Masukan nama pengguna
Sepuluh tahun lalu, lima sahabat kecil membuat klub rahasia bernama Geng Langit. Mereka punya 7 misi masa kecil yang ingin mereka tuntaskan bersama. Sayangnya, mereka cuma menyelesaikan 6 misi karena perpisahan tak terduga saat lulus SD.
Kini, setelah satu dari mereka mengirim undangan misterius untuk reuni di kampung halaman, kelimanya berkumpul kembali dan sepakat menuntaskan Misi ke-7. Tapi ternyata, misi terakhir itu menyimpan kenangan, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka ungkap.
Part 1: Undangan Tanpa Nama
Hujan baru saja reda saat Rey membuka kotak surat tuanya di teras. Sudah lama tak dia sentuh benda itu sejak zaman semua orang beralih ke WhatsApp dan email. Tapi hari itu, ada satu amplop cokelat tua yang membuat alisnya naik. Tak ada nama pengirim. Hanya tertulis di sampulnya dengan huruf kapital:
"UNTUK GENG LANGIT DI TEMPAT LAMA, HARI SABTU JAM 4 SORE. DATANGLAH."
Rey tertawa kecil, setengah bingung, setengah hangat.
Geng Langit. Sudah sepuluh tahun sejak terakhir kali nama itu terdengar di telinganya.
Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda...
Alya sedang duduk di pinggir tebing kecil dekat pantai, menatap laut sambil memegang kamera. Angin sore menggoyangkan poninya saat ia membuka amplop yang sama. Dulu, dia bilang akan pergi sejauh mungkin dari masa lalu tapi surat ini membuatnya ingin pulang.
“Siapa yang berani-beraninya pakai nama Geng Langit lagi?” gumamnya. Tapi mulutnya tersenyum.
Mika yang kalem dan teratur hampir mengira surat itu spam. Tapi setelah membacanya tiga kali dan menyadari bahwa itu ditulis dengan pulpen biru, dengan huruf-huruf yang sedikit miring ke kanan... dia tahu.
Tulisan itu familiar.
Terlalu familiar.
Dino membacanya sambil makan mie instan. Mulutnya belepotan kuah, tapi matanya langsung berbinar.
“Seriusan ini...?” katanya sendiri, lalu berlari keluar kamar. “MAAA... AKU PULANG KAMPUNG MINGGU INI!”
Dan Raka... yah, dia langsung bikin story Instagram.
"Woii siapa yang ngajak Geng Langit bangkit? Wajib datang ini mah. #ComebackChildhood"
Sabtu sore itu, taman kecil di ujung desa mereka tampak biasa-biasa saja bagi orang luar. Tapi bagi mereka berlima, itu adalah markas sakral:
Tempat mereka menyusun misi rahasia.
Makan permen sambil nyusun taktik.
Dan menamai diri mereka: Geng Langit.
Saat Rey tiba pertama, ia menemukan bangku kayu itu masih berdiri. Sedikit rapuh, tapi masih kokoh.
Dan satu per satu, mereka muncul.
Alya datang kedua, dengan jaket jeans robek dan senyum setengah ragu.
“Lama gak lihat muka lo, Rey. Masih sok pemimpin?” tanyanya.
Rey mengangkat alis. “Masih. Lo masih sok kabur?”
Alya tertawa. “Touché.”
Tak lama, Mika datang sambil bawa termos teh.
Raka nyelonong masuk dari balik semak-semak sambil rekam vlog.
Dan Dino datang terakhir jatuh dari sepeda dan langsung bikin semua ketawa.
Lima orang. Lima karakter.
Tapi saat mereka duduk bersama... rasanya tidak ada yang berubah.
“Jadi siapa yang ngirimin surat ini?” tanya Raka, memutar amplopnya. “Bukan lo, Rey?”
Rey menggeleng. “Bukan.”
“Alya?”
“Bukan. Gue kira lo.”
Semua saling pandang. Hening beberapa detik.
