Cerpen
Disukai
1
Dilihat
13,880
Rindu
Drama

Rindu

 

Hari masih pagi buta, namun benda kecil di meja sudut kamar itu terus saja berdering. Kesal karena alarm terus saja mengeluarkan bunyi keras, gadis yang masih saja belum beranjak dari kasur tersebut segera meraba mencari benda yang letaknya di meja tersebut. Dan, dapat. Ia menekan tombol di ataanya. Suara pun hilang. Gadis itu menghela napas dan kembali melanjutkan tidurnya.

“Rindu! Bangun!” Suara teriakan menyapanya di alam mimpi.

“Apa sih ah.” Tanpa sadar ia pun membalas.

“Bangun. Sudah jam berapa ini.”

“Masih pagi. Gue mau lanjut tidur,” ucapnya masih tidak sadar. Kali ini gadis itu malah mendengkur keras-keras.

“Heh, kamu lupa saya siapa!”

“Siapa sih ah. Nggak kenal. Bodo amat.”

“Saya Bi Asih!” Seketika suara itu menggelegar bagaikan petir.

Sontak Rindu terkejut. Ia langsung melotot. Gadis bernama Rindu itu langsung begitu saja mengubah posisinya menjadi duduk. Ia menatap sekilas wajah Bi Asih yang mulai terlihat memerah bagaikan api. Ia tersenyum kecut kepada perempuan bertubuh gemuk itu.

“Iya Bi. Rindu bangun ya. Makasih Bi sudah bangunin Rindu.” Ia menyunggingkan senyum kemudian tanpa banyak bertanya gadis itu segera berlari keluar kamar.

 

***

 

Dengan gesit, Rindu menaruh beberapa masakan yang sudah ia olah di atas meja panjang. Piring pun sudah ia tata rapi. Begitu juga dengan kursinya.

“Pagi Rindu.” Sapa perempuan muda yang mengenakan seragam dinas PNS.

“Pagi juga Tante,” jawabnya sembari tersenyum.

“Wah kayanya enak nih.”

“Alhamdulillah kalau nanti Tante sama om dan anak-anak suka masakan aku,” jawab Rindu masih disertai senyum. Ia berbalik dan hendak melangkah kembali ke dapur.

Melihat gadis itu ingin beranjak, perempuan muda dengan hijab krem itu menahannya. “Loh, kamu mau kemana Rindu?”

“Mau sarapan Tante,” ucapnya polos.

“Sarapan disini saja. Kamu mau sarapan di dapur?”

“Iya Tante.”

Perempuan itu menggeleng. “Dapur itu tempat si Bibi. Kamu kan keponakan Tante.”

Dengan takut-takut, gadis belia itu mendudukkan tubuh di kursi empuk berwarna emas. “Makasih ya Tante.” Bola mata Rindu berbinar.

“Rindu, hari ini om kamu kan masih tugas di luar kota, kamu hari ini berangkat sekolah sendiri ya. karena Tante nggak searah sama sekolah kamu.”

“Iya Tante, Rindu ngerti. Kalau Tante anterin Rindu dulu nanti Tante telat.”

 

***

 

Sekolah tampak ramai. Satu persatu murid di SMP Nusantara datang. Beragam, ada yang naik motor sebagiannya lagi diantar menggunakan kendaraan pribadi dan hanya segelintir siswa yang terlihat jalan kaki menuju sekolah.

Seperti pemandangan di sekolah-sekolah pada umumnya, sekolah unggul Nusantara juga menerapkan pembiasaan pagi dengan para guru bersiap di depan gerbang sekolah menyambut kedatangan siswa. Para murid berseragam putih biru itu menyambut sapaan hangat guru dengan mencium tangan para pendidik tersebut. Cara mereka salim pun beragam, ada yang ke dahi, ada yang ke hidung namun banyak pula yang menaruhnya di pipi.

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh tepat. Bunyi bel sekolah terdengar. Murid yang datang pun sudah tidak lagi kelihatan. Gerbang sudah siap untuk ditutup.

