Cerpen
Disukai
2
Dilihat
13,272
PAPA
Drama

Para tetamu sudah mengisi kursi-kursi berlapis kain satin yang disusun berjejer dalam beberapa baris. Kegembiraan jelas sekali menguasai aula gereja, persis reaksi umum ketika menyaksikan perhelatan resmi dari keluarga atau teman-teman terdekat.

Keluarga Prabaswara tengah menampung seluruh gelisah, buncah serempak oleh kedatangan hari bahagia putri semata wayang mereka, Aluma Dewi Prabaswara. Gadis-gadis sebaya kawan karibnya tengah berkumpul menemani dia di ruang rias.

"Lum, kamu cantik sekali hari ini. Si Bimo pasti terpesona saat melihatmu."

"Jangan berlebihan, Ra. Kami saling mengenal sangat lama. Dia tidak akan segitu terkejutnya hanya karena melihatku memakai gaun merah muda ini."

"Mira benar, Lum. Bukan mengenai gaunnya saja. Tapi, aura cantikmu makin terpancar. Apakah akan selalu seperti ini dampaknya jika kita menikah dengan pria yang kita cintai?"

"Kau juga sama berlebihannya, Yu. Kita tunggu sebentar lagi, aku tahu Bimo tidak seperti yang kalian duga." Bibirnya menyangkal semua kata-kata temannya tadi. Sedangkan, fakta sudah menegaskan sebesar apa dia tersipu. Pipinya yang berwarna karena perona samar, spontan kian merebak merah.

"Tidak usah malu-malu begitu. Kami ini sahabatmu. Apa yang tidak kami tahu tentangmu, Aluma?!" Yayu, si manis berkacamata lagi-lagi menggoda sang pengantin. Dia serempak cekikikan main-main dengan perempuan yang satunya. Sejurus lipatan detik sepenggal instruksi bariton memecah fokus mereka.

"Kedatangan kami mengganggu kalian, ya? Seru sekali sepertinya."

"Tidak Bibi-Paman!" Tadi itu pun serentak juga, mereka refleks agak membungkuk menyambut kemunculan pasangan Prabaswara.

"Silakan, Bi--"

"Ayo, kemari, Paman!"

Bergantian dua pendamping mempelai tersebut mengajak, seiring tungkai mereka diayun menuju pintu. "Kami akan menunggu di luar," kata Yayu selanjutnya.

"Bagaimana perasaanmu, sayang?!"

"Alum gugup, Pa."

"Sebesar apa gugupnya?!" Tangan-tangan nan kokoh sudah mengungkung lembut leher putrinya, menurunkan satu kecupan di pelipis.

"Jantung ini tidak mau tenang. Rasanya seperti Alum sedang berada di atas panggung di depan audience."

"Pertandingan di bulan lalu? Bukannya Alum pulang dengan lega? Piagam dan tepuk tangan penonton, semuanya berhasil didapatkan."

"Alum tahu. Tapi, gugupnya ini lebih hebat dari kemenangan itu. Alum bingung menjelaskannya. Kenapa bisa begini ya, Pa? Bimo bukan orang baru buat Alum. Kami bersama sudah tiga tahun padahal."

"Bukan orang baru, tapi situasinya yang baru. Akan berbeda dan lega setelah dia mengambil kamu dari tangan Papa nanti."

"Dia tidak mengambil Alum. Alum mau karena bersedia mengikutinya, tidak seperti dia benar-benar membawa tempat Alum dari sisi Papa dan mama."

Seketika senyum Dianti mengembang selaras gelengan kepalanya. Tentu saja Alum selalu menjadi kesayangan kami, Nak. Kami tidak pernah menutup pintu untukmu," sambung Dianti seraya mengusap pelan punggung putrinya. "Papamu cuma menjelaskan kegundahan yang Alum rasakan. Dan itu memang disebabkan perubahan situasi dan posisi, Mama pun mengalami hal serupa saat menikah dengan papa."

