Masukan nama pengguna
Semua orang saat menginjak umur 25 tahun ingin memiliki sesuatu yang berarti dalam hidup mereka, entah itu pasangan atau mungkin harta yang cukup untuk memanjakan diri. Aku pun juga punya cita-cita yang serupa, namun untuk sekarang mungkin aku hanya ingin ketenangan.
“Pak, jangan lupa besok hari terakhir bayar uang karya wisata,” ucapan dari anak perempuanku yang aku sayangi ketika berangkat sekolah, mencoba memaknai kata tersebut sebagai tanda anakku yang tumbuh sehat. Dengan senyuman aku pun membalas,“Iya sayang, Bapak kasih nanti.”
Pagiku juga diisi dengan perkataan penuh kasih sayang dari istriku, “Mas nanti pulangnya jangan malam-malam, lampu kamar mati. Jadi sekalian beli lampu ya kalau pulang.”
“Iya dek, kang Masmu pergi dulu ya,” berucap lemah lembut harus aku lakukan karena kehidupan itu selalu seperti itu, bisa dibilang keras itu bukan segalanya. Aku berangkat setelah berpamitan kepada istriku, motor matic menjadi kendaraan dan teman kerjaku setiap harinya.
Jadi seorang kurir itu memang penuh tantangan, kita perlu siap untuk segala kondisi. Panas tak serta merta menyurutkanku berkeliling mengantarkan paket-paket, untuk menyegarkan tubuh biasanya aku minum si ‘beruang putih’ yang tersesat hingga ke negara tropis ini.
“Ini yang harus kamu antar hari ini,” ucap Supervisorku sambil menunjukanku setumpuk barang yang harus aku antar, “Usahakan hari ini selesai karena besok ada paket lebih banyak lagi, maklum high season.”
“Baik Bu,” jawabku dengan sopan. Aku mulai memilah-milih paket tersebut, mengelompokkannya sesuai wilayah agar nanti lebih mudah dan cepat saat mengantarnya. Peribahasa bersakit-sakit dahulu lalu bersenang-senang kemudian, sangat cocok menggambarkan kurir sepertiku harus membawa barang banyak saat mulai keliling. Tak hanya kata ‘banyak’ untuk menggambarkan masalah paket dengan kurir. Bentuk dari paket-paket yang ada membuat para kurir juga harus memutar otak untuk menyusun barang bawaan. Jadi siapa bilang main Tetris tak ada manfaatnya?
“Berapa paket yang harus kamu kirim hari ini, To?” aku bertanya kepada teman kurir yang bernama Yanto, dia tersenyum ketika mendengar pertanyaanku tersebut.
“Delapan puluhan, mana daerahnya jauh-jauhan.”
“Delapan puluh mah lumayan, bisa nutup bensin.”
“Kamu ini terkadang mikirnya terlalu sederhana, sekali-kali kutonjok boleh ya?” dia nampak kesal dengan jawabanku. Memang ada beberapa hal yang membuat para kurir harus menghadapi dilema. Paket banyak maka uang banyak juga, begitulah pikiran yang kami tanamkan saat bekerja di jasa pengiriman. Di sisi lain kami harus menghadapi berbagai rintangan hanya untuk mengirimkan satu paket.
Sekarang mungkin kita sangat terbantu dengan adanya sistem navigasi seperti GPS, namun tak serta-merta kita bisa selalu memakainya. Terlebih lagi di daerah yang jangkauan sinyalnya sangat buruk. Jadi para kurir sepertiku harus bertanya kepada warga sekitar, “Pak, rumahnya bu Yatmi di mana ya?” aku bertanya kepada bapak-bapak yang sedang berada di saluran irigasi sawah.
Kita juga harus berperasangka baik bahwa masyarakat Indonesia itu sangat ramah, mereka selalu menjawab pertanyaan orang asing dengan baik. Entah kenapa bapak yang aku tanya tadi justru hanya menunjuk arah barat dengan telunjuk tangan kanannya. Aku berusaha memaklumi jawaban dari bapak tersebut jika memang dia sedang sibuk dan apa yang dikatakannya mudah dimengerti, masalahnya yang ia tunjuk pertigaan. Tak ingin menggangunya aku pun coba mengira-ngira telunjuknya tadi mengarah ke mana.
