Cerpen
Disukai
2
Dilihat
12,116
Sang Penjaga Marwah
Drama

Kebahagiaan sejati terbentuk dari tangis dan lapang yang saling menguatkan. _Dialogika Setiawan

Selamat Membaca!

*****

Oktober telah tiba, Awal bulan ini ditandai dengan langit tanpa setitikpun mendung bersemayam. Angin, Debu dan bahkan keluh kesah masih bertebaran abstrak di udara. Kedua asa itu membaur, Lalu mencoba menepi dihati manusia. Mereka mencari celah ditengah terik juga peliknya kehidupan. kebahagiaan kecil Memang sedang dirindukan dirumah ini.

Bercerita tentang kesederhanaan hidup.

Aku sendiri memang tidak lahir dari keluarga yang mengoleksi barang-barang bagus dan mewah seperti teman-temanku yang lain.

Hanya saja Aku punya sepeda tua bekas bapak ku yang senantiasa menemaniku keliling kota. Barang berharga, termewah & terbaik. Sekaligus menjadi sahabat terkaribku. Tidak hanya saat berjualan bahkan dirumah sekalipun Aku bisa membuat 1001 kebahagiaan untuk ku sendiri dengan sepeda tua itu. Bahkan lebih hebatnya lagi Aku bisa membuat ibu dan bapak ku tersenyum.

Oh iya apa Kamu mau tahu tentang seberapa hebatnya Sepeda tua ku itu? Mungkin bisa Aku ceritakan sekarang. Tapi janji ya? Janji jaga rahasia dan air mata ini. Pokoknya, kamu harus berusaha menjaga dan menahan nya sekuat mungkin untuk tidak menangis. Dan kamu juga Aku wajibkan untuk tetap menyimpan senyum sampai cerita ini berkahir, Ok? Aku anggap bahwa kamu menyetujuinya.

..........

Bahagia itu sederhana seperti mengayuh sepeda menembus kabut tiap pagi atau menelusuri hamparan langit jingga disore hari menuju petang.

Bahagia itu perihal Hati yang senantiasa mensyukuri dengan lapang segala bentuk apapun pemberian hidup dari NYA. (Itu mantra sakti penguatku yang sering ibu dan bapak ucapakan padaku.)

Dilain hal, Bahagia Itu juga Sesederhana Bunyi"Kring-Kring" sepeda tua ku ini. Tidak terlalu menarik mungkin bagi sebagian orang. Apalagi dibandingkan dengan bunyi klakson Mobil atau Motor yang saat ini bunyinya sudah beraneka ragam. Ah, sudah pasti kalah.

Tapi, semua itu tidaklah demikian bagi ibu dan bapak ku.

Ibu yang sudah lama terbaring di ranjang karena sering sakit-sakitan, Begitu mendengar bunyi Kring-Kring sepeda ini tiba dihalaman rumahnya. Beliau pasti memaksakan diri untuk bangun dan berangsur berjalan pelan ke tengah Rumah. lalu menunggu Putri semata wayang nya ini turun dari sepeda tua tersebut. Kemudian, meyambutnya di depan Pintu Dengan senyum khasnya yang terlihat manis sekali, Pokoknya lebih manis dari Secangkir teh manis hangat yang sering Aku sajikan untuknya tiap pagi.

Sebenarnya, Usia ibu ku bisa dibilang masih muda baru kepala 4. Tapi, karena sudah hampir 2 tahun ini Beliau sering sakit-sakitan, wajah nya jadi kelihatan sedikit keriput dan lebih pucat.

Namun dimataku Beliau tetap cantik, Riuh teduh surgawi masih bertebaran riak di pelupuk matanya yang bundar berbinar, di lengkapi dengan kesempurnaan sikapnya yang lemah lembut.

............

Lain halnya dengan bapak. Bapak, adalah orang yang paling tegas di keluargaku. Selain karena dia itu sosok laki-laki satu-satunya disini. Aku pun paham bahwa ketegasan beliau terlahir karena sangat sebegitu sayangnya kepada keluarga kecil nya ini.

Jikalau dalam kehidupanku ini hanya disuguhkan 2 cinta untuk ku maka bagiku bapak akan menjadi cinta ke 2 ku setelah ibu.