"Apa papa tidak sedih? Lalu, Mama sendiri?"

"Kami bersedih," ini adalah suara hati Panca. "Tidak sebanyak sukacita karena hari bahagiamu." Kata-katanya cukup mendamaikan kecemasan putrinya. Seringai si mempelai cantik ini datang ragu-ragu.

"Alum tidak ingin pergi jauh-jauh dari kota ini. Tapi--Bimo meminta Alum untuk menemani dia selama di Jerman. Hanya dua tahun untuk menyelesaikan pendidikan pasca sarjananya. Dia sudah mempersiapkan hunian yang tak jauh dari rumah kita. Menurut Papa--"

"Pergilah, Nak. Temani dia. Itulah salah satu tugasmu yang paling utama, mendukung suami."

"Papa ... okay?!"

"Atau Alum ingin Papa dan mama ikut agar bisa mengawasi kegiatan kalian di sana?!" Lelucon Panca Prabaswara semata-mata untuk melenyapkan ketegangan putrinya.

"Tidak begitu." Rengekan dia masih sama manja, meski usia Aluma kini menjelang 23 tahun. "Aku sungguh tidak keberatan jika Papa dan mama benar-benar ingin ikut. Tapi, jangan disebut mengawasi. Aku dan Bimo bukan kriminal, Pa."

"Papa dan Mama juga punya rencana bepergian. Kami rindu menghabiskan waktu bersama, apakah itu membuatmu lebih baik?" sela Dianti, ibunya.

"Ya, sangat baik. Alum ingin selalu menyaksikan kalian tertawa dan bahagia." Dia raih masing-masing sebelah tangan ayah ibunya untuk digenggam serta dicium. "Tetaplah sehat, supaya Alum dapat melihat papa dan mama dalam waktu yang lama, lama dan lama."

-----------

Panca Prabaswara tidak berhenti tersenyum. Buru-buru dia mengayun langkah menelusuri lorong ruang-ruang pekerja lain, masuk ke kotak lift untuk turun menuju lobi. Bos besar mengizinkannya mengambil waktu pulang lebih awal. Berkat loyalitas kinerjanya, pimpinan teratas bagian pemasaran tersebut berhasil membangun ikatan solid dan saling percaya terhadap para petinggi.

Tidak sulit bagi Panca melayangkan permintaan menyangkut urusan pribadinya jika itu memang kasus genting. Orang tuanya menelepon, mengabarkan persalinan sang istri tercinta yang akan segera dilangsungkan. Jelas saja berita paling dinantikan ini menyebabkan pikiran dan hatinya diselimuti gelisah serta kerinduan. Dia sudah sangat siap mendampingi hari bersejarah antara dia dan wanita tersayang.

Rekan-rekan sejawat, maupun tingkat-tingkat lebih rendah, ikut tercengang menyaksikan gelagat mencolok yang dia pertunjukkan. Sebagian tak pelak melempar bias penasaran ke netra masing-masing seolah menagih jawaban. Namun, rasa penasaran lenyap bersama menghilangnya sosok si gagah Prabaswara sejauh pandang menembus pintu ganda berbahan kaca.

---

"Bu, Dianti?!"

"Dia di ruang operasi, mereka masih menunggumu. Masuklah ke sana, akan ada perawat yang menyambut."

Panca tidak merelakan semenit pun untuk lalai. Dua puluh menit ditempuh untuk tiba ke rumah sakit dan dia berlari kecil sampai di lantai tujuh. Orang tua serta mertuanya siaga di luar kamar operasi. Sementara, dia mulai memperlihatkan khawatir nan kentara sebelum menanyakan situasi kepada ibunya.

"Maaf, saya suaminya," kata Panca jangka dia berdiri berhadapan dengan wanita berseragam serupa orang-orang di kamar itu.

