Cerpen
Disukai
0
Dilihat
10,026
Asa yang Merajuk
Drama

Aku melihatnya. Perempuan yang tengah duduk di anak kasur memunggungiku, arah matanya membelentang keluar jendela. Aku melihatnya. Perempuan berias pakaian piama, tengah bertentraman dengan pemandangan taman di luarnya saban hari tanpa pernah meninggalkan sejenggal pantatnya dari alas kasur yang mungkin sudah terasa panas akibat sering didudukinya.


Aku melihatnya. Perempuan yang telah menginjak 30 tahun bulan febuari kemarin, kupanggil ia tante Uli. Rambut panjang biasa menggulung di punggungnya, kini kudapati tidak selebat dulu. Tante Uli telah memangkas rambutnya menjadi lebih pendek. Untung saja, ia tidak memangkas habis rambut hitam gelamnya alih-alih mengusir kesialan, ujarnya kala ia membabat rambutnya di depan cermin berselaras waktu terakhir kali kami berbicara. Aku tertawa seraya menyapu rambut-rambut di lantai yang kusayangkan dibuang begitu saja.


Ya, aku tertawa yang tidak disambut apapun lagi olehnya. Dalam lubuk hati, bila memang-memotong rambut untuk membuang sial- merupakan sebuah lelucuan, maka sejujurnya aku sedikit terkejut. Aku tak mengira jika tante Uli masih menggunakan lelucuan yang menurutku sudah dipulam senja. Kalaupun ia benar-benar serius akan ucapannya, aku semakin heran betapa mitos begitu mendarah daging di kalangan masyarakat setempat.


Aku percaya apabila segala sesuatunya tidak bisa diterima oleh nalar atau tidak mempengaruhi kehidupan manusia lantas tak bisa disangkal itu berarti sebuah sugesti belaka yang masih bergandengan erat dengan masyarakat awam di tengah era modern yang pula merajali kondisi lingkungan mereka.


 Salah satunya memotong rambut untuk menghapus kesialan.


Aku mencoba menelaah yang kuanggap mitos tersebut sewaktu aku berada di Salon bersinggangan sedang dihadapi hari tak menyenangkan di sekolah, aku dulu teringat akan mitos perihal potong rambut itu. Dan ingin kubuktikan itu bukan mitos belaka. Namun di keadaanku yang begitu amburadul sehingga aku hanya menjawab asalan saja ketika si pegawai salon menanyakan model rambut apa yang mau kupotong. Begitu selesai membedah rambut dalam kurun 15 menit saja, mampu membuat hari-hariku kian memburuk.


Pertama, aku tak membayangkan sebelumnya rambut yang berakhir bondol nyaris menaiki pitam kalau saja, si pegawai salon tidak sigap membela dirinya. Kedua, aku dimarahin Mama sepulang sekolah karena uang jajanku ludes tak bersisa olehnya ternyata aku memotong rambut di salon bertarif lumayan bisa mencekek leher. Ketiga serta seterusnya aku ditertawai seisi rumah dan selalu bersembunyi di balik hoodieku acap kali berada di sekolah, yang ujung-ujungnya aibku terkuak sudah dari tangan jahil Yanto, teman kelasku.


Kupikir tante Uli bersikap sama halnya denganku. Ia selalu berpedoman pada adanya yang nyata. Pendewasaanku ditahapi pemikiran logis nan subjektif turut dilatarbelakangi oleh tindakan tante Uli yang tak lekang menanamkan amanat kepadaku untuk terus menjulangkan dunia secara mata telanjang. Melalui memisahkan diri dari zona nyamanku, aku belajar memberanikan diri mengemumukan pandanganku akan berbagai kejadian di dunia ini. Tante Uli yang siap bersedia meluruskan pandanganku, punya upayanya sendiri agar tak tampak menyudutkanku atau mengecilkanku dari macam aspek.


Aku menghirup udara begitu dalam. Kuulangi kegiatanku ini hingga berharap akan berhasil menebas kepulan kabut di asmatku. Kembali kesadaranku pada sosok di sudut ruangan. Sekumpulan percikan api menggoreskan segenap jiwa bersatu pada udara yang sulit hanya sekadar menyongkel kerongkongan.