Indonesia sebenarnya sudah mempunyai teknologi kuno yang mampu memetakan jalanan desa lebih baik dari pada GPS. “Mbah maaf … rumahnya ibu Yatmi di mana ya?” orang tua di desa itu memiliki daya ingat yang sangat kuat sekali.
“Yatmi siapa Mas?” jawab nenek tersebut dengan ramah.
“Di sini cuman Yatmi aja Mbah,” aku mengecek nama yang tertera di paket.
“Di sini ada Yatminem, Suyatmi, Yatmi anaknya Pak RT … yang mana Mas?”
Setelah berpikir cukup keras dan dengan analisa mendalam tentang paket tersebut, maka pada akhirnya aku memilih,“Kalau rumahnya Yatmi anaknya Pak RT di mana ya Mbah?”
“Bener anaknya Pak RT? Soalnya anaknya pak Sanusi juga ada yang namanya Yatmi kalau gak salah,” dengan wajah polosnya nenek tersebut menjawab.
“Hheemmm, ke rumah Pak RT dulu aja ya Mbah. Kalau begitu saya permisi dulu, terima kasih Mbah.”
“Iya sama-sama.” Aku pun melanjutkan perjalananku ke rumah Pak RT, terlihat sepi tak ada orang ketika aku sampai di sana, rumahnya sederhana tak ada yang istimewa. Hanya satu hal yang membuatku agak terperanjat saat itu, anjing Pitbull berwarna hitam menatapku penuh rasa penasaran. Aku berusaha tetap tenang saat itu karena melihatnya dirantai dengan tiang besi yang cukup kokoh.
“Paket … guk guk!” Suara anjing menyahut setiap aku ngomong, “Pake ... guk guk guk!” anjing tersebut semakin menggila ketika melihatku, ia bahkan berlari ke arahku. Pikiranku menyuruhku lari, namun apa daya aku tak bisa menggerakan satu pun jari kakiku.
“ASU … SU ASU!” seseorang keluar dari rumah dan berteriak kepada anjing tersebut. Anjing itu pun berhenti berlari ke arahku dan menuju orang tersebut. “Mas gak kenapa-kenapa kan?” seorang wanita cantik datang membantuku berdiri.
“Iya gakpapa Mbak, cuman kaget aja. Anjingnya galak ya?”
“Iya Mas, dia agak sensitif sama orang baru. ”
“Kalau boleh tahu namanya siapa Mbak?”
“Asuka Mas, panggilannya Asu!”
“Oh ya namanya bagus ya Mbak, mencermikan sekali.” Percakapan sederhana kami berdua membuatku entah kenapa merasa seperti muda lagi. Ternyata wanita itu juga adalah Yatmi yang selama ini kucari. Aku pun memberikan paket yang kubawa kepadanya dan memotretnya untuk bukti.
Hujan? Aku rasa itu adalah musim yang paling berat bagi para pengantar karena kita harus tetap melindungi paket dari air agar tak rusak. Cuaca nampak mulai tak bersahabat hari itu, sedangkan paket yang kubawa belum ada separuh yang berhasil aku antar. Kiranya mungkin nampak para kurir tak bersahabat dengan paket. Terlebih lagi bagaimana kami menata paket kami, namun itu tak sepenuhnya benar karena kalau hujan pun kami ikut berteduh untuk mencegah barang bawaan kami basah terkena air hujan. Tempat berteduh bisa di mana pun asalkan sudah atap yang melindungi kami. Biasanya masjid, sekolahan atau mungkin rumah kosong sering menjadi tempat kami berteduh.
“Aduh hujannya deras sekali ya Mas?” seorang bapak-bapak umur 50 tahunan ikut berteduh denganku di depan toko pakain dalam. Dia mengenakan jaket hitam dan nampak sangar di mataku.
“Iya nih Pak, padahal tadi pagi cerah,” jawabku berusaha untuk mengikuti alur percakapan yang ia mulai, tapi tentunya aku sedikit aneh dengan bagaimana dia mulai bicara.
“Maaf Mas, kalau omongan saya ganggu. Saya itu orangnya banyak omong apalagi hujan-hujan begini.”
“Gakpapa Pak, malahan buat ngabisin waktu.” Saat itu kami pun ngobrol panjang lebar tentang berbagai hal. Dia juga mencoba untuk bercanda denganku, meski tak lucu aku berusaha untuk tertawa karena untuk menghormatinya.
“Kalau Mas suka yang gede apa yang kecil?”
