Masukan nama pengguna
Bulir-bulir keringat yang telah meluncur bebas di dahinya berhujung kering namun terasa dingin kian menusuk perjuangannya yang berakhir pupus.
Pandangannya berkabut dalam padamnya api semulanya berkobar memenuhi seluruh napasnya untuk melewati segala usaha lantaran harus diberungus oleh derai hujan atas perbedaan cara pandang.
Ia bersandar pada tembok nan kokoh tetapi punggungnya menolak merasakan sandaran.
Mati rasa setelah ia memutuskan ikatan dari kegundahan dan kekecewaan yang sudah memperdayai jiwa gentarnya atau apakah pergulatan dunia, pergulatan dirinya terlalu gagah untuk dilawan membuatnya tidak mengenali sebagian dirinya.
Ia tidak tahu. Ia tidak mampu menemukan jawaban itu semua.
Erangan di kepalanya, mengatupkan matanya sejenak. Ia lelah. Lelah terhadap pemaksaan yang ia telan tanpa diizinkan untuk mengunyahnya terlebih dahulu.
Muak, dirinya muak harus bersetubuh dengan lingkaran manusia-manusia bijak yang merongrongi keadilan.
Apa tujuan mereka semua?
Apa tujuan kamuflase dari kehadiran ideologi? Mengapa ia harus berdampingan dengan omong kosong ini?
Berhentilah, istirahatlah.
Bisikkan demi bisikkan bagai mantra ia rapalkan ketika suara batinnya mengingatkan waktunya untuk melepaskan sesaat dan perlahan-lahan bisikkannya membius ketenangan.
Ia sedikit bangga, sedikit ingin menyombongkan diri karena ia bisa mempengaruhi dirinya sendiri.
Ting ...
Hentakkan bel dari lift memporak-porandakan kedamaian singkat yang berusaha ia tandemkan. Ia pun membuka mata begitu berat.
Seiring kedua pintu terpisah, kaca berbentuk persegi panjang di hadapannya menujukkan beberapa kalimat. Kalimat yang sempat mampir di ingatannya. Dengan warna merah terang, seluruh kalimat telah menguasai kaca bening ini.
Ia tercekat pada keasingan menggenggam ulunya. Panorama menyala-nyala bergandengan erat akan anggunnya langkah tengah mencoba merayunya.
Menawarkan asa meriah di bawah bayang kesenyapan. menerampilkan lenggokkan tangan untuk menyambut para bajingan yang bertopeng kemanusiaan.
Selain itu menari indah dalam himpitan kaum bobrok bersama tameng lugu menjual reformasi.
Ia beranjak cepat ke arah tombol lift selepas pintu tersebut hendak bergerak.
( • )
Aku berlari sambil menaikki tangga. Sepanjang perjalanan aku hanya merasakan kakiku terbawa angin dan lebih pada itu, aku tidak mampu memastikan apa yang sekarang terjadi.
Apa yang harus aku rasakan.
Sesekali aku berharap aku tidak perlu berlari hanya untuk menghampirimu. Cukup saat aku harus ke ruang operasi untuk menemanimu pasca melahirkan anak kita.
Usai pijakkan terakhir, tapakkan aku secepatnya berbelok ke sisi kanan.
Pintu bernomor 465 sudah di depan mata. Degup jantung yang awalnya tak aku rasakan selama menaikki 4 lantai, langsung menghantamku begitu saja tepat melihat nomor kamar apartemen kami.
Kuketuk benda gagah di depanku ini dengan tangan begitu sulit untuk mengontrol gemetarannya. Pintu pun terbuka secara lambat. Aku tahu kau memang sudah menungguku.
Kebiasaan yang tidak pernah absen. Kau akan selalu cepat membukakanku pintu, menyapaku dalam hangat yang menjadi alasanku untuk merindukanmu setiap aku disibukkan oleh rutinitas umumnya.
Rasanya tetap seperti ini, menggebu-gebu membalas sapaanmu yang lantas menarikmu ke dekapanku. Kau mengelus pundakku. Paham, bagaimana cara menenangkanku. Gaya pelukkanmu kepadaku sudah di luar kepalaku.
