Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,001
Nocturnal Kota dan Wanita di Balik Jendela
Misteri


Kota ini tidak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu neon menari dalam kabut lembap, memantulkan bayangan mereka di genangan air setelah hujan. Suara klakson, deru mesin, dan tawa mabuk dari bar-bar yang masih buas di tengah malam, semuanya menyatu menjadi simfoni urban yang asing sekaligus akrab. 

‎Dan di lantai empat sebuah apartemen tua, di balik jendela yang sedikit berembun, ada seorang wanita. 

‎Aku melihatnya setiap malam. 

‎Dia selalu duduk di tepi kursi dekat jendela, memegang secangkir sesuatu yang mungkin kopi atau teh, aku tak pernah tahu pasti. Rambutnya yang hitam panjang terkadang terurai, terkadang diikat longgar, seolah-olah dia tidak peduli siapa yang melihat. Matanya, meski dari kejauhan, terasa seperti memandang sesuatu yang jauh melampaui gedung-gedung dan langit kota ini. 

‎Malam ini, seperti biasa, aku berdiri di balkon kamarku, menyalakan sebatang rokok, dan mengamatinya. Aku tidak tahu namanya. Tidak tahu mengapa dia selalu terjaga hingga larut. Tapi ada sesuatu tentang caranya menyandarkan kepala di kaca, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan cangkir, seolah sedang menunggu sesuatu atau seseorang. 

‎Kemudian, sesuatu yang aneh terjadi. 

‎Dia menoleh. Langsung ke arahku. 

‎Dadaku berdebar. Apakah dia tahu bahwa aku mengamatinya selama ini? Aku ingin melangkah mundur, tapi tubuhku membeku. Dan kemudian dia tersenyum. Bukan senyum lebar, bukan pula senyum kosong. Hanya sebuah lengkungan kecil di ujung bibirnya, seolah berkata, "Aku tahu kau ada di sana."

‎Sebelum aku bisa bereaksi, lampu di ruangannya padam, menyisakan hanya bayangan samarnya yang menghilang dalam kegelapan. 

‎Aku berdiri di sana, rokok di jari sudah hampir habis, pertanyaan-pertanyaan berputar di kepalaku. Siapa dia? Mengapa dia tersenyum? Dan yang paling penting...

‎Apa yang akan terjadi jika aku mengetuk pintunya besok malam?


‎Malam berikutnya, hujan turun dengan cukup deras, mengubah jalanan kota menjadi sungai kecil yang memantulkan cahaya lampu kuning. Aku berdiri di balkon, tangan menggenggam erat payung yang belum juga kubuka. Mataku tak lepas dari jendela itu, jendela di lantai empat apartemen seberang. 

‎Tapi kali ini, ruangannya gelap. 

‎"Apakah dia tidak ada di rumah?" Atau… "apakah dia sengaja mematikan lampu?."

‎Aku menatap lebih lama, berharap bayangannya akan muncul. Hujan semakin deras, dan udara dingin mulai merayap di bawah jaketku. Aku hampir menyerah ketika...

‎"Creek." 

‎Suara pintu apartemenku bergerak. 

‎Aku berbalik dengan cepat. Tidak ada siapa-siapa. Hanya angin malam yang menyelinap melalui celah yang tidak tertutup rapat. Atau… memang ada yang mencoba masuk?

‎Jantungku berdegup kencang. Perlahan, aku melangkah masuk, menutup pintu balkon dengan hati-hati. Saat itulah teleponku bergetar. 

‎*Pesan baru. Nomor tidak dikenal.*

‎"Kau suka mengintip, ya?."

‎Dingin yang lebih menusuk dari hujan merayap di tulang belakangku. "Dia tahu?." Dan yang lebih menakutkan dia tahu nomorku.

‎Aku menatap layar, jemariku menggigil saat mengetik balasan: 

‎"Siapa kamu?"

‎Tiga titik bergerak-gerak. Lalu...

‎"Lihat ke luar."

‎Aku berbalik ke arah jendela. 

‎Dan di sana, di tengah hujan, wanita itu berdiri tepat di seberang jalan. Payung hitam menutupi separuh wajahnya, tapi aku bisa melihat senyumnya, terlalu lebar, terlalu banyak gigi.

‎Sebelum aku bisa bereaksi, teleponku bergetar lagi. 

‎"Ayo bertemu. Aku punya cerita untukmu… tentang orang-orang yang pernah mengamatiku juga."

‎Lalu, lampu jalan padam. 

‎Dan dia menghilang. 


‎Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Setiap malam, aku menatap jendela itu kadang gelap, kadang berbayang gerakan samar. Tapi wanita itu tidak pernah lagi terlihat jelas. 

‎Namun pesan-pesan aneh terus berdatangan. 

