Masukan nama pengguna
Hari ini hujan turun cukup deras. Ribuan air langit yang jatuh terhempas di kampungku itu menimbulkan bebunyian yang cukup bising diatap rumah. Maklum, atap rumahku tidak sepenuhnya menggunakan genting. Hanya sisa-sisa seng bekas yang dulu bapak kumpulkan saat dia masih ada rumah ini.
Hal yang berkaitan dengan hujan memang memiliki masing-masing patahan kenangan yang abadi dan pasti berbeda pada tiap Diri manusia. Begitu pula bagiku. Tentang hujan tidak seutuhnya perihal memory romantis yang kadang manisnya melebihi kembang gula dipasar sore jakarta. Disini ditempat ini Hujan adalah Backround hidup dimana ia pernah menjadi saksi seorang bapak dan anak mengais rejeki diantara pelupuk Rinai nya.
"Pak, pijar sebelah sana ya!" Ucapku pada bapak. saat itu kami berdua berdiri diatas trotoar berbekal 2 buah payung ditangan dengan satu payung bermotif Mini market kehijau hijauan yang menjadi pelindung kepala.
"Pijar jangan terlalu jauh!" Balas bapak, yang kemudian menyebrang lalu balik memayungi seorang bapak bapak yang terlihat seperti seorang pegawai kantoran menuju parkiran mobil miliknya diseberang jalan.
Aku hanya mengangguk, mataku begitu awas mengawasi sekitaran jalan yang ramai di sore itu. Setelah kemudian Aku dapati seorang ibu ibu setengah baya yang berdiri di bawah jembatan Fly Over melambaikan tangan nya padaku.
"Mari Bu!" sahutku, sesampainya disana Aku berikan padanya sebuah payung yang berada dalam jinjingan namun ibu itu menolak dan lebih memilih berjalan beriringan satu payung disampingku.
"Ade, yang disana itu bapaknya ya?"
"Hehe iya bu, mirip ya?" Timbalku menjawab pertanyaan si ibu tersebut dengan senyum lebar.
"Bening matanya sama!" Tukasnya.
Senyum nya mengembang, mata kecilnya yang kecil menyeripit makin mengecil dibalik kacamata bundarnya. Beberapa saat kemudian setelah smpai, Kali ini sebelah tangan nya sibuk merogoh dashboard mobil honda civic berwarna hitam miliknya. Kemudian ia menyodorkan uang kertas pecahan 50 ribu rupiah padaku.
"Duh ibu, maaf gak ada kembalian bu!" Jawabku, sambil terus megucek-ngucek celana pendek ku yang didalam nya terdapat 5 lembar uang kertas lecek pecahan dua ribu an.
"Sudah Gak apa apa ambil saja kembalian nya!"
"Semangat yaa!" Ucapnya meneruskan. Setelah sebelah tangan nya mengucek-ngucek halus kepalaku ia menutup pintu mobil dan pergi.
"Tapi bu ini terlalu besar, Bu Terimakasih ya!" Timbalku berteriak kegirangan.
Aku mengangkat tinggi-tinggi tanganku, Aku membiarkan Air langit saat ini menetes menyerang wajah dan ubun-ubun kepala sembari memandangi mobil hitam tersebut berlalu. Detik itu Ibu-ibu tersebut seperti malaikat yang sengaja dikirimkan tuhan. Karena iya seperti mengetahui bahwasan nya Aku benar-benar membutuhkan uang dengan jumlah nominal yang sama untuk menjahit ulang sepatu sekolah Si Hapid Adik semata wayang ku yang tepat di bagian alas kaki nya robek sudah beberapa bulan ini.
Hapid masih duduk dibangku sekolah dasar dan sudah seminggu ini ia pergi sekolah menggunakan sendal jepit berbeda warna milik bapak dan sering menangis saat pulang, karena di menjadi bahan olokan teman-teman dikelasnya.
Aku berbalik badan dan berlari ke arah bapak, Aku meminta ijin padanya untuk pulang lebih dulu. Karena sebentar lagi maghrib dan Ruko kecil disebrang bunderan tempat Permak levis dan sol sepatu milik pak kusno biasanya habis maghrib sudah tutup.