Kau mempunyai cara rengkuhan yang terbaik di setiap kondisi berbeda-beda. Rengkuhan yang berusaha kau transfer kepadaku dihadapkan sesuai situasi aku sesungguhnya.
Semakin aku terjelembab pada sentuhanmu, duri-duri di benakku menjadi lebih ganas mencakarku.
"Arkan sudah tidur?" Tanyaku. Belum ingin melepaskan pelukkanmu. Sungguh, bagaimana bisa ini terjadi? Melepaskan pelukkanmu yang sekarang seperti aku akan kehilangan jiwamu. Seperti selangkah aku perlu menghapus jejakmu.
"Sudah. Tadi dia mau ikut aku nungguin kamu. Tapi kan besok dia ada ujian praktek. Jadinya ya, nggak bisa deh," jawabmu. "Diaz, kamu sudah lelah ya?"
Kau melonggarkan pelukkan. Aku benar-benar tidak dapat mengutarakan pendapat apapun. Mengamatimu yang terpaut fokus memainkan jemari di wajahku, membawa aku kepada perasaan yang semakin tidak terarah.
"Ayok masuk." Terpaksa aku hanya mengajaknya memasuki ruangan.
"Apa kita bisa bicara?" Tanyamu teramat santai seusai kami berada di kamar.
( • )
Lima jam akuhabiskan untuk bergelut dengan berkas-berkas yang dipersiapkan dalam sidang kedua nanti di pengadilan. Di samping itu, ada sepuluh pengacara dan lima penasehat hukum.
Panjang lebar kami membahas perihal penahanan Sissy sampai gagasan yang disarankan untuk aku ambil yaitu amnesti.
Mereka semua memberi masukan dengan baik meskipun perdebatan itu pasti ada terlebih soal amnesti yang terbilang sangat kecil menolong Sissy atas kasus dialaminya.
Suasana selang lima jam itu dipenuhi tensi tetapi adakalnya mereda. Tetap saja bagaimanapun keadaan ruangan, bagian diriku terus mengambang. Bisu pun meneriakkanku.
Aku kembali ke ruangan kerjaku. Selesai tukar pikiran, kini jadwalku menemui selaku direktur korporasi yang merupakan bagian dari kolega bisnisku. Beliau berperawakan lebih tua dua tahun dariku tengah berdiri sesaat aku memasuki ruangan.
Kami berjabatan dengan senyum formalitas juga. "Apa kabar Diaz?" Tanyanya basa-basi. Hal lumrah aku temui sepanjang karirku.
"Baik .. baik, sudah menunggu lama?" Aku mendaratkan pantat di kursi kerja.
"Baru tujuh menit," sahutnya. "Bagaimana kondisi isterimu?"
Aku tersenyum seraya memajukan badan. Kedua tangan kutumpu di meja.
"Baik. Makannya baik di sana," ujarku seadanya. Hanya terikat kerjaan, aku harus terperangkap dalam sikap formalitas. Sikap yang sudah menjadi atribut di tubuhku. Melayani berbagai perilaku yang mengangkat senyuman tipis.
Bersandingkan makhluk dalam meremehkan suatu pandangan, aku dituntut mengikuti lingkaran setan mereka. Mereka seakan bisa menundukkan aku, sayangnya aku merepresentasikan konformitas sebagai suatu tantangan menyenangkan.
Terlebih semenjak Sissy terjerat kasus yang membuka lagi luka masa lalunya kemudian tanpa sistem pengadilan yang memadai, aku mengambil aksi seakan-akan tersungkur untuk taat terhadap konstitusional hukum.
Keputusan yang membuahkan reaksi simpatik tak tanggung-tanggung, memberi dampak positif terhadap nilai aset dan peningkatan saham. Mereka memanfaatkan situasi yang sedang aku jalani bersama keluargaku.
Aku seharusnya benci terhadap keadaan itu, tetapi aku harus mempertahankan strategiku sendiri.
Aku harus berada di jalan realitas bahwa ini bukannya waktu untuk memarahi keadaan, memusuhi mereka yang berpura-pura simpatik kepadaku. Bukan saatnya.
Satu-satunya kondisi aku biarkan melepaskan atributku ialah saat bersama Sissy.