"Pakai perlengkapan Anda, Tuan," sahut si perawat sembari menyerahkan kain hijau berikut penutup kepala dan masker.

Prosesnya berjalan cepat, di mana kini Panca sudah berada di sisi Dianti, menggenggam erat jemari istrinya selaku kekuatan penenang. Sesekali dia usap cucuran peluh di kening Dianti, membagi senyum tipis, meski pikiran luar biasa diserang buncah.

"Kamu takut?!" Tanya istrinya sayup-sayup selaras kelopak sendu akibat dari bius yang sejak sekian waktu lalu disuntikkan ke tubuhnya.

"Tidak, aku hanya sedikit gugup. Itu wajar 'kan?" Istrinya cuma mengangguk-angguk berikut kurva landai di bibirnya.

"Kita menunggunya sangat lama. Dia akan segera datang, anak kita." Telinga-telinga penangkap penggalan jujur ini turut menyunggingkan seringai, terbawa hawa mengharukan yang malah membuat hati diam-diam iri.

"Ada yang sakit? Katakan padaku." Sekarang Dianti sekadar menggeleng-geleng, kian lemah. Pada momen lain, tangan-tangan ahli sedang bekerja di perpotongan pinggulnya. Satuan dokter juga perawat yang terlibat melaksanakan tugas mereka  penuh ketelitian dan khidmat.

"Tidak terasa apa-apa. Aku cuma agak mengantuk. Tapi, ingin terus mendengar suaramu."

"Aku percaya mereka dokter-dokter yang hebat, semuanya sibuk berusaha menjemput bayi kita." Keringat Panca tumpah sama banyak, seolah ikut pula mengalami suasana semacam. "Direktur memberiku tiga hari cuti, aku senang karena bisa menjagamu di masa pemulihan."

"Sayang, mataku berat--mengantuk sekali." Tuturan itu menjadi sapa pertama bagi tangisan si bayi merah, bayi mungil yang sungguh cantik.

"Sudah lahir dan dia menangis." Panca melepas kelegaan, menyeka air mata yang telanjur jatuh. Tak ubah istrinya, meski kelopak mata spontan merapat.

"Tuan, luka istri Anda akan segera dijahit. Tuan boleh menyusul perawat dan bayi. Selamat ya, bayinya lahir dalam keadaan sehat." Salah seorang dokter menginterupsi, mengambil kendali pada situasi selanjutnya.

"Terima kasih, Dokter. Terima kasih." Panca mendaratkan satu kecupan kasih di kening istrinya, kemudian menyingkir dari ruangan guna mengumumkan berita gembira bagi seluruh anggota keluarga.

Putri kecil keluarga Prabaswara lahir di pertengahan musim semi di kala bunga-bunga bermekaran di taman. Mereka menamakan si bayi cantik seumpama bagian dari keindahan pada musim tersebut. Aluma Dewi Prabaswara, dialah yang telah berhasil mewujudkan sosok kesayangan untuk semua orang.

-----------

"Mama tidak akan lupa ketika kedua nenek dan kakekmu berkunjung setiap minggu ke rumah kita. Mereka bilang ingin ikut menjaga dan mengawasi pertumbuhanmu. Berapa berat badanmu, kenaikan tinggi serta apakah gigimu sudah muncul atau belum. Mereka semua selalu antusias mengenai perubahan sekecil apapun terhadap tubuhmu."

"Alum juga masih mengingat yang ini. Seminggu sebelum ulang tahun Alum yang ke delapan. Kedua nenek mengajak Alum belanja. Alum sampai bingung sendiri mau meminta apa--"

"Ya, akhirnya Alum pulang sambil membawa banyak boneka juga es krim." Panca ikut menyambung perbincangan, menyebabkan mereka bertiga cekikikan di situ.

"Bibi Soraya juga membelikan boneka yang sama seperti pemberian nenek. Ya ampun, bahkan boneka itu tetap ada sampai sekarang."