“Eh... jangan-jangan...” Dino menunjuk bawah bangku. Ada sesuatu terikat di sana dengan tali biru. Sebuah kotak kayu kecil tertulis di atasnya:
"MISI TERAKHIR: NOMOR 7. HANYA BISA DIBUKA JIKA KITA LENGKAP."
Semua terdiam. Kotak itu seperti potongan masa lalu yang membeku.
Alya menyentuh kotak itu pelan. “Kita dulu cuma sempat nyelesein 6 misi ya…”
Rey mengangguk. “Misi ke-7... gak pernah kita mulai.”
Raka menatap semua dengan mata berbinar. “Geng Langit... kita punya unfinished business.”
Mika tersenyum tipis. “Tapi ini bukan main-main, ya. Kita bukan anak kecil lagi.”
Tapi saat mereka membuka kotak itu bersama, menemukan peta butut, tulisan tangan bocah, dan clue pertama berbunyi:
"Untuk menemukan langit, cari tempat pertama kita nyolong mangga."
Semua meledak tertawa.
Dan seperti itulah petualangan itu dimulai lagi.
Part 2: Geng Langit Kembali!
Masih dengan tawa yang menggema, mereka berlima duduk melingkar di bangku kayu tua itu, memandangi peta kertas kusut yang mereka temukan di dalam kotak kayu. Warnanya sudah pudar, garis-garisnya nyaris tak terbaca, dan gambarnya… yah, khas anak-anak: tidak proporsional, penuh coretan, dan banyak tanda panah ngawur.
Raka mengangkat alis. “Gue yakin ini bukan peta dunia. Ini peta kampung kita, versi delusi tahun 2013.”
“Dan lihat ini,” ujar Mika, menunjuk sudut kertas. Ada gambar pohon besar dengan tanda lingkaran merah di sampingnya. “Ini kan… pohon mangga di rumah Pak Lurah.”
Rey mengangguk pelan. “Tempat kita pertama kali nyolong mangga. Dan pertama kali hampir dikejar satpam.”
Alya tertawa. “Kita berhasil bawa dua mangga, tapi satu dilempar Dino ke ayam, kan?”
Dino mengangkat tangan. “Itu kecelakaan. Gue pikir ayamnya suka mangga.”
“Masalahnya,” potong Mika, “pohon itu udah ditebang dua tahun lalu. Gue lewat sana pas mudik.”
Seketika, semua terdiam.
“Tapi... rumahnya masih ada,” ujar Rey pelan. “Dan kalau kita mau tahu siapa yang nyusun misi ini, mungkin jawabannya di sana.”
Raka berdiri. “Ayo lah! Kita mulai aja. Kita selesaikan misi 7 kayak jaman dulu! Operasi dimulai sekarang!”
Flashback Singkat – Misi Masa Lalu
Di tengah perjalanan menuju rumah Pak Lurah, mereka sambil bernostalgia soal misi-misi yang dulu mereka lakukan:
Misi 1: Menyelamatkan anak kucing dari got (dan berakhir semua turun ke got).
Misi 2: Membuat perang air terbesar sekomplek (dan bikin listrik padam).
Misi 3: Menggambar mural rahasia di dinding kosong (yang ternyata dinding rumah Ketua RT).
Misi 4: Membuat surat cinta palsu untuk satpam (agar bisa lewati pos malam-malam).
Misi 5: Membuat rakit dari galon dan ember (yang tenggelam dalam 2 menit).
Misi 6: Menyelundupkan permen lolipop ke kelas saat ujian (dengan kode Morse pakai penggaris).
Semua ingat. Semuanya gagal-gagal lucu. Tapi mereka bahagia karena melakukannya bersama.
Sore Itu di Rumah Pak Lurah
Rumah Pak Lurah masih berdiri megah, tapi kini dijaga oleh cucunya yang remaja cowok kurus dengan headphone besar di leher dan rambut belah tengah ala idol Korea.
“Nyari siapa, Kak?” tanyanya sopan.
