Cerpen
Disukai
1
Dilihat
9,826
Menjauhkan untuk mendekatkan
Romantis

Menjauhkan untuk mendekatkan


Cinta dengan cepat berlari menuju rumahnya. Ia langsung masuk begitu saja melewati ibunya yang tengah asik membaca majalah di ruang tamu. Gadis itu menuju kamar tanpa mengucap salam sepatah kata pun. Satu hentakan disertai pintu yang tertutup kencang. Air mata mengalir deras di pipinya. “Tidak. Nggak mungkin dia menikah dengan wanita lain.” Hatinya terus berkata demikian meskipun kenyataannya berbeda jauh.

Undangan pernikahan di tangannya menjadi bukti bahwa kekasihnya tinggal menghitung hari lagi sah menjadi milik orang lain. Pria yang ia temani bertahun-tahun bukanlah jodohnya.

 

***

 

Suara dering ponsel yang cukup nyaring itu berhasil membangunkan Cinta. Ia terkesiap ketika panggilan masuk di handphone dengan tampilan wallpaper bergambar bunga mawar itu mengerjap-ngerjap.

“Loh, Wanda mau ngapain telepon jam segini? Masih pagi buta kok dia telepon?”

Cinta kini mengubah posisi menjadi duduk di ranjang sembari mengumpulkan nyawa yang sebagian masih tertinggal di alam bawah sadar. Ia merenggangkan tubuhnya perlahan. Gadis yang masih mengenakan hijab saat tertidur itu menatap jam digital yang menunjukkan Pukul 16.05 sore. Cinta terkejut. Kenapa dirinya bisa linglung seperti ini.

Cinta berpikir keras. Entah kenapa tiba-tiba saja ia baru menyadari yang sebenarnya terjadi. Undangan pernikahan. Cinta mencari-cari kertas dengan sampul berinisial nama kekasihnya. Tadi ia pegang ketika tidur, ia ingat kok lalu kenapa sekarang menghilang? 

Cinta hendak turun, lalu matanya yang sipit menemukan benda yang ia cari. Tergeletak di lantai rupanya. Lagi-lagi hati Cinta tidak karuan, sakit seperti disayat. Begitu pula dengan jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Dengan tenaga yang masih tersisa, ia menarik surat undangan tersebut. Ia buka perlahan. Berharap semoga saja tadi siang ia salah baca. Namun, kenyataan harus ia telan pahit. Hasilnya masih sama. Nama Andi Firmansyah terukir indah pada kertas spesial tersebut. Ternyata ini bukan mimpi buruk, ini kejadian buruk yang harus ia terima. Lagi-lagi bulir air mata itu mengalir begitu saja melewati pipinya yang chubby .

 

***

 

 “Kamu harus makan, Cinta.”

Gadis itu hanya menggeleng.

“Makan. Galau itu butuh tenaga.”

“Aku nggak nafsu makan, Wanda.”

Wanda menghela napas. Sebenarnya gadis itu cukup emosi namun ia kembali mengingat posisi sahabatnya saat ini seperti apa. Tidak mungkin ia menyalahkan atau membentak hanya karena sahabatnya itu tidak juga ingin makan.

“Ya sudah kalau kamu kekeh nggak mau makan. Aku tetap pesankan ya.” Ia menulis beberapa menu pada kertas, lalu memberi aba-aba kepada pelayan untuk menghampiri mereka.

“Cinta.” Wanda mulai membuka obrolan ketika pelayan tersebut mulai menjauh dari keduanya.

Gadis yang kali ini berpenampilan seadanya tanpa sentuhan make up manis di wajahnya itu masih enggan menjawab. Hanya helaan napas dan tatapan sedih yang menjawab sapaan Wanda.

“Tadi ibu kamu bilang, katanya semenjak kejadian kamu terima undangan itu, kamu nggak mau makan. Kalaupun makan kamu minta yang aneh-aneh. Kamu makan sedikit banget cuma pakai kecap. Terus juga pernah makan nasi lauknya kerupuk. Makan bubur pakai sambal delapan sendok.” Wanda membuang napas kesal. “Hei, galau pasti , tapi hidup harus terus berjalan Cinta Jelita.”

“Gimana bisa hidup Wanda?” Air mata kembali mengalir di pipi Cinta. Ia langsung terburu-buru menghapusnya.

