Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,989
Ivan & Naya
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

‎‎Dua pasang sepatu kecil berlari-larian di lapangan rumput yang luas. Suara tawa mereka menggema, seolah tak ada yang bisa menghentikan kebahagiaan mereka hari itu.

‎"Ivan, tungguin aku!" teriak seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua. Dia berlari sekuat tenaga, tapi tetap tertinggal oleh temannya yang lebih cepat.

‎"Lambat banget sih, Naya! Ayo, cepat!" Ivan, bocah laki-laki dengan kaos bergambar superhero, berhenti sebentar untuk menunggu. Matanya berbinar penuh semangat.

‎Naya akhirnya menyusul, napasnya terengah-engah. "Kamu sih, selalu aja ngebut. Nanti aku jatuh lagi, lho!"

‎Ivan tertawa. "Ya udah, nanti aku yang bantuin kalau kamu jatuh. Tapi jangan marah ya kalau aku ketawa!"

‎Naya memukul lengan Ivan pelan. "Jahat banget sih kamu!"

‎Mereka duduk di bawah pohon rindang, menikmati angin sore yang sejuk. Naya mengeluarkan bekal dari tasnya, dua bungkusan nasi goreng yang dibawa dari rumah.

‎"Ini, buat kamu," katanya sambil menyodorkan satu bungkusan ke Ivan.

‎"Wah, nasi goreng lagi? Kamu nggak bosan ya, Nay?" tanya Ivan sambil mengambil bungkusan itu.

‎"Nasi goreng kesukaan kita berdua, kan? Lagian, Mama aku masaknya enak banget!" Naya membela diri sambil memakan nasi gorengnya.

‎Ivan mengangguk sambil mengunyah. "Iya sih, enak. Tapi besok aku yang bawa bekal, ya. Aku mau kasih coba ke kamu kue buatan Mama aku."

‎Naya mengangkat alis. "Kue? Kamu yakin enak? Terakhir kali aku makan kue buatan Mama kamu, rasanya kayak... uh, agak aneh."

‎Ivan tertawa terbahak-bahak. "Itu kan dulu! Sekarang Mama aku udah jago masak, kok. Percaya deh!"

‎Naya menggeleng sambil tersenyum. "Ya udah, aku tunggu besok. Tapi kalau nggak enak, kamu traktir aku es krim, ya!"

‎"Deal!" kata Ivan sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.


‎‎Tahun-tahun berlalu, tapi persahabatan mereka tetap erat. Sekarang, Ivan dan Naya sudah duduk di bangku SMA. Mereka masih sering menghabiskan waktu bersama, meskipun kesibukan sekolah mulai menyita waktu.

‎Di sebuah kafe dekat sekolah, Naya sedang asyik mengerjakan tugas matematika sambil sesekali melirik Ivan yang sedang asik bermain game di ponselnya.

‎"Van, kamu nggak mau bantu aku ngerjain tugas ini? Susah banget, nih," keluh Naya sambil menyenderkan kepalanya ke meja.

‎Ivan menoleh, matanya masih tertuju ke layar ponsel. "Aduh, Nay, kamu tahu aku nggak jago matematika. Mending kamu tanya Aldi, dia kan pinter."

‎Naya menghela napas. "Tapi Aldi kan nggak akrab sama aku. Kamu ini, temennya nggak bisa diandalkan."

‎Ivan akhirnya menaruh ponselnya dan tersenyum. "Ya udah, aku bantu. Tapi kalau salah, jangan marah ya."

‎Naya langsung duduk tegak, wajahnya berseri-seri. "Makasih, Van! Kamu temen terbaik!"

‎Mereka pun mulai mengerjakan soal bersama. Sesekali, Ivan mengeluarkan lelucon yang membuat Naya tertawa terbahak-bahak, sampai-sampai pelayan kafe melirik mereka dengan heran.

‎"Eh, Nay, kamu udah punya rencana buat nanti kuliah di mana?" tanya Ivan tiba-tiba, sambil mencoret-coret di kertas.

‎Naya mengerutkan kening. "Belum pasti sih. Tapi aku pengen ke Jakarta. Kamu?"

‎Ivan mengangguk. "Aku juga pengen ke Jakarta. Tapi kayaknya bakal susah deh, soalnya aku nggak sepintar kamu."

‎Naya menepuk pundak Ivan. "Jangan minder gitu dong. Kamu kan punya bakat di bidang olahraga. Siapa tahu bisa masuk lewat jalur itu."

‎Ivan tersenyum kecil. "Mungkin. Tapi yang penting kita tetep temenan ya, Nay. Mau di mana pun kita nanti."

‎Naya mengangguk mantap. "Pasti dong. Kamu nggak bisa lepas dari aku gitu aja!"

‎Mereka tertawa bersama, seolah semua masalah dunia bisa mereka hadapi asalkan tetap bersama.

‎‎Tapi, waktu terus berjalan, dan kehidupan membawa mereka ke jalan yang berbeda. Setelah lulus SMA, Naya diterima di salah satu universitas ternama di Jakarta, sementara Ivan memutuskan untuk kuliah di kota kelahirannya.

‎Suatu malam, Naya menelepon Ivan. Suaranya terdengar lelah.

‎"Van, kamu ada waktu nggak? Aku butuh temen ngobrol," kata Naya di ujung telepon.

‎Ivan langsung menangkap nada suara Naya yang tidak biasa. "Ada kok, Nay. Kamu kenapa? Ada masalah?"

‎Naya menghela napas panjang. "Aku... aku ngerasa kayak nggak bisa ngehandle semuanya. Tugas numpuk, temen-temen sibuk sendiri, aku ngerasa kayak... sendirian."

‎Ivan terdiam sejenak. "Nay, kamu nggak sendirian. Aku di sini. Kalau kamu butuh temen, aku selalu ada."

‎Naya tersenyum kecil. "Makasih, Van. Kamu selalu bisa bikin aku tenang."

‎"Ya iya lah. Kita kan temen sejak kecil. Aku nggak akan ninggalin kamu gitu aja," kata Ivan sambil tersenyum, meskipun Naya tidak bisa melihatnya.

‎Mereka pun berbicara berjam-jam, berbagi cerita tentang kehidupan kuliah yang penuh tantangan. Meskipun jarak memisahkan, persahabatan mereka tetap kuat.

‎‎Seiring berjalannya waktu, keduanya mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Naya semakin fokus pada karirnya, sementara Ivan memutuskan untuk membantu usaha keluarganya. Pertemuan mereka semakin jarang, dan komunikasi pun mulai berkurang.

‎Hingga suatu hari, Naya mengirim pesan singkat kepada Ivan.

‎"Van, kita ketemu yuk. Udah lama banget nggak ngobrol."

‎Ivan membalas dengan cepat. "Iya, Nay. Aku juga kangen. Kapan kamu ada waktu?"

‎Mereka pun sepakat untuk bertemu di kafe tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu bersama. Ketika bertemu, ada sedikit keheningan di antara mereka sebelum akhirnya Naya memecah kebisuan.

‎"Rasanya aneh ya, kita udah nggak sering ketemu kayak dulu," kata Naya sambil menatap cangkir kopinya.

‎Ivan mengangguk. "Iya, waktu emang berubah banyak hal. Tapi satu hal yang nggak berubah, kita tetep temen, kan?"

‎Naya tersenyum. "Iya, kita tetep temen. Tapi... aku kadang ngerasa kayak ada yang hilang."

‎Ivan menatap Naya dengan serius. "Aku ngerti, Nay. Tapi mungkin itu cuma karena kita udah nggak sering ngobrol kayak dulu. Kita bisa mulai lagi, kok."

‎Naya mengangguk pelan. "Mungkin kamu benar. Aku cuma... takut kita jadi semakin jauh."

‎Ivan mengulurkan tangannya, memegang tangan Naya dengan lembut. "Kita nggak akan pernah jauh, Nay. Selama kita masih peduli satu sama lain, kita akan selalu menjadi teman."

‎Mereka pun mulai bercerita tentang kehidupan mereka, tentang kesibukan, tentang mimpi-mimpi yang belum tercapai, dan tentang kenangan-kenangan indah yang mereka bagi sejak kecil.

‎Dan di tengah obrolan itu, mereka menyadari satu hal, persahabatan mereka mungkin telah berubah, tapi ikatan yang mereka miliki tetap kuat. Mereka mungkin tidak lagi bertemu setiap hari, tapi di hati mereka, mereka tahu bahwa mereka akan selalu ada satu sama lain.

‎Setelah pertemuan di kafe itu, Ivan dan Naya mulai lebih sering berkomunikasi. Mereka berusaha menyisihkan waktu untuk bertemu, meskipun hanya sebentar. Namun, kehidupan terus berjalan, dan keduanya semakin sibuk dengan tanggung jawab masing-masing.

‎Suatu hari, Naya mengirim pesan kepada Ivan.

‎"Van, aku ada kabar baik. Aku akhirnya diterima kerja di perusahaan impianku!" tulis Naya, penuh semangat.

‎Ivan membalas dengan cepat. "Wah, selamat ya, Nay! Aku tahu kamu pasti bisa. Kapan kita ketemu buat rayain?"

‎Naya tersenyum membaca pesan itu. "Besok malam gimana? Aku traktir kamu makan malam."

‎"Deal!" balas Ivan.

‎‎Malam itu, mereka bertemu di restoran favorit mereka. Naya terlihat sangat bahagia, wajahnya bersinar dengan penuh kebanggaan. Ivan duduk di sebelahnya, tersenyum melihat teman kecilnya itu telah tumbuh menjadi wanita yang sukses.

‎"Jadi, gimana rasanya jadi wanita karir?" tanya Ivan sambil menyantap makanannya.

‎Naya tertawa. "Masih awal sih, tapi aku senang banget. Ini kan mimpi aku sejak dulu."

‎Ivan mengangguk. "Aku selalu tahu kamu bakal sukses. Kamu emang pantas dapat ini."

‎Naya menatap Ivan dengan mata berbinar. "Makasih, Van. Kamu selalu dukung aku dari kecil."

‎Ivan tersenyum kecil. "Iya, Nay. Kamu juga selalu ada buat aku."

‎Mereka pun melanjutkan makan malam dengan obrolan ringan, berbagi cerita tentang pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Tapi, ada sesuatu yang terasa berbeda. Naya menyadari bahwa Ivan terlihat lebih pendiam dari biasanya.

‎"Van, kamu kenapa? Kayaknya ada yang nggak beres," tanya Naya penuh perhatian.

‎Ivan menghela napas. "Sebenernya, ada sesuatu yang pengen aku bilang ke kamu."

‎Naya menaruh sendoknya, fokus pada Ivan. "Apa itu?"

‎Ivan menatap Naya dengan serius. "Aku... aku punya penyakit. Dokter bilang itu cukup serius."

‎Naya terkejut. "Apa? Kenapa baru bilang sekarang? Kamu kenapa nggak cerita dari dulu?"

‎Ivan menggeleng. "Aku nggak mau bikin kamu khawatir. Kamu lagi sibuk sama karirmu, aku nggak mau ganggu."

‎Naya merasa dadanya sesak. "Van, kamu temen terbaik aku. Kamu nggak boleh sembunyiin sesuatu kayak gini. Aku selalu ada buat kamu, apapun yang terjadi."

‎Ivan tersenyum lemah. "Makasih, Nay. Tapi aku nggak mau jadi beban buat kamu."

‎Naya memegang tangan Ivan. "Kamu nggak akan pernah jadi beban. Kita kan temen. Aku bakal selalu ada buat kamu, apapun yang terjadi."

‎Mereka pun duduk dalam keheningan, tangan masih terpegang. Naya merasa hatinya hancur mengetahui kabar itu, tapi dia bertekad untuk tetap kuat demi Ivan.


‎Beberapa bulan berlalu, Naya mencoba membagi waktunya antara pekerjaan dan menemani Ivan. Tapi, kondisi Ivan semakin memburuk. Suatu malam, Naya duduk di samping tempat tidur Ivan di rumah sakit.

‎"Van, kamu harus tetap semangat, ya. Kita masih punya banyak mimpi yang belum tercapai," kata Naya sambil memegang tangan Ivan yang semakin lemah.

‎Ivan tersenyum kecil. "Nay, aku bersyukur punya temen kayak kamu. Kamu selalu ada buat aku, dari kecil sampai sekarang."

‎Naya menahan air matanya. "Aku nggak mau kehilangan kamu, Van. Kamu temen terbaik aku."

‎Ivan menatap Naya dengan mata penuh kasih. "Aku juga nggak mau ninggalin kamu, Nay. Tapi mungkin ini waktunya aku pergi."

‎Naya tidak bisa menahan tangisnya lagi. "Jangan bilang gitu, Van. Kamu harus tetap kuat."

‎Ivan mengangkat tangannya, menyentuh pipi Naya dengan lembut. "Aku sayang kamu, Nay. Selalu."

‎Naya menangis tersedu-sedu, memeluk Ivan dengan erat. "Aku juga sayang kamu, Van. Kamu nggak boleh pergi."

‎Tapi, takdir berkata lain. Esok paginya, Ivan menghembuskan napas terakhirnya dengan tenang, ditemani oleh Naya yang tetap setia di sisinya.

‎‎Naya merasa dunia seakan runtuh. Kehilangan Ivan adalah pukulan terberat dalam hidupnya. Dia merasa hampa, seolah sebagian dirinya ikut pergi bersama Ivan.

‎Di hari pemakaman, Naya berdiri di depan makam Ivan, menatap batu nisan dengan mata berkaca-kaca.

‎"Van, kamu selalu bilang kita temen selamanya. Tapi sekarang kamu pergi, ninggalin aku sendirian," bisik Naya, suaranya bergetar.

‎Dia mengeluarkan sebuah surat dari sakunya, surat yang ditulis Ivan sebelum meninggal. Naya membacanya dengan hati yang berat.

‎"Nay, kalau kamu baca surat ini, berarti aku udah nggak ada. Aku nggak mau kamu sedih. Kamu harus tetap semangat, hidup buat mimpimu. Aku selalu bangga sama kamu, dan aku akan selalu ada di hati kamu. Jangan lupa, kita temen selamanya. Sayang kamu, Ivan."

‎Naya menangis membaca surat itu, tapi dia tahu Ivan tidak ingin dia terus terpuruk dalam kesedihan. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk melanjutkan hidup, menghormati kenangan Ivan dengan menjadi orang yang lebih kuat.

‎‎Beberapa tahun kemudian, Naya telah menjadi wanita sukses yang diimpikannya. Dia selalu mengenang Ivan dalam setiap langkah hidupnya. Di hari ulang tahun Ivan, Naya mengunjungi makamnya, membawa bunga kesukaannya.

‎"Ivan, aku udah jadi orang yang kamu banggain. Aku nggak akan pernah lupa sama kamu. Kamu selalu ada di hati aku," kata Naya sambil menaruh bunga di makam Ivan.

‎Dia berdiri sejenak, menatap langit biru yang cerah. Naya merasa Ivan ada di sana, tersenyum padanya.

‎"Kita temen selamanya, Van. Sampai ketemu lagi," bisik Naya sebelum beranjak pergi, meninggalkan kenangan indah mereka di baliknya.

‎**Tamat.**

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)