Flash
Disukai
1
Dilihat
4,527
Hyacinth
Romantis

"Ah, menikmati pemandangan laut malam?"

Diiringi gesekan lembut sepasang telapak kaki yang menjejak pasir, suara merdu seorang pemuda memecah keheningan.

Hyacinth, gadis jelita bergaun marigold yang disapa pemuda tersebut, tampak tengah duduk bertelanjang kaki di pesisir pantai dengan ekspresi muram. Perlahan, kilau matanya beralih dari pemandangan deburan ombak pada sosok ramping Pangeran Alistair yang berdiri tak jauh darinya.

"Boleh kutemani?"

Hyacinth tidak melarang maupun mengiyakan. Gadis itu hanya kembali mengarahkan tatapannya pada lautan lepas.

"Terimakasih."

Berucap sekenanya, Alistair merunduk dan menghenyakkan dirinya di sepetak hamparan pasir; mengambil posisi duduk ternyaman dengan sebelah lutut yang ditekuk guna menyangga lengannya.

Malam itu bulan purnama bersinar terang dengan eloknya. Membuat kegelapan tersibak oleh limpahan cahaya keperakan yang menerangi pesisir pantai hingga dinding-dinding istana yang berdiri kokoh di atas bukit karang.

Pendar-pendar sinar perak membingkai indah lukisan dari dua insan yang saling berdiam diri, selagi alam menyenandungkan irama naik turunnya deburan ombak yang saling bergulung dan terpecah.

"Hey, kenapa kau tidak nyatakan saja perasaanmu?"

Selewat kebisuan yang terasa berlangsung selamanya, Alistair kembali membuka suara.

"Memang pesta pernikahan kakakku hanya tinggal menghitung hari. Tapi... sekalipun terlambat dan tidak bisa mengubah keadaan, setidaknya kau takkan dihantui penyesalan terkait perasaanmu, bukan?"

Kepedihan menyayat hati Alistair selagi kalimat itu meluncur dari bibirnya; menyadari betapa hipokrit nasihat yang terdengar klise tersebut. Terutama karena berasal dari dirinya—seorang pengecut yang diam-diam memendam rasa terhadap gadis bergaun marigold itu, tanpa sanggup mengungkapkannya hingga detik ini...

"Yang Mulia, Pangeran Alistair."

"Ayolah—hanya ada kita berdua di sini. Jangan panggil namaku dengan embel-embel menyebalkan begitu."

"Percayakah dirimu akan keberadaan kaum bersirip dan berbuntut ikan yang mendiami suatu kerajaan bawah laut?"

Awalnya Alistair mengerjap bingung pada topik antah berantah yang menyeruak begitu saja, tapi bagaimanapun tetap menanggapi agar perbincangan mereka terus mengalir.

"Seperti... putri duyung? Kukira itu hanya legenda yang disebarluaskan oleh para pelaut dan bajak laut."

"Konon, ada seekor gadis duyung kecil yang menawarkan suara emasnya pada penyihir laut demi mendapatkan kaki dan bertemu dengan lelaki manusia yang mencuri hatinya..."

Sekonyong-konyong Hyacinth mulai melantunkan sebuah cerita dengan nada semu.

"Sang penyihir laut, yang bersimpati pada duyung kecil tersebut, tahu betapa berharganya 'suara' bagi kaum mereka, yang tak ubahnya simbol akan kehormatan diri."

"'Kau pasti begitu mencintai lelaki manusia itu sampai rela menukarkan suara indahmu demi sepasang kaki. Tapi bagaimana caramu berkomunikasi dengannya nanti? Terlebih, jika sampai terjebak dalam kondisi membahayakan, kau pun akan kesulitan membela diri,' demikian sang penyihir laut mewanti-wanti."

"Jadi, alih-alih suara, dia justru menawarkan ganti pembayarannya dengan sesuatu yang sekiranya sama berharga—yakni amulet bertahtakan mutiara yang berasal dari tetesan air mata duyung. Amulet ini terhitung langka, karena kaum duyung bukanlah makhluk yang mampu menangis di berbagai macam kondisi layaknya manusia."

