Cerpen
Disukai
2
Dilihat
9,672
Permainan Sudut Pandang
Drama

Batinku berteriak dengan sangat kencang. Rasa frustasi meliputi diriku saat ini. Kapan? Kapan artikel ini selesai? Kepalaku rasanya seperti sebuah mesin yang digunakan terus tanpa berhenti sampai panas dan tinggal menunggu hitungan waktu untuk meledak. Aku merasa ingin membanting laptop yang ada di hadapanku saat ini juga, namun bila membantingnya aku akan membuat ulang artikel yang telah sampai bab pembahasan ini.

Aku bisa melihat dengan jelas dari pantulan kamera tanpa filter yang ada di hp. Mataku telah memiliki kantung mata hitam yang hampir sama dengan panda. Kenapa para dosen selalu memberikan tugas yang sulit untuk dijadikan sebagai ujian akhir semester? Kenapaaaa?

Aku tidak menyangka mata kuliah semantik akan sesusah ini. Dulu, aku berpikir prodi Tadris Bahasa Indonesia hanya membahas tentang seputar teks deskripsi, puisi atau cerpen, namun nyatanya hanya membuatku bertingkah seperti orang gila saja.

Saat aku sedang sibuk untuk menulis tugas artikel, ketua asrama putri masuk ke dalam ruang belajar aku pun reflek menolehkan kepalaku. “Ada apa mbak?” tanyaku.

“Ada anak baru datang ke asrama mau lihat-lihat dalamnya asrma putri sama ibunya.”

“oohhh,” jawabku yang bingung mau menanggapi seperti apa.

~~-~

Anak baru itu ternyata sudah membawa kopernya ke asrama. Setelah dia mendaftar, dia langsung bertempat tinggal di asrama. Aku diam-diam melihat dia yang sedang memasukkan bajunya ke dalam loker. Dia terlihat seperti tipe anak yang pendiam dan kalem, atau mungkin saja dia masih canggung makanya dia jadi masih terlihat kalem. Beberapa anak penghuni asrama ini juga awalnya terlihat pendiam dan kalem ternyata setelah beberapa bulan berada di sini, mereka mulai terlihat tingkah laku aslinya yang banyak tingkah dan suka ngereog.

Aku bukanlah tipe anak ekstrovet yang bisa langsung mendekati seseorang yang baru kukenal dengan cara sok kenal sok dekat. Aku adalah tipe anak yang akrab dengan menunggu seiring berjalannya waktu untuk akrab dengan seseorang.

Aku curi-curi pendengaran sambil menjaga jarak aman saat mbak Lail, yang adalah salah satu penghuni asrama mengajaknya bicara. Ternyata namanya adalah Kartika dia berasal dari Ngawi dan mahasiswa baru yang mengambil jurusan keperawatan. Dia mau melakukan penyesuaian lingkungan terlebih dahulu, sehingga dia datang sebulan lebih awal ke asrama sebelum kegiatan perkuliahan dimulai.

Karena aku sibuk dengan ujian akhir semester, yang mana berupa tugas yang menggunung, aku pun jarang berbicara dengan Kartika, bahkan percakapan kita masih bisa dihitung dengan jari selama 3 hari ini.

Kemarin lusa, aku masih ingat ketua asrama, aku, dan Kartika kebetulan sedang duduk berdekatan di teras asrama. Saat itu aku sedang fokus pada hpku, namun tiba-tiba ketua asrama bertanya padaku. “Kamu enggak mau kenalan sama Kartika?”

Aku langsung terdiam, pertanyaan yang dilontarkan oleh ketua asrama itu sederhana, namun jawaban yang harus diberikan terasa sulit bagiku, bahkan pertanyaan dosen mungkin lebih mudah dari pertanyaan ini.

“Na-nanti aja deh perkenalannya,” jawabku.

Aku bingung, kalau perkenalan biasanya bagaimana ya? Rasanya amat canggung kalau melakukan perkenalan sendiri. Aku pun punya pemikiran, nanti malam pasti para penghuni asrama akan berkumpul dan akan melakukan sesi perkenalan, namun hal tersebut tidaklah terjadi. Ternyata para penghuni melakukan perkenalan sendiri-sendiri kepada anak baru, sehingga tak perlu melakukan sesi perkenalan bersama-sama.

Ya sudahlah nasi sudah menjadi bubur. Tingkat kesulitan melakukan perkenalan tanpa perantara seorang pun menjadi lebih sulit dari yang aku bayangkan. Jadi aku pun memutuskan tidak melakukan perkenalan, Karena suatu saat dia pasti tahu namaku dengan sendirinya.