Memperhatikan tante Uli bagai tangan dingin, bibir membiru. Sesak di dadaku mengoyak ombak bukan main-main. Tante Uli di depanku ini jelas bukan layaknya yang kurindukan. Tante Uli seperti tidak mengenal dunia. Entah gerangan meringkup di punggung perempuan yang banyak sekali mengajariku beraneka hal, tak seorang bahkan aku sendiri mampu menerebos lorong-lorong kelamnya. Jarankan memahami sesosok perempuan ini, memeluk dalam usaha mengingatkan ia tidak sendiri pun amat mustahil.


Tubuh biasanya kupeluk itu menjelma menjadi butiran yang segan digenggam.


Batinku terkoyah, berteriak menghardik apapun yang ada di sekitarku. Memanggil jiwa lain tante Uli yang melarikan diri dari tulang belulangnya, menggenang di langit-langit hitam agar kembali ke asal tempatnya yang hanya berujung larut dalam tak berdayanya harapan.


Sosok raganya masih tunggang di dunia ini, namun yang tertinggal di pelupuk mataku ragaman masalalu bersimbah di angan. Ingatan akan tentangnya menerus bergulir. Selanjutnya pengakuan tante Uli senantiasa ditegur Oma semasa SMA, tentang ia ketimbang membawa buku pelajaran justru, di tasnya terdapat kumpulan novel tebal; novel-novel trilogi cenderung berat untuk batasanku meneropong sejenak di memoriku yang sukses mengubah stigma diriku yang juga menyukai bacaan, telah merasa kumpulan novel segunungku menghimpun wawasan.


Realitanya tante Uli menyodorkanku sebuah novel karya Franco Moretti---seorang guru bahasa asal Itali sekaligus pengkritik teori Marxist---pada suatu hari. Salah satu karyanya berjudul 'Signs Taken For Wonders' inilah, mengungkapkan fakta bahwa novel koleksiku selama ini tidak ada apa-apanya.


Aku merasa disorakin, merasa dihakimi oleh tabiatku itu yang mudah terbawa puas. Namun rasa tersebut berangsur menjadi menyenangkan seperti aku diperlihatkan bahwa pengetahuan di bumi ini luasnya tidak sebanding luasnya samudra, demikian hal tersebut berlaku juga untuk buku-buku yang bermetafora. Tak selamanya buku yang bukan tergolong fiksi membosankan.


Ah, entahlah, aku yakin pemikiranku ini banyak pertentangannya bagi mereka yang terlanjur terbuai dan belum sejengah diriku berada di pusat kenyamanan. Kukoreksi, tepatnya aku sendiri sudah muak oleh pusaran yang mengurungku. Tuhan, pada saatnya mendengar jeritan kemuakanku, yang tadinya aku bingung mencari jalan keluar kemudian diselamatkannya aku melintasi perantara. Perantara itu datangnya pun sendiri dari tante Uli.


Katakanlah aku ini banyak bergurau, aku ini memang senang bergurau di alam pikiranku. Tante Uli, satu-satunya tak membiarkan gurauanku meleleh di anganku saja. Itu dahulu sebelum ketika aku berdiri di belakang pintu, tidak terhitung waktu yang telah tersisihkan untuk melucuti punggungnya dan bergurau akan perempuan itu. Aku melihat perempuan ini bukan sebagai seseorang, melainkan kenangan yang menyalakan ribuan cahaya. Nadiku berdesir parau setiap saat aku bertanya pada diriku apa yang salah dari semua ini? Dan apa yang tersemat bukanlah jawaban.


Runtuh, seruntuhnya diriku menanggalkan puing-puing berserakan mendengar hanturan Mama perihal kondisi tante Uli. Telingaku berdarah terlampau dicabik-cabik dengan perkataan Mama ini; dia mengklaim dirinya sudah meninggal. Otakku klimaks meledakkan bom atom untuk memahami setitik makna yang dituarkan oleh Mama. Ini bukan jawaban yang ku pinta. Sama sekali tidak dari dasarku cukup menerima ketidakmasukan akal tersebut. Namun saat kutanya Mama sekali lagi sirat ucapannya, beliau bergeming dan hanya menghela napas bak haus akan oksigen.