“Aku nggak bisa hidup tanpa Andi. Dia cinta pertama aku, dia cinta sejati aku.” Air mata itu kembali jatuh, entah sudah berapa puluh kali gadis itu menangis untuk kepergian seseorang yang telah menyakitinya begitu saja. Laki-laki dewasa yang tega pergi dari hidupnya dengan meninggalkan janji manis tanpa sedikit pun ditepati.

“Hei, Cinta. Aku ini sahabat kamu ya. Dari kecil kita sudah bersama-sama. Jadi, tolong percaya aku.” Tangan perempuan berkulit sawo matang itu menarik jemari perempuan yang tengah terisak di hadapannya. “Cinta, kamu sama Andi itu nggak jodoh. Kamu bakalan dapat pengganti dari Allah, laki-laki yang sudah ia siapkan untuk kamu.”

Cinta menggeleng kuat. “Nggak Wanda. Andi itu yang terbaik untuk aku. Aku nggak mau sama yang lain. Aku maunya sama Andi.”

“Cinta, Andi itu laki-laki nggak baik. Buktinya dia tega menggantung hubungan kalian selama ini tanpa kepastian. Jadi pacar nggak. Ta’aruf serius ke rumah kamu juga nggak. Dia obral janji aja, Cinta. Andi itu di satu sisi anggap kamu sebagai cadangan, Cinta. Ketika perempuan lain yang ia pilih nggak dapat, baru dia bakalan pilih kamu. Sayangnya, perempuan yang ia inginkan berhasil Andi dapatkan. Jadi, ya memang kamu yang harus berbesar hati tereliminasi.” Wanda menarik segelas es jeruk yang disajikan pelayan. Ia meminum untuk menghilangkan haus setelah dari tadi menasehati sahabatnya.

Cinta terdiam. Ia memutar kenangan di memorinya. Apa saja yang sudah Andi lakukan selama ini. Mengirimkan emoticon hati kepadanya, berbicara ke arah pernikahan kepadanya, Andi bilang Cinta adalah gadis tipe nya, Andi ingin bersilaturahmi ke rumah. Sayangnya semua itu hanyalah omong kosong. Dari mulai mereka dekat di kampus hingga sebelum perpisahan, Andi belum pernah sedikit pun menginjakkan kaki di rumah Cinta Jelita. Hanya saja memang Andi pernah mengajaknya bertemu kedua orangtua dan keluarga Andi di rumahnya. Andi memperkenalkan Cinta dengan baik dan gadis itu pun disambut hangat oleh keluarga besarnya.

“Bagaimana dengan Andi mengajak aku bertemu keluarganya?” tiba-tiba saja gadis berhijab itu melontarkan pertanyaan.

Wanda menghela napas. “Karena dia anggap kamu sahabatnya. Ya, seperti teman kampus kita yang lain Cinta.”

“Tapi Andi bilang baru aku kok yang ia ajak ke rumahnya.”

“Cinta, jangan polos. Itu umpan Cinta. sudah ya pokoknya di mata dia kamu itu nggak se spesial yang kamu bayangkan, Cinta!” Gadis berdarah Jawa itu tanpa rasa iba menyadarkan sahabatnya, agar ia tahu betapa jahatnya Andi selama ini mempermainkan gadis itu. “Lagian juga apa sih spesialnya Andi? Sampai kamu tergila-gila sama dia.”

Cinta tersenyum getir mengingat Andi. “Laki-laki itu adalah calon imam yang baik untuk masa depan. Dia bisa memimpin pengajian, dia bisa jadi imam sholat, dia pintar mengaji, bacaan Al-Qur’annya fasih, sayang banget sama orang tua, sayang sama keponakannya. Pokoknya dia calon idaman deh, Wanda.”

“Tapi, yang Allah janjikan adalah jodoh cerminan diri sendiri Cinta. Karakter kamu yang kerja keras mandiri berkebalikan sama Andi yang manja sama orang tua. Cinta, kamu kan sahabat aku dan aku mau kamu berpikiran terbuka. Allah akan kirimkan yang kamu butuhkan bukan yang kamu inginkan. Percaya aku, ya.”

