Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,356
Rumah Belanda
Horor

Rumah Belanda

Karya: Arkan N.F




Pada tahun 1960 di Desa Lesanpuro yang tampak tenang, seolah tak pernah disentuh sejarah kelam. Di balik hijaunya sawah, rindangnya pohon, dan senyum ramah para petani, tersembunyi luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Lima puluh tahun silam, Belanda menguasai desa ini, menorehkan kepedihan dalam sejarah keluarga-keluarga yang hidup di sana.


Meski penjajahan telah usai, tak semua warga bisa melupakan. Terutama Sugeng, lelaki tua yang hidup sendiri di ujung desa. Wajahnya keras, sorot matanya penuh kebencian yang dalam. Ia adalah satu dari sedikit orang yang masih menyimpan dendam terhadap siapa pun yang memiliki darah Belanda.


“Tanah ini dulu milik kakekku,” gumam Sugeng sambil memandangi ladang yang kini dikelola oleh keluarga Van Der Wijck, keturunan Belanda yang menetap di desa. “Mereka mencuri segalanya tanah, kehormatan, bahkan nyawa.”


Sugeng mencoba memprovokasi warga di balai desa.


“Hei kalian semua!” teriaknya, “apa kalian lupa siapa mereka? Mereka keturunan penjajah! Leluhur kita disiksa, dibunuh, dijarah! Dan sekarang kalian biarkan mereka hidup tenang di atas tanah kita?!”


Namun, warga hanya diam. Mereka mengenal keluarga Van Der Wijck sebagai orang baik. Mereka tak pernah menyakiti siapa pun. Bahkan Elizabeth, putri tunggal keluarga itu, sering terlihat membantu di pasar, membagikan makanan pada anak-anak, dan berbicara dengan tutur kata yang lembut.

Akibat warga yang menutup telinga atas perkataan Sugeng, Sugeng semakin kesal, gejola api balas dendam nya semakin membara.


Suatu pagi, Elizabeth berjalan menuju pasar. Rambut pirangnya diikat rapi, gaun putih sederhana melekat di tubuhnya. Ia menyapa setiap orang yang dilewatinya.


“Selamat pagi, Pak Joko,” sapanya sambil tersenyum.


“Pagi, Nona Elizabeth. Hati-hati di jalan,” balas Pak Joko dengan ramah.


Namun dari kejauhan, Sugeng memperhatikan dengan tatapan tajam. Giginya bergemeletuk, bukan karena dingin, melainkan amarah. Di matanya, Elizabeth bukanlah gadis baik hati, tapi simbol dari penderitaan masa lalu yang di alami oleh Sugeng. Ia masih menyimpan dendam yang amat besar kepada orang Belanda.


“Mereka semua tertipu oleh wajah manis dan bahasa sopannya,” desis Sugeng.


Malam harinya, di rumah tuanya yang gelap dan dingin, Sugeng menyusun rencana. Ia akan menebar teror dan menuduh keluarga Belanda sebagai pelakunya. Dengan begitu, dendamnya akan terbalaskan tanpa harus mengotori tangannya secara langsung.


“Jika mereka tidak mau mendengar, maka aku akan membuat mereka percaya,” katanya sambil tersenyum miring.


Sugeng seperti maniak gila yang tak punya hati, namun memang dendam Sugeng diawali karena keluarganya yang pernah dibunuh oleh orang Belanda saat penjajahan. Sehingga ia sangat membenci orang yang memilik darah belanda.


Beberapa hari kemudian, ketika malam gelap dan kabut menyelimuti desa, Sugeng menyelinap ke rumah Pak Wiroto di pinggir desa. Ia mematikan obor dan masuk dengan senjata tajam di tangannya. Ia membantai seluruh keluarga dengan keji, lalu meninggalkan sepatu kulit milik Belanda dan potongan pakaian yang pernah ia curi dari jemuran rumah Van Der Wijck.


Pagi harinya, desa gempar. Warga berkumpul dan membicarakan tragedi tersebut. Lalu Sugeng muncul di tengah kerumunan.


“Aku melihat keluarga Belanda itu kemarin malam di dekat rumah Pak Wiroto, ia seperti sedang memegang sebuah senjata tajam,” katanya tenang.


“Jangan menuduh sembarangan,” sahut salah satu warga.


“Tapi aku menemukan ini,” katanya sambil menunjukkan sepatu berdarah.


"Eh iya... inikan sepatu yang biasanya dipakai Van Der Wijck."