Bapak sebenarnya sudah lama menderita katarak (Kebutaan Mata), Hampir menuju 3 tahun lamanya. Dan oleh karena sebab itulah bapak akhirnya Aku ingatkan untuk beristirahat dirumah saja.

Meski, harus dengan sedikit paksaan karena beliau sangat enggan duduk duduk santai atau sekedar menikmati masa tua nya dengan beristirahat.

Beliau selalu memaksakan dirinya sendiri untuk pergi kuli serabutan dengan cara mengendap-ngendap. ditengah kondisi kedua matanya yang sama sekali susah untuk bisa melihat sekelilingnya dengan jelas.

Sampai-sampai tiap pulang kuli serabutan pasti ada luka lebam ditubuh beliau. Namun, Dengan berbagai bujukan pada akhirnya beliau pun mau menurutinya.

Meskipun Bapak itu orang yang paling tidak menyetujui tujuanku tiap Aku pulang berdagang, Tapi aku sangat menyayanginya sama halnya seperti Aku menyanyangi ibu.

Oh iya, harus kamu tahu dulu sebelumnya. Perkenalkan, namaku Marwah, jenis kelamin perempuan, Usiaku saat ini baru menginjak umur 14 tahun dan Aku sudah lama tidak sekolah. Atau lebih tepatnya Aku tidak melanjutkan sekolah, Pendidikan terakhirku SD (Sekolah Dasar).

Aku memilih berjualan Es balok untuk membantu per ekonomian keluarga dirumah. Meskipun Bapak sering memaharahiku jikalau Bapak tahu bahwa Aku tidak melanjutkan sekolah Dan malah memilih untuk berdagang.

Tapi mau bagaimana lagi, Semua ini Aku lakukan untuk keberalangsungan hidup keluarga kecil ku ini.

Aku pun tahu dilain sisi kekesalan Bapak itu didasari banyak hal salah satu hal diantaranya yakni rasa cinta yang besar terhadap Anaknya ini.

Bapak tidak ingin melihat Anaknya hidup susah dimasa depan hanya karena masalah minim nya pendidikan.

Tapi, Harus bagaimana lagi mengingat kondisi keluarga yang seperti ini Aku bukan nya gak mau sekolah. Jika Aku sekolah. Aku mungkin, Akan jadi beban ekonomi untuk keluarga. Mengingat sekolah gratis adalah hal yang masih menjadi kemustahilan di negeri ini.

Biarlah, saat ini takdir menuntut ku lebih dulu tiba di fase ini. Fase dimana Aku harus lebih dini mengurusi keluarga. Sebagai anak semata wayang juga sebagai satu-satu nya harapan terkahir di Rumah ini

Bagaimanapun caranya Aku harus berjuang dan bertahan. Meski dicara juang ini Aku harus lapang memupuskan satu cita-citaku. yakni, Menjadi Guru.

Aku tahu ini adalah pilihan dan jalan terbaik bagiku. Meskipun dalam hati tidak bisa dipungkiri, Terkadang Aku iri melihat teman-teman sebayaku memakai seragam putih biru berjalan bergerombol di Alun-Alun kota menuju sekolahan tiap pagi hari.

Teruntuk Bapak, maafkan anakmu ini ya pak. Yang terpaksa harus berbohong tiap pagi sebelum berangkat atau sore hari saat pulang ke rumah.

*****

Hari itu seperti pagi dihari sebelumnya. Dedaunan pohon jambu yang terletak dipekarangan rumah masih terlihat basah oleh embun yang dilahirkan hujan semalam.

Dari luar, dingin masih menyelinap masuk di sela-sela Rumah minimalis ber cat putih yang sudah kusam. yang dimana bagian depan serta dapuran belakangnya nampak mengelupas karena lapuk termakan usia.

"Sudah sarapan neng?" sahut ibuku yang masih terduduk diatas ranjang besi berwarna hijau muda, sembari mengikat rambut dikepala nya yang terurai rontok dengan karet gelang.

Aku kemudian membalas nya dengan mengangguk sambil bergegas ku cuci piring bekas sarapan nasi goreng polos yang subuh tadi kubuat.

"Sudah bu, tinggal ibu yang belum sarapan. Neng pamit dulu ya bu!"

Aku pun bergegas mencium tangan ibu dan bapak. Sepintas Aku pandangi dulu wajah mereka berdua di balik remang cahaya Fajar yang sebentar lagi terang surya akan datang menyapa.

