Masukan nama pengguna
Dulu. Aku sering melihat gambar-gambar yang indah pada buku cerita, telenovela ataupun mendengar dari orang-orang yang suka mendongeng.
Sejak itu, aku suka bermimpi. Ingin begitu, bermain, berperahu waktu petang. Mandi cahaya emas matahari. Berenang dan menyelam. Lalu kepalaku muncul dengan cantiknya. Seorang pemuda akan melihatku.
***
Ketika itu kami juga sering menyaksikan pelangi turun, menyentuh sungai atau hilang di balik bukit. Dan kami punya sebuah rencana besar. Rencana ingin bertemu bidadar. Ikut ke kayangan, melihat istana langit seperti dongeng-dongeng yang pernah kubaca. Menjadi secantik Dayang Torek[1] yang digilai sang pangeran.
Pelangi biasa muncul saat hujan panas. Itu celakanya, hujan panas merupakan bala bagi orang dusun seperti kami. Bisa menyebabkan demam tinggi dan cerita-cerita menakutkan lainnya.
Cerita-cerita mengerikan seperti turunnya harimau atau berkeliarnya risau[2]. Menakutkan sih. Hanya, godaan melihat bidadari, mengalahkan rasa takut itu, apalagi di tambah hasutan kawan-kawanku. Kami juga punya mantra mengakali kejadian buruk disertai menyelipkan rumput ditelinga.
“Denganku selipkan rumput ini ke telinge, maka bebaskanlah aku dari bala dan sakit demam, seperti rumput ini yang tahan segale.[3]”
***
Sore yang tak pernah kulupakan itu. Kami berjingkrakan, berlari menembus hujan panas. Gegap gempita menuruni undak-undak tangga menuju jeramba gantung, tak sabar melihat ujung pelangi.
Di tengah jeramba yang terguncang kaki-kaki kecil kami, seorang laki-laki muda menoleh, terkejut melihat kami. Kami lebih terkejut lagi, dia pasti orang asing, wajahnya saja baru sekali ini kami lihat. Lagipula tak ada rumput di telinganya. Orang kampung seperti kami sangat percaya khasiat rumput itu, jadi jangan remehkan kebiasaan itu.
Kami berhenti sejenak, memandangnya dengan keheranan, ia membalas tatapan kami, di bibirnya ada senyum. Otak kecilku yang telah di penuhi drama-drama orang-orang dewasa a.k.a telenovela, mengetahui kalo laki-laki itu tampan. Wajahnya yang basah karena hujan, seperti bunga-bunga berembun pagi hari.
“Mau kemana adik-adik?” sapanya. Kami berbisik-bisik curiga.
“Jangan-jangan Mak Umai[4],” kata Ira.
“Ah, mana mungkin, seganteng itu,” sangkalku spontan.
Mak Umai dalah harimau jejadian, atau siluman harimau. Mak Umai bisa menyerupai siapa saja, seringnnya menyerupai ibu maka itu disebut Mak (ibu). Bedanya dengan manusia, Mak Umai tak punya lekukan antara bibir dan hidung.
“Weei, Nina ‘lah tau bujang ganteng,” kata Ira lagi. Aku tak menggubris Ira. Aku tetap fokus pada laki-laki muda itu.
“Mau tengok bidadari,” kataku. Dia memandangku dan terlongong.
“Bidadari ...” sahutnya keheranan.
“Hus malu-maluin saja!” salah seorang, Ita namanya, ayuknya Ira, menarik tanganku untuk segera berlalu.
“Nanti kita dianggap tak waras.”
Ita memang paling besar di antara kami, jadi ia lebih banyak mengerti mana yang lebih pantas dikatakan dan mana yang tidak. Panutan kami, sampai bertahun-tahun kemudian ia tetap panutan kami. Orang yang juga paling bersikeras dengan rencana besar ini.
Aku menoleh kebelakang lagi. Laki-laki muda itu masih menatap kami, masih dengan senyum.
Deg.
Ada yang aneh. Tapi tak tahu apa, hatiku berdebar, debaran yang sama saat mengingat telenovela ‘Nona Missi’ yang romantis. Tapi, sebentar kemudian aku telah dipenuhi euforia pelangi. Jadi tak menghiraukan debaran itu.