***

 

Cinta menikmati udara pagi yang cerah. Ia berjalan pelan sembari merasakan hembusan angin pagi yang membelai hijab pashmina nya. Suara kicau burung terdengar ramai di setiap pohon yang berdiri tegap di sisi kiri jalan. Cahaya matahari juga terasa menyapa kulit cinta dengan sentuhan hangat. Gadis itu menghirup kuat-kuat udara desa yang letaknya tepat di kaki gunung.

Cinta merapatkan jaket berwarna tosca yang ia kenakan. Kedua tangannya ia masukkan ke saku, untuk melindungi jari-jarinya agar tidak menggigil terkena udara dingin yang mencapai 16 derajat celcius. Maklum saja, saat ini gadis itu bukan lagi tinggal di Jakarta. Ya, semenjak hubungan Cinta Jelita dan Andi Firmansyah kandas, gadis itu memilih untuk pindah menjauh dari ibu kota. Ia tidak ingin jika suatu saat dirinya tidak sengaja bertemu laki-laki berparas Arab tersebut. Ia tidak ingin terlalu lama menyiksa hatinya. Ia tidak ingin kenangan manis bersama Andi menghantui hidupnya. Maka dari itu, Cinta memutuskan untuk pindah ke Malang, Jawa Timur.

Perempuan dengan tinggi hanya 158 cm itu masuk menuju halaman sekolah dengan cat dinding berwarna biru tua yang dipadukan dengan warna putih. Bunyi khas sepatu pantofel hitamnya membuat beberapa pasang mata tertuju ke arahnya. Beberapa dari anak-anak yang mengenakan seragam bercorak batik itu tersenyum kepadanya. Gadis itu langsung membalas dengan anggukan wibawa.

“Morning, Miss Cinta,” sapa seorang murid dengan rambut lurus sebahu. Sebagai hiasan, ia padukan dengan jepitan di bagian rambut dekat telinga.

“Morning juga Tiara.”

Cinta tersenyum lalu masuk ke arah ruang guru. Ia meletakkan tas kecil berwarna senada dengan jaket yang ia kenakan pada sebuah meja kayu sederhana. Walau sederhana namun cukup terlihat manis dan rapi berkat hiasan pada bagian pojok berupa bunga yang sengaja dibuat dari bahan-bahan yang sudah tidak terpakai. Juga beberapa dokumen penting yang ditempatkan pada sebuah tempat tersendiri.

Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu menghela napas lega. Ia melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Jarum sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Kelas akan ia mulai satu jam lagi. Setidaknya ia masih memiliki waktu untuk istirahat sebentar sembari mengisi perutnya yang mulai terasa keroncongan karena memang belum ia isi dengan sarapan.

Dering ponsel berbunyi. Cinta merogoh tas kecil tersebut, kemudian menemukan panggilan masuk bertuliskan Wanda sahabat. Raut wajah gadis itu semakin ceria. “Halo Wan.”

“Ya ampun, Cinta. Sudah lama banget nggak ngobrol. Aku kangen tahu. Kamu apa kabar di sana?” tanya suara di ujung sana.

Cinta tersenyum. “Baik kok Wanda. Iya, maaf ya dari pas pindah tiga bulan lalu sampai sekarang aku belum bisa ngobrol banyak sama kamu.”

“Hm, oke maaf diterima.”

“Kamu masih ngajar disana Wanda?” sekarang giliran Cinta yang mengajukan pertanyaan. Terakhir yang ia tahu gadis periang itu sudah tidak betah di pekerjaannya dan berniat mengundurkan diri.

“Nggak jadi! Cari kerja ternyata sulit tau.” Wanda terkekeh. “Aku lagi kosong jadwal nih jadi kita bisa teleponan lama ya.”

Cinta mendengus. “Sayangnya aku ada jam pelajaran hari ini. Jam delapan harus masuk kelas. Maaf ya Wanda. Kamu mau ngobrol apa?”

Lama tidak ada suara. Gadis itu yakin sahabatnya pasti sedikit kecewa. Mungkin teman seperguruannya tersebut benar-benar sedang butuh seseorang untuk sekedar diajak bertukar pikiran. “Hm, baiklah. Kapan-kapan kita sambung ya. Oh ya, kamu sudah dapat gebetan belum di sana?” Suara riang Wanda membuat gadis yang mendengarnya teraliri energi positif.

