Masukan nama pengguna
“Jadi ini toh yang membuat kamu ketakutan dari tadi?” kucoba menata wajahku sedatar mungkin.
“Belum selesai mbak, tadi pagi dia kesini lagi. Dia minta tolong sama saya. Dan karena kasihan, ya saya tolong aja. Masnya serius gitu waktu ngomongnya.” tolong "saja" katanya?
“Kamu nolong apa?” Desma mengulum bibirnya, tanganya tidak bisa diam. Bahkan kakinya pun ikut-ikutan tidak bisa diam, “Jujur saja, atau saya akan beneran marah sama kamu.” Desma bangun dari duduknya, anak langsung lantang mengatakan, "Masnya bilang, dia titip perempuan itu sama mbak. Soalnya, masnya harus balik ke Jepang. Katanya perempuan itu nggak banyak kenal orang di sini." matanya membubuhkan kata memohon padaku.
“Gila kamu!” aku langsung berdiri sambil menopang tangan di pinggang. Kepalaku sekarang dipenuhi dengan kata makian yang bisa saja keluar begitu saja, namun kutahan.
Dari sudut matanya, Desma ingin menangis. Lalu bagaimana denganku? Apa mantan tunanganku dengan teganya menitipkan istrinya yang sedang hamil padaku? Lalu kenapa dokter gila itu harus melakukannya? Memangnya sedang apa mereka di Jakarta? Honeymoon? Atau Babymoon? Sinting!
“Di mana perempuan itu sekarang?”
“Di rumahnya mbak." dengan mudahnya, tubuhku terjatuh di lantai. Kakiku bukan lagi terasa lilu, tapi sudah tidak lagi bertulang. Desma memaksaku untuk bangun dari lantai, “Jangan duduk di lantai. Banyak kuman mbak." kulirik wajahnya, Desma pura-pura tersenyum. Kalau ada hal paling kuinginkan saat ini. Terjun bebas di laut dan lenyap terbawa gelembung.
“Saya salah mbak, saya ngaku salah. Tapi saya mohon, maafin saya kali ini. Atas nama kemanusiaan."
Kalau saja aku mampu untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan mudah, Riku adalah alasanku untuk melakukannya.