~~-~

Waktu telah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Waktu yang pas untuk bangun dari mimpi tak menyenangkan seputar mengerjakan tugas dan waktunya untuk diriku untuk menyusun modul ajar.

Namun, sebelum hal tersebut mengisi tenaga adalah hal yang penting. No sarapan no life. Tanpa adanya makanan aku tidak akan bisa berpikir dengan dalam. Saat aku ingin mengambil sendok pribadiku, aku tidak dapat menemukannya di mana pun. Aku langsung mencari ke mana perginya sendokku. Yang ternyata oh ternyata, dia telah ternodai oleh seseorang dari salah satu penghuni asrama putri ini. Ya sudahlah, aku pasrah saja dan enggak sarapan. Di rak piring juga enggak ada sendok bersih.

“Semangat Ana, karena harus menyusun modul ajar tanpa sarapan,” ucapku untuk menyemangati diri sendiri.

~~-~

Saat aku ingin salat magrib, mbak Karen tiba-tiba datang menghampiriku. “Eh Ana, sendokmu yang ada nama anak cowok yang namanya Rosid enggak sih?”

“Iya, sendokku yang ada namanya almarhum kakekku yang namanya Rosid.”

“Oh iya itu. Ini, terima kasih ya.”

Mbak Karen menyodorkan sendok besi bewarna perak kepadaku. Ternyata pelaku yang membuatku tidak bisa sarapan adalah dia, namun sebagai anak baik hati dan rajin menabung, aku harus memaafkannya. Aku menaruh sendokku di meja, karena aku hanya meninggalkannya untuk salat saja.

~~-~

Setelah beribadah kepada Allah, aku pun bergegas untuk mengisi perutku yang sudah demo mau diisi. Rasa riang gembira menyelimutiku karena lauk malam hari ini adalah kare ayam. Saat aku mau mengambil sendokku yang ada di meja, sendokku telah pergi meninggalkanku lagi untuk kesekian kalinya. Hatiku telah mendidih, rasanya aku siap untuk meledak dan menghancurkan semua barang yang ada di hadapanku.

Lalu aku ingat suatu hal, sabar adalah salah satu cara seorang manusia mendapatkan pahala. Aku pun berusaha untuk menekan amarah yang ada di dalam hatiku. Meskipun aku telah mengambil sendok bersih di rak piring, aku tetap melakukan pencarian sendok seperti yang terjadi pagi tadi.

Di dekat tempat nasi, aku melihat ada piring yang berisikan nasi yang belum tercampur lauk dengan sebuah sendok di situ. Aku membalikkan sendok untuk mengetahui apakah sendok tersebut punyaku atau bukan. Saat aku membalik sendok, ternyata benar kalau itu adalah sendokku.

“Mbak ini piringnya siapa di dekat tempat nasi?” teriakku dengan keras.

Kartika yang berdiri tidak jauh di dekatku, datang mendekatiku. “Itu punyaku mbak.”

“Nanti kalau sudah selesai kasih ke aku ya!”

“Ini sendoknya mau aku pakai makan.”

“Lah iya, kalau suadah selesai langsung kasih ke aku ya!” ucapku dengan nada bicara yang agak tinggi.

Aku tidak mau dia menaruh sendokku di rak piring, sehingga aku harus mencarinya lagi. Sendok itu adalah sendokku satu-satunya yang sudah hilang beberapa kali. Meskipun setelah beberapa hari kehilangannya aku menemukannya, aku tetap merasa jengkel dibuatnya.

~~-~

Beberapa hari kemudian, Kartika pulang ke Ngawi sambil membawa kopernya. Sebelum dia pergi, dia pamitan dengan anak-anak satu asrama. Kupikir dia hanya ingin pulang selama seminggu atau dua minggu jadi aku bersikap biasa saja. Dia juga tidak bilang apa-apa selain bilang. “Aku pamit dulu ya,maaf kalau aku punya salah.”

~~-~

Saat malam hari tiba, semua anak asrama dikumpulkan. Aku penasaran kenapa tiba-tiba dikumpulkan padahal masih belum waktunya untuk melakukan musyawarah bulanan.

“Jadi kita berkumpul di sini karena masalah mbak Kartika,” ucap mbak Lail.

“Sebenarnya dia itu nyaman tinggal di sini, akhlaknya juga baik, tapi karena beberapa orang, jadinya dia memutuskan untuk keluar dari asrama ini,” lanjutnya.

“Bagaimana bu ketua? Langsung sebut nama saja?”

Ketua asrama pun menganggukkan kepalanya.

“Jadi yang pertama adalah mbak Nia. Katanya, saat dia memakai bantal mbak Nia untuk bersandar, mbak Nia langsung mengambil bantal miliknya.”

