Masukan nama pengguna
Sudah lewat satu semester, aku dan adikku tinggal di dalam asrama putri. Papa dan mama memasukkan kami ke sekolah yang menjadi satu dengan asrama secara paksa. Tidak ada dari kami yang menginginkan perlakuan semacam ini. Aku menganggap bahwa papa dan mama sudah tidak menyayangi kami lagi. Namun berbeda dengan Alisha, adikku. Dia menganggap kalau segala hal yang dilakukan oleh kedua orang tua kami semata-mata demi kebaikan kami. Padahal aku cukup tahu alasan sebenarnya menjauhkan kami berdua dari mereka adalah hanya untuk menyembunyikan segala pertengkaran yang mereka lakukan setiap hari di rumah.
Kami berempat bukanlah keluarga yang harmonis. Aku dan Alisha memperhatikan segalanya. Papa dan mama sering sekali meributkan segala sesuatu yang sebenarnya menurutku sangat sepele. Bahkan papa tidak segan-segan memukuli mama di depan mata kami. Diriku yang tidak kuat melihat kejadian itu untuk kesekian kalinya, aku pun tidak segan-segan mengancam papa untuk melaporkan aksi kekerasan yang ia lakukan kepada pihak berwajib, terutama badan perlindungan perempuan dan anak. Mungkin papa yang terlalu cerdas atau aku yang bodoh, papa langsung memaksa mama untuk memasukkan kami ke sekolah yang ada tempat tinggal asrama. Pada akhirnya mama mewujudkan keinginan papa. Sial! Seharusnya aku sudah melaporkannya duluan sebelum papa memisahkan kami berdua dengan mama.
Hari itu aku termenung sendirian di atas mimbar. Menatap kosong kolam renang yang ada dihadapanku. Akhir-akhir ini aku selalu duduk termenung disini setiap jam istirahat. Seseorang menepuk pundakku pelan. Aku pun menoleh.
“Alisha, aku kira siapa,” kehadirannya sungguh mengejutkanku. Dia hanya terkekeh dan duduk disampingku. “Kamu sudah makan?” tanyaku kemudian.
“Sudah. Umm.. kakak pasti belum makan ya?” tanyanya pelan. Diriku hanya membisu. “Kakak nggak boleh begini terus. Kak Meda harus hidup sehat. Biar....”
“Biar apa? Biar bisa jadi popeye dan memukuli ayah yang ka-de-er-te?” dumelku seketika. Alisha malah terkekeh lagi mendengar jawabanku.
“Biarin lah kak. Itu urusan papa dan mama. Suatu saat nanti jika salah satu dari mereka ataupun keduanya membutuhkan pertolongan, kita harus membantu mereka. Bagaimanapun jika mereka adalah orang tua kita.”
“Woo... bijak sekali anda,” sindirku. Kali ini adikku yang kalem itu hanya tersenyum tipis. Alisha memang selalu begitu. Dia adalah anak perempuan yang lembut dan pemaaf. Tidak keras kepala sepertiku. Alasan lainnya ayah memindahkanku ke sekolah lain dikarenakan perilaku tidak terpuji di sekolahku sebelumnya membuatku hampir dikeluarkan dari sekolah. Akan tetapi entah kenapa Alisha juga diikutsertakan pindah ke sekolah lain bersamaku. Padahal dia adalah siswa teladan di sekolah sebelumnya. Ah, masa bodoh dengan kisah tak berujung itu. Kali ini ada yang lebih penting yang harus kuceritakan pada Alisha.
“Dek, ada sesuatu yang ingin aku ceritakan.”
“Tentang apa, kak?” kepalaku menengok ke kanan-kiri, berharap tidak ada siapapun disekitarku. Kugeser tubuhku ke samping agar lebih dekat dengan Alisha. Ia melihatku dengan penuh tanda tanya. Ku bisikkan sesuatu di telinganya. “Apa sih, kak? Nggak dengar.”
Aku pun menggerutu kesal. Kepalaku melongok kesana kemari lagi. Setelah aku rasa benar-benar tidak ada orang satupun disini, diriku memberanikan diri untuk bercerita padanya. Menarik nafas perlahan sembari menatap ke arahnya.
“Dek, kamu harus percaya padaku,” ku tatap wajahnya dengan penuh harapan. Alisha adalah satu-satunya orang yang saat ini bisa kupercaya. Akhirnya Alisha menganggukkan kepalanya. Walaupun aku tahu rasa penasaran terbaca dari wajahnya. “Akhir-akhir ini aku merasakan sesuatu yang aneh pada diriku. Seringkali tanpa sengaja mataku tertutup dan kurasakan diriku sedang berada di roller coaster. Aku merasakan gejolak saat kereta roller coaster itu bergerak turun ke bawah dengan cepat.”
Ku coba menggambarkan sebisa mungkin padanya. Alisha tetap mendengarkanku dengan khidmat. Hal inilah yang aku suka darinya. Dia tidak pernah menghakimiku ataupun berkata kasar padaku. Aku begitu sayang padanya. Aku harap dia akan mempercayaiku.
“Setelah itu sesuatu yang aneh terjadi. Saat membuka mata, aku melihat bu Kepala Sekolah keluar dari ruangannya dan berjalan mendatangiku. Dia....”
“Tunggu dulu! Kakak ngapain disana?” mataku kembali memandang air kolam renang yang tampak berwarna biru dan begitu jernih. “Kakak dipanggil ke ruang Kepala Sekolah?” ku gelengkan kepala dengan cepat.
“Aku hanya ingin meminjam telepon disana. Aku merindukan suara mama.”
Terdengar helaan nafas dari Alisha.
“Aku juga merindukan mama. Aku juga rindu papa,” kalimat terakhirnya membuatku mengernyitkan dahi. Aku sungguh bingung kenapa dia juga merindukan pria kasar seperti papa? “Lalu bagaimana kelanjutannya, kak?” aku pun mendengus kesal. Tetapi mau tidak mau yang terpenting sekarang aku harus menuntaskan ceritaku. Ini masalah darurat dan harus terpecahkan!
“Jadi bu Kepala Sekolah mendatangiku dan menunjukkan gunting padaku. Lalu dia memotong rambutnya sendiri sambil tertawa didepanku. Aku nggak ngerti deh kenapa dia seperti itu. Aku melihat di sekitar lorong sekolah. Tidak ada siapapun disana. Aku segera berlari menjauh. Hari-hari selanjutnya aku mengalami kejadian serupa saat berada di dalam kelas. Teman sebangkuku, Elsa, dia.. entah darimana datangnya pisau yang dia bawa. Pisau itu dia tancapkan berkali-kali diwajahnya. Kulihat air mata mengalir di wajahnya, tetapi dia hanya menatapku sambil tersenyum. Saat ku buka mata, entah sejak kapan aku sudah berada di UKS. Ku coba untuk mencerna semuanya. Tetapi aku tetap tidak mengerti. Aku keluar dari ruangan UKS dan perjalanan roller coaster itu terjadi lagi.”
“A.. ap.. apa yang kakak lihat?” kurasakan tubuh Alisha mulai bergetar. Sepertinya ia merasa takut mendengar kisahku. Ku peluk tubuhnya yang masih gemetaran.
“Tenang, Alisha. Aku tidak ingin menakutimu. Kakak hanya ingin menceritakan situasi seperti apa yang terjadi disini sekarang.”
Alisha melepaskan pelukanku. Wajahnya tampak begitu ketakutan. Ia menoleh kesana-kemari. Aku tahu akan begini jadinya. Tetapi aku harus menyelamatkan Alisha sebelum ia menjadi seperti orang-orang yang ada disini.
“Maksud kak Meda apa?” tanyanya gusar. Aku mencoba untuk tetap bersikap tenang.
“Aku melihat mereka berperilaku seperti robot. Berjalan seperti robot. Berbicara seperti robot. Bahkan aku juga memergoki penjaga UKS, bu Trisna, menempelkan daging wajahnya di depan cermin. Sekolah ini sudah kacau! Semua yang ada disini sudah dihuni oleh para alien!”
“Kakak, jangan menakutiku dong! Alien kan nggak ada!”
“Tapi bagiku ada! Tidak, sebelumnya aku juga tidak percaya. Tetapi yang aku perhatikan selama beberapa hari ini adalah kenyataan yang harus kita terima. Kakak tidak ingin kamu juga menjadi salah satu dari mereka!”
“Lalu.. lalu sekarang kita harus apa?!!” seru Alisha dengan nada bergetar. Aku pun tersenyum padanya. Aku sudah merencanakan segalanya. Aku dan Alisha akan menjadi pahlawan yang menyelamatkan dunia.
“Kita ambil dulu pisau daging di dapur asrama.”
***
Ku buka kedua mataku perlahan. Kepalaku begitu pusing. Pandanganku terasa samar. Aku berusaha bangkit dari tidurku. Namun seseorang menahanku untuk bangun. Setelah pandanganku kian jelas, ku lihat seorang pria berseragam cokelat berteriak ke arah luar ruangan.
“Anaknya sudah sadar!” setelah itu kulihat dua orang berseragam putih seperti perawat berjalan masuk ke dalam ruangan dengan Langkah tergesa-gesa. Aku agak sedikit bingung denga napa yang terjadi. Seseorang berseragam cokelat lainnya tampak menahan mama yang mencoba untuk masuk ke dalam ruangan.
“SAYA HANYA INGIN MELIHAT ANAK SAYA! IJINKAN SAYA MASUK, PAK!” seru mama padanya. Kulihat penampilan mama tampak begitu menyedihkan. Rambutnya acak-acakan, bajunya yang berwarna putih satin penuh dengan cat merah. Beliau juga mengenakan sandal yang berbeda-beda. Apa yang terjadi sekarang?!!
“Tenang, bu. Anak ibu sekarang akan diperiksa oleh dokter. Ibu tunggu dulu disini. Nanti ibu akan bersamanya.”
“Pak polisi, bagaimana saya bisa tenang?! ANAK SAYA SUDAH BUNUH-BUNUH SEMUA ORANG DI SEKOLAH! BAGAIMANA SAYA BISA TENANG?!!”
Mendengar suara teriakan mama membuatku terkejut seketika. Aku pun menyadari seragam yang kukenakan berwarna merah juga seperti mama. Bukan! Ini bukan cat merah. Cat merah tidak akan berbau anyir seperti ini. Ini bau darah!
“Aaaaaaa….. APA INI?!! TIDAK! TIDAAAKKKK!!!!”
“Mbak, tenang dulu ya. Mbak.. Mbak Meda..,” aku tidak menggubris suara perawat di sekitarku. Mereka mencoba memegangiku. Namun aku terus memberontak. Aku sangat bingung dan tidak tahu apa yang sudah terjadi. Mendengar pernyataan mama membuatku tidak tahu lagi siapa diriku!
“Meda..,” kulihat mama digiring keluar oleh pria berseragam cokelat tadi. Namun kepala mama masih berusaha berbalik untuk melihatku. Matanya tampak nanar. Aku pun ikut tercenung melihatnya.
“Mas, sekarang,” perawat di sebelah kananku memberikan perintah pada perawat di sebelah kiriku. Rupanya perawat itu menyuntikkan sesuatu di lenganku. Tiba-tiba saja aku merasakan kantuk yang luar biasa. Kulihat Alisha berdiri di samping perawat pria. Ekspresinya tampak begitu mengkhawatirkanku. Aku hanya bisa tersenyum sebelum kembali memejamkan mata.
***
Seorang wanita paruh baya menangis tersedu-sedu. Disampingnya terlihat suaminya masih mencoba mendengarkan penjelasan dokter dengan seksama. Suami-istri itu adalah kedua orang tua Meda dan Alisha. Mereka masih tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh psikiater tersebut. Ayah Meda mencoba untuk mengatakan apa yang ia percayai selama ini.
“Meda memang anak yang nakal. Kesehatan mentalnya tidak mungkin terganggu. Kalaupun iya, mungkin dia hanya mencari perhatian saja!”
“Kalau cuma cari perhatian nggak akan bunuh guru dan teman-temannya juga, pa!” seru wanita itu sambil terus menangis tersedu-sedu. Dokter mencoba untuk menenangkan keduanya.
“Saya tahu mungkin ini hal baru bagi bapak dan ibu. Tetapi yang harus bapak dan ibu mengerti keadaan Meda saat ini belum stabil. Dia harus dirawat disini sambil menunggu keputusan dari pengadilan. Apa yang dilakukannya merupakan tindak kejahatan. Namun kenyataan yang sebenarnya terjadi adalah Meda mengalami gangguan kejiwaan sehingga membuatnya berperilaku seperti itu. Gangguan kejiwaan itu disebut sebagai pseudoseizure.”
“Apa itu, dok? Darimana dokter tahu Meda mengalami gangguan itu?”
“Saya sudah mengetahui dari beberapa sumber bahwa sebenarnya sudah beberapa kali Meda mengalami kejang-kejang. Pihak sekolah sudah menghubungi bapak dan ibu. Tetapi tidak ada satu pun dari kalian yang menjenguk Meda. Pihak sekolah mengira bahwa Meda mengalami epilepsi. Padahal yang sebenarnya terjadi tidak berhubungan sama sekali dengan epilepsi. Pseudoseizure merupakan gejala kejang yang disebabkan oleh kondisi psikologis berat.”
Mama Meda menoleh ke arah suaminya dengan wajah geram.
“Jahat kamu, pa! Jadi selama ini sekolah sudah memberitahu kondisi Meda yang tidak baik-baik saja. Tetapi kamu hanya diam saja? Papa macam apa kamu?! Tega sama anak sendiri!” mama Meda terus memukuli suaminya yang mencoba menahan kedua tangannya.
“Kukira dia hanya mencari perhatian, ma!”
“Mohon tenang, bapak-ibu. Ini rumah sakit. Mohon tenang,” ucapan dokter tersebut membuat keduanya mencoba erusaha untuk tenang. Namun dokter itu masih mendengar isak tangis dari wanita paruh baya didepannya. “Kalau boleh saya tahu, dimana Alisha sekarang?”
Keduanya terkejut saat mendengar pertanyaan dokter psikiater tersebut. Mama Meda menangis semakin keras sambil memukul-mukul dadanya. Pada akhirnya suaminya yang kini mencoba untuk menenangkannya. Peluh keringat kini mengucur deras dari dahinya.
“Untuk apa anda mencarinya?” tanya papa Meda.
“Meda terus saja mencarinya. Saya rasa betapa penting kehadiran adiknya untuk saya tanya beberapa hal. Berdasarkan cerita dari Meda, Alisha berada bersamanya di saat peristiwa itu terjadi.”
Wajah papa Meda tampak pucat pasi. Sedangkan istrinya menangis semakin kencang dan tidak berhenti-hentinya meraung. Papa Meda semakin mengeratkan pelukannya agar istrinya menjadi tenang kembali. Papa Meda mencoba menatap wajah psikiater tersebut kembali, walaupun sebenarnya ia merasa tubuhnya hampir saja lunglai.
“Alisha, adik Meda.. satu tahun yang lalu sudah meninggal, dok.”
***
Entah kenapa tiba-tiba saja kehidupanku berubah drastic. Disini aku harus memakai gaun putih, tinggal di ruangan kecil yang bertembok putih, dan orang-orang yang memakai kostum yang sama denganku juga berkepala gundul. Oh iya, sekarang aku juga tidak memiliki mahkota di kepalaku. Seorang berseragam putih mendatangiku dan menyuruhku untuk segera meminum obat. Aku pun menuruti perkataannya.
“Meda,” suara mama yang seperti malaikat bagiku membuatku langsung berbalik. Ternyata benar, papa dan mama mendatangiku. Aku tidak pernah membayangkan bisa bertemu dengan mereka lagi. Kupeluk keduanya dengan erat. Rasa benci itu telah melebur pada diriku.
“Aku kangen,” ucapku senang. Mama memintaku untuk duduk di kursi bersamanya. Sementara papa hanya berdiri saja disamping mama. Keduanya melihatku dengan wajah sendu. Aku lupa satu hal! Aku mengibaskan tanganku ke arah dimana Alisha duduk. “Hey, dek! Papa dan mama datang! Ayo sapa mereka! Katanya kangen?!!” Alisha berlari kegirangan mendekati kami sembari tersenyum. Namun aku tidak melihat ekspresi kegembiraan dari wajah papa dan mama. Keduanya masih memperlihatkan ekspresi yang sama seperti sebelumnya.
“Meda tahu Alisha ada dimana sekarang?” tanya mama. Aku menunjuk Alisha yang berada disebelahku. Mama menggeleng perlahan sambil mengusap punggungku. Aku tidak mengerti maksudnya. “Alisha sudah tenang di surga. Meda tahu kan satu tahun yang lalu kamu melihat Alisha dibuli oleh teman-temannya hingga terjatuh di kolam renang. Kamu tahu kalau Alisha tidak bisa berenang. Kamu menyelamatkannya. Tetapi semuanya sudah terlambat.”
Diriku seakan-akan kembali lagi dimana peristiwa itu terjadi. Aku pun langsung tersentak dan melihat Alisha yang kini hanya mengangguk sembari tersenyum. Alisha memundurkan tangannya sembari melambaikan tangannya.
“Mama benar. Sudah saatnya Alisha untuk pergi. Selamat tinggal kakakku sayang.”