Cinta terkekeh. “Belum ada kok, Wanda.”

“Ah masa?” goda Wanda dengan ikut tertawa.

Cinta menyeringai lebar. “Beneran belum ada. Aku masih trauma tahu.”

Hening seketika.

“Sudah ya. kita sambung lagi nanti.” Ucap Cinta akhirnya. Ia menutup telepon setelah teman bicaranya mengiyakan.

Mana mungkin aku bisa secepat itu menghapus rasa untuk Andi. Bagaimana mungkin aku bisa mencintai laki-laki lain seperti aku mencintai Andi. Bagaimana mungkin aku bisa berpindah hati secepat itu? Aku belum siap.

 

***

 

Udara pagi masih terasa dingin menusuk tulang. Begitu pula dengan kabut yang menutupi sebagian lingkungan. Sejauh mata memandang sedikit buram dikarenakan adanya kabut. Membuat jarak pandang penglihatan harus awas. Sementara, embun masih menempel sempurna di setiap daun.

Cinta menarik napas. Menghirup udara pagi kuat-kuat. Membawa oksigen bersih itu untuk paru-parunya agar lebih sehat. Ia tersenyum puas ketika tubuhnya akhirnya terasa begitu sehat.

Jalanan masih terlalu sepi untuk wilayah desa seperti tempat yang Cinta pijak saat ini. Kendaraan belum banyak berlalu lalang, karena mayoritas warga desa nya yang usia produktif lebih memilih pergi ke kota untuk merantau, sebagian lagi menggeluti bidang pertanian dan perkebunan. Jadi wajar saja jika pun pagi hari sudah mulai bekerja, ya pasti adanya di kebun dan sawah. Bukan di jalanan utama yang menghubungkan desa dengan pusat keramaian, seperti pasar, rumah sakit atau sarana pendidikan.

Cinta kembali tersenyum begitu melihat dua ekor burung terbang di langit mengepakkan sayapnya. Suara khas kicaunya membuat gadis itu semakin mengerti bahwa bahagia bisa didapat dari hal sederhana sekali, seperti yang ia rasakan. Menikmati udara pagi ditemani kicauan burung juga musik yang mengalun lembut di telinga.

Cinta membetulkan letak headset yang ia gunakan. Ia menekan lebih dalam benda kecil itu ke dalam telinganya. Setelah ia rasa cukup nyaman, gadis itu segera memutar playlist lagu di handphone miliknya. Setelah beberapa kali ia mencari, akhirnya Cinta berhenti di salah satu judul lagu. Halaqah cinta dari Dazzling.

 

Ribuan malam menatap bintang dan harapan

Ribuan siang menahan terik penantian

Mungkin Tuhan ingin kita sama-sama tuk mencari

Saling merindukan dalam doa-doa mendekatkan jarak kita

 

Tuhan pertemukan

Aku dengan kekasih pilihan

Seseorang yang mencintaimu mencintai rasulmu

Di multazam ku meminta

 

Ribuan pagi menatap terbit matahari

Ribuan senja menahan gemuruh di dada

Mungkin Tuhan ingin kita sama-sama tuk mencari

Saling merindukan dalam doa-doa mendekatkan jarak kita

 

Tuhan pertemukan

Aku dengan kekasih pilihan

Seseorang yang mencintaimu mencintai rasulmu

Di multazam ku meminta

 

Cinta menghentikan lagu yang ia putar begitu ia memasuki lingkungan sekolah. Dengan cepat ia memasukkan headset berwarna pink itu ke dalam tas hitam di lengan kirinya. Bunyi khas sepatu pantofel terdengar lebih jelas ketika ia sampai di depan ruangan yang pijakannya langsung dengan lantai.

Cinta menghampiri gagang pintu. Ia hendak masuk ruang guru. Belum juga guru muda itu masuk, namun sebuah suara menahannya. Ia menoleh, dan mendapati seorang guru yang sedikit lebih tua darinya sedikit berlari ke arahnya.

“Bu, ibu Cinta.”

“Ya, bu ada apa?”

“Hari ini, saudara saya yang dari kota Malang libur kerja. Dia mau kesini. Jadi ya kalian kenalannya.” Guru dengan hijab panjang khas guru agama itu tersenyum. “Dia mau taaruf sama bu Cinta.” godanya.

