Masukan nama pengguna
"Aku mau ubi merahnya dua, ya."
"Bibi, kenapa tidak sekalian ambil yang kuning?"
"Kupikir rasanya sama."
"Tentu saja berbeda. Yang merah teksturnya lebih halus, tetapi tidak terlalu manis."
"Yang kuning?"
"Nah, kalau yang kuning ini agak berserat dan rasanya lebih manis."
"Oh, begitu!"
"Bibi mau coba?" Si pembeli yang disebut manggut-manggut di depan Benjiro, penjual ubi rebus.
"Ya sudah. Aku ambil dua juga."
"Jadi, semuanya empat buah ya, Bi. Aku kasih yang masih panas. Sampai di rumah Bibi bisa menyajikannya dengan secangkir teh."
Mendengarnya darimu, aku jadi tidak sabar pulang ke rumah dan menghidangkannya untuk suami juga anak-anakku."
"Mereka pasti senang sekali karena Bibi membawakan ubi terbaikku ini buat mereka. Sama seperti anak-anakku di rumah," Sedikit bualan pun dimulai, meski ini tidak akan merugikan pihak pembeli yang mampir di kiosnya. Nyatanya Benjiro belum memiliki anak. "Mereka ketagihan setiap kali istriku menyediakan ubi rebus di meja kami."
"Ini, uangnya," kata si Bibi sembari menyerahkan selembar uang yen. "Ambil saja kembaliannya, berikan pada anak-anakmu." Ups! Benjiro terbelalak. Tidak menyangka jika skenarionya kali ini mampu memancing keuntungan berlipat. "Tapi, Bi—"
"Tidak apa-apa, ambil saja!" seru si bibi, tergesa-gesa menyingkir dari kios Benjiro.
Pria besar berbadan tinggi ini menjual aneka penganan mengandung karbo yang sudah direbus. Seperti singkong, ubi kuning dan merah, kentang, jagung dan juga kacang-kacangan.
Usai memastikan tiada tanda-tanda pembeli akan datang, dengan tampang angkuh Benjiro mengayun tungkai-tungkainya beberapa langkah ke seberang.
"Sepertinya barang daganganmu masih banyak. Belum ada yang laku, ya? Kasihan." Benjiro menghampiri kios penjual sayuran di depan dia hanya untuk memanas-manasi. Padahal si penjual merupakan istrinya sendiri. Benjiro mengibaskan banyak lembaran yen yang sudah dia dapatkan hari ini. Barang dagangannya pun tinggal tersisa sepertiga. Berbanding terbalik dengan kios istrinya ini di mana mejanya masih dipenuhi sayuran segar. "Lama-lama sayurannya bisa kering—" Sang istri bergeming, "Tidak ada harapan akan diangkut pembeli."
"Terus kenapa? Masih ada sejam lagi, siapa tahu ada yang memborong semuanya sekaligus." Kontan Benjiro tertawa.
"Tipikal dirimu yang malu-malu begitu bakal kesulitan menarik pembeli. Berdagang juga perlu taktik, ada rumus merayunya. Bukan cuma diam begini. Apalagi di antara suaramu dan suara marmut justru lebih kencang suara marmut."
"Itu 'kan akal-akalan dirimu saja, memang gemar merayu orang. Terutama perempuan."
"Yang mana? Kapan?"
"Sering aku perhatikan."
"Yuna, yang beli di kios aku rata-rata lebih tua dari ibu. Masa iya pria tampan sepertiku naksir nenek-nenek?" Benjiro mengintip sejenak ke kiosnya dan belum ada gelagat pembeli mampir, "Sekarang, kau mau mengaku kalah tidak?"
"Tidak."
"Benar dugaanku. Tetap juga keras kepala."
"Besok aku yang jualan ubi, kau jualan sayur!" Yuna mantap terhadap rencana yang mendadak dia putuskan.
Sementara, Benjiro mendesah rendah gara-gara pernyataan sekian, "Sudah tiga kali kau yang pegang kios itu, ingat apa yang kita alami 'kan? Kita jadi terpaksa makan ubi seharian penuh, sampai kentutmu aromanya serupa kandang Tonton." Yuna memberengut tak senang saat suaminya ini membawa-bawa ternak babi ke dalam perdebatan mereka, gantian dia yang berdecak. "Lebih baik kau kembali membantu ibu dan ayah di kebun. Urusan dagang serahkan padaku."
"Tidak! Sekali tidak ya pokoknya tidak!"
"Aku bersikap begini karena kau, Yuna. Aku kasihan terus-terusan melihatmu berdiri berjam-jam karena minim pembeli."
"Pelankan suaramu, nanti si Genta dengar. Dia suka sekali mengejek aku setiap kali sayuran ini tidak habis terjual. Mentang-mentang barang dagangannya laris, belagunya minta ampun. Aku juga bisa kalau jualan daging kayak dia."
"Kau berniat menyembelih Ponpon dan keturunannya untuk dijual di sini? Sudah paling benar kau bantu-bantu di kebun, bukan di sini!"
"Bapak, sini Pak! Pasti Bapak haus, ya? Saya punya sake yang sangat lezat. Ini satu ochoko-nya hanya 50 yen Bapak. Ayo-ayo, silakan dicoba!"
Tahu-tahu perhatian sejoli pelaku debat tadi bergulir kepada sosok wanita seksi mengenakan kimono. Seorang wanita yang bersemangat sekali menawarkan sake rumahan racikannya kepada kaum pria di pasar itu.
"Aku tetap memilih ikut berdagang meski tidak laku sekalipun. Kecuali si Mai yang centil itu tidak berjualan lagi di pasar ini. Matamu perlu diawasi, Benjiro. Lihat barusan ini! Aku ada di sampingmu. Tapi, pandanganmu tertuju pada perempuan genit itu!"
"Astaga, Yuna! Dia pernah punya suami. Bukan gadis muda yang sering menjadi incaran pemuda desa. Kenapa dicurigai?"
"Mai sudah janda. Makanya keberadaan dia berbahaya! Dia janda muda, cantik, seksi, serta berpengalaman dalam menggoda laki-laki genit sepertimu!" Berujung seikat bayam terbang ke wajah Benjiro. Itulah akibat dari tatapannya betah menikmati kemolekan si janda cantik penjual sake keliling.