"Papa pikir akan segera mengumpulkan semua boneka dan mainanmu yang lain untuk disumbangkan ke yayasan anak-anak, itu pun jika Alum setuju."

"Bukankah lebih baik? Anak-anak di yayasan pasti senang sekali saat menerimanya, Pa. Alum setuju sama ide Papa."

"Mama bisa bantu merapikan. Syukurnya semua barang-barang itu sudah disisihkan di dalam satu lemari."

"Kapan Papa dan Mama berencana mengirimkannya?"

"Sepertinya Papa akan mengajak mamamu untuk mengantarkannya langsung, sekalian membagi bahan makanan dan perlengkapan sekolah."

"Terdengar sangat bagus. Walau sudah dewasa, Alum senang masih dapat berbagi kebahagiaan kecil bersama anak-anak."

"Jika kita mau, maka tidak ada batas waktu dalam merealisasikannya," ucap Dianti pula, meningkatkan suasana pilu yang memang melekat sejak sebulan ini di antara ketiganya.

"Paman, Bibi, pendeta sudah menunggu." Barusan saja pengumuman itu diucapkan oleh Yayu. Tak lama berselang, hela napas mereka bersusulan mengudara.

"Kita harus segera ke sana." Panca berdiri tegak, menekuk lengan kanan agar lalu digandeng oleh putrinya. "Ini akan menjadi lebih gugup. Tapi, cobalah tetap tenang. Ada Papa yang menuntun sampai ke altar."

Berupaya Aluma mengendalikan tiap tarikan gelisah yang dia rasakan. Dia berjalan anggun, mengikuti langkah tegas sang ayah dengan pandang menjurus ke depan. Dia agak terkesiap jangka bertemu tatap dengan calon suaminya, seakan reaksi demikian membuktikan kebenaran kata-kata temannya mengenai seberapa besar dia dapat berdebar-debar.

"Papa, Alum grogi."

"Tidak apa-apa. Setelah berdiri di samping calon suami kamu, gugupnya pasti berkurang." Sambil sebelah tangannya menepuk-nepuk pelan lengan putrinya, kalimat penenang juga dituturkan Panca.

---

Ramai syahdunya sorak dan tepuk tangan menggema ke seluruh aula. Pasangan Prabaswara pun tak bisa menyembunyikan haru di balik bahagianya. Tetesan air mata dihapus usai mereka turut bergabung memeriahkan pengesahan janji mempelai.

"Putriku sudah dewasa sekarang."

"Putri kita," ralat Panca sembari merangkul pundak istrinya.

"Aku tidak percaya bisa benar-benar menangis di sini, oh Tuhan!" Datang seruan dari keluarga mempelai pria. Mereka duduk tepat di belakang pasangan Prabaswara. " Bimo akan menertawai aku karena hal ini," keluh Purwati, ibu si mempelai pria. Ungkapannya berhasil menarik atensi Dianti, dia melirik. "Kamu tidak percaya 'kan, Dianti? Handoko dan anaknya bertaruh untuk tetesan air mataku ini." Yang terjadi berikutnya, mereka tertawa berbarengan.

"Anak-anak tumbuh dengan cepat. Aku tidak menyangka kita dipertemukan dengan cara luar biasa."

"Jarak tidak bisa membatasi takdir, Dianti. Bertahun-tahun kita hidup di negara berbeda, kemudian berjumpa lagi di tempat yang sama dengan situasi lebih baik. Selamat untukmu, ya. Berbahagialah selalu."

"Begitupun kamu, Purwati. Semoga kebahagiaan menyertai dirimu dan keluarga."

----------

Sore itu Aluma pulang ke rumah dengan wajah tertekuk. Dia menyelonong ke kamar, melewati ayah ibunya yang kebetulan sudah berada di rumah. Keduanya duduk di depan televisi tak menyala. Masing-masing sibuk terhadap kegiatannya di mana jemari Panca tampak lihai menari di permukaan keyboard. Sedangkan, Dianti tengah serius menjumlahkan pengeluaran keluarga selama sebulan ini, kelihatan dari buku kas dan kalkulator di sampingnya.