‎"Kau tahu berapa banyak orang seperti kamu yang hilang di kota ini?"

‎"Apartemenmu punya sejarah menarik... tanyakan pada tetanggamu di lantai 2."

‎"Awas, jangan sampai kau jadi yang berikutnya."

‎Aku mencoba mengabaikannya. Tapi suatu sore, saat aku membeli kopi di warung dekat apartemen, seorang wanita tua tiba-tiba menggenggam lenganku. 

‎"Kau tinggal di Apartemen itu ya?" bisiknya, matanya berbinar aneh. "Jangan pernah menerima undangannya." 

‎"Undangan apa?." 

‎Tapi dia sudah menghilang di kerumunan orang. 

‎*Malam Penentuan*

‎Pukul 3:33 dini hari, aku terbangun oleh suara ketukan di jendela. Perlahan, aku membuka tirai... 

‎Dia ada di sana. Bukan di seberang jalan, tapi tepat di luar jendelaku mengambang di udara lantai empat. Rambutnya berkibar dalam angin yang tidak kurasakan, matanya hitam pekat seperti dua kolam tinta. 

‎"Sudah kubilang," ujarnya dengan suara yang terdengar langsung di kepalaku, "aku punya cerita untukmu." 

‎Jendela terbuka sendiri dengan bunyi *creek* yang memilukan. 

‎Dan tangannya yang pucat meraih ke arahku...  ‎Tangannya yang dingin menyentuh pergelanganku. 

‎Aku ingin berteriak, tapi suaraku hilang. Ingin lari, tapi kakiku seperti tertanam kuat di lantai. Wanita itu tersenyum, senyum yang kini kulihat tidak wajar, terlalu lebar, seperti dipaksakan oleh sesuatu di bawah kulitnya.

‎"Tenang," bisiknya. Suaranya seperti gema yang datang dari jauh. "Aku hanya ingin kau melihat."

‎Dia menarik tanganku, tapi anehnya, aku tidak merasakan tubuhku terangkat. Sebaliknya, dunia di sekitarku yang berubah. 

‎*Memori yang Bukan Milikku*

‎Tiba-tiba, aku berdiri di sebuah kamar yang asing. Jam dinding menunjukkan pukul 3:33. Seorang lelaki yang bukan diriku duduk di depan jendela, mengamati sesuatu di kejauhan dengan teropong. Aku mengenali apartemen itu. Itu adalah Apartemenku. Tapi ini bukan sekarang. 

‎"Ini terjadi lima tahun lalu," suara wanita itu bergema di telingaku. "Dia yang pertama."

‎Lelaki itu tiba-tiba menjerit, matanya melotot ketakutan. Tangannya meraih lehernya sendiri, mencakar-cakar seperti ada sesuatu yang mencekiknya. Kemudian dengan gerakan tiba-tiba dia melompat keluar jendela. 

‎Aku mendengar suara tubuhnya menghantam trotoar. 

‎*Penjaga Jendela*

‎Pemandangan berubah lagi. Kini aku berdiri di jalanan basah, memandang ke atas ke jendela apartemenku sendiri. Aku melihat seorang wanita, wanita itu berdiri di balik kaca, menatap kosong ke luar. 

‎"Aku dulunya seperti kamu," katanya, tiba-tiba muncul di sampingku. "Penasaran. Mengamati. Sampai aku melihat sesuatu yang tidak seharusnya kulihat."

‎Dia menunjuk ke jendela. Sekarang kulihat diriku sendiri sedang berdiri di sana, melihat ke arah kami dengan wajah pucat ketakutan. 

‎"Setiap bangunan di kota ini punya satu jendela seperti itu," lanjutnya. "Pintu untuk mereka yang terlalu penasaran."

‎‎*Pilihan*

‎Dia memandangku, matanya kini berisi belas kasih. "Kau bisa pergi sekarang. Tapi jika kau memilih untuk tahu kebenarannya" Tangannya menunjuk ke pintu apartemen yang tiba-tiba muncul di tengah jalan. "Masuklah."

‎"Aku mengenali pintu itu."

‎"Itu pintu apartemenku."

‎"Tapi... dari dalam."


‎‎

(Twist : ‎Wanita itu sebenarnya korban sebelumnya yang terjebak dalam dimensi jendela. Setiap kali seseorang "mengambil alih" posisinya, dia bisa bebas tapi narator tidak menyadari dirinya sudah terjebak sejak malam pertama melihat ke jendela.)


Aku melangkah mendekati pintu apartemen yang muncul di tengah jalanan kosong. Pegangan pintunya dingin seperti es, berdebu dengan coretan-coretan jari yang sudah mengering. Saat kusentuh, bisikan-bisikan tiba-tiba memenuhi kepalaku, suara orang-orang yang tidak kukenal, menjerit, memohon, dan mengutuk.