Ada kebahagiaan penuh harap tersirat diantara binar mata mereka berdua untuk Anak semata wayang nya ini.

Apalagi dari kelopak mata bapak. Walaupun tidak bisa melihat secara utuh. Tapi harapan dari hatinya itu sampai hingga ke titik matanya yang berbinar penuh cinta.

............

Diluar, diatas sepeda tuaku. Beberapa balok es tertutup plastik hitam sudah aku persiapakan dari semalam. Aku mulai menaiki sepeda dan mengayuhnya, kemudian bergegas menembus jalanan yang masih tertutup kabut putih tipis.

Pagi ini jalan setapak menuju pasar sedikit lebih ramai dari biasanya. Berkali kali Aku bunyikan Lonceng "Kringan" diatas sepedaku sebagai sahutan penuh semangat untuk menyapa orang-orang di sekelilingku dan juga sebagai mantra perundung mendung, Pengusir hujan.

Semoga pagi ini hujan tidak turun lebih awal. Agar dimana nanti Aku pulang kerumah Stok obat-obatan Ibu yang hampir habis bisa kembali Aku belikan.

...........

Sepeda tuaku Aku kayuh menyusuri jalanan, menembus keramaian pasar tradisional. Diantara sibuknya para petani sayur yang sedang menurunkan karung berisi tomat merah dan sayuran dari atas mobil pick up, juga di sela-sela anak-anak sebaya denganku yang sedang berbincang satu sama lain nya di atas trotoar sambil menggendong ransel dan memakai sepatu bagus.

Mereka terlihat sangat cantik dan bersih.

Aku cuma bisa menunduk pura-pura tidak melihat mereka. Sambil ku kayuh agak kencang sepeda tua ku yang sesekali berjalan zigzag karena berat beberapa balokan es disamping kiri dan kanan nya menjadi tidak seimbang.

.........

Pembeli pertamaku pagi ini adalah seorang pedagang Seafood dipinggir jalan. Dia itu langgananku, Namanya Pak Hartono. Dia orang yang sangat baik, Setiap harinya tanpa libur pasti membeli beberapa potong es balok yang Aku jual. Bongkahan es yang ia beli dariku ia gunakan untuk menutupi daging ikan tuna dalam Fishbox agar tetap segar di Restoran miliknya.

Sembari membeli, Pak Hartono juga sering menanyaiku berbagai pertanyaan yang tiap Pagi topik nya tidak pernah berubah. Salah satu hal yang ia tanyakan adalah perihal pekerjaan ini. Dan aku hanya membalas nya dengan tersenyum kecil.

Apalagi ketika obrolan darinya lebih menjurus lagi ke soal pendidikan. Aku hanya menjawabnya dengan kata "Insya Allah kedepan nya Aku pasti akan melanjutkan pendidikan ku yang sudah beberapa tahun tertunda."

Sambil tergesa gesa kembali Ku kayuh sepeda itu dan tak lupa mengucapkan terimakasih juga salam padanya.

.........

Selanjutnya, Pembeli ke 2 ku namanya Bu isma. Sejujurnya Aku tidak terlalu menyukai orang ini. Bukan karena dari bentuk tubuhnya yang pendek dan gempal dan tukang pamer. Tapi Aku sendiri kurang menyukai nya dari cara dia yang seperti enggan berdekatan dengan manusia sepertiku.

Selain selalu memakai masker juga sarung tangan saat berada disampingku. Hal yang lain yang tidak begitu ku sukai dari Bu Isma adalah ia yang sering mengata-ngatai ku .

Bahwa, Sampai kapanpun Aku tidak akan pernah jadi perempuan berkarir bagus dimasa depan. Maka atas dasar rasa iba itulah ia sering membeli dagangan milik ku.

Ia juga mengatakan, bahwa orang yang lahir dari keluarga miskin dan berpendidikan rendah sampai kapanpun mustahil punya masa depan yang cemerlang kalau bukan karena pemberian atau sedekah dari orang sepertinya.

Kalau bukan karena Dia itu salah satu pelangganku. Ogah sekali rasanya Aku berada di dekatnya. Tapi apalah daya, sebagai seorang manusia yang taraf hidupnya berada diposisi paling bawah. Mungkin hinaan berikut perkataan dari orang-orang seperti Bu Isma itu memang sudah sepantasnya Aku terima lalu kutelan bulat-bulat dengan lapang.

