Cerpen
Disukai
1
Dilihat
5,364
Sang Penulis
Thriller

 “Entahlah. Bagaimana menjelaskannya. Ini aneh, tak biasa, lumrah tak lumrah. Akrab sekaligus asing. Jauh sekaligus dekat. Seolah aku punya dua kehidupan.”

“Paralel?”

“Hm, mirip itu mungkin.”

Itulah awalnya kedekatan kami dimulai.

***

“Bagaimana. Apa mimpimu kali ini?” Aku mendengus napas kesal.

“Pesankan dulu minumku.” Kadang-kadang, aku benci perlakuannya. Koleris, seolah dia punya kendali.

“Oh iya, tentu saja.” Dia mengangguk-angguk, lalu memanggil pelayan.

“Kau terlihat lebih segar hari ini.” Aku berbasa-basi.

Dia meletakkan smartphone canggihnya di meja, menyalakan perekam. Aku juga melakukan hal yang sama. Pelayan kafe mengantarkan minuman teh dingin dan porsi ayam goreng krispi, makanan kesukaanku.

“Perjalanan-perjalanan yang melelahkan.

Rumah-rumah yang kusinggahi tetapi asing, orang-orang yang juga asing, tapi begitu intim.” Aku memulai ceritaku.

“Tidak seperti warna mimpi yang selalu hitam putih atau monokrom. Aku juga melihat bunga warna ungu yang lembut. Ibuku mengambilnya, mengatakan untuk warna gaunku. Tetapi aku tak suka warna ungu muda itu. Aku lebih suka warna pink seperti bunga plum. Kucampakkan bunga-bunga itu saat sebuah kereta kuda Londo ...”

“Belanda?” Sinta mengernyit.

“Iya. Bukan Delman. Kereta kuda orang Belanda.”

“Memang kamu pernah lihat kereta kuda orang Belanda?”

“Dalam mimpi kami menyebutnya demikian. Bahwa itu kereta kuda orang Belanda.”

“Kami?”

“Ya. Aku dan teman-teman.”

“Teman-teman?”

Aku menghela napas kesal lagi.

“Kau banyak tanya. Menjengkelkan!” dengusku cemberut.

“Maaf. Ayo kita lanjut.”

“Kami bersembunyi. Tetapi, mereka tahu tempat persembunyian kami. Aku segera kabur lagi. Kakiku terasa berat. Rasanya ingin menangis. Tiba-tiba ada orang yang menarikku untuk bersembunyi di balik pohon. Warna bunganya pink. Orang itu terus memelukku.”

Aku tersenyum membayangkan itu.

“Kadang-kadang mimpi itu membuatku tak suka untuk terjaga lebih dini. Kebahagiaan-kebahagiaan kecilnya menggetarkan, begitu memesona. Aku juga begitu menyukainya. Lebih menyukainya dari apapun.”

“Mungkinkah, kau memang reinkarnasi dari kehidupan sebelumnya?”

“Entahlah. Aku tak tahu.” Aku mengunyah ayam krispiku.

“Tema bagus untuk tulisan kita. Reinkarnasi. Aku akan memakai tema itu. Cerita ini akan menarik.”

Kami bertatapan beberapa saat. Terserahlah, sahutku dalam hati. Tugasku hanya menceritakan mimpi-mimpi. Dia membuatnya menjadi tulisan.

“Baiklah, kita akan bertemu lagi minggu depan.”

***

Namanya Sinta Dewi, penulis ‘lumayan’ terkenal. Telah punya dua belas novel, tetapi sedikit yang tahu dia miskin ide. Beberapa kali terlibat kasus pencurian ide, dan karya lainnya dituding plagiarisme.

Seorang penulis tak bernama, menuding salah satu novel Sinta yang tentang psikopat, mencontek beberapa part awal tulisannya dari sebuah platform. Kasus itu aku baca hanya dari klarifikasi-klarifikasi Sinta, dan pembenaran-pembenaran yang dilakukan pendukungnya di grup penggemar sebuah media sosial. Padahal sudah rahasia umum, beberapa bukunya juga mirip banyak drama. Bahkan pernah ada komentar, kalau cerita di novelnya sangat mirip dengan satu film.