“Eh... dulu di halaman sini ada pohon mangga besar, ya?” tanya Rey.
“Iya. Tapi udah ditebang.”
“Boleh lihat-lihat halaman sebentar? Dulu... kami punya kenangan di sini.”
Si remaja mengangguk. “Boleh aja. Tapi jangan ambil mangga dari kulkas ya.”
Mereka semua tertawa kecil dan melangkah ke halaman belakang.
Dan di sana… di bekas batang pohon mangga yang kini hanya tinggal bonggol, ada sebuah batu pipih kecil. Di bawahnya tertanam kotak besi kecil, berdebu tapi terkunci rapi.
“Siapa yang bikin semua ini...?” gumam Mika.
Raka mencoba membuka. Terkunci.
Tapi di bagian atas kotak ada tulisan samar:
"Petunjuk selanjutnya ada di tempat kita pertama kali menangis bareng."
Semua saling tatap.
Alya mengernyit. “Nangis bareng? Kita pernah?”
Rey langsung nyaut. “Pernah. Waktu kita ketahuan nyoret nama guru di papan tulis. Kita semua disuruh berdiri di depan kelas sambil nyanyi lagu anak-anak. Kita malu setengah mati, dan Mika nangis duluan. Terus kita semua ikut-ikutan.”
Dino mengangguk, tertawa geli. “SDN 02... ruang kelas 5B.”
Raka mengangkat dua tangan ke udara. “GENG LANGIT KEMBALI!!!”
Malam di Warung Kopi Kampung
Mereka duduk di warung kopi legendaris dekat lapangan bola, membahas petunjuk berikutnya sambil menyeruput es teh manis.
“Gue suka momen kayak gini,” kata Alya, menatap langit. “Kita semua dewasa, tapi tetap bisa jadi versi kecil dari diri kita.”
Rey meliriknya diam-diam. “Kadang, bagian terbaik dari masa kecil adalah orang-orang yang ikut tumbuh bersama kita.”
Alya menoleh. “Lo masih puitis, ya?”
“Lo masih galak.”
Alya tertawa. “Tapi kangen, kan?”
Rey hanya tersenyum, tapi tidak menjawab.
Malam itu, bintang terlihat lebih terang. Dan Geng Langit tahu misi ini bukan cuma tentang teka-teki. Tapi tentang menyatukan potongan diri mereka yang pernah hilang.
Part 3: Peta Rahasia & Kode Masa Kecil
Keesokan paginya, mereka berkumpul kembali di rumah Rey tempat yang dulu jadi markas darurat Geng Langit waktu musim hujan. Suasana pagi yang tenang, kopi panas di atas meja, dan map biru berisi petunjuk yang mereka temukan semalam membuat segalanya terasa seperti sebuah film petualangan... versi anggaran terbatas dan penuh nostalgia.
“Jadi, sekarang kita harus ke kelas 5B SDN 02,” ujar Mika sambil membuka buku catatannya. “Itu lokasi clue selanjutnya, ya?”
Dino mengangguk. “Gue tadi udah ke sana. Pagar sekolah dikunci. Tapi Satpamnya masih Pak Karno.”
“Pak Karno?” Rey berseru. “Yang dulu suka nyuri gorengan anak-anak?”
“Yang sekarang jadi tukang gorengan,” sambung Dino.
Semua tertawa.
Misi Infiltrasi Sekolah
Dengan sedikit negosiasi dan... dua bungkus gorengan, Pak Karno akhirnya mengizinkan mereka masuk ke dalam sekolah sebentar. Ia bahkan berkata sambil mengunyah, “Dulu kalian nih yang bikin sekolah ini rame... sekarang sepi, anak-anak pada pegang HP semua.”
Kelas 5B tampak lebih kecil dari yang mereka ingat. Meja-mejanya sudah diganti, tapi papan tulisnya masih sama. Di sudut kiri papan, ada coretan kecil yang hampir tak terlihat:
"M+R+A+D+Y = G.L."
