari tetap terbit, hujan tetap turun, dan orang-orang tetap sibuk dengan hidup mereka.
Aku pun akhirnya belajar: kehilangan bukan berarti dunia ikut runtuh. Dunia tetap berputar, hanya saja ada ruang kosong yang tidak bisa terisi.
Beberapa bulan berlalu sejak hari itu. Aku masih sering merindukannya. Masih sering berharap suatu pagi kutemukan pesan singkat darinya. Masih sering mengira suara langkah orang asing di belakangku adalah dirinya.
Namun, perlahan aku mulai menerima bahwa ia benar-benar sudah pergi.
Ada hari-hari ketika aku merasa baik-baik saja. Bisa tertawa bersama teman, bisa menulis tanpa menangis. Tapi ada pula malam-malam panjang ketika aku kembali menangis diam-diam, memeluk bantal, menahan sesak yang tak mau pergi.
Rindu itu masih ada. Tapi bentuknya berubah. Tidak lagi seperti luka yang menganga, melainkan seperti parut yang akan selalu menempel di kulit.
Suatu sore, aku kembali ke kafe kecil tempat kami pertama bertemu. Bangku dekat jendela itu masih ada, meja kayu itu masih sama. Aku duduk di sana, memesan teh hangat, lalu membuka catatan lamaku.
Di halaman pertama, masih ada coretan tanganku yang berantakan. Di halaman tengah, ada noda tinta bercampur air mata. Dan di halaman terakhir, ada kalimat yang pernah kutulis dengan gemetar:
“Rindu ini mungkin tidak akan pernah pulang, tapi aku akan menjaganya.”
Aku tersenyum getir membaca kata-kata itu. Sakitnya masih terasa, tapi ada juga kehangatan.
Karena meskipun akhirnya kami harus berpisah, Arvan telah memberiku sesuatu yang tak ternilai: pengalaman mencintai sepenuh hati.
Aku ingat, dulu aku selalu takut jatuh cinta. Takut dikhianati, takut ditinggalkan, takut terluka. Tapi bersamanya, aku belajar bahwa cinta bukan soal siapa yang bertahan paling lama, melainkan tentang keberanian untuk membuka hati.
Arvan mungkin sudah pergi, tapi aku tidak akan pernah melupakan cara ia menatapku, cara ia membuatku merasa aman, cara ia mendengarkan setiap ceritaku seolah aku adalah satu-satunya orang yang penting di dunia.
Kenangan itu akan selalu menemaniku, bahkan ketika ia tidak lagi di sisiku.
Kadang aku bertanya-tanya: bagaimana kabarnya sekarang? Apakah ia bahagia? Apakah ia pernah menyesali keputusannya?
Tapi kemudian aku sadar, aku tidak perlu tahu jawabannya. Yang penting, aku pernah menjadi bagian dari hidupnya. Dan ia pernah menjadi bagian dari hidupku.
Cinta kami mungkin tidak berhasil melawan perbedaan keyakinan, tapi cinta itu nyata. Dan bagi aku, itu sudah cukup.
Malam ini aku duduk di balkon lagi, sama seperti malam-malam dulu ketika kami masih sering bertukar pesan. Udara Bandung dingin, tapi hatiku tidak lagi sesepi dulu.
Aku membuka buku catatanku, menulis halaman baru:
“Arvan, aku tidak tahu apakah kita akan bertemu lagi atau tidak. Tapi jika suatu hari kita dipertemukan kembali, aku akan menyapamu dengan senyum. Bukan karena aku sudah melupakanmu, tapi karena aku telah berdamai dengan rasa sakit ini.
Terima kasih, karena pernah membuatku merasa dicintai. Terima kasih, karena pernah singgah di hatiku. Aku akan selalu mendoakanmu bahagia, meski tanpa aku.
Rindu ini tetap ada, tetap hidup. Tapi aku tidak lagi menunggu ia pulang. Aku belajar menerima bahwa tidak semua rindu ditakdirkan kembali.”
Aku menutup buku itu, menatap langit yang dipenuhi bintang samar.
Air mataku jatuh, tapi kali ini tidak sepedih dulu. Ada kelegaan, ada penerimaan.
Aku sadar, meski Arvan pergi, cintaku padanya tidak sia-sia. Karena dari rasa ini, aku belajar banyak hal: keberanian, keikhlasan, dan arti merelakan.
Dan mungkin… inilah cinta yang sebenarnya. Bukan hanya tentang memiliki, tapi juga tentang melepaskan dengan doa yang tulus.
Hidup akan terus berjalan. Aku akan bertemu orang-orang baru, menulis kisah-kisah baru, merasakan tawa dan tangis lain. Tapi di dalam hatiku, akan selalu ada satu ruang yang tidak akan pernah tergantikan. Ruang untuk Arvan.
Bukan sebagai penyesalan, bukan sebagai luka, tapi sebagai kenangan indah yang akan kujaga selamanya.
Karena meskipun ia tidak lagi bersamaku, ia pernah menjadi rumah bagi hatiku.
Dan itulah yang membuat rindu ini… meski tak pernah pulang, tetap layak disyukuri.