Perlahan, keraguan warga mulai berubah menjadi kemarahan. Dalam hitungan jam, api dendam yang padam kembali menyala. Malam itu, mereka menyiapkan peralatan serta mengepung rumah Van Der Wijck.


Di dalam rumah, Elizabeth terjaga. Ia merasa gelisah.


“Ada yang aneh malam ini,” bisiknya. Ia menatap ke luar jendela, melihat bayangan-bayangan berkumpul, dan terdengar suara warga yang berteriak keras.


"Hei! keluar kalian Keluarga Van Der Wijck"


Elizabeth ketakutan, ia berteriak kepada kedua orang tuanya.


“Ibu... Ayah... bangun! Ada orang-orang di luar!”


Sang Ayah, Tuan Van Der Wijck, segera turun tangan. “Elizabeth, kamu harus pergi sekarang!”


“Aku tidak akan meninggalkan kalian!” jawab Elizabeth


“Ini bukan saatnya membantah!” teriak ibunya. “Larilah nak! Lewat kebun belakang! Kami akan menahan mereka!”


Elizabeth memeluk ibunya erat dan menangis. “Aku mencintai kalian...”


Ayahnya tersenyum pahit. “Kami bangga padamu Elizabeth. Sekarang larilah!”


Ia pun berlari ke kebun belakang. Namun saat ia hampir lolos, Sugeng muncul dari kegelapan, dan menghalau jalan Elizabeth.


“Hai, Nona Belanda,” ucapnya pelan. “Akhirnya kita bertemu.”


Sugeng begitu senang seolah mendapat sebongkah berlian, ia tersenyum miring yang membuat Elizabeth merinding.


“Siapa kau?, Kenapa kau lakukan ini?” tanya Elizabeth dengan gemetar.


“Kau membawa darah penjajah. Kau harus menebus dosa leluhurmu,” jawab Sugeng.


Elizabeth menangis. “Aku bukan penjajah... Aku bahkan mencintai desa ini lebih dari apapun...” saut Elizabeth


Sugeng tak peduli. Dengan kejam, ia menyiksa Elizabeth sebelum akhirnya membunuhnya.


Hal yang sama juga di alami oleh Sang Ayah Van Der Wijck dan juga istrinya.


Tubuh Elizabeth ditemukan keesokan harinya di hutan, telanjang dan tanpa nyawa. Warga yang melihat hanya bisa menangis... namun semuanya sudah terlambat.


Sejak saat itu, Rumah Belanda ditinggalkan. Tidak ada yang berani mendekat. Siapa pun yang mencoba memasuki wilayah Rumah itu, akan ditemukan tewas tanpa kepala.


Lima puluh tahun berlalu.


Sugeng kini menjadi seorang kakek berumur 75 tahun. Ia memiliki istri, anak, menantu, dan empat cucu. Namun malam itu, hujan turun deras disertai petir dan angin kencang. Suara gemuruh mengguncang rumahnya.


Listrik padam. Rumah jadi gelap gulita. Sugeng duduk di kursi goyang, tubuhnya gemetar.


Kegelapan yang menyelimuti serta di ikuti dengan kabut tebal semakin membuat suasana dirumah Sugeng begitu mencekam.


Tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil dari luar jendela.


“Mas Sugeng... masih ingat aku?”


Sugeng bangkit. “Tidak... tidak mungkin...”


Terdengar suara cucunya berteriak dari lantai atas.


“Kakek!!! Tolong!!!”


Lalu suara istri, anak , dan menantunya menyusul. “ARGHH! TOLONG! KRETEK!” Bunyi tulang patah memenuhi rumah.


Sugeng berlari ke ruang tengah. Sosok perempuan berpakaian putih berdiri di sana, rambut pirang nan panjang menutupi wajahnya.


“Elizabeth...!, apakah itu kau,? bagaimana bisa.?”


Sosok itu mendekat pelan. “Kau mengambil segalanya dariku. Kini, giliranku.”


Sugeng berteriak sekencang-kencangnya sebelum akhirnya sunyi menyelimuti.


Keesokan harinya, warga desa gempar karena menemukan rumah Sugeng dalam keadaan terbuka. Mayat Sugeng dan keluarganya tergeletak tak bernyawa. Semuanya... tanpa kepala.


Dan sejak hari itu, kisah Rumah Belanda menjadi legenda berdarah dan di anggap sebagai tempat keramat yang tetap menghantui Desa Lesanpuro.


Mereka bilang... arwah Elizabeth belum puas. Ia masih mencari jiwa yang lain. Entah sampai kapan tragedi ini terus berlanjut namun yang pasti korban akan terus berjatuhan.


TAMAT



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)