Kami kecewa, tak menemukan ujung pelangi di tempat yang diduga, pelangi seolah hilang di balik pepohonan atau kaki bukit.
Masgul kami memandang warna sungai yang memutih tertimpa hujan. Saat hujan begitu, biasanya air sungai meluap dan pasang tiba-tiba.
Aku menoleh lagi ke arah jeramba, laki-laki muda itu sudah tak ada. Apakah benar kata Ira, dia sejenis Mak Umai. Bertahun-tahun kemudian aku baru merasa heran, sedang apa dia di sana ketika hujan. Sepi dan sendirian.
Hari itu. Tanpaku sadari, telah dimulai hidupku yang abnormal.
***
“Lekaslah, kau harus cepat berhias!” seorang perempuan, cantik sekali dengan baju kurung dan songket merah menyambutku di depan pintu rumah panggung itu.
“Kau telah lama ditunggu.”
“Tidak,” bantahku “aku harus menemukan jodohku, agar aku tidak lagi dikejar pengawal-pengawal Ginde[5] itu.”
Sepertinya, aku dipaksa menikah dengan seorang kepala desa yang tua, istrinya banyak dan kaya raya, dia menyerupai raja, baginda, ginde bahasa kami.
“Dia telah menunggumu.” Perempuan itu menunjuk kesatu arah. Aku mengikuti arah telunjuknya. Sebuah kursi megah yang terlihat seperti pelaminan, ada seseorang di situ.
“Hai, kenapa lama sekali.” Orang itu tersenyum. Laki-laki tampan yang memakai baju kurung seperti bangsawan melayu berwarna putih.
Aku berusaha melihat wajahnya, dari cahaya yang remang-remang matahari yang menembus sedikit rumah panggung itu. Yang aku ingat hanyalah wajahnya bersinar dengan senyum mengembang. Tapi aku tak bisa memetakan wajah itu dalam ingatanku setelahnya.
“Kenapa kau dekil sekali, apa kau terlalu lama berlari?” kata lelaki itu. Sebelum akhirnya aku terbangun. Mimpi yang kujadikan tonggak sejarah dalam semua kisahku, mimpi yang juga membuatku kesal, karena tak berhasil mengingat wajahnya.
Kepada Ira, satu-satunya teman yang aku berani menceritakan hal itu, aku mengatakan dia mirip laki-laki di jeramba yang pernah kami lihat waktu kecil.
***
“Kamu percaya, dia jodohmu?” tanyanya suatu hari, sangsi. Kami berdua berada di jeramba yang sama, tempat lelaki muda itu pernah berdiri. Matahari bergulir menguning. Aku mengangguk.
“Bangunlah Na. Kalaupun benar ia jodohmu, kamu tak mesti harus menanti atau mencari dia.”
Aku diam saja.
“Kita telah ditakdirkan dengan 41 jodoh[6]. Lelaki itu mungkin hanya urutan ke empat satu. Kamu bisa menemukan empat puluh lainnya!”
“Aku tak pernah bisa Ra, aku pernah mencobanya.”
“Bukan tak bisa. Tapi tak mau.”
“Aku tak pernah merasa debaran seperti itu lagi.”
“Dia tak pernah berjanji padamu. Dia bahkan tak pernah tahu, kamu merindunya.”
“Kami terikat Ra.”
“Bahkan kau juga tak tahu namanya.”
“Ra! Tapi mimpi itu,” desisku lemah, aku masih butuh pendukung yang memercayaiku.
“Baik. Tentang mimpi. Kamu jatuh cinta saat kamu tak tahu artinya mencintai. Bisa jadi ia memang cinta pertama kamu. Tapi itu juga bisa berarti bukan bagian dari takdirmu. Mimpi itu terjadi, dari rasa yang mengendap alam bawah sadarmu dan muncul kepermukaan saat kau mengenali itu sebagai cinta. Itu logikanya.”
Ira memandangku dan merasa seolah-seolah itulah kebenarannya. Dia bergegas, jeramba bergoyang sejenak saat dia melangkah. Aku tetap diam dengan posisi semula, memandang sungai yang sebentar lagi gelap.