Cinta menghela napas. Sebetulnya ini kali yang sekian gadis itu sudah dijodoh-jodohkan dengan beberapa orang. Berkali-kali juga ia menolak tawaran-tawaran tersebut karena ia sendiri masih belum bisa berpaling sepenuhnya dari Adi. Ia juga belum berani untuk kecewa untuk kedua kalinya.

“Hmm, ya. boleh.” Entah kenapa ia malah mengeluarkan kata-kata itu. Gadis  itu spontan menutup mulutnya, namun apa boleh buat. Ucapannya sudah terlanjur direkam oleh lawan bicaranya tersebut yang terlihat kegirangan.

“Baik bu Cinta. Nanti dia kesini setelah jam pulang sekolah.”

 

***

 

Cinta tersenyum lepas ketika pemilik mata sayu itu kini berdiri di hadapannya. Lelaki jangkung yang mengenakan setelan jas hitam itu menarik pelan jemari Cinta jelita dengan sedikit gemetar karena grogi. Laki-laki itu memasangkan sebuah cincin emas tepat di jari manis Cinta. Perempuan yang tengah mengenakan gaun kebaya berwarna putih dengan hiasan di kepalanya itu menyunggingkan senyum kemenangan. Sekarang gantian Cinta yang memasangkan cincin di jari laki-laki tersebut sebagai simbol bahwa keduanya telah terikat sah menjadi sepasang suami istri.

Riuh suara tepukan tangan terdengar di ruangan pesta pernikahan. Wanda, sahabat terdekat Cinta yang turut hadir di acara spesialnya sudah sedari awal mengambil posisi untuk lebih jelas merekam momen tak terlupakan sahabatnya. Setelahnya beberapa jepretan foto dari kamera pribadi masing-masing tamu undangan berebut untuk mengabadikan momen penting pengantin tersebut. Tidak lupa fotografer asli yang keduanya pilih untuk dokumentasi pernikahan mereka mengarahkan keduanya saling menatap dengan senyum sempurna agar hasilnya tampak lebih indah.

Cinta mengikuti saran sang fotografer. Ia menatap laki-laki yang kini sudah sah menjadi suaminya. Ya, laki-laki bernama Farhan Budi Wijaya itu laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun yang bertemu dengannya melalui cara taaruf. Laki-laki yang berprofesi sebagai manager di salah satu perusahaan ternama di kota Malang. Farhan yang begitu mandiri, pemberani, penuh tanggung jawab, pekerja keras, gigih, ulet, berbakti kepada orangtua. Karakter yang sungguh Cinta cari selama ini. Tidak ketinggalan, laki-laki itu juga pandai mengaji, ibadah sholat pun rajin ditambah keyakinan hati Cinta yang membuat ia mantap menerima pinangan Farhan, sosok yang baru dikenalnya beberapa bulan lalu. Awalnya Cinta merasa mustahil, namun ternyata benar perkataan orang. Jika jodoh, maka akan dipermudah semuanya. Inilah yang Cinta Jelita alami. Dari tahap taaruf, khitbah, sampai pernikahan semuanya dilancarkan.

Cinta kembali tersenyum begitu mengingat betapa bodoh dirinya dahulu yang pernah kecewa terhadap ketentuan Allah. Ia yang marah karena ditinggalkan Andi begitu saja. Ia yang pernah merasa bahwa sepertinya ia akan lama menemukan jodohnya. Hingga Cinta terus mengadu setiap sepertiga malam kepada Sang Pencipta. Ia terus menangis. Meminta dipertemukan dengan laki-laki yang mampu membuatnya tidak lagi mengingat Andi. Lalu secepat kilat, Allah perkenalkan Farhan kepadanya. Yang awalnya ragu, lalu Allah memberi keyakinan melalui sholat istikharah.. Kini Cinta juga sadar, di balik kecewa sebenarnya ada hikmah yang bisa didapatkan. Di balik perlakuan tidak baik dari seseorang, akan ada skenario indah dari Allah jika kita sabar menanti. Kini Cinta paham, bahwa Allah menjauhkan yang salah dan mendekatkan yang tepat. Menjauhkan untuk mendekatkan. Ya, mendekatkan kepada jodohnya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)