"Alum sudah pulang?!"

"Iya, dia pergi ke kamar."

"Kenapa? Tumben-tumbenan dia tidak menyapa."

"Mungkin terjadi sesuatu, ini 'kan masih minggu pertama dia di SMA. Biasa terjadi kesalahpahaman kecil di antara sesama siswa, kita dulu juga begitu."

"Dari mana kamu tahu?"

"Dia bercerita tentang hari pertama yang menyebalkan di sekolah. Anak laki-laki tidak berhenti mengolok-oloknya."

"Terdengar familiar buatku."

"Karena dulu kamu juga begitu."

"Tapi, aku tidak mengganggumu. Ya, biarpun tujuannya sama."

"Kamu melakukan kesalahan. Banyak orang yang keliru gara-gara tindakanmu, terutama Sherly. Dia jadi berpikir bahwa kamu menyukai dia."

"Padahal, aku menggodanya karena kamu juga." Lantas, Panca tertawa main-main. "Lucu ya kalau diingat-ingat."

"Sedikit menyebalkan buat aku, sejujurnya."

"Itu karena kamu cemburu."

"Tidak seperti itu."

"Jangan bohong, matamu mengatakan segalanya! Aku memang terus mengganggu Sherly dan memperhatikan reaksimu juga. Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu sangat mudah terpancing, Dianti."

Diam-diam Panca melirik, menyembunyikan senyum jahilnya. "Ya ampun, kenapa aku tidak pernah bisa menang setiap kali kita membahas cerita di masa sekolah," kata Dianti akhirnya usai dia hela napasnya cukup panjang. "Kamu tidak akan melihat Aluma?"

"Tunggu beberapa menit lagi supaya aku bisa sekalian menyimpan file ini."

---

Seperempat jam berlalu, Panca pun benar-benar menghampiri Aluma seraya membawa nampan berisi kudapan dan air dingin. Pintu di buka, yang dia saksikan adalah putrinya duduk di bingkai jendela, memandang kilau jingga dari mentari terbenam.

"Cantik, ya warnanya." Aluma menengok, menampakkan senyum manis kepada ayahnya.

"Pemandangan ini membuat Alum jauh lebih baik, Pa."

"Kemari!" Kita bisa mengobrol sambil mencicipi kukis buatan mama." Nampan tadi ditaruh di meja mini berbentuk bundar dini Panca duduk di lantai beralaskan karpet tebal.

Aluma tidak perlu menunggu untuk menyambut undangan itu. Dengan senang hati dia duduk di seberang ayahnya, walau raut yang terbaca tak dapat menutupi kesah.

"Papa pulang lebih awal, ya? Biasanya malam baru sampai di rumah."

"Besok pagi Papa ke luar kota, ada perjalanan bisnis ke Semarang. Jadi, apakah bisa berbagi cerita dengan putri Papa ini?" Setiap ucapan ayahnya pasti selalu ditanggapi cepat. Aluma menengadah, melipat bibir pertanda menimbang-nimbang mana yang patut dia ceritakan.

"Alum cuma agak kesal. Anak-anak di sekolah masih saja mengerjai Alum, padahal Alum sengaja diam supaya tidak jadi perhatian."

"Anak laki-laki?" Aluma mengangguk spontan, mengerutkan dahi saat sang ayah tersenyum lepas di hadapannya. "Tidak apa-apa, selama mereka tidak berbuat lancang. Apa yang mereka lakukan?"

"Memaksa Alum."

"Untuk?"

"Berteman dengan mereka." Jemari ayahnya naik guna mengusap-usap puncak kepalanya.

"Jadi, ternyata mereka menyukaimu, ya?! Bukankah itu bagus?!"

