Cerpen
Disukai
2
Dilihat
3,050
Bujang Gulali: Sahabat Sayang, Sahabat Malang
Komedi

Pernahkah engkau merasakan kasih sekaligus benci dalam waktu bersamaan? Semacam rasa sayang yang bercampur dengan hasrat hendak menendang. Kalau aku pernah. Ah, tetapi ini bukan perihal wanita. Ini soal persahabatan antar lelaki.

Baiklah, biar kuceritakan padamu sekarang.

Aku seorang lelaki bernama lengkap Boiman bin Mansyur. Negara mencatatku sebagai lajang berusia ganjil, tiga puluh tujuh tahun. Dan aku memiliki karib bernama Badarol bin Sulai, lekaki yang juga lajang hingga kini.

Pergaulanku dengan Badarol bermula dari masa sekolah, puluhan tahun silam. Ketika itu aku adalah murid baru, pindahan dari Kuala Karang, sebuah tempat yang amat jauh dari keramaian. Sesuai namanya, tak ada apa pun yang tampak sejauh mata memandang, selain bongkahan karang, pasir dan air laut. Jangan tanya bioskop dan supermarket. Aku bahkan curiga jalan menuju rumahku tak ada dalam data Google Map. Maka dari sekian fakta itu, bolehlah dikata aku sebagai orang udik tingkat pertama.

Adalah Badarol, manusia satu-satunya yang sedia mengulurkan tangan kala itu, mengajak berkenalan. Senyum manisnya terkembang mengiringi jabat pertama kami. Keramahan yang kelak di kemudian hari baru kuketahui sebagai akal bulus, jebakan agar aku sedia dimanfaatkan. Sebabnya tiada lain: aku orang yang cukup berpunya. Ayahku adalah juragan tambak udang windu, sekaligus pemilik berhektar-hektar kebun kelapa di Tanjung Saleh. Kalau cuma pasal makan-minum, jajan, dan berjalan-jalan keliling Mempawah sampai Sungai Pinyuh, tak perlulah Badarol risau. Semua dalam penanggunganku.

Asal ia kuat mengayun tungkai, cincai sajalah.

Maka bagai mendapat durian runtuh, gegap gempitalah hati Badarol. Senang bukan buatan ia bertemu kawan yang sanggup menjamin kehidupannya. Macam-macam cara ia lakukan buat menguras dompetku. Mulai dari meminta dengan terang-terangan, sampai memakai jalan tipu-tipu. Semua kuturuti, meski dalam benak sering pula aku tak habis mengerti: bagaimana aku bisa senantiasa terpedaya? Dan yang lebih mencengangkan, bagaimana aku bisa selalu memaafkan dan terus hidup berdampingan dengannya?

Jawabannya mudah saja. Selain udik, bolehlah aku dikata sebagai orang bodoh kelas menengah.

Mulanya persahabatan kami berjalan sebagaimana biasa, seru dan riang gembira. Aku dan Badarol bermain gundu bersama, mengejar layangan berdua, juga acap bertukar makan minum. Namun, lambat laun kebengalan Badarol tampak jua. Ia menebarkan pengaruh buruknya tanpa kusadari. Pelan-pelan ia mengajariku dasar-dasar kriminal.

Di kantin sekolah, ia menuntunku membayar bakwan tak sesuai jumlah. Makan lima, bayar tiga. Katanya itu pelajaran buat Ibu Kantin yang ketinggalan zaman, tak mengerti sistem buy 3 get 2 free.

Alamak!

Di luar sekolah lain lagi. Ia membimbing langsung aksi-aksi kriminal tingkat lanjut. Mencuri langsat yang bahkan belum sempurna menguning, menjebak ayam tetangga, atau melempari atap rumah orang dengan kerikil saban subuh, sepulangnya dari surau.

Ah, memang benar kata pepatah. Berteman dengan tukang minyak wangi, maka engkau akan tertular wangi. Berteman dengan pandai besi, maka hangus badan dan bajumu. Berteman dengan Badarol, rusaklah otakmu.

Yang paling pelik dari itu semua adalah saat aku mulai jatuh cinta. Ialah Fatimah, putri Long Sabeni, pemilik bengkel sepeda motor di utara kampung yang membuat aku tergila-gila. Makan tak kenyang, tidur tak pulas, belanja tak jadi–kalau ini sebab aku memang lupa membawa uang.

Pendek kata, aku gelisah bila sehari saja tak bertemu Fatimah.

Gadis berambut ikal sepinggang itu kebetulan juga adik kelas kami di SMA. Aku dan Badarol kelas tiga, ia kelas satu. Perbedaan yang lumayan jauh. Pula kami berdua terkenal bebal, sedangkan ia pintar tiada terkira. Belum genap setahun bersekolah, macam-macam prestasi telah ditorehnya. Terakhir ia bahkan terpilih sebagai finalis Dare Mempawah, berdampingan dengan seorang bujang dari kelas dua.

Amboi, patah hati aku dibuatnya.