“Tergantung juga sih Pak, setiap orang beda-beda. Kalau bapak tanya saya sih … ya saya jawab suka yang gede lah."
”Kalau saya juga suka gede, soalnya lebih enak aja. Lebih longgarlah!”
“Heeh … kukira hanya aku, lelaki satu-satunya di dunia ini yang menyukai helm longgar.” Berbicara tentang helm setelah melihat helm masing-masing membuat aku sedikit tahu tentang orang tersebut, namun sekaligus tambah merasa aneh. Kenapa bisa-bisanya bersikap lebay hanya karena helm?
Setelah satu jam lebih akhirnya hujan pun berhenti, aku pun berpamitan kepada bapak tersebut. Dari dalam relung jiwaku berharap tak bertemu dengan orang sepertinya lagi, sangat susah untuk memaksakan tertawa dengan lelucon yang ia lempar kepadaku.
Melihat kebelakang membuatku berpikir apakah bisa menyelesaikan kiriman hari itu dengan waktu kerja yang mempet. Lembur aku rasa bukan jawaban yang tepat karena Ratu sudah menunggu di rumah dengan senyuman, kalau tak segera pulang bisa-bisa gak dikasih jatah. Aku segera memacu kendaraanku dengan penuh perhitungan.
Salah satu rintangan lain yang harus di hadapi para kurir adalah jalanan. Entah itu ramai ataupun macet, kami harus memperhatikan segala aspek keamanan untuk diri sendiri ataupun paket yang kami bawa. Segala hal pun bisa terjadi di jalanan dan salah satunya bisa membuat kami dalam bahaya.
“Lampunya signnya ke kiri, tapi kok jalannya di tengah?” aku berusaha menebak emak-emak yang berkendara di depanku. Aku tak ingin gegabah dalam mengambil keputusan, salah-salah kesenggol dan kami berdua pun jatuh. Setelah menunggu beberapa puluh meter, akhirnya emak-emak itu pun berbelok kanan dengan lampu sign menyala ke kiri. Dalam hati aku bersyukur sudah mengambil keputusan yang tepat kala itu.
Istirahat juga merupakan hal yang harus diutamakan saat bekerja, tak perlu memaksakan diri untuk bekerja keras karena kita kerja juga untuk makan. Aku beristirahat di sebuah Masjid, beribadah sekaligus makan dan sedikit mengistirahatkan badan. Saat seperti itu kami kurir juga harus waspada karena bisa-bisa barang bawaan kami dicuri.
“Alhamdulilah … makan siang dulu,” ucapku sambil membuka bekal yang dibuat oleh istriku tercinta. Terlihat dari bekal tersebut dia sangat memperhatikan kesehatanku. Tahu dan tempe selalu menjadi teman yang pas untuk sayur kangkung serta nasi putih. Setelah selesai dari warteg, aku pun melanjutkan perjalananku sambil membersihkan gigiku dengan tusuk gigi.
“Mas ini isinya apa ya? Saya cek dulu ya?”
“Ehh … sebaiknya jangan Bu, sepertinya itu paket berhadiah. Syaratnya harus membayar duhulu, nanti saya foto juga buat bukti. Siapa tahu anda menang,” aku mengambil ponselku dan menunjukan foto rekayasa yang sudah kubuat dengan istriku, menunjukan seolah-olah dia dapat hadiah. Pokoknya harus pintar-pintar menghindari konfrontasi yang tak perlu.
Setelah hujan berhenti jalanan juga menjadi licin, hari itu aku juga hampir tergelincir di jalanan. Untung saja aku bisa menghindari kecelakaan tersebut, dan tak hanya itu aku juga sangat bersyukur sekali hari itu karena hal lain. Tepat setelah aku lewat, pohon besar tumbang di belakangku dan hampir menimpaku. Satu mobil sedan di belakangku tertimpa oleh dahan tersebut, untungnya tak ada korban jiwa.
“Paket!” teriakku sambil mengetuk pintu rumah yang cukup sederhana, aku hanya bisa melihat satu pintu dan satu jendela di depan. Suara televisi terdengar jelas, namun tak ada suara orang di dalamnya. Tiba-tiba pintunya terbuka dengan perlahan, seorang kakek tua yang sudah renta berjalan keluar dengan tongkatnya.
“Ada apa Mas?” suara lirih nan berat keluar dari mulut kakek renta tersebut.