‎"Buka saja," desak wanita itu di belakangku. Tapi sekarang suaranya berbeda dan lebih dalam, seperti banyak suara yang berbicara bersamaan. 

‎Dengan napas berat, kubuka pintu itu. 

‎*Cermin yang Memakan** 

‎‎Yang kulihat bukanlah apartemenku. 

‎Sebuah lorong panjang terbentang, dindingnya dipenuhi puluhan atau mungkin ratusan jendela, masing-masing menunjukan adegan berbeda: 

‎- Seorang wanita tua menangis sambil memeluk foto di depan jendela yang sama 

‎- Pemuda dengan kamera mengintip dari balik tirai, wajahnya berubah histeris 

‎- Bayangan manusia merangkak di langit-langit ruangan gelap 

‎Dan di ujung lorong... aku melihat diriku sendiri sedang berdiri di balkon apartemen, mengamati sesuatu dari kejauhan dengan tatapan kosong. 

‎"Selamat datang di Antara," kata wanita itu. Kini wajahnya mulai berubah dan kulitnya mengelupas seperti kertas basah, menunjukkan wajah-wajah lain di bawahnya. "Tempat bagi para pengintip yang terjebak dalam rasa ingin tahu mereka sendiri."

‎ 

‎‎*Permainan Cermin*

‎Dia mengangkat tangan, dan tiba-tiba semua jendela di lorong itu berubah menunjukan wajahku dari sudut berbeda: 

‎- Aku di usia 12 tahun, mengintip lewat celah gorden orang tua 

‎- Aku di kantor lama, memata-matai percakapan rekan kerja 

‎- Aku semalam, terpaku memandangi jendela seberang 

‎"Kau pikir ini pertama kalinya?" Wanita itu tertawa. "Kau sudah mengulangi ini 47 kali. Dan setiap kali, kau memilih untuk tetap mengintip."

‎‎*Pintu Terakhir* 

‎‎Dia menunjuk ke sebuah jendela kecil di ujung lorong. Adegan di baliknya menunjukkan diriku yang sedang tidur nyenyak di tempat tidur. 

‎"Ini satu-satunya jalan keluar. Tapi kau harus mau melupakan segalanya. Melupakan kami."

‎Tiba-tiba, semua jendela di lorong mulai bergetar. Bayangan-bayangan di dalamnya mulai mengetuk-ngetuk kaca, mencakar permukaannya. 

‎"Mereka tidak mau kehilangan teman baru," bisik wanita itu sambil tubuhnya mulai hancur menjadi debu. "Pilih sekarang!"

‎‎Aku melompat ke arah jendela terakhir. 

‎Tubuhku terasa seperti melewati lapisan kaca yang tebal dan dingin. Lalu... Hitam.

‎"Bangun! Kamu telat lagi!"

‎‎Suara itu mengoyak kesadaranku. Aku membuka mata, mendapati diri terbaring di tempat tidur yang familiar. Sinar matahari pagi menyelinap lewat tirai. 

‎‎*Telepon di meja berdering.* Manajer kantor marah-marah karena aku terlambat lagi. 

‎"Ah, mimpi aneh lagi," gumamku sambil mengusap wajah. 

‎Tapi ketika aku berbalik untuk membuka jendela...

‎*Dia ada di sana.* 

‎Wanita itu. Di seberang jalan. Tersenyum persis seperti dalam mimpiku. Tangannya mengangkat secangkir kopi, seolah memberi salam. 

‎Dengan gemetar, kuambil teropong di laci dan mengarahkannya ke jendelanya. 

‎Lalu kulihat sesuatu yang membuat darahku membeku.

‎Di balik kaca itu, aku melihat diriku sendiri sedang memegang teropong, wajah penuh ketakutan. 

‎Dan tulisan darah di kaca jendelanya: 

‎"INI YANG KE 48."

‎**Epilog** 

‎Kota ini tidak pernah benar-benar tidur. 

‎Dan di suatu tempat, di antara ribuan jendela yang memantulkan cahaya bulan, selalu ada satu yang istimewa. Satu jendela tempat dua pasang mata saling mengintip, satu penuh harap, satu lagi putus asa tanpa menyadari mereka adalah orang yang sama. 

‎*Selamat datang dalam lingkaran.* 

‎(Twist: Narator terjebak dalam loop temporal di mana setiap kali mencoba kabur, justru memulai kembali siklus pengintaian. Wanita itu adalah versi dirinya di iterasi sebelumnya. Jam 3:33 adalah momen ketika dimensi-dimensi bertumpuk)


‎*Symbolisme:*

‎- Jendela = Batas antara kesadaran & obsesi 

‎- Jam 3:33 = Waktu ketika "pintu" antara dunia terbuka 

‎- Wanita = Bayangan sisi gelap rasa ingin tahu 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)