Hanya, betapapun dia memasang wajah malaikat dan para penggemar membelanya demikian rupa, tidak menghilangkan noda pada namanya yang telah ‘sedikit’ cacat itu. Aku datang menawarkan ide segar tentang segala macam mimpi. Setenang apapun seseorang, saat panik dan terguncang, pasti tidak berfikir panjang. Berpura-pura menjadi penggemarnya, mengkritik sekaligus menyanjungnya. Lalu menjadi sahabatnya.

Ketika dia telah bergantung, aku menghapus sebagian sikap manisku. Penulis ‘lumayan’ terkenal itu suka berlaku the have, merasa lebih tinggi dari orang lain. Hanya membalas komentar orang yang memuja-mujinya. Pernah sih, dia membalas komentar orang yang menyudutkannya, mengkritik bahwa karyanya dari mencontek film Korea. Yah, dia mesti muncul untuk membantahnya kalau tidak mau kian kehilangan citra dirinya.

“Ini rekaman kita terakhir. Nanti aku kabarin kalau naskah sudah siap. Kita akan bikin perjanjian, royalti bla bla ...”

“Iya terserah kamulah.” Kami menyalakan perekam, aku memulai ceritaku.

“Sekali ini aku bermimpi tentang perempuan yang bernama Diandra. Menyaksikan pembunuhan Diandra di ranjangku. Pembunuhan tanpa sang pembunuh. Pembunuhan perempuan tercantik. Diiringi seperti soundtrack lagu yang sedang terkenal. Ra Dewi.”

“Radewi?”

“Ra-Dewi,” ralatku “suara penyanyinya parau tetapi bagus. Lagu itu terdengar sedih! Diandra yang meninggal itu menghantuiku. Kemudian seperti terdengar tidur adikku yang gelisah, tapi aku tak bisa bangun. Menutupi wajah dan membaca semua ayat yang kuhafal. Aku terbangun. Masih terdengar tidur adikku yang gelisah. Ketika melihat jam di dinding, pukul dua dini hari.”

“Siapa Diandra? Ra Dewi?” tanyanya.

“Entahlah. Begitulah mereka disebut dalam mimpiku.”

“Diandra. Nama itu mirip dengan nama kamu ya. Diara.” Dia seperti berguman. Kami bertatapan, beberapa saat pandangan kami bertemu.

Sinta membuka sebuah notes ukuran sedang berwarna hitam. Menulis beberapa catatan. Berfikir sejenak, memperhatikan catatannya. Lalu tersenyum.

“Bagus sekali, ini akan jadi novel yang bagus. Aku akan membuatnya best seller.” Dia masih tersenyum dengan semringah. Mengangguk-angguk beberapa kali. Aku diam saja melihat kelakuannya.

“Kita akan bertemu lagi, saat aku menyelesaikan novelnya.”

“Kita bertemu sebelum kamu menyerahkan naskahnya ke penerbit. Aku mau baca dulu draftnya,” kataku.

“Baiklah. Kamu berhak membacanya terlebih dulu.”

“Semoga kau bisa menepati janjimu. Ingat, sebelum ke penerbit manapun. Ini tetap proyek rahasia kita. Sebelum rilis dalam bentuk novel.”

Dia tercenung sejenak, seperti keberatan dengan permintaanku.

“Tentu saja kau harus.” Aku tersenyum tipis. “jika tidak, aku akan mengumumkan rekaman-rekaman itu. Bahwa penulis terkenal, Sinta Dewi itu hanya seorang plagiat. Oh ya, bukannya novel-novelmu sebelumnya juga mencontek sana sini.” Dasar penulis miskin ide, makiku dalam hati.