“Sebentar lagi Maghrib. Kamu tak mau bermalam di sini kan?”
“Aku sebentar lagi,” ucapku sambil menahan airmata.
“Jangan lupa, Menjadi pendamping untuk Ranti, sekali ini kau harus mau mencuri salah satu lipstiknya atau bunga mawarnya.” Ranti adalah adik bungsungnya, beda sepuluh tahun usianya denganku.
Semua orang menganggap aku begitu menyedihkan dengan status perawan tua, mencuri salah satu make-up pengantin atau bunga pengantin dipercaya untuk seorang gadis agar cepat menikah. Klaim yang kadang-kadang menyulut emosiku dan rasa percaya diriku pada titik terendah.
***
“Tak inginkah kau, Nak. Membuat Umak[7] bahagia sebelum Umak meninggal,” katanya selalu.Wajah itu terlihat begitu tua, begitu lelah.
Dalam banyak hari saat kami membantu perhelatan pernikahan sepupuku, adik ipar abangku, anak sepupuku, kerabat lainnya lagi, selalu merasa moment itu menjadi hal yang menyedihkan untuk kami. Selain sindiran-sindiran, aku dan Ibu selalu berfikir sama, apa aku akan bahagia, apakah akan merasa senang ketika memilih bahan baju pengantin, seragam pengantin dan lain sebagainya.
Kenapa aku tak bisa sederhana saja seperti Ita, Ira, Ranti dan lainnya, yang ketika waktunya sampai, mereka telah melalui kelahiran perempuan kedua[8] itu.
Kenapa aku tak seperti mereka saja, tanpa mesti mikir banyak hal, cinta, perasaan, bahagia dan tetek bengek yang selalu kujadikan alasan.
Selama belasan tahun, aku mencari lelaki yang pernah kami temui di jeramba. Aku bahkan juga mencari perempuan menyambutku di rumah panggung dalam mimpi itu. Konyolnya, mengira dia yang akan mempertemukaku dengan si lelaki yang aku cari.
Sayangnya, ini bukan dongeng, bukan legenda, bukan cerita rakyat, ini dunia nyata. Aku merasa sangat naif mengira hidupku akan sedrama-korea itu.
“Bangunlah, Na," kata Ira terngiang.
“Baik, tentang mimpi. Kamu jatuh cinta saat kamu nggak tahu artinya mencintai. Bisa jadi ia memang cinta pertama kamu. Tapi itu juga bisa berarti bukan bagian dari takdirmu. Mimpi itu terjadi dari rasa yang mengendap alam bawah sadarmu dan muncul ke permukaan, saat kau mengenali itu sebagai cinta. Itu logikanya.”
Aku menangis, tersedu-sedan.
Setelah puas, aku memandang jeramba itu dari tempatku, bertahun-tahunpun, senyum dan tatapannya masih sempurna terpeta di benakku.
Tapi aku telah berjanji pada Ibu, aku akan membuka hatiku. Aku tak akan menunggu laki-laki hujan itu, aku tak akan ke jeramba itu lagi.
--End--
[1] Putri legenda rakyat di Lubuklinggau.
[2] Bromocorah, penjahat kampung.
[3] Mantra sebelum menyelipkan rumput ke telinga, di terjenahkan bebas oleh pen.
[4] Sebutan untuk siluman Harimau/Harimua jejadian yang suka menyerupai manusia terutama Ibu kandung. Anak-anak kecil pada zamannya dilarang meratap-ratap memanggil ibu yang sedang pergi, ada kejadian anak yang meratap tadi akan didatangi Mak Umai.
[5] Kepala kampung/desa, Baginda.
[6] Mitos/kepercayaan bahwa manusia ini terlahir dengan takdir 41 jodoh. Jodoh kesatu, disebut jodoh sejati. Apabila sebuah pasangan meninggal secara bersamaan, atau tidak berselisih bulan biasa di sebut jodoh sejati.
[7] Ibu
[8] Dari sebuah buku disebutkan, perempuan dilahirkan tiga kali, yaitu : Saat terlahir, Menikah dan menjadi ibu.