Beruntung Badarol, karib setia berjiwa setengah penjahat itu mau mengerti. Ia mendengar keluh kesahku tanpa jemu. Tak pernah sekali pun ia menyela ketika aku bicara, meski yang kukeluhkan hal yang itu-itu saja.

"Sudahi tangismu, Boi! Mari kita beri bujang itu pelajaran, agar tak sembarang merebut milik orang!" ujar Badarol suatu malam, usai kami bermain gitar di teras rumahku.

Aku menoleh cepat, memperhatikan air muka Badarol. Kentara benar ada emosi di sana. Cuping hidung lelaki muda itu kembang kempis dengan dada yang naik turun, khas orang memendam amarah. Aih, betapa tersanjungnya aku dibela sedemikian rupa oleh sahabat yang cuma seorang itu.

"Tak boleh ada seorang pun yang menginjak-injak harga dirimu. Kecuali aku!" serunya lagi, sengaja mengapi-api.

Aku mulai terbakar, tak peduli betapa sumbangnya kalimat terakhir Badarol.

"Bagaimana caranya?"

"Gampang, serahkan kepadaku!"

Badarol lalu berpamitan. Tentu saja setelah menepuk pundakku berulang-ulang, memberi penguatan, membuatku merasa amat disayang dan diperhatikan. Bukan main memang karibku itu. Pandai benar membesarkan hati.

Keesokan harinya, sekolah gegap gempita oleh sebuah berita. Sepeda Brian–aku benci tiap memikirkan, apalagi menulis nama yang begitu keren ini–bujang pasangan Fatimah di Festival Bujang Dare, tergantung terbalik di pohon akasia belakang sekolah. Tak tahu siapa, apa, dan bagaimana kejadiannya.

Brian meraung mencaci maki, takut terlambat sampai ke sanggar, sedangkan hari itu ia mesti fitting baju untuk festival esok hari. Tak henti mulutnya menceracau, mengutuki peristiwa itu sebagai sabotase.

Aku menyeringai.

Badarol mengedipkan mata.

Dan kami terpingkal-pingkal setelahnya.

Sungguh, waktu itu dadaku hampir meledak karena bangga memiliki Badarol. Kami bak komplotan mafia yang kuat dan saling menjaga.

Namun, tak ada kejahatan yang sempurna. Pak Mochtar, guru BK bermata jeli lagi teliti, akhirnya mencium gelagat kami. Beliau marah bukan buatan, tak segan memasukkan nama kami berdua dalam buku hitam.

"Dasar begundal!" semburnya seraya menutup buku keramat itu di depan batang hidung aku dan Badarol.

Kami dihukum skorsing tiga hari.

"Tak apa, Boi! Kalau emakmu bertanya, bilang saja kita sedang masa tenang. Bukankah sebentar lagi kita ujian?" hibur Badarol, lagi-lagi sambil menepuk pundakku. Aku manggut-manggut saja. Terus terang, hatiku mulai tak nyaman. Sudahlah nakal, masih pula membohongi orang tua.

"Hei, kau!"

Suara itu lalu mengambil alih segenap perhatianku. Aku berbalik secepat kilat, mendapati Fatimah tengah menatap berang ke arahku. Matanya berkilat-kilat penuh amarah. Mirip api neraka dalam komik murahan yang tempo hari kubaca.

Aku bergidik.

"Jangan mentang-mentang senior lalu berlaku sembarang kepada junior, ya! Apa maksudnya menggantung sepeda Brian sampai ke atas pohon? Dasar tak tahu malu! Kalian berdua hampir mencoreng nama baik sekolah, tahu?"

Aku terperanjat. Sirna sudah kebanggaan dan kebahagiaan semu yang buncah sejenak tadi, berganti dengan ngilu yang menjalari dada. Itu kali pertama Fatimah bicara padaku. Dan langsung membuat trauma. Sebab sebenarnya itu tak bisa dikatakan bicara–lebih tepat disebut menghardik.

Hatiku linu.

Lalu derak patahnya makin menjadi manakala sesaat kemudian Fatimah membalik badan menyusul Brian. Berdua mereka berjalan bersisian sembari menenteng sepeda yang putus rantainya.

"Amboi, romantis benar mereka itu, Boi! Macam punai dengan pohon kersen, tak mempan dipisahkan. Padahal aku sudah berupaya keras, sampai menyuruh orang menggantung sepeda. Pula orang itu belum kubayar, alias aku berutang sebab engkau. Sekarang, baiknya cepat kau hapus air matamu, lalu berikan aku seratus ribu!"

Aku mendelik.

"Buat bayar orang, Boi! Kau tahu preman pasar yang biasa mangkal di warung depan terminal itu? Nah, mereka itulah yang mengerjai sepeda Brian. Dan aku takut kalau kita terlambat menbayar, kitalah yang akan digantungnya macam sepeda itu."

Kau tengok, Kawan? Bukankah sekarang kau pun punya hasrat yang sama denganku? Hasrat untuk menendang Badarol!

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)