Cerpen
Disukai
0
Dilihat
9,479
Puisi yang Menggantung di Tiang Kasau
Romantis

Sirih senggang kuning

Naik belukar muda

Muka aku bagai anak mambang kuning

Berkat aku memakai doa setandang muda

Matahari tidak berseri

Seri naik ke tubuhku

Bulan tidak bercahaya

Cahaya naik ke mukaku


Rasa-rasanya mantra peseri muka warisan ibunda yang dibaca Supiah diam-diam saban hari di kamarnya itu telah kehilangan tuah. Tengoklah, Jamani–sang suami–sejak pungkak hari tadi bahkan tak lagi sedia memandang wajahnya. Menunduk saja lelaki itu macam gelagat orang yang tengah susah mencari-cari barang jatuh.


Adakah yang salah? batin Supiah bimbang. Padahal biasa rapalannya tak pernah jatuh dalam kesia-siaan. Jamani takkan betah bila tak memandang wajahnya barang sehari.


Dalam keheranannya itu, Supiah hendak bertanya, tetapi suaminya telah pula menyela.


“Aku akan pergi dan mulai hari ini engkau kubebaskan.”


Serupa meriam karbit yang ditembakkan pada malam-malam sunyi, kata-kata Jamani itu terdengar menggelegar di telinga Supiah, membuat bergetar seluruh jiwa raganya dalam sekejap. Ia tahu, buat orang bersuami istri, kalimat itu tak pernah berarti lain. Ia telah ditalak oleh Jamani!


Habis sudah! pikir Supiah.


Limbung wanita bersanggul tinggi itu. Porak poranda hatinya, terburai macam isi perut ikan kembung yang tak sengaja tertimpa balok es.


“Ini,” sambung Jamani pula ketika Supiah belum genap mengumpulkan serpihan kesadaran yang malangnya datang dengan amat lambat. Merayap, seolah tak benar-benar sudi memasuki akal seorang Supiah.


Sebuah buku catatan kecil berwarna hitam diangsurkan Jamani. Tidak, ia tak bermaksud menyerahkan benda itu secara langsung ke tangan Supiah, tetapi sengaja menjadikan meja di depan batang hidung istrinya itu sebagai perantara.


Alamak! Makin terlukalah harga diri Supiah. Sebagai istri, martabatnya jatuh berserak manakala sang suami telah secara terang-terangan menampik sekadar untuk bersinggungan kulit.


Supiah tergagap. Untuk mengurai kegugupan, terpaksalah ia membuang pandang ke barisan tiga buah jendela di sisi lain muka ruang tamu itu. Ia mengerjap beberapa kali sebelum benar-benar berani menilik penampakan buku itu.


Buku pembawa petaka, maki Supiah dalam hati. Mestinya ia tak mengurungkan niat untuk membakarnya tempo hari. Atau paling tidak ia dapat menyimpannya lebih rapi. Atau patutnya memang ia tak membiarkan Jamani mengemasi almari tempat ia menyusun baju hari-hari.


Aih, mengapa pula suaminya itu tak seperti suami-suami lain yang gemar bermain dengan gawai atau binatang peliharaan ketimbang merapikan rumah saban libur kerja di hari Minggu?


“Maafkan aku. Mestinya kutemukan benda itu jauh sebelum ini, bukan? Dan kau pun, mengapa tak berkabar sedari awal?” Jamani bertanya dengan geraman tertahan. Kakinya urung melangkah, pertanda satu kesempatan tertinggal buat Supiah.


Ah, Jamani. Selalu begitu tiap-tiap berselisih paham. Salah tak salah, tetap ia yang akan meminta maaf, mengulangnya serupa mantra hingga Supiah sedia mengangguk, menghentikan apa pun yang tengah dirajukkannya.


Sakit lagi hati Supiah mengenangkan sikap suaminya yang serupa buntat manusia. Kebaikannya tak habis-habis, meski tak satu pun yang mendapat timbal balik.


Ya, tiga puluh tahun berumah tangga, tak sedikit pun Supiah mampu menghadirkan cinta untuk Jamani, suami yang kesetiaannya melebihi seekor merpati. Meski dengan lelaki itu ia telah pula beroleh seorang putri dan seorang cucu lelaki nan menggemaskan.


Hari-hari ia hanya menguatkan hati dengan bakti. Sebagai anak terhadap orang tua yang menjodohkan mereka dan sebagai istri yang surganya terkunci di kaki Jamani.


Akan tetapi, kunci itu pun kini terancam hilang sudah. Jamani hendak menceraikannya sebab tak sengaja terbaca isi buku yang sebetulnya telah berusaha dikubur Supiah sejak lama. Hanya saja, kurang dalam ia memendamnya hingga masih boleh terjumpa oleh Jamani.


Ah, celaka benar kehidupan perempuan berkulit kuning langsat itu. Bagai tak ada berkah usia yang sedia dihadiahkan Tuhan kepadanya. Masa mudanya terenggut oleh perjodohan, masa tua pula terancam dijandakan.


Pasal isi buku bersampul hitam kepunyaan Supiah itu, tiada yang ganjil di dalamnya. Ia hanya berisi baris-baris puisi ciptaan Syahrizal sewaktu mereka bersama. Dahulu, sebelum Jamani hadir di antara mereka sebagai jodoh yang disodorkan para tetua.


Salahnya, puisi berikut sebuah nama lelaki lain belakangan ini kerap benar Supiah igaukan dalam tidurnya, memantik curiga dan cemburu di hati Jamani. Dan bara itu tersulut lalu berkobar sebagai api amarah tatkala syair yang sama, pun pengarang yang sama, ditemui Jamani dalam lembar usang sebuah buku catatan hitam yang tak pernah Jamani tengok sebelumnya.


Aku melihat rembulan

Tumpah ruah di wajah Puan

Lalu dersik dedaunan

Memainkan kidung pujian

Syahdu, lembut membelai perasaan

Syahdu, lembut melenakan

Syahdu, syahdu duhai Puan!

Aku melihat bintang

Pindah pendarnya di mata nan cemerlang

Lalu segala berubah benderang

Sepi sunyi hambur ditabuh genderang

Melompat, menari, bertalu kian riang

Gemilang tak terbilang

Gemilang, bertabur gemintang

Gemilang, Adik Sayang!

Oh, akalku mati tertawan

Aku dalam kuasa cinta agaknya, Puan

Tiada temaram dalam tiap malam berbulan

Sebab di mata cuma ada puji puja

Purnama kalah pesona

Lalu aku melihat dunia

Tunduk takluk di bawah Adinda


Jamani hendak menyangkal, tetapi sorot iba, alih-alih cinta yang ia jumpai tiap menatap manik Supiah menyadarkannya. Istrinya itu telah lama menahan siksa!


“Di mana lelaki itu sekarang, Piah? Biar kutemui sekali, agar dapat kuserahkan engkau dengan baik-baik kepadanya.” Bergetar suara Jamani ketika mengatakannya.


Pecahlah tangis Supiah. Tak dapat lagi ia menahankan sayatan sembilu pada tiap-tiap lapis isi dadanya. Tersungkur ia di bawah kaki Jamani, suaminya.


“Aku tak marah. Justru aku hendak meminta maaf karena telah bertindak bak penyamun. Kularikan engkau atas nama cinta, tak ubahnya laku Rahwana kepada Sinta. Namun, rupanya semua hanya fatamorgana. Sebatas angan-anganku sahaja, sebab hatimu sejak semula telah pula dimiliki pihak lain. Oh, sakitnya, Supiah! Berpuluh tahun aku salah menakar perasaan.


“Aku … aku … ah, begitu buruk rasanya menjadi jurang di antara hubungan dua insan. Maka, kalau ada sedikit saja penghargaanmu terhadapku dan perkawinan kita yang sekian lamanya ini, izinkanlah aku menjadi jembatan untuk perasaan kau dan pujangga itu!”


Makin meraung Supiah. Letih ia mengurut dada, membujuk diri agar mampu berkata-kata di antara isak.


“Jauh, Bang! Ia telah pergi ke negeri yang amat jauh. Aku bahkan curiga doa-doa tak dapat menjangkaunya.”


Mengernyit kening Jamani.


“Ia telah menebus kecewanya di tiang kasau, tepat di malam pertama kita ….


“Sebab itu aku senantiasa terkenang. Alih-alih cinta, yang menghantuiku justru perasaan berdosa. Kepadanya, kepadamu, kepada diriku sendiri.”


Mulut Jamani menganga dengan amat lebarnya. Sungguh tak hendak ia percaya, rumah tangga yang ia gadang-gadang sebagai perwujudan surga itu rupanya tak lebih dari neraka yang cuma berisi rentetan petaka.


Duhai cinta, berat benar tebusannya!



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)