"Alum risi, Pa. Mereka menempel sepanjang hari. Dari Alum tiba di gerbang, di jam istirahat, juga di waktu pulang."

"Jika tidak suka, kamu bisa mengabaikan mereka. Hanya saja, menurut Papa tidak ada salahnya berteman. Akan lebih mudah jika kamu punya banyak teman di sekolah. Papa tidak memaksa, tapi kamu perlu mencobanya. Papa tunggu kabar baik setelah kembali dari Semarang, setuju? Ada hadiah bagus kalau mau menuruti saran Papa." Embusan napas Aluma mengudara rendah. Agaknya kekesalan dia tadi pun berangsur-angsur berkurang.

"Alum mau coba. Tapi, ini karena Papa yang meminta."

"Terima kasih." Keduanya tersenyum serempak sebelum Aluma mengambil sepotong kukis dan melahapnya. "Omong-omong, dulu Papa juga sama seperti anak laki-laki yang kamu ceritakan."

---

Bukan ini yang dikehendaki Aluma, si gadis kecil menanti kepulangan ayahnya dengan syarat dalam kondisi baik-baik sahaja. Namun, kekacauan akal terpaksa merongrong sedemikian rupa, tidak membebaskan dia barang sedikit lagi untuk bisa pulang dengan tenang. Kabar buruk yang menyapa pendengaran, telak mengikis senyum manis di bibir di antara tawa jenakanya bersama teman-teman sepantaran di sekolah.

Turun dari taksi, Aluma berlari tergesa-gesa memasuki rumah sakit. Lantai berapa, ruang berapa, informasinya telah dia rekam dalam ingatan. Napasnya tersengal-sengal usai memperpanjang langkah terakhir untuk mengambil tempat di elevator yang kebetulan tepat terbuka. Dia menyandarkan pundaknya ke dinding kotak lift, tak menghiraukan pasang-pasang mata yang memandang heran.

"Maaf, maafkan saya--maaf," terus-menerus dituturkan kala tubuhnya terpaksa menubruk orang-orang yang ingin bergantian masuk ke dalam lift. Ketakutannya terdengar berat dari pernapasan. Dia memacu tungkai-tungkainya tak sabaran demi bisa segera melihat sosok ayah tersayang. "Kelas A-4C." Dia merapal ulang untuk memastikan bahwa dia tak salah kamar, "Papa!" Sontak dua kepala di sana menoleh berbarengan.

"Alum--"

"Apa yang terjadi?!" Belum tuntas ayahnya menanggapi, dia sudah menerjangnya dengan pelukan. "Bisa-bisanya pulang malah bikin Alum cemas." Tidak, dia tidak berniat merengek. Tapi, suaranya yang teredam itu kentara bergetar.

"Papamu perlu meminum obatnya, Nak." Lalu, terekspos pula mata yang berkaca-kaca dan sisa tangis di pelupuk. "Jangan begitu, ibu juga akan panik jika sakit papamu parah. Keadaan ini hanya menegaskan agar papa mau meluangkan waktunya untuk beristirahat lebih sering."

"Papa sungguh tidak apa-apa?!"

"Kelelahan, salah makan dan tidak cukup tidur." Ibunya yang menjawab keresahan itu.

"Papa pergi ke luar kota untuk mendapatkan semua kesengsaraan itu? Sebaiknya tidak perlu pergi lagi, minta kepada mereka agar menggantikan Papa."

"Tidak mungkin menyalahkan orang lain untuk musibah ini, Alum. Lagi pula, dokter sudah mengizinkan Papa pulang besok pagi. Kerja keras bukan hal baru bagi kebanyakan orang, sedikit merasakan sakit dari efeknya tidak akan menjadi masalah besar."

"Papa bercanda?! Apa dirawat di rumah sakit bukan suatu masalah?"

