Masukan nama pengguna
"Maaf, umm, apa tadi? Kau menyampaikan sesuatu?"
Menelengkan kepalanya, sepasang mata kelabu pucat sang pangeran kini beradu pandang dengan sosok menawan yang menegurnya keluar dari lamunan.
Ada sedikit sirat terluka yang terbayang di paras jelita gadis tersebut, sekalipun Aldebaran luput memperhatikannya. Bukannya tanpa alasan, karena sebagaimana yang terlihat—dirinya memang sedang dirundung kegelisahan sedemikian rupa yang menyebabkan pikirannya seringkali mengembara keluar orbit.
"Yang Mulia Pangeran, kalau tak keberatan, bersediakah menghabiskan waktu bersama—"
"Aaaakh—SANZA!"
Bertepatan dengan ekor matanya yang menangkap siluet seseorang, segenap indra Aldebaran bereaksi. Untuk pertama kalinya sepanjang hari itu, kesadarannya yang sedari tadi tumpul dan rentan menguap sekonyong-konyong menjadi luar biasa tajam, terfokus pada satu target.
"Permisi, kita lanjutkan nanti, ya—"
Tanpa mengindahkan lebih lama, Aldebaran berderap pergi dengan tergesa. Meninggalkan tamunya yang kini mematung sendirian di paviliun istana.
Sekali lagi, walau tanpa kesengajaan, sang pangeran kembali gagal membaca situasi, sehingga luput memperhatikan rona wajah sang gadis—yang bahkan tak kuasa menyembunyikan semburat kekecewaan; cerminan akan hancurnya perasaan hati yang terabaikan.
Aldebaran, sementara itu, diuntungkan oleh tinggi badan serta jangkauan lebar kakinya, dalam waktu singkat telah berhasil menyusul keberadaan seorang gadis rupawan berambut panjang bergelombang berwarna aprikot gelap. Sang 'buronan' paling dicari—akar dari segala keluh kesah, resah, dan derita.
"Berhenti sekarang juga, Sanza! Atau kau akan menyesalinya!"
Sang gadis yang sebelumnya berkelit gesit menembus taman bunga istana dengan kelincahan kakinya, sontak terpaku tatkala suara kharismatik bernada tinggi itu mengultimatumnya, demikian tegas tak terbantahkan.
"Apa itu perintah?"
Menolak menunjukkan kelemahan hati, Sanzara bersikap defensif dan berdiri membelakangi. Di tengah indahnya bunga -bunga bertabur warna di sekeliling mereka, diiringi gemerisiknya semak dedaunan yang bergoyang oleh angin, sang gadis memasang postur tubuh tegap nan angkuh layaknya keanggunan sebatang mawar berduri.
"Anggaplah sesukamu. Kalau memang bisa menghentikan dirimu yang selalu berusaha melarikan diri, aku siap menurunkan perintah kapan saja. Bahkan—lebih. Jadi jangan mengujiku. Kau akan bicara ketika aku menginginkanmu bicara."
Sanzara merasakan nyalinya menciut tatkala mendapati perubahan aura dari pemuda yang dikenalnya selalu mengulas senyum jenaka dan bertutur kata halus dalam keseharian mereka. Ini pertama kalinya Sanzara menyaksikan sisi mengintimidasi Aldebaran, yang biasanya nyaris tak pernah menunjukkan pergolakan emosi di balik air mukanya yang tenang menghanyutkan...
Dan dikala itulah Sanzara tersadarkan: bahwa pemuda itu, tak peduli mau seberapa hangatnya dia tampak di permukaan, bagaimanapun juga tetaplah seorang putra mahkota dari sebuah dinasti kerajaan besar—yang dibentuk sedemikian rupa untuk menjadi seorang penguasa. Dan jelas naif rasanya jika mengira seseorang dengan latar belakang seluar biasa itu tak memiliki cakar serta taring yang disembunyikan.
Kendati, entah dikarenakan ego atau memang putus asa untuk sekedar mempertahankan sisa-sisa harga dirinya, Sanzara pun membalikkan tubuhnya dengan gusar, siap mengonfrontasi Aldebaran.