"Syukurnya, karena si gadis duyung kecil berasal dari keluarga kerajaan, dia tak sebegitu kesulitan mendapatkan amulet tersebut. Hingga akhirnya keinginannya untuk memiliki kaki dan bertemu pujaan hatinya pun terkabul..."

Keheningan menyusul setelahnya. Akhir dari nada kalimat Hyacinth terdengar menggantung, namun karena Alistair tak mendengar gadis itu mengucapkan apa pun lagi, dia lantas berdehem dan menarik kesimpulan.

"Oh, syukurlah... jadi putri duyung kecil itu berhasil bersatu dengan kekasihnya dan mereka hidup bahagia selamanya, kan?"

"Salah."

Tak disangka jawaban Hyacinth tercetus singkat dan dingin.

"Tatkala si duyung kecil mencapai daratan, segalanya telah terlambat. Lelaki yang diidamkannya nyatanya telah jatuh cinta pada wanita lain. Patah hati dan kehilangan arah, si duyung kecil yang bodoh pun tak memiliki pilihan selain kembali pulang ke lautan, karena terkecuali berhasil mendapatkan balasan cinta dan menikahi lelaki pujaannya, dia tak bisa mempertahankan kakinya untuk hidup di daratan."

"Hanya saja—pengorbanan yang besar dibutuhkan untuk memutus tali perjanjian yang terlanjur mengikat..."

Alistair menunggu ketika jeda suram yang panjang kembali terjadi.

"Konon, apabila ingin kembali ke wujud aslinya sebagai duyung, dia diharuskan menikam dan mengoyak jantung manusia yang dicintainya, sebelum kemudian mempersembahkannya pada dewa laut tepat ketika malam bulan purnama bersinar penuh di pergantian musim selanjutnya."

"Karena jika sampai batas waktu yang ditentukan dia gagal menikahi atau membunuh manusia tersebut...maka sang duyung akan musnah—dan menjadi buih di lautan..."

Di penghujung cerita, Hyacinth seketika bangkit dari duduknya, kemudian mulai berjalan bertelanjang kaki menuju lautan lepas.

Bagai adegan terdistorsi dalam mimpi, dengan momentum di luar nalar, entah bagaimana Alistair menyaksikan Hyacinth yang kini telah berdiri dengan separuh badan terbenam di tengah gelapnya gelombang air laut.

"HYACINTH! APA YANG KAU LAKUKAN!"

Mati-matian mengejar, dalam kepanikannya yang berulang kali terhantam ombak serta didera tekanan air yang memberati setiap gerakannya, susah payah Alistair berusaha menggapai gadis itu.

"...Kendati, engkau benar, Yang Mulia. Walau terlambat menyadari perasaanku sendiri, tak seharusnya aku menyisakan penyesalan di sekelumit waktu penghabisan yang kumiliki—"

"Ketahuilah, sekalipun di awal aku begitu terobsesi pada kakakmu, namun engkaulah yang pada akhirnya meluluhkan hatiku seutuhnya..."

Basah kuyup dan tersengal, Alistair terbelalak mendengar pernyataan yang mengalun lirih dari si gadis jelita bergaun marigold yang kini menatapnya dengan senyuman sendu.

"Sekalipun perasaan ini tak berbalas, tapi kumohon, jangan lupakan aku, wahai pangeranku tercinta..."

Bagai tersihir, Alistair yang tertegun-tegun serta merta menerima sebilah belati bergagang kerang berulir yang ditempatkan Hyacinth pada genggamannya.

"Selamat tinggal... Alistair."

Terbebas dari fase kebekuan, refleks Alistair mengayunkan lengan dalam upaya merengkuh gadis itu. Sekalipun, di saat berikutnya, yang berhasil ditangkapnya hanyalah udara kosong.

Sementara tepat di tempat sosok Hyacinth sebelumnya berada, di bawah sorotan cahaya bulan purnama, serakan indah gelembung-gelembung keemasan tampak terapung, meletup lembut, menghiasi permukaan laut yang bergoyang.

✨~ Original story by Bronzeapple~

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)