"Tidak, Nak. Ini ujian, teguran supaya Papa bisa memanfaatkan waktu untuk bersantai--berikan obatnya, sayang." Dua butir pil masuk ke mulut Panca beserta segelas air putih yang langsung dia teguk dari gelas di pegangan istrinya. "Jadi, bagaimana dengan perjanjian kita? Apa saran Papa dijalankan?"

"Kapan Alum pernah mengabaikan ucapan Papa? Alum sudah berteman, kok dengan mereka."

"Wah, ada kemajuan, ya. Persis seperti apa yang Papa harapkan." Naik lagi telapaknya untuk menyapu halus rambut Aluma. "Mereka tidak berbuat jahat 'kan?"

"Tidak. Mereka semua baik ke Alum, Pa."

"Lihat 'kan? Dari awal bisa kelihatan seandainya mereka memang cuma iseng. Bertemanlah dengan siapapun selagi ada kebaikan yang dapat diambil."

"Iya, Pa. Alum tahu."

"Lalu, buat apa murung lagi?"

"Alum mau tidur di sini supaya bisa menemani Papa, boleh?!"

"Kamu tidak mau menginap di rumah nenek satu malam?"

"Biarkan Alum di sini, Pa."

"Ya sudah, Papa tidak ingin melarang--kamu sudah makan?"

"Belum."

"Itu kesalahan. Tidak bertanggung jawab jika sengaja melambatkan waktu makan, ini hampir jam dua."

"Aluma--kenapa kamu belum makan, sayang?" tambah ibunya pula.

"Tidak sempat, Ma. Alum mau cepat-cepat mengetahui kondisi Papa." Detik itu juga Dianti mendesah rendah, "Cuci tangan dan mukamu, Mama akan siapkan makanannya. Nenek membawa banyak kudapan manis juga bubur."

"Alum tidak mau makan bubur, itu makanan Papa." Panca tergelak ringan sembari mengamati gerak-gerik putrinya.

"Daging panggang tadi, biarkan Alum yang memakannya, sayang. Kurasa untuk saat ini lambungku belum bisa menampungnya."

"Dia akan tetap memakannya tanpa kita menawarkan," guyon Dianti selagi dia membongkar kotak bekal bertingkat di atas nakas. "Sekalian kamu juga makan, ya. Mumpung buburnya masih hangat."

----------

Perjamuan masih berlanjut. Semua orang termasuk pasangan mempelai dan kedua keluarga tengah berkumpul di meja penyajian khusus, untuk menikmati santap mereka.

Kecanggungan lenyap oleh kebersamaan berisi canda gurau yang sesekali terdengar menyeletuk. Aluma turut melupakan efek gugup yang semula mendera cukup lama. Dia nyaris salah dalam mengucapkan janji suci andai si mempelai pria tiada membaginya bahasa penenang melalui seringai nan sejuk.

"Jadi, kapan keberangkatan kalian ke Jerman?" Panca memimpin obrolan ke arah yang lebih serius. Cukup mengagetkan bagi sebagian akal di sana, apalagi terhadap Dianti. Dia tahu seberapa sedih suaminya saat mendengar kabar teranyar demikian dari bibir putri kesayangan mereka. Namun, rasa kasihnya telah lama mengalahkan ego-ego yang kapan waktu bisa muncul tanpa tanda.

"Minggu depan, Pa. Aku sudah menyiapkan tiketnya." Bimo menjawab lapang, tiada keraguan mengiringi kata-katanya seakan begitu siap menghadapi penyelidikan dari si ayah mertua. 

"Ehm, masih lama 'kan? Kalau begitu menginaplah di rumah tiga hari dan tiga harinya lagi di rumah orang tuamu. Kami semua juga ingin merasakan kesenangan lain ketika sudah memiliki menantu. Bukankah demikian, Handoko?"

"Tentu saja. Para orang tua akan selalu ditinggalkan di masa tuanya, ya--aku tidak mengira benar-benar mengalami situasi ini juga. Rasanya bercampur aduk, sejujurnya aku pun gugup tadi."