“Maaf kek ada paket!” saat melihatnya aku sangat kasihan sekali, hidup sebatang kara di rumah sederhana tersebut. aku sedikit melihat ke dalam rumah, TV menyala dan sedang menayangkan acara berita tentang paket bom.
Tak ingin membuatnya berdiri terlalu lama aku langsung menyerahkan paket yang kubawa, “Ini kek paketnya.” Tiba-tiba sebuah dahan jatuh di depan rumah tersebut dan karena reflek aku pun langsung tiarap telungkup di lantai. Mungkin itu akibat aku hampir kejatuhan dahan sebelumnya. Aku cukup lama tiduran di lantai, hingga aku mendengar suara kakek tersebut.
“Aduh Mas … ampun Mas!“ kakek tersebut berbicara sambil berusaha untuk menunduk dan telungkup sepertiku, aku juga melihat paketnya ia buang ke depan rumah. Ya Tuhan sungguh berdosakah aku tertawa di saat seperti itu? aku pun segera bangun dan meluruskan segalanya.
“Kek … kenapa tiduran di lantai? Jangan ikut-ikutan saya, tadi saya cuman kaget aja karena dahan jatuh itu.” Aku dengan segera membantunya untuk bangun dari lantai. Aku juga mengambil paket yang ia buang. Secara tak sengaja paket yang ia buang terbuka sedikit dan tak sengaja aku melihat isinya. Betapa kagetnya aku saat itu, di dalamnya ada baju wanita. Otakku berhenti sejenak saat itu, bukankah Eko itu nama laki-laki? Semakin bingung hingga seorang wanita datang.
“Kek! Ada apa sih …? Ada apa Mas?” wanita tersebut bertanya dengan ketus kepadaku.
“Paket Mbak?”
“Sini!”
“Mbak namanya Eko ya? Siapanya Bapak ini?”
“Kenapa? Namaku Eko kurniawati.”
“Kok cuman Eko yang tertera di paket?”
“Namanya juga manusia, kadang lupa Mas. Apa juga perlu nulis nama lengkap? Enggak, kan?”
“Enggak juga sih Mbak, kalau begitu saya permisi. Terima kasih.” Aku langsung pergi meninggalkan rumah tersebut dan tertawa lepas karena imajinasiku yang konyol. Aku pun melanjutkan perjalananku.
“Waduh … bocor!” ban depanku kempes dan sejauh mata memandang tak ada tukang tambal ban, aku terpaksa mendorong sepeda motorku cukup jauh. Saat itu aku berada di desa yang cukup terpencil dan waktu menjelang sore hari. Aku pun sudah hampir putus asa untuk bisa mengirim semua paket yang aku bawa hari itu, hingga seorang anak kecil gemuk yang bersepeda sambil meminum es dari dalam plastik. “Dek boleh minta tolong?”
“Iya boleh,” jawabnya dengan sopan. Akhirnya aku pun meminjam sepeda anak tersebut dan memintanya untuk menjaga sepeda motorku sebentar sementara aku berkeliling. Itu memang beresiko karena kemungkinan motorku anak hilang lebih besar, namun apa dikata aku harus mengambil itu untuk mengantar paketku sebanyak mungkin. Memang ada aturan yang membolehkan kurir untuk menunda kirimannya jika ada suatu hal, di lain sisi bayaran kurir masih per paket. Untungnya juga hari itu tempatku mengalami bocor ban adalah desa dimana sebagian alamat paketku berada.
“Permisi ... paket!“ mengetuk pintu rumah ke dua puluh yang aku antar paketnya menggunakan sepeda. Seorang bapak-bapak berparas sangar dan berambut cepak keluar dari dalam rumah. Aku langsung berusaha menebak profesinya ketika saling berhadap-hadapan. Tubuhnya yang kekar dan badan yang tinggi membuaku menyimpulkan jika dia adalah seorang tentara.
“Paket apa Mas?” entah kenapa aku menjadi takut, aura yang ia timbulkan memang bukan main, “Saya buka dulu ya,” suaranya yang tegas dan berat membuatku sedikit minder untuk meminta uang pembayarannya.
“Gimana Pak? Betulkan ya.”
“Oh iya Mas… terima kasih,” dalam hati aku merasa sangat lega, dia pun mengambil uang ke dalam rumah untuk membayar paket tersebut. Ia pun menyerahkan uang kepadaku dan aku pun berpamitan dengannya.