Selang seminggu kepulangan tante Uli dari Meksiko untuk mengabdikan kewajibannya bertugas, dari situ perubahan perempuan itu pelan-pelan mengukir. Kepingan tanda tanyaku mulai terbentuk di saat Mama tak mengizinkan aku memasuki wilayah tante Uli, tepatnya ke kamarnya.


Pertama kali dalam sejarah tak pernah kutemukan tante Uli bersedekap di ranjang saja. Berhari-hari pula aku tak tahan hanya berdiam. Kuputuskan melanggar perintah Mama dengan cara apapun, namun nihil. Mama begitu protektifnya melarangku ke kamar tante Uli. Kubilang menjaga kamar tante Uli, karena memang kurasa bukan tante Ulinya yang Mama jaga.


Sampai-sampai aku menaruh curiga pada Mama bilamana tante Uli dikurung dan bukan inisiatif dari tante Ulinya sendiri yang mendekam di sana. Berkali-kali Mama menyanggah tuduhanku, berkali lipat aku mempertahankan asumsiku. Sempat semenjak kejadian pertengkaran kami terjadi, hubungan aku dan Mama agak merengggang dalam seminggu. Aku berhak atas tuduhan yang ku tambatkan pada Mama. Tante Uli tidak memperlakukan siapapun buruk untuk sepintas menjenguknya berani ku jamin, malahan Mama memperlakukan tante Uli seolah ia sebuah mumi menyeramkan.


Seminggu tak berkomunikasi dengan Mama, aku beralih meminta Ayah untuk menjelaskan. Hasilnya tak ada ubahnya. Namun dari Ayah, aku dapat secuil bantuan. Ayah mengatakan tante Uli mengidap Cotard Syndrome. Aku mencari tahu sindrom apa itu Cotard di internet bersumber beberapa artikel.


Rata-rata dijelaskan bahwa sindrom Cotard merupakan delusi yang tercipta di amigdala bahwa sebagian dari bagian pengidapnya menghilang. Pengertian lainnya disebut Nihilism delusi, menerangkan pembentukan ekstrim dari skeptisisme seseorang yang tak mengindahkan berbagai adanya dimensi di dunia. Berupa gejala pengidapnya menderita depresi. Mempercayai bahwa tubuhnya tidak ada. Mempercayai mereka tidak mempunyai darah. Dan selebihnya tak sanggup ku ingat-ingat kembali cirinya.


Tanpa sadar, pipiku sedikit basah. Aku menggigit bibirku, menahan bongkahan pahit menerumbung asa. Andai saja aku terlahir dengan kemampuan khusus untuk mendeteksi hal. Aku ingin mencegah momen tante Uli memotong rambut dan tak berbicara soal mitos jika hal tersebut menghentikan aku bertatap muka dengannya. Ya Tuhan, maafkan atas sikap diriku yang kurang bersyukur.


"Sayang, kemarilah." Aku bangkit dari lamunan panjangku di depan pintu lantas segera memalingkan wajah ke asal suara memanggilku. Mama berdiri di seberangku. Sebelah tangannya memamerkan secarik kertas. Aku berjalan menghampiri Mama sambil berusaha mengontrol isakanku. "Sudah nangisnya ya," kata Mama lagi. Jemarinya mengusap pipiku yang berlinangan air mata. Sehabis itu, Mama menyuruhku untuk membaca isi kertas di tangannya seraya mengatakan jika beliau menemukan kertas itu di bawah bantal kasur tante Uli selagi perempuan itu tertidur pulas. Aku pun mengangguk pelan tanpa sepenggal untaian dari mulutku. Tanganku gemetaran menerima lembaran kertas dari Mama lalu membaca seluruh isi surat.


Lututku melemas. Jantungku berdenyut ngilu. Namun tidak lagi air mata ini keluar.


"Dimi, dengar tante. Kalau kamu tengah merasa tidak berguna. Maka sepantasnya kamu harus mengetahui dan ingat bahwa adanya kamu, tante dengan kedua saudari tante bisa kembali berhubungan sewajarnya saudara kandung."


*


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)