Mata Sinta menatapku tajam, jelas sekali dia tak suka. Aku tak perduli. Orang yang tengah ketakutan atau panik, memang mesti diancam, agar dia tak bisa berfikir jernih.

“Baiklah, sesuai yang kau inginkan. Tetapi aku tak suka diancam. Jangan mengira aku terlalu suka dengan kerjasama kita. Kalau tidak terlanjur mengumumkan akan mengeluarkan novel terbaru. Aku lebih suka memutuskan untuk tidak meneruskan proyek ini. Asal kau tahu, setelah proyek ini. Kita tidak punya hubungan apa-apa lagi. Persahabatan dari literasi hanya kedok,” katanya dengan setengah geram.

“Oke. Tentu.”

Sekarang, sepertinya dia yang sangat membenci. Aku hanya tertawa dalam hati. Aku memang bukan seorang sahabat, Sinta. Sayangnya mungkin kau tak akan pernah mengetahui itu.

***

Mobil berwarna putih melintasi kafe, tempat kami biasa bertemu. Mobil Sinta. Aku tengah mengirim pesan teks kepada seseorang, ketika Sinta menghampiri dan mengeluarkan laptopnya, disodornya padaku. Perempuan cantik itu memanggil pelayan kafe untuk memesan makanan.

Oh baguslah Sinta belum mengirimkan naskah kami ke penerbit manapun, dia menepati janjinya.

“Bagaimana, kau menyukainya?” tanyanya.

“Perempuan dari masalalu,” gumanku.

“Kenapa? Kau punya usulan lain untuk judulnya. Itu agak pop, dan sesuai dengan trend sekarang.”

“Tidak. Judul yang bagus.” Aku mengopy draft novel itu ke flashdisk yang kubawa.

“Kukira kau akan membaca di sini, dan mengoreksinya.” Sinta sepertinya kurang menyukai aku mengopy naskahnya.

“Tidak. Aku percaya sama kamu. Sekilas, ceritanya sudah sangat bagus, diluar ekspetasi. Tak percuma kau menjadi penulis terkenal.”

Sinta Dewi memang hebat, dia cerdas, cerita mimpi-mimpi karanganku itu bisa menjadi novel luarbiasa yang berlatar sejarah, hingga seolah-olah itu adalah cerita nyata, dia pasti sangat kerja keras merampungkan novel ini. Setelah bicara segala sesuatunya, selanjutnya kami sepakat hanya bicara lewat email atau chat WhatsApp.

“Baiklah kalau begitu. Berarti ini pertemuan kita yang terakhir ya.” Sinta berkemas. Sepertinya dia lega, tak akan bertemu lagi denganku.

Kita memang tidak akan ketemu lagi, Sinta. Dengusku dalam hati.

***

‘Diandra, Penulis Ra Dewi Yang Sangat Sukses Tahun Ini’

Hatiku gegap gempita membaca artikel yang ditulis dalam sebuah portal online. Penulis tanpa nama itu, sekarang telah menjadi penulis novel best seller.

Beberapa nama dari grup literasi, teman-teman Sinta dan pemuja Sinta terpaksa melihatku sekarang. Aku melampaui semua penjualan mereka. Mereka yang seolah mempunyai dunia, tanpa tahu, dendam seseorang juga bisa mengubah dunia.

Penulis tak bernama. Datang ke kota penulis terkenal, memperkenalkan diri sebagai penggemar. Merecokinya tentang semua omong kosong mimpi, paralel, dan reinkarnasi. Kesalahan manusia yang menyukai pemujaan, percaya begitu saja pada orang yang mau menjilat kepadanya.

Aku menekan pencarian di google dan mengetik SINTA DEWI. Tidak ada yang berubah. Masih sama seperti setahun lalu.

‘Sinta Dewi: Penulis perempuan terkenal, mengalami kecelakan tragis’

Beberapa foto menyertai berbagai judul artikel tersebut, memperlihatkan sebuah mobil terbakar.

--End--


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)