"Lantas apa, sekarang, Yang Mulia Pangeran Mahkota? Kau ingin menghakimi diriku juga seperti halnya seluruh dunia?"
Serta merta gadis itu menyalak seperti rubah yang terluka. Alih-alih bersikap submisif, dia memilih untuk menghadapi sang pangeran dengan keberanian yang berkobar bak lidah api; meski di saat bersamaan tetap tak kuasa menyembunyikan sirat takut bercampur takjub dari kerlingan matanya yang bersinar galak.
"—Ingin menuntut permintaan maaf atas kebohonganku? Untuk kemudian menjatuhkan hukuman dan membiarkanku mati terlupakan dalam pengasingan di suatu tempat antah berantah?"
"Haruskah aku berlutut memohon ampun agar setidaknya engkau sudi memberi keringanan tanpa harus melampiaskan kemarahanmu pada negeri kelahiranku yang kini sedang berdiri di ambang kehancuran?"
Dikuasai oleh luapan emosi, Sanzara menumpahkan segenap rasa frustasinya yang sepahit empedu. Sembari sekuat tenaga menjaga untuk tetap terlihat tegar, sekalipun suaranya getas dan tubuhnya menggeletar.
Selama jeda keheningan tak terukur, profil elok kedua insan yang bagai terlahir dari lukisan itu terlihat saling menautkan pandangan; sarat akan kerinduan bercampur sesal, yang masing-masing darinya memancarkan luka tersendiri.
"Untuk apa berbohong, Sanza? Mengapa di kala itu kau mengaku telah menyelamatkanku yang terombang-ambing di lautan?"
Tanpa terdengar menghakimi, Aldebaran memecah kebisuan dan bertanya dengan kelembutan suaranya yang biasa. Menatap lurus lawan bicaranya dengan sorot mata yang menembus hingga ke inti jiwa.
"...Aku hanyalah seorang putri dari sebuah kerajaan kecil. Sementara dirimu merupakan pewaris imperium paling kuat dan termasyhur yang pernah ada. Dengan mengambil hatimu dan beraliansi melalui jalinan pernikahan, aku melihatnya sebagai kesempatan untuk menyelamatkan kerajaanku yang sedang goyah akibat adanya invasi dari utara."
Menurunkan tatapannya, Sanzara kemudian melanjutkan dengan suara nyaris berbisik.
"...Dan segalanya hampir berjalan sesuai rencana... hingga gadis itu muncul—penyelamatmu yang sesungguhnya."
"Jadi kurasa tipu muslihatku telah terbongkar sekarang. Kau tak perlu memperjelasnya lebih jauh, Yang Mulia, karena aku tahu di matamu kini pastilah diriku tak lebih dari seorang penipu. Dibandingkan gadis itu... aku lebih menyerupai seorang tokoh antagonis dalam cerita hidupmu."
Bulir-bulir air mata menetes tanpa tertahankan di tengah kegetirannya. Sanzara tak pernah merasakan ketidakberdayaan yang sebegitu memilukan hingga saat itu. Terlebih ketika tersadarkan bahwa dia tak bisa melarikan diri lebih jauh, dan tengah menjalani detik-detik krusial dari momen yang paling ditakutkannya.
Tak sanggup mendengar kalimat selamat tinggal dari lelaki yang tanpa diperkirakannya akan menjadi seseorang yang teramat berharga di hatinya, dengan perasaan hancur Sanzara pun memutuskan untuk mengucapkannya terlebih dulu: salam perpisahan terakhir, diiringi permintaan maaf dan sebuah doa tulus untuk kebahagiaan Aldebaran...
"Baik. Kau selamatkanlah kerajaanmu. Dan aku akan menyelamatkan diriku sendiri."
Jawaban yang di luar dugaan itu segera disusul oleh sambaran lengan kokoh pada sekeliling pinggang sang gadis. Sanzara bahkan tak sempat merasa kaget karena di saat berikutnya dirinya telah melesak dalam pelukan dan ciuman penuh hasrat sang pangeran.
"Silakan jika kau ingin menyatakan diri sebagai tokoh antagonis dalam kisah hidupku. Itu tak mengubah kenyataan bahwa hatiku memilihmu."
✨~ Original story by Bronzeapple~ ✨