Nia pun langsung mengangkat tangannya. “Maaf mbak, tapi aku enggak ingat kalau pernah melakukan hal tersebut.”

“Ya mungkin mbak Nianya lupa. Aku juga sudah bilang sama Kartika kalau seandainya bantal itu kan barang pribadi jadinya kan masuk ke dalam ranah sensitif makanya itu mbak Nia langsung mengambil bantalnya,” ucap mbak Lail.

“Yang kedua adalah mbak Ana. katanya mbak Ana waktu ditanya tentang seputar Asrama enggak menjawab, lalu waktu disapa dengan senyuman enggak membalas. Dia bilang kalau mbak Ana itu cuek dan jutek.”

Heh loh kapan dia melakukan hal seperti itu? Aku enggak ingat dia tanya sesuatu padaku. Aku bahkan enggak merasa kalau dia pernah senyum ke aku. Kalau pun itu benar mungkin saat aku lagi fokus pada sesuatu atau sedang melamun sehingga saat dia melakukan hal tersebuat aku tidak menyadarinya.

“Lalu masalah sendok. Dia bilang saat mau makan, mbak Ana tiba-tiba datang mau ambil sendok yang ada di piringnya untuk dipakai makan. Padahal jelas-jelas kalau posisinya saat itu dia sudah pakai sendok itu. Dia juga ambil sendok itu juga baik dengan meminta izin. Tolong mbak Ana kedepannya jangan melakukan hal tersebut lagi seperti orang yang enggak punya tata krama.”

Lah kapan aku ngomong mau pakai sendok itu buat makan? Perasaan aku cuma bilang kalau sudah selesai pakai kembalikan sendoknya ke aku. Aku juga enggak ingat dia minta izin untuk meminjam sendokku.

 Aku menutup setengah wajahku dengan tangan lalu tesenyum miris. Aku menyadari satu hal dalam kejadian ini. Kalau hidup adalah sebuah permainan sudut pandang. Aku yang ingin mengatakan dan melakukan A dia malah berpikir kalau aku mengatakan dan melakukan Z. Aku ingin menyanggah seperti mbak Nia, tapi apa gunanya kalau dianya aja enggak ada. Aku merasa hanya akan melakukan pembelaan diri kosong yang tidak berarti.

“Total anak di asrama ini enggak sampai 20 anak, jadi aku harap kita bisa merapkan karakter luhur sebagai orang yang beriman beberapa diantaranya adalah rukun, kompak, kerja sama yang baik, jujur, dan amanah. Jadi, suatu saat kalau ada anak baru lagi, aku harap kita bisa merangkul dia bareng-bareng dan bukannya sok jual mahal. Agar anak baru itu betah dan kejadian hari ini enggak terjadi lagi,” ucap mbak Lail.

~~-~

Besoknya aku meminta nomor Kartika ke mbak ketua asrama. aku masih ragu dan bingung untuk chatting seperti apa. Aku terus ragu dan merasa overthinking bahkan sampai terbawa mimpi karena harus menyusun kata seperti apa.

Pada suatu malam, aku pun bertekad untuk mengirim pesan kepadanya. Aku mengawali kalimat dengan salam dan perkenalan diri. Aku menjelaskan tentang sudut pandangku, dan perasaanku yang sebenarnya kepadanya. Kenapa aku tidak menjawab pertanyaannya, kenapa enggak membalas senyumnya, dan tentang masalah sendok. Aku menceritakan secara detail dari lumbuk hatiku terdalam dan mengulang kalimat maaf sebanyak lima kali.

Pesan terkirim dan dia sudah menerimanya. Aku bisa mengetahuinya dengan tanda centang dua abu-abu. Aku menunggu dia membalas pesan dariku, namun sudah satu minggu lebih telah berlalu. Dia tidak membalas pesanku, bahkan membacanya pun tidak.

Seiring berjalannya waktu perasaanku yang awalnya ingin berteman dengannya berubah menjadi rasa benci. Dia yang tidak membalas pesanku dan memberitahu dari sudut pandang dia secara langsung padaku, membuatku merasa dia adalah anak yang selama hidupnya hanya berjalan di ladang bunga yang mana dunia harus berpusat padanya. Dia tidak pernah merasakan hal sama denganku yang sejak sd sampai smp berada di lingkungan pertemanan toxic yang selalu membullyku.

Bagiku, dalam hidup yang mempunyai berbagai macam sudut pandang ini, sebuah komunikasi penting untuk dilakukan. Agar salah paham dan rasa benci tidak timbul antara sesama individu. Apalagi dia masih delapan hari bertempat di asrama. Yang mana tidak mungkin dalam waktu sesingkat itu dia bisa langsung mengetahui semua karakter penghuni asrama ini sampai ke akar-akarnya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)