“Terima kasih, kalau begitu saya permisi dulu.” Tiba – tiba entah kenapa tubuhku merasa berat saat itu, ternyata setelah menoleh kebelakang bapak tadi menarik jaketku. Aku pun dengan cepat langsung menoleh kebelakang, “Ada apa ya Pak?” aku bertanya dengan segenap tubuhku gemetar.
“Sebentar Mas, itu sepedanya siapa ya?” bapak tersebut menunjuk sepeda yang aku pinjam dari anak kecil tadi.
“Bukan punya saya Pak!” aku salah ngomong saat itu, pikiranku baru sadar beberapa detik jika aku bisa saja mati setelah perkataan tersebut.
“Siapa Pak, maling?” tetangga yang lewat depan rumah tersebut juga langsung ikut bereaksi dan datang mendekatiku dengan wajah sangar. Tak hanya satu orang, sekitar sepuluh orang mulai mengerumuniku dengan wajah sangarnya. Orang yang membuatku hampir pingsan justru bukan pemilik rumah, tapi kakek yang pulang dari sawah dan membawa arit di tangannya.
“Ehhhmmm, maaf saya minta bapak dan ibu tenang dulu ya. Saya bisa jelaskan dengan sangat jelas sekali.”
“Apa yang yang kurang jelas, itu sepeda punya anak saya kenapa kamu yang bawa?” ibu dengan tubuh besar dan tinggi membawa gunting di tangannya berbicara dengan nanda tinggi kepadaku. Aku berusaha untuk tetap tenang dan menganalisa situasi, akhirnya aku memutuskan untuk membawa mereka semua ke tempat sepeda motorku berada. Sekitar lima belas orang berjalan berdampingan dan aku berada di tengah-tenah, itu sangat menarik perhatian atau mungkin seperti kelompok yang akan tawuran.
Anak kecil yang aku pinjami sepeda sebelumnya nampak sedang duduk di atas motorku, “Ibu ngapain ke sini?”
“Tono, kenapa kamu di sini?”
“Jagain motornya Mas itu, kasihan tadi ban bocor,” dengan polosnya anak kecil tersebut memberitahu orang-orang dewasa yang ada di hadapannya. Aku juga sangat lega mendengarnya berkata seperti itu, akhirnya orang-orang yang sebelumnya mencurigaiku langsung meminta maaf kepadaku. Mereka juga sangat baik dengan menunjukan dan membawaku ke tempat tambal ban terdekat.
Waktu menjelang sore, akhirnya aku bisa melanjutkan pekerjaanku lagi yang tinggal sedikit lagi. Tinggal 4-5 paket yang harus aku kirim saat itu. Kebetulan juga saat itu hanya paket-paket dengan kotak kecil dan itu membuat pekerjaanku nampak lebih mudah lagi. Aku berkendara dengan sedikit santai sore itu walau matahari mulai turun.
“Permisi paket!” aku mengetuk tiga kali pintu rumah sederhana, setelah beberapa saat seorang wanita paruh baya keluar membukakan pintu. “Ini bener rumahnya ibu Sri Sulastri ya?”
“Iya Mas, saya sendiri,” aku pun segera menyerahkan paket yang ada di tangaku kepadanya, meminta bukti foto dan pergi meninggalkan rumah tersebut.
“Permisi paketnya!” kali ini aku mengetuk pintu rumah dengan pintu cukup besar dan dengan dua lantai.
“Siapa ya?” suara seorang pria dari dalam rumah.
“Kiriman paket Pak!” pintu rumah itu pun terbuka dengan seorang pria berumur 30 tahunan keluar. “Ini ada kiriman paket buat Bu Sri Handayani,” Pria tersebut menerima paketku tanpa mengatakan apapun. Setelah memfotonya aku pun pergi dari rumah tersebut.
“Teett … teett….” kali ini aku memencet bel dari gerbang dengan rumah megah bak istana, bahkan seorang satpam yang membukakan gerbannya. “Ada apa Mas?” satpam tersebut bertanya kepadaku dengan nada ketusnya.
“Ini Pak ada paket buat Bu Sri lestari.”
“Mana?” aku memberikan paketnya kepada satpam tersebut, “Yaudah.”
“Pak boleh minta fotonya dulu, buat bukti?”
“Bukti, bukti apa gak usah! Udah pergi sana!” meski dia menolaknya, aku tak hilang akan dan segera memfoto satpam tersebut bersama paketnya. Itulah yang kadang juga menjadi ujian buat para kurir, kami harus bisa sabar menghadapai itu semua. Tak disangka setelah beberapa langkah, aku kembali dipanggil satpam tersebut. “Mas tunggu sebentar!”
“Ada apa ya Pak?"
“Ketuker ini, anda bisa kerja gak sih!”
Aku baca lagi nama yang tertera di resi paket, ternyata itu memang ketukar. Paket tersebut seharusnya milik ibu Sri Handayani. “Maaf Pak, sekali lagi saya minta maaf Pak.”
“Gak becus amat kalau kerja, cepet cari paketnya sampai ketemu.”
Aku dengan segera memacu kendaraanku dan pergi ke rumah bu Sri Handayani. Saat itu aku juga hampir mengalami kecelakaan lagi karena jalanan yang licin dan aku tak bisa mengendalikan sepeda motorku. Syukurlah saat itu aku sudah tak membawa banyak paket jadi tak ada yang rusak, kecuali aku yang lecet-lecet dan kaca spion kananku yang pecah.
“Permisi,” aku kembali mengetuk rumah bu Sri Handayani, namun setelah beberapa kali tak ada yang menjawab. Aku pun sedikit bingung saat itu karena tak ada orang sama sekali karena rumahnya sendiri terletak agak jauh dari tentangga. Waktu sendiri baru akan menjelang maghrib. Aku berusaha melihat melalui jendela, betapa kagetnya aku ketika melihat yang ada di dalam. Setengah jam aku putuskan untuk menunggu.
“Ya mas ada apa?” pria yang sebelumnya keluar dengan sarung dan kaos dalam.
“Bolanya sudah selesai … maaf maksud saya ada paket yang ketuker tadi Pak.”
“Oh… ya ya sebentar, saya ambilkan dulu.” Pria tersebut lantas kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil paketnya. “Oh iya Mas, gak baca saya tadi. Biasa punya istri saya, ” dia memberikan paketnya kepadaku dan aku memberikannya paket yang seharusnya.
“Kalau begitu terima kasih Pak, maaf merepotkan.”
“Iya, iya mas gakpapa kok,” dia nampak ramah berbeda dengan yang aku temui tadi.
“Yaudah kalau begitu saya permisi dulu.”
“Sebentar Mas, tadi bolanya menang yang merah 2 kosong.”
“Oh gitu ya Pak, tim unggulan sih. Maaf Pak saya harus segera pergi karena mau nganter paket yang ketuker ini,” aku pun segera pergi meninggalkan rumah tersebut. Di dalam hati aku pun sudah menduga hal tersebut, dia memang pria yang mampu karena secara fisik sudah kelihatan.
Kembali ke rumah bu Sri lestari, ternyata aku sudah ditunggu satpam di depan, “Ini paketnya yang benar Pak.”
Tinggal satu paket yang tersisa, dengan segera aku memutar gas sepeda motorku. Setelah sekitar lima belas menitan aku sampai ke tempat tujuan. Rumah terakhir yang paketnya aku antar saat itu.
“Permisi paket!” aku mengetuk pintunya dengan perasaan lega, rumah dan ranjang sudah menjadi angan-anganku saat itu. Seorang anak kecil membuka pintunya.
“Ma … paket!”
“Diterima sayang, Mama lagi di belakang!”
“Iya … sini paketnya Pak,” aku memberikan paket tersebut kepada anak itu, dan memfotonya. ”Asik ini pasti kiriman dari papa,” berucap dengan riangnya. Dia lansung menutup pintunya, aku hanya tertawa melihat tingkah lakunya. Setelah dua kali melangkah, anak tersebut kembali membuka pintunya. “Terima kasih Pak, hati-hati di jalan ya!” dia melambaikan tangannya kepadaku dengan senyuman lebarnya. Entah kenapa itu membuatku terharu, aku segera membalas lambaian tangannya dengan mata berkaca-kaca. Itu ceritaku dalam mengirim paket xxx, maksudku paket untuk yang ke sekian kali kali dan kalinya.
Akhirnya sampai di rumah dengan lelah tak tertahankan, aku pun langsung menuju kamar. “Kok gelap amat Ma?” aku menyalakan senter di hpku, “Astaghfirullah …!” itu benar-benar sangat menakutkan.