“Stop Pak!” teriak Rindu dari kejauhan. Napasnya tersengal-sengal. Ia menaruh tangannya di pagar sekolah.

“Rindu. Ya ampun jam segini baru datang kamu.” Muka laki-laki berkumis tebal itu melihat sinis.

“Iya maaf pak tadi Rindu....”

“Yasudah jangan banyak alasan. Cepetan masuk. Sebentar lagi jam pelajaran dimulai.” Walaupun dengan nada marah, namun laki-laki bertubuh jangkung itu masih membolehkan gadis SMP itu memasuki lingkungan sekolah. Ia bergegas duduk di dalam ruangan piket.

“Makasih Pak Sanusi.” Teriak Rindu dengan suara renyah nya yang khas di telinga.

Rindu berlari menuju tangga. Ia bahkan menaiki tangga dengan gerakan cepat, hal itu membuat kakinya nyaris terpelintir.

“Aw,” gumamnya. Ia kembali membetulkan langkahnya.

Rindu setengah berlari menuju ruangan kelasnya yang kebetulan berada di bagian paling pojok. Siswi itu akhirnya sampai juga di pintu kelas dengan suasana yang masih riuh. Syukurlah itu artinya guru mata pelajaran pertama belum dimulai.

Gadis dengan rambut yang hanya dikuncir satu itu dengan cepat mendudukan tubuhnya di kursi tempat biasa ia duduk. Di tengah. Dengan begitu gadis tersebut tidak bercanda di belakang juga tidak terlihat jika ia sedang tidak konsentrasi dalam menerima pelajaran.

“Pagi anak-anak.”

“Pagi Bu Chiara.” Jawab para murid serempak.

Guru dengan make up tebal bold itu merapikan beberapa perlengkapan untuk mengajar. Ia meletakkan sebuah laptop di depan meja. Lalu ia mengabsen para siswa kelas dua tingkat menengah tersebut.

“Baik anak-anakku sekalian. Kali ini kita akan mempelajari matematika bab 6 yaitu theorema pythagoras.”  

Semua murid terlihat mengeluarkan buku paket matematika, tak terkecuali Rindu. Ia sudah mempelajari matematika bab 6 ini pada malam hari.

“Baik sekarang kalian lihat ke depan semuanya.” Guru perempuan bernama Chiara itu menuliskan beberapa rumus di papan tulis. Hampir setengah jam guru itu menerangkan pembelajaran. Para murid juga mencerna pembelajaran. Setelah ia rasa cukup, maka guru muda itu menghapus rumus dan menggantinya dengan menulis beberapa soal.

“Nah sekarang kalian kerjakan ya.”

Rindu juga teman-teman sekelasnya bergegas mengerjakan soal-soal. Di antara mereka ada yang lebih dulu selesai lalu maju dan mendapat nilai, namun tak jarang juga yang ogah-ogahan dan kebingungan menjawab soal matematika theorema pythagoras.

 Rindu pun sudah mengerjakan dua soal dari total lima soal cerita yang ditulis Bu Chiara. Beberapa kali gadis berkuncir satu itu terlihat menguap. Semakin lama ia berusaha untuk mengerjakan soal di buku, semakin ia tidak kuat menahan hawa ngantuk. Kini, matanya semakin berat. Seperti ada yang menggelayuti kelopak matanya. Dan bug. Rindu pun tertidur dengan masih memegang pensil. Ia tertidur diatas buku tulis yang masih sebagian tertulis rumus.

Suasana kelas semakin tanpa suara. Selain karena Bu Chiara adalah salah satu guru dengan predikat galak se jagat raya sekolahan SMP Nusantara, tetapi karena memang semua murid terpaku dengan bunyi dengkuran dari salah satu murid berseragam putih biru yang kini sedang menjadi pusat perhatian di kelas. Ya, siapa lagi kalau bukan Rindu.

“Rindu Purnama Sari!”

Suara teriakkan sang guru membuat gadis itu terperanjat. Ia langsung tercengang ketika yang berada di sebelahnya bukan lagi temannya tetapi Bu Chiara. Setengah bergidik gadis itu menatap perempuan muda dengan tahi lalat di bibir tipisnya itu.