Purwati, istrinya tergelak ringan, menggeleng-geleng seraya menyusun tanggapannya, "Kupikir kamu yang memang kelewat datar itu tidak bakal cengeng."

"Itu karena aku bingung harus berbuat apa. Aku tidak mau tiba-tiba memelukmu di sekeliling konsentrasi para tamu. Bagaimana jika perhatian mereka malah berpindah kepadamu? Suasana damainya pasti terganggu." Mereka di sana menyeringai menyimak perbincangan pasutri tersebut. Sampai di lipatan menit berikutnya, Aluma menunduk lesu. Dia persis seseorang yang tengah khusyuk menimbang-nimbang isi benaknya.

"Ada apa?" Lirih tanya suaminya, Bimo.

"Tidak apa-apa, aku kepikiran papa. Kalau saja ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk menghiburnya dalam tiga hari ke depan sebelum kita pergi—ehm, apa kau menyetujui saran papa?!"

"Kenapa ragu-ragu? Selain aku, siapa lagi yang bisa memberimu dukungan? Belajar dari papamu yang selalu siaga di setiap mamamu membutuhkan. Atau ayahku yang siap menjadi pendengar untuk semua omongan ibu meski tak jarang diulang-ulang."

"Papa dan mama tidak keberatan dengan keputusan kita. Aku memberitahu semuanya seperti yang direncanakan. Tetapi, entah kenapa hatiku masih berat meninggalkan mereka."

"Kamu hanya khawatir dan itu perkara lumrah." Sejoli muda ini mengontrol dengan baik nada suaranya, di sela-sela obrolan random bercampur jenaka tetap bersahut-sahutan dari kedua ayah di situ. "Ini pertama kalinya kamu berpisah dari mereka. Aku berjanji agar kamu bisa menghubungi mereka sesering mungkin. Dua tahun itu aku pergunakan dengan baik untuk menyelesaikan pendidikan. Lalu, kita segera pulang dan tinggal di rumah yang kita nantikan. Kamu percaya padaku 'kan?" Aluma mengangguk pelan, menyertakan senyuman terlapang penghapus bimbang.

"Jadi, sayang--" Panca menatap intens putrinya, "Kalian akan menginap di mana dulu?" Netra Aluma bergulir ke suaminya, menagih sebentuk pendapat.

"Kami menginap di rumah ayahku dulu, Pa. Sepertinya Alum sedang merencanakan sesuatu yang istimewa untuk kalian. Kita luangkan waktu sampai persiapannya selesai."

"Benarkah? Papa menunggunya, Nak. Ya sudah, kalau begitu keputusan kalian—pergilah ke rumah ayahmu setelah penutupan acara."

"Papa baik-baik saja 'kan?" Aluma ini tak habis-habis mencemaskan ayahnya.

"Aluma, jangan meragukan papamu, Nak. Papa dan mama pun bisa menyusun sesuatu yang spesial untuk kalian berdua." Datang dari sana sini, senyuman bahagia di wajah-wajah puas di belakang haru yang barangkali bertahan dalam kurun waktu tak tertebak. "Kebahagiaan anak-anaknya adalah prioritas utama bagi setiap orang tua. Jadi, jangan terlalu keras memperkirakan kemungkinan di baliknya. Selalu percaya pada dirimu, sayang. Kami tidak akan pernah berhenti memikirkan kalian. Papa dan Mama tetap di sini," Menunjuk ke dada putrinya, "Di hatimu." Tegas Panca, hingga Aluma seketika memeluknya erat.

Rasa cinta Aluma terhadap ayahnya tiada pernah sirna oleh waktu. Selalu ada keraguan kecil dalam melakukan sesuatu. Tetapi, tidak untuk mencurahkan kasihnya pada sang ayah. Kapan dan di manapun Aluma tetap menjadi putri kecil kesayangan ayahnya.

TAMAT

















Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (9)