"Diaz, sebetulnya saya turut prihatin atas kasus isterimu sekaligus heran," tutur pria di depanku. Beliau menggelengkan kepala tetapi terlihat sangat rileks di bangku empukku.
Aku tertawa kecil. "Terimakasih sebelumnya anda sudah mau peduli. Lalu kenapa anda merasa heran?"
"Ya, mengapa saya perlu menjelaskan? Anda pasti paham, hukum di sini masih terbuai oleh kekuasaan. Dan mengapa anda nggak memilih untuk menggunakan itu?"
"Saya mengalah bukan berarti saya menutupi kebenaran Sissy. Pasal karet lah yang menutupi itu semuanya untuk meraup cuan. Dan saya sengaja nggak memakai keuntungan saya karena tujuan saya melindungi Sissy nggak bisa digadaikan balik oleh uang."
Lelaki itu termengu sesaat. Entah, mungkin aku sudah terlalu menyudutkannya? Aku tidak bermaksud seperti itu padahal.
"Aku bisa membantumu tanpa perlu memakai kekuasaan."
Giliran aku yang terpaku sejenak.
"Diaz?"
"Ya, maaf Pak. Gimana?"
Lelaki itu menegakkan tubuhnya. Senyum miring terpantri jelas di wajah tegasnya. "Anda kan lebih mengenal isterimu. Hukum menghakiminya yang sejatinya korban. Anggap lah isterimu memang sedang apes. Ini hanya opsi alternatif saja.
Boleh Anda mencoba sebagai donatur tetap di LSM AADP. Habis itu bergabung menjadi bagian LSM. Di sana anda bisa memanfaatkan programnya hingga menjadi kontrovesional. Dan penggalangan dana mereka nantinya sebagai wujud dukungan serius untuk isterimu."
Aku menarik alis sebelah. "Kalau saya menjadi donatur, penggalangan dana itu akan dibawa ke mana?"
Penjabaran singkatnya tergelambir jelas ada regulasi yang tidak sehat berkenaan dengan organisasi oleh visi kemanusiaan. Ia sedang mempromosikan suatu organisasi entah miliknya atau perusahaan anakkannya atas nama orang lain.
Aku belum bisa menggodok kesimpulan untuk kepemilikkan AADP kecuali menduga-duga. Sedangkan misinya menawarkan bantuan yang terkesan dermawan dan independen bisa saja mengecohkan orang awam.
Sistem sosialisme sangat kental di kalangan beberapa organisasi berkedok kepeduliaan sudah bukan hal langka bagiku.
Terhitung banyaknya ideologi terkemuka, tampaknya dunia hanya lebih mau mencari aman di bendungan prinsip kapitalisme yang dimodifikasi begitu ciamik.
"Kita sedang lagi fokus ke pembuatan tempat tinggal ramah bagi anak-anak dari korban kekerasan."
"Saya boleh lihat pengesahan proposalnya?"
Lelaki itu berdeham pelan. Sisi tangannya sesaat menggaruk belakang telinganya. "Kami sedang proses. Itu milik ayah saya tetapi saya turut mengurusinya."
Kadang kala berpinjak di bumi yang tak bersenggama dengan jalan sendiri, mendorong sebagian jiwa kepada kesepian.
Aku paham barangkali kebanyakan idealis cenderung tidak kuat menjadi pihak oposisi, demikian terombang oleh gejolak konformitas lantaran kesepian adalah momok terbesar setiap insan.
"Bagaimana? Pikirkan saja usulanku dahulu," lanjutnya.
Aku menarik napas dalam.
( • )
Rambut hitam legammu tergerai cantik menghiasi wajah yang memancarkan sorot mata lembut di balik rantai memborgol asmatmu tidak lekang mengukung aku. Lembut dan sayu senantiasa suatu gradiasi tak berhenti menghanyutkanku akan paling kurindukan.
Aku terhanyut memperhatikan lengkukan wajahmu. Biasanya kegiatan ini merupakan sebuah obat buatku.
Hingga malam ini, malam yang mengusik kemilau di matamu bukan sesuatu penawar lelah untukku sedang mengarahkanku agar bergilir menetralisir kelam yang bersemayam pada pancaranmu.