............

Satu jam lebih menjajakan dagangan, Dengan penuh semangat akhirnya Es balok yang aku jajakan pun habis dengan mengantongi uang tunai sebesar 70 Ribu rupiah.

Untuk selanjutnya Pasar tradisional dipusat kota adalah tujuanku. Sebagai tempat kedua untuk menambah pundi-pundi rupiah.

Disana Aku bisa membantu para pedagang pemilik jongko makanan atau sayuran. Sebagai seorang kuli panggul yang menghantarkan pesanan ke si pembeli. Meski mayoritas yang bekerja disana kebanyakan adalah laki-laki, bagiku kondisi tersebut tidak pernah menjadi masalah. Selama rupiah yang Aku hasilkan bersumber dari pekerjaan halal.

Pekerjaan menjadi kuli panggul pasar tradisional sudah beberapa tahun ini Aku geluti tiap hari nya selekas dagangan es balok ku habis. Banyak kawan baik disana yang umurnya rata rata jauh diatas usiaku. Seperti, Hafidz, Ilham atau Bayan. Ketiga Orang itu sudah Aku anggap seperti Kakak ku sendiri.

Mereka juga sangat begitu menyayangiku, tidak jarang mereka menitipkan satu kantung keresek beras atau lauk pauk untuk Aku bawa pulang. Katanya, Sebagai tanda kasih sayang mereka padaku. Setelah aku menganggap mereka seperti kakak.

...............

Pagi ini dipasar sedang rame-rame nya. semangatku makin terpicu melihat hal yang seperti ini. Aku seperti menemukan kebahagiaan tersendiri. Kebahagiaan yang nantinya akan aku bawa pulang kerumah kemudian selekasnya Aku bagi untuk Bapak dan Ibuku.

Tapi yang namanya takdir memang tetaplah akan menjadi takdir. Meski sebegitu kuat pun usaha manusia menghindar atau menahan lajur nya.

Sebelumnya sama sekali tidak pernah kuduga bahwa pagi itu Aku akan menerima kabar yang seharusnya terlalu dini untuk Aku terima.

Sebuah kabar yang dengan seketika menghancurkan hati juga menjatuhkan semangat ku.

Sebuah kabar yang berhasil

membuat seluruh tubuh gemetaran, ambruk dan terasa mustahil lagi untuk berdiri.

Hari itu di pagi itu, Sampai kapan pun Aku akan mengingatnya sepanjang hayat. Sebagai hari paling menyakitkan dalam hidup. Hari dimana Aku merasa bahwa takdir tuhan pada detik tersebut terasa tidak adil.

********

Pagi itu Semula nampak biasa-biasa saja, Sebelum dari kejauhan Aku melihat Bayan berlari-lari rusuh menembus kerumunan pembeli dengan wajah yang terlihat sangat tegang.

"Marwah, Bapakmu!" Teriak Bayan.

"Bapak kenapa?" Sahut ku seketika membalas teriakan nya dengan panik.

Sebelum akhirnya Bayan mendekat lalu mendekap erat tubuhku yang kemudian di iringi dengan isak tangis.

"Yang sabar ya Marwah" Ucap Bayan dalam derai air matanya.

Sebelum beberapa detik kemudian terdengar bunyi speaker mesjid di alun-alun kota menyebut nama ayahku. Bahwa ia telah pulang, Kembali Kedalam dekapan sang pencipta.

Tubuhku lemas..

Air mata perlahan berderai..

Diantara pelukan Bayan

Aku tahu ini hanya mimpi

Ini cuma mimpi kan? Gumamku.

Tapi pelukan Bayan yang terasa semakin erat mempertegas segalanya.

Bahwa ini adalah bagian dari takdir yang nyata.

********

Hari itu, Aku tidak pernah menyadari sebelumnya. Bahwa, pagi tadi adalah pagi terakhir bagi diriku menatap indahnya Binar Mata Bapak.

Aku tidak pernah menyangka bahwa di pagi tadi akan menjadi pagi terakhir untuk ku menyiapkan segelas teh manis hangat untuk bapak.

Aku tidak pernah menyangka bahwa Aku akan kehilangan cinta dan penguatku begitu cepat.

Sesingkat inikah tuhan menghadirkan bahagia untuk ku?

 - Tamat -










Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)