“G.L. itu Geng Langit...” gumam Mika.
“Tapi kenapa pakai inisial kita semua?” tanya Alya sambil menyentuh papan.
Rey menunduk, membuka lipatan lama dari peta masa kecil mereka. “Waktu itu kita sempat nyusun sistem kode huruf, remember? Huruf pertama dari tiap clue, disusun jadi kalimat.”
Dino tiba-tiba berseru, “Masih inget! Kita punya buku kode! Yang sampulnya warna hijau...”
“...dan ada stiker Power Rangers di depan,” sambung Raka. “Itu ada di rumah gue! Gue yakin!”
Berburu Buku Kode
Mereka meluncur ke rumah Raka yang sekarang dijadikan semacam studio konten YouTube. Di ruang belakang, di balik tumpukan dus lama dan tripod bengkok, mereka menemukan buku kecil bersampul hijau, penuh coretan-coretan absurd, gambar komik stickman, dan rencana misi tahun 2013.
Rey membuka halaman yang mereka cari. Di sana tertulis sistem kode sandi sederhana:
A = 1, B = 2, C = 3... dan seterusnya.
Dan di bawahnya, sebuah kalimat tertulis dengan pensil warna:
“MISI 7 = TEMPAT PALING MENYEDIHKAN YANG KITA PERNAH SAMPAI.”
“Tempat paling menyedihkan?” ulang Mika.
“Hmm…” Alya memutar ingatan. “Gue inget waktu Dino hilang di pasar malam?”
Dino mengangkat tangan. “Tapi gue malah senang. Gue dapet tiga balon gratis karena nangis.”
“Waktu kita gagal ikut lomba layangan?” tanya Raka.
“Bukan. Tempat... yang benar-benar bikin kita semua diem, sedih,” kata Rey pelan. “Gue tahu.”
Taman Kenangan Tempat Kakek Rey Dimakamkan
Mereka berjalan ke taman pemakaman kecil di pinggiran desa. Tempat itu dulu hanya tanah lapang, tapi setelah Rey kehilangan kakeknya di usia sepuluh tahun, mereka semua pernah datang ke sana. Hari itu, mereka pertama kalinya melihat Rey menangis.
“Di sini kita dulu duduk berlima, diem, tanpa suara,” kenang Rey. “Dan waktu itu, kita janji nggak akan ninggalin satu sama lain.”
Alya menatapnya. “Tapi nyatanya… kita sempat ninggalin.”
Rey menoleh pelan. “Iya. Tapi mungkin misi ini... cara kita menebus itu.”
Petunjuk Baru dari Tanah Lama
Di balik nisan tua dekat pohon beringin, mereka menemukan kotak kecil yang lebih usang dari yang sebelumnya. Tertulis di atasnya:
“Terkadang, masa lalu harus dibuka... agar masa depan bisa dimaafkan.”
Di dalamnya, hanya satu lembar kertas:
"Tujuan kalian bukan hanya menyelesaikan misi. Tapi menuntaskan apa yang tertinggal dalam hati kalian masing-masing. Lanjutkan ke ‘Tempat Impian yang Tidak Pernah Jadi.’”
Semua langsung paham:
“Rumah pohon.”
Part 4: Misi Dimulai – Tapi Ada yang Tak Sama
Perjalanan menuju "rumah pohon" tak seindah kenangan yang tersimpan. Dahulu, mereka pernah membayangkan membangun rumah pohon di atas pohon jambu besar milik almarhum Kakek Rey tempat yang jadi semacam ‘tanah suci’ versi anak-anak. Mereka menggambar denah rumah pohon dengan krayon, memaku papan pertama (yang kemudian copot dua jam kemudian), dan berakhir hanya dengan satu lantai bolong tanpa dinding.
Tapi sekarang… pohonnya sudah ditebang. Lahan itu jadi tempat parkir motor warung kopi kekinian. Bekas tiang penyangga rumah pohon yang dulu mereka bangun hanya tinggal satu batang kayu lapuk berdiri miring.