Aku harus. Tetapi perjuangan itu justru menjadikanku dikeroyok ribuan nestapa secara bersamaan tanpa ampun. Kau pun sebetulnya tampak tenang. Duduk di sebelahku dengan senyum berusaha meyakinkanku.
Aku semakin mengeratkan genggaman tanganku padamu diiringin sentuhan tanganmu yang tengah menyalurkan ketenangan. Seharusnya itu kulakukan padamu, Sissy. Aku sudah berjuang semaksimalku. Menguatkan diri, menguatkan dirimu.
Tekadku untuk memperjuangkanmu dari ketidakstabilan kapasitas hukum, hancur luluh lantah, menerjunkan aku ke situasi yang paling lemah aku hadapi sepanjang hidupku.
Usaha yang telah aku kerahkan nonstop sampai-sampai adu bentrok dengan urusan pekerjaan, lenyap sudah tertiup oleh keputusanmu yang menginginkanku untuk beristirahat. Kau memandang usahaku ini hanya memotong waktu keluarga.
Betul, aku berefleksi diri manakala aku juga telah mengorbankan waktu bersama keluarga kecilku. Aku rela Sissy. Keterpaksaan yang memilukanku tidak bisa aku tolak. Ini tak mudah bagiku.
Namun apa kau pikir aku pun bisa diam saja dengan apa yang terjadi padamu? Aku merenggut waktu kita untuk memperbaiki keadaan kita sehingga kita bisa kembali ke dalam keadaan semula.
"Aku patut dihukum. Ini sudah bagian kesalahan terbesarku, Diaz. Aku membunuh cabang bayi dan itu termasuk pelanggaran terkeji."
Aku yang tidak terima segera melepaskan genggamanmu dan bangkit dari dudukku. "Itu hasil pemerkosaan Sissy! Kamu ada kesempatan buat membela diri kamu!"
Kau menggeleng keras. "Aku seharusnya nggak bunuh dia!"
Aku merendahkan tubuhku tenggang mengatur posisi untuk bersimpuh di hadapanmu. "Si, kamu pernah bilang sama aku kalau kontrasepsi umum nggak bisa bebas bahkan memakai pil plan B resikonya lebih besar buat aborsi kan. Dan itu semua artinya kamu belum siap melahirkan dia."
Kejadiannya telah lima tahun yang lalu kala kamu masih bekerja di sebuah perusahaan industri. Selama lima tahun masa-masa di mana kamu sedang berusaha menerima keadaan. Penyesalan yang terjadi padamu melebami psikismu.
Penyesalan yang menggiring perasaan bersalah karena tidak bisa menjaga diri sendiri dan pernah tumbang sampai ke terapi.
Kejadian yang mati-matian kau sembunyikan akhirnya terkuak oleh laporan seorang anak ketua MPR melakukan aborsi di tempatmu. Seluruh daftar nama yang pernah melakukan praktek itu pun terkena imbas.
Sorotmu masih terkental sayu terus berusaha menguatkan aku, rasanya ingin kukecup kelopak matamu secepat mungkin.
"Mereka yang bilang aku pembunuh sekalipun aku katakan aku baru menyadari janinnya sebulan kemudian dan .. aku nggak siap."
"Mengapa dengarkan mereka? Mengapa kamu mendengarkan orang-orang yang nggak percaya denganmu?" Lirihku.
Jemarimu merajami wajahku. Senyum lembutmu yang selalu hangat terasa membeku untukku kali ini.
"Aku sudah menimbang-nimbang lama dan keputusanku akan memperjuangkan diriku sendiri tetapi bukan dari instansi hukum, Diaz. Mereka nggak peduli dan nggak akan pernah mau mendengar. Jadi biarkan aku."
Aku berbalik ke posisi dudukku di sampingmu yang tetap menahan tautan jemariku kepadamu. Dalam punggung meringkuk untuk mencium tanganmu, aku memejamkan mata. Tak lama aku merasakan jemarimu menelusuri rambutku.
"Aku hanya membutuhkan kepercayaanmu."
Hening menyusupi dunia kita. Apakah kita sedang menangisi kenyataan ini bersama?