“Bu, maaf.” Hanya itu kalimat yang bisa Rindu ucapkan. Ia tertegun menunduk mendapati betapa bodoh dirinya. Menahan kantuk saja tidak bisa. Padahal soal matematikanya juga belum selesai dan belum tentu benar.

“Maaf! Maaf! Sudah merasa pintar ya kamu Rindu.” Alis Bu Chiara terangkat.

“Iya maaf, Bu.” Sekuat tenaga gadis SMP itu menahan air matanya agar tidak jatuh.

“Pergi kamu dari kelas saya sekarang juga. Saya tidak suka dengan murid yang menganggap sepele pelajaran juga tidak menghormati saya sebagai guru.”

“Bu, tapi.”

“Cepat keluar!”

Dengan gerakan cepat, Rindu beralari keluar kelas. Ia melewati semua pasang mata di kelas yang tengah menatapnya. Ia menjadi pusat perhatian di kelas. Ia malu. Gadis itu terus berlari menuju kamar mandi di lantai satu.

Prak. Gadis itu menutup pintu kamar mandi rapat-rapat. Ia menangis sesenggukan.

Apa? Apa yang salah pada dirinya? Kenapa ia terus dikelilingi rasa sial. Kenapa semua orang tidak pernah mengerti ada di posisinya?

 

***

 

“Hei, boleh gabung?”

Rindu menoleh, dan mendapati gadis dengan potongan segi layer itu memilih duduk di sebelahnya. “Loh, Kayla. Lo ngapain di sini?” tanya Rindu yang masih seolah tidak percaya salah satu siswi hits di SMP Nusantara itu mau duduk dan ngobrol dengannya.

“Seharusnya aku yang tanya, kamu ngapain di sini?”

Pertanyaan Kayla membuat Rindu celingukan ke sekelilingnya. Ya benar, jelas saja aneh. Ngapain juga Rindu sendirian duduk di bawah toren air yang letaknya ada di belakang sekolah.

“Hmm, gue menganggap ini adalah kebun sekolah yang indah.” Jawab Rindu sekenanya.

Kayla mengangguk. Ia menghela napas. “Baiklah. Hm, kamu nggak merasa banyak nyamuk ya?”

“Ada sih.”

“Nah, yaudah yuk ke kantin aja.” Ajak Kayla.

Rindu tampak ragu. Ia membuang pandang dari wajah Kayla.

“Ah kelamaan kamu.” Kayla langsung menarik tangan Rindu tanpa menunggu persetujuan gadis berkuncir satu itu.

“Kamu pilih mau apa?” Kayla menyodorkan daftar menu di kantin tersebut.

Rindu ragu untuk mengambilnya, namun tatapan Kayla membuat gadis itu akhirnya melakukan apa yang diperintahkan siswi hits tersebut. Ia membaca satu persatu menu tersebut. Ia terkejut begitu melihat nominal. “Gue air putih aja ya.”

“Hah? Air putih?”

“Iya gue nggak lapar soalnya mubazir.” Lagi-lagi Rindu mengelak, mencari alasan.

“Hmm weits, aku saja ya yang bayar. Kan aku traktir kamu.” Kayla tersenyum. “kamu mau apa? Chicken crispy suka?”

Rindu mengangguk.

“Hmm atau burger cheese?” Gadis berhidung mancung itu kembali memilih menu. “Hmm atau..”

“Terserah lo aja Kayla. Gue ngikutin aja.”

“Baiklah, kita makan spagheti sama chicken crispy aja ya. Oh ya minumnya jus jeruk aja ya.”

Dengan cepat, Kayla melambaikan tangan ke arah petugas kantin. Ia menyerahkan pesanan.

“Makasih loh ya, lo udah sebaik ini sama gue.” Ucap Rindu ketika petugas berseragam kaos itu sudah pergi.

“Sama-sama.”

Suasana hening beberapa saat.

“Oh ya, tadi di kelas kamu kenapa?”

Rindu menyunggingkan senyum. “Biasa mungkin gue kelelahan. Jadi, ya udah ga kuat aja nahan ngantuk.”

Kayla mengangguk. “Kamu tinggal di perumahan Kencana Indah ya?”

Rindu tersenyum. “Iya. Loh kok lo tau?”

“Iya kemarin lagi lewat nggak sengaja lihat kamu. Mau manggil keburu mobilku menjauh.” Kayla terkekeh. “Kamu sama anak kecil, itu adik kamu ya?”

Rindu memaksakan senyum. “Iya itu adik aku.”

“Wah asik nanti pulang sekolah main ya ke rumah kamu.”

“Jangan.” Bantah Rindu, cepat.

“Kok gitu. Aku gemes loh sama anak kecil.”

“Itu bukan rumah gue. Itu rumah Om dan Tante gue.”

“Oh, oke baik. Itu pesanan kita sudah datang. Yuk buruan kita makan.”

 

***

 

Malam ini hujan turun lagi

Bersama kenangan yang ungkit luka di hati

Luka yang harusnya dapat terobati

Yang ku harap tiada pernah terjadi

 

Ku ingat saat Ayah pergi, dan kami mulai kelaparan

Hal yang biasa buat aku, hidup di jalanan

Disaat ku belum mengerti, arti sebuah perceraian

Yang hancurkan semua hal indah, yang dulu pernah aku miliki

 

Wajar bila saat ini, ku iri pada kalian

Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah

Hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam

Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan

 

Tanpa sadar Rindu menitikkan air mata begitu mendengar potongan lagu yang dibawakan salah satu penyanyi di Indonesia. Lirik lagu yang sama dengan kisahnya. Ya, Rindu Purnama Sari adalah salah satu dari korban keegoisan orangtua. Rindu adalah korban dari perceraian orangtua. Mungkin memang hidup Rindu tidak terlalu menderita seperti di kisah sinetron. beruntungnya, gadis itu masih memiliki saudara yang berkecukupan. Sudah satu tahun lamanya ia dititip pada sang Tante. Sementara adiknya dan ibunya berjuang di kampung halaman bertahan hidup. Ayahnya? Mungkin sudah tenang dengan istri barunya. Tetapi apa bisa kasih sayangnya menggantikan keutuhan kasih sayang orang tua asli seperti temannya yang lain.

Sementara di sisi lain Rindu sebagai anak tertua di keluarganya dituntut harus menjadi purnama untuk keluarga. Menjadi penerang untuk masa depan adik-adiknya. Terlepas bagaimana perjuangan Rindu saat ini tinggal di rumah Tante dan Om nya sendiri. Orang lain tidak perlu tahu tentang kepedihan Rindu. Orang lain hanya perlu tahu jika nanti Rindu bisa berprestasi. Pada masa yang akan datang nanti, Rindu menjadi orang sukses yang mampu membuat keluarganya terpandang terhormat.

Terkadang sejujurnya Rindu juga ingin memaki. Tetapi jika memaki pun pada siapa? Pada orangtuanya? Atau pada Tuhan saja sekalian ya. Jika berkata kasar bisa, lalu dapatkah hal itu membalikkan keadaan seperti semula? Lalu, yang dapat gadis itu lakukan hanya apa? Ya berdoa adalah kuncinya. Berharap saja akan ada hikmah dibalik ini semua. Berharap ini adalah proses panjang yang harus ia lalui. Ini semua akan menjadi penguatnya untuk menjadikannya betul betul kuat. Dan di usianya yang masih belia pun ia sudah harus bisa belajar dengan yang namanya ikhlas.

“Rindu!”

“Iya, Bi Asih.” Suara nyaring perempuan gemuk itu membuat Rindu tersadar dari lamunannya sejak tadi.

“Sini cuci piring!”

“Iya, Bi Asih.” Rindu menyeka air mata di pipinya dengan punggung tangannya.

Be strong Rindu Purnama Sari.

Gadis itu buru-buru turun dari lantai dua rumah Tante Revy. Tidak lupa pintu yang menghubungkan balkon ia kunci. Ia bergegas pergi dengan kain lap yang ia sampirkan di bahu juga sapu yang ia pegang. 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)