Raka menatap sekeliling. “Ya ampun... gue kira ini bakal jadi tempat nostalgia. Kok malah sedih, ya?”
Alya mendesah, menunduk. “Dulu kita pengen rumah pohon buat tempat kita kabur dari dunia. Tapi nggak pernah jadi.”
Rey mengangguk. “Tapi mungkin justru itu maknanya. ‘Tempat impian yang nggak pernah jadi’ karena saat kita ngerasa gagal waktu kecil, itu ngasih kita ruang buat tumbuh.”
Percikan Emosi yang Muncul
Mereka duduk di bangku warung kopi, tak jauh dari tempat rumah pohon seharusnya berdiri.
Semua diam untuk beberapa saat, sampai akhirnya Mika bicara pelan, “Kenapa dulu kita berhenti?”
“Berhenti apa?” tanya Dino.
“Berhenti main bareng. Berhenti jadi kita.”
Alya memandangi sedotan minumnya. “Karena kita tumbuh. Dan tumbuh itu... kadang berarti meninggalkan.”
Rey menoleh ke arah Alya. “Tapi kenapa lo ninggalin bahkan sebelum kita sempat pamit?”
Alya kaget. Pertanyaan itu langsung, jujur, dan lama terpendam.
“Aku... takut,” ucap Alya akhirnya. “Saat semua orang sibuk jadi dewasa, aku merasa cuma jadi beban. Jadi aku pergi. Nggak ada yang nyari aku juga, waktu itu.”
“Siapa bilang nggak dicari?” potong Mika, suaranya sedikit meninggi. “Gue nunggu tiap sore di taman! Rey tanya ke semua orang! Bahkan Dino sempat nyari ke terminal.”
Alya menatap mereka, perlahan berkaca-kaca.
“Aku kira... nggak ada yang peduli.”
Rey melangkah mendekat, menatap Alya dalam. “Waktu lo pergi, kita semua ngerasa hancur. Tapi nggak ada yang tahu cara minta lo balik.”
Suasana Mencair... dan Rahasia Baru
Dino yang biasanya pecicilan tiba-tiba membuka suara, “Gue juga punya rahasia. Gue nggak pernah bilang, tapi... waktu kita pisah, nyokap gue sakit keras. Gue bolak-balik rumah sakit tiap minggu. Makanya gue nggak pernah datang ke pertemuan-pertemuan kalian. Gue malu, karena nggak bisa ikut main lagi.”
“Din...” Raka menepuk bahunya. “Lo nggak harus malu. Kita sahabat, bukan sekadar partner main.”
Suasana mulai cair. Luka-luka lama akhirnya keluar. Dan semua sadar... petualangan ini lebih dari sekadar menyelesaikan misi. Ini tentang menyembuhkan yang dulu sempat tertinggal.
Petunjuk Baru Muncul
Rey tiba-tiba membuka bagian bawah kotak dari lokasi sebelumnya yang belum mereka periksa. Di dasar kayu lapuk itu ada surat kecil yang tergulung rapi. Dibuka perlahan, surat itu bertuliskan:
“Saat kalian bisa jujur satu sama lain, datanglah ke tempat terakhir kita bikin janji: di bawah langit yang waktu itu kita teriakkan bareng.”
Raka tersenyum, hampir emosional. “Lapangan belakang sekolah.”
“Tempat kita baring rame-rame sambil bilang: ‘Kalau suatu hari kita dewasa, jangan pernah lupa rasa jadi anak kecil.’”
Mika mengangguk. “Dan Rey bilang, ‘Geng Langit harus langit selamanya.’”
Dino berdiri. “Oke. Kayaknya ini waktunya nyelesain semuanya.”
Alya tersenyum, menatap mereka satu per satu. “Kalian masih orang paling norak yang pernah aku kenal.”
“Dan lo masih orang paling ngeselin yang kami tunggu-tunggu balik,” balas Rey.