*****
"Sepatu hapid kakak bawa ya" Ucapaku begitu sampai di depan pintu rumah yang tadi dibuka oleh hapid, Hapid memang sering menunggu dan mengintip kedatanganku di ruangan tengah di balik jendela berwarna hijau daun yang sudah lapuk dimakan usia.
"Emang kakak punya uang ya?" Jawab Hapid dengan raut wajah sumringah bercampur bingung.
"Ada kok!" Balasku, yang kemudian mengantongi sepatu milik hapid dengan plastik warna hitam dan lalu pergi lagi keluar.
"Bentar ya!"
Senja seperti hilang ditelan mendung sore itu, Bahkan Para pedagang kaki lima yang biasa berjejer di sepanjang trotoar jalan stasiun senen pada sore itu tidak terlihat begitu ramai. Hanya ada sebagian pedagang makanan dan buah-buahan, Sedangkan para pedagang es, cincau, atau minuman dingin lain sejenisnya. Mereka lebih memilih diam bersembunyi agar tidak di serang oleh hujan di bawah jembatan fly over bersama beberapa orang tukang becak yang tengah asyik melamun memandang hujan yang berjatuhan.
"Widih, Nak pijar tumben udah pulang jam segini!" Tanya Pak kusno padaku, Wajahnya menyembul dibalik meja mesin jahit miliknya.
Oh iya Pak kusno ini adalah seorang perantau, Dia berasal dari kota cilacap. Dia merantau ke jakarta sudah hampir 5 tahun lamanya, dan prosesi yang dia geluti disini adalah seoarang Tukang Sol Sepatu dan permak celana levis. Yang saban hari mangkal di Seberang bunderan stasiun pasar senen. Dia tidur, makan dan beraktifitas dibalik kotak kayu kecil yang biasa disebut warung, miliknya. Sudah cukup lama dia berada disini hingga logat medok jawa nya gak terdengar dominan lagi tidak seperti saat ia awal-awal datang. Aku kenal dia karena Dia merupakan salah satu sahabat karib nya bapak yang kadang sering main ke Rumah.
"hehe iya Pak, pijar mau nganterin ini!" Timbalku, sambil meletakan sepatu sekolah Hapid yang dibungkus plastik hitam di depan mesin jahit buterfly miliknya.
"Beruntung kamu, Ini tinggal sisa satu rol lagi!" Balas pak kusno, sambil menunjukan satu gulungan kecil benang sol dibalik papan kayu tempat ia duduk.
"Wiss tunggu sebentar yoo" Ucapnya meneruskan.
"Alhamdulilah Baik pak!" Timbalku, sambil duduk menatapnya dari luar.
Aku masih ingat obrolan saya dan pak kusno hari itu adalah tentang pengalaman masa muda nya. Dimana dulu pak kusno ini dikenal sebagai seorang supir truk di kampung halaman nya. Namun ia tidak meneruskan pekerjaan tersebut karena makin kesini menurutnya kedua matanya sudah tidak terlalu bagus untuk melihat lampu-lampu kendaraan dijalan, Apalagi jika tengah malam. Sering kali kejadian yang hampir merenggut nyawanya menimpa dirinya, namun takdir serta kasih sayang tuhan masih berada dipihak nya hingga sampai sekarang karunia kehidupan masih bisa ia rasakan meskipun dalam keadaan serba susah. Tapi, selama ini sudah terlalu besar nikmat tuhan yang sudah di anugerahkan dalam hidupnya hingga ia merasa malu untuk dikeluh kesah kan.
Setengah jam berlalu, saat itu langit sore jakarta yang sebentar lagi menuju maghrib tidak lagi di khiasi rinai hujan yang deras tapi masih ada sisa sisa gerimis yang terhempas karam.
Aku memberikan uang 50 ribu pada pak kusno, meski ia beberapa kali menolak nya tapi tetap aku paksa hingga pada akhirnya ia mau menerima nya. Kemudian, Aku berlalu menutup payung diatas kepalaku untuk Aku tenteng sambil tangan lain ku menjinjing plastik hitam yang berisi sepatu adik ku. Aku benar-benar tidak sabar melihat wajah kegirangan nya karena setelah ini hari esok saat dia kembali masuk sekolah ia akan bersekolah penuh semangat lagi dengan perasaan yang benar-benar merdeka dari bahan olokan teman-teman nya.
*******
Rumahku berada di dalam gang yang letaknya cukup jauh dari jalan raya. Sesekali Aku berlari-lari kecil agar lekas sampai. Tentang hal ini kembali Aku benar-benar sudah tidak sabar melihat kegirangan adik ku di rumah. Langkah kaki ku yang tanpa alas mulai sampai di jalan menuju perempatan rumah namun apalah daya ternyata semua tidak seperti yang Aku harapkan.
Aku mendengar suara kegaduhan beberapa orang dewasa dirumahku, Aku juga mendengar suara Hapid meraung-raung memanggil namaku. Aku semakin mempercepat langkah hingga terlihat bebetapa orang memandangiku dengan raut wajah meratap sedih sesaat kemudian hapid keluar rumah sambil memangis dan berlari ke arahku.
"Ada Apa?" Tanyaku pada mereka secara spontan.
Saat itu semua orang yang disana tidak ada seorangpun yang menyahut pertanyaanku, sebelum pada akhirnya Pak Rt Keluar dari dalam rumahku berjalan menghampiriku lalu menepuk pundak ku dan membawa Aku masuk kedalam rumah tanpa berbicara atau sedikit saja membuka mulut.
"Bapak!" Teriak ku Histeris, Saat aku melihat tubuhnya tergelatak tak berdaya Diatas tikar dengan separuh badan di tutup kain lawon dalam keadaan mata yang terpejam.
"Kenapa? Apa yang terjadi sama bapak?" Tanyaku, menatap sekeliling.
Semua yang mengelilingi tubuh bapak nampak hanya diam membisu, bahkan saat beberapa kali Aku dan adik ku mencoba menggoyang goyang kan tubuh Bapak, Bapak masih terlihat tidak bergerak dan tak ada suara terdengar disekitarku selain isak tangis.
"Yang sabar, Mari kita sama-sama doakan bapakmu, Agar tenang Disisi NYA." Ucap Pak Rt Memecah kebisuan disamping telingaku yang kemudian setelah itu Aku tak ingat apa-apa lagi tubuhku terasa sangat lemas dan sekelilingku terlihat pekat begitu gelap.
********
Hujan pernah menyiratkan kenangan dan harapan ditempat ini.
Bukan kisah romantis, Bukan Pula tentang Sabda bahagia. namun cenderung lebih kearah pembelajaran hidup.
Saat Aku meninggalkan bapak untuk pergi menjahit sepatu adik ku ke warung Pak kusno konon kata warga yang melihat, Bapak terpeleset jatuh dan kepalanya membentur tembokan trotoar, karena licin.
Karena Saat itu bapak tergesa-gesa berlari hendak menolong seorang anak kecil pedagang koran yang koran nya berhamburan tertiup angin hingga keseberang jalan.
Bagiku, apa yang sudah bapak beri dan tinggalkan dalam hidup entah itu pengalaman maupun kasih sayang dan entah itu motivasi yang sempat dikuatkan oleh harapan. Segalanya adalah hal-hal hebat yang akan selalu aku simpan dan Aku abadikan dalam hati. Hal yang sampai kapanpun tak akan lekang oleh waktu. Meski sosok nya tak lagi disini.
Meskipun Aku saat ini hanya hidup berdua,, Aku tidak merasa takut ataupun menyesali keputusan semesta. Karena seperti apa yang bapak bilang dulu, "Kita Adalah Anak Panah Semesta Sang Aktor Pemeran Takdir Itu Sendiri" Maka mau bagaimanapun Aku harus siap menghadapi dinamika kehidupan.
Kabar baiknya Hapid yang sepatu nya sempat aku Jahit, Di Sekola ia berkali kali menjadi juara kelas hingga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan study kejenjang yang lebih tinggi di tiap-tiap tahun nya.
Di tahun 2024 ini mudah-mudahan hapid bisa menjadi permata yang bisa mengubah segalanya. Termasuk Arah hidup dan Derajat keluarga agar tidak selalu merasa perih, agar tidak terlalu letih. Seperti yang bapak ucapkan dulu. "Jangan Pernah mengeluh, Sesusah apapun kehidupan harapan harus tetap membara jangan sampai padam. Apalagi ini soal masa depan dan keluarga"
- Tamat-