Semua tertawa.
Part 5: Rahasia, Cinta, dan Luka Lama
Langit sore itu berwarna jingga keemasan saat Geng Langit tiba di lapangan belakang sekolah. Tempat itu tampak lebih sempit dari yang mereka ingat, tapi suasananya masih sama rumput liar, angin lembut, dan langit luas tanpa batas.
Rey berbaring di tengah lapangan, menatap langit seperti dulu. Yang lain mengikutinya. Tanpa suara. Tanpa banyak basa-basi.
“Ada rasa yang nggak pernah berubah,” gumam Dino.
“Kayak kita balik ke versi kecil dari diri sendiri,” Mika menimpali.
Raka mendesah. “Tapi tetep aja… hidup nyata jauh lebih ribet daripada yang dulu kita pikir.”
Alya tersenyum pelan. “Makanya dulu kita buat janji, kan? Kalau udah dewasa nanti, jangan lupa rasanya jadi anak kecil.”
“Lo inget, Rey?” tanya Mika pelan. “Waktu lo bilang, ‘Geng Langit harus langit selamanya’?”
Rey menoleh pelan. “Inget. Tapi waktu itu... gue gak nyangka kalau ‘langit’ bisa sejauh ini.”
Konfrontasi dan Pengakuan
Setelah beberapa menit diam, Mika tiba-tiba bangkit duduk. Wajahnya serius. Nadanya berbeda.
“Ada yang perlu gue omongin,” katanya. “Dan gue minta kalian gak potong sampai selesai.”
Yang lain diam.
“Alya... waktu lo pergi, semua orang memang kehilangan. Tapi... ada satu orang yang paling kehilangan. Rey.”
Alya menoleh cepat.
“Mika ” potong Rey.
“Biarin gue,” ucap Mika tajam. Lalu ia lanjut menatap Alya. “Dia nunggu lo. Lama. Bahkan nulis surat yang gak pernah dikirim. Dan... dia berubah. Jadi lebih pendiam, lebih mikir panjang. Dan waktu itu... gue kira kalau gue deketin dia, bisa bantu dia sembuh.”
Raka mengangkat alis. “Tunggu, lo suka Rey?”
Mika mengangguk. “Iya. Tapi bukan itu yang penting. Yang penting adalah... gue tahu perasaan gue gak dibales. Karena dari dulu, cuma ada satu orang di kepala Rey.”
Alya.
Rey Mengungkapkan Isi Hatinya
Rey berdiri, menatap Alya yang masih duduk diam.
“Alya,” katanya pelan, “waktu kita kecil, lo adalah alasan gue senyum tiap hari. Gue pikir, perasaan itu bakal hilang. Tapi ternyata, dia cuma tidur panjang. Dan misi ini petualangan ini ngebangunin semuanya lagi.”
Alya menatapnya, matanya mulai berkaca-kaca.
“Gue gak butuh jawaban sekarang,” lanjut Rey. “Gue cuma mau lo tahu... bahwa bahkan setelah semua luka, semua kepergian, dan semua waktu yang hilang... gue masih sama. Masih Rey yang dulu... yang sayang lo.”
Kejutan dari Alya
Hening sejenak. Angin berhembus. Raka menunduk, Dino pura-pura sibuk main rumput.
Alya bangkit perlahan. “Rey,” ucapnya. “Lo pikir gue pergi karena gue gak peduli?”
Rey menahan napas.
“Aku pergi... karena aku terlalu peduli. Waktu itu aku tahu, kalau aku tinggal, aku bakal nyusahin. Aku bingung. Aku takut. Dan aku ngerasa... gak pantas untuk disayang siapa pun.”
Suara Alya pecah. “Tapi ternyata, pergi itu gak bikin aku lupa. Justru bikin aku tahu, yang aku tinggalin itu satu-satunya yang aku pengen pulangin.”
Dia menatap Rey, matanya merah. “Dan sekarang... aku pulang.”
Tangis, Pelukan, dan Tawa
Alya melangkah ke arah Rey dan langsung memeluknya. Pelukan yang tidak romantis secara klise tapi penuh makna. Penuh luka yang perlahan sembuh.
Mika tersenyum tipis. “Gue gak nyesel ngomong. Malah lega.”
Dino tepuk tangan kecil. “Akhirnyaaa! Rey dan Alya the movie!”
Raka mengangkat dua tangan ke langit. “GENG LANGIT BERSATU LAGI DENGAN PENUH DRAMA!”
Semua tertawa.
Dan ketika tawa itu mereda, mereka menatap langit bersama, tahu bahwa misi belum selesai tapi hati mereka mulai pulih.
Part 6: Misi 7 – Hal yang Tak Pernah Selesai
Hari mulai gelap saat mereka duduk di bawah pohon besar di tepi lapangan. Setelah semua pengakuan dan air mata, suasana terasa ringan tapi... juga penuh makna. Tak ada lagi yang berpura-pura kuat. Tak ada lagi yang menyembunyikan luka. Semuanya duduk sebagai diri mereka sendiri dewasa yang pernah menjadi anak kecil bersama.
“Jadi…” Raka menyender di batang pohon, “kita udah selesai dong?”
“Belum,” ujar Mika pelan. “Kita belum benar-benar nyelesain Misi 7.”
Rey mengangguk. “Setuju. Kita udah ke semua tempat, buka semua petunjuk, bongkar semua rahasia... tapi gak ada satupun yang bilang secara jelas apa itu Misi 7.”
Alya menatap Rey. “Gue rasa… itu karena Misi 7 gak pernah ditulis. Karena dari awal, kita semua tahu isinya.”
Kilasan Masa Lalu – Misi 7 yang Gagal Ditulis
Dalam flashback kecil, kita dibawa ke tahun 2013. Di salah satu sore terakhir sebelum Alya pergi, Geng Langit duduk melingkar di bangku taman.
“Kita bikin Misi ke-7 dong!” seru Dino kecil.
“Jangan dulu,” kata Rey kecil. “Misi 7 harus yang paling penting. Kita tulis nanti... kalau kita udah ngerti apa arti Geng Langit sebenarnya.”
Dan mereka setuju. Misi 7 tidak ditulis hanya janji diam-diam bahwa suatu hari nanti mereka akan tahu apa misinya.
Kembali ke Sekarang
“Waktu itu... kita pikir arti persahabatan itu petualangan, permainan, dan tawa,” kata Mika sambil menatap rerumputan.
“Ternyata,” lanjut Dino, “arti persahabatan... ya, ini. Maafin. Dengerin. Pulangin yang hilang.”
Raka berdiri, menatap mereka satu per satu. “Gue gak pernah bilang ini, tapi... kalian yang bikin masa kecil gue bahagia. Tanpa kalian, mungkin gue cuma jadi anak rumah tangga yang stress karena bokap-nyokap gue ribut tiap malam.”
Suasana mulai haru lagi.
Alya menggenggam tangan Rey, lalu berkata, “Misi 7 adalah... menyelesaikan apa yang gak pernah kita mulai dengan hati yang udah lebih dewasa.”
Mika mengangguk. “Dan kita udah melakukannya.”
Sebuah Kejutan Terakhir
Saat mereka semua berpelukan kecil untuk menandai berakhirnya Misi 7, Dino tiba-tiba berteriak, “Eh tunggu! Di bawah pohon ini... ada sesuatu!”
Ia menggali sedikit tanah yang tampak gembur, dan... mereka menemukan sebuah kotak kayu kecil, lebih kecil dari kotak-kotak sebelumnya.
Di atasnya tertulis:
“Untuk saat kalian dewasa dan tahu bahwa kebersamaan itu pilihan, bukan kebetulan.”
Mereka membuka kotak itu.
Isinya hanya satu benda: foto Polaroid lama mereka berlima sedang tertawa di taman. Di baliknya tertulis dengan spidol merah:
"Jangan jadi orang asing. Reuni tiap tahun. Jangan cari alasan. Buat waktu."
Janji Baru
Malam itu, mereka menulis ulang perjanjian Geng Langit.
Bukan lagi “Misi 7” ala anak-anak. Tapi Janji Dewasa:
- Reuni tiap tahun, apapun yang terjadi.
- Saling cari, bukan saling tunggu.
- Tetap jadi langit bagi satu sama lain tempat pulang, tempat cerita, tempat tawa.
Alya dan Rey
Sebelum berpisah, Alya dan Rey duduk berdua di taman.
“Lo yakin sama ini?” tanya Rey.
Alya menatapnya. “Gue gak yakin sama semua hal di dunia ini, Rey. Tapi... gue yakin sama satu hal.”
“Apa?”
“Bahwa kalau gue harus jatuh cinta berkali-kali, gue pengen jatuh cinta ke orang yang sama... yang dulu ngajarin gue cara percaya, walau gue takut.”
Rey tersenyum. “Dan orang itu...?”
Alya menatapnya dengan senyum penuh makna. “Masih berdiri di depan gue sekarang.”
Part 7: Misi Tuntas, Hati Juga
Satu minggu setelah malam itu, grup WhatsApp “GENG LANGIT SELAMANYA” mulai aktif seperti obrolan bocah sekolah dasar. Penuh stiker absurd, meme lawas, dan notifikasi spam.
Dino iseng bikin polling:
*“Tempat reuni tahun depan:
- Taman Geng Langit
- Gunung
- Rumah Raka
- Lapangan SDN 02”*
Raka balas: “Gue gak daftar rumah gue! Banyak cicak!”
Semua tertawa. Semua bahagia. Semua... terasa utuh.
Reuni yang Sesungguhnya
Tepat satu tahun setelah Misi 7 selesai, mereka berkumpul lagi di taman kecil yang kini diberi nama oleh warga setempat:
Taman Langit atas usul dari Raka yang ngotot bikin plang dengan desain konyol dan spanduk bertuliskan "Geng Langit Comeback Forever."
Warga sekitar awalnya heran. Tapi lama-lama ikut nimbrung. Dan hari itu, taman ramai oleh anak-anak yang tertawa, orang dewasa yang ikut bermain, dan suara musik dari speaker kecil Dino yang setia jadi DJ dadakan.
Momen-Momen Manis
Mika datang dengan membawa kue buatan sendiri, lalu menatap Rey dan Alya dengan senyum mengerti.
“Akhirnya, ya,” katanya.
Alya dan Rey tak banyak bicara hari itu. Tapi genggaman tangan mereka sudah menjelaskan semuanya. Cinta mereka tak meledak-ledak, tapi tenang seperti langit setelah hujan.
Raka bikin kuis trivia soal masa kecil mereka, dengan hadiah: satu bungkus permen karet yang sudah expired. Tetap saja, semua heboh ikut.
🥤 Dino sibuk bagi-bagi minuman sambil menyelipkan catatan kecil di gelas: “Jangan lupa senyum hari ini!”
Penutup yang Tak Berakhir
Sore itu, mereka duduk kembali di bangku tua yang kini sudah dicat ulang. Langit sore berwarna oranye lembut, seperti bagian terakhir dari halaman buku cerita yang ditulis pelan-pelan.
Rey berdiri, lalu berkata:
“Setahun lalu, kita datang ke sini karena undangan tanpa nama. Kita nyari misi yang nggak jelas. Kita gali petunjuk, ungkap rahasia, saling jujur... dan pulang sebagai versi terbaik dari diri kita.”
Dia menoleh ke sahabat-sahabatnya. “Dan sekarang, gue sadar... misi kita sebenarnya gak pernah berakhir. Selama kita terus milih buat bareng-bareng, buat ada, buat pulang Geng Langit akan selalu hidup.”
Alya menyambung, “Karena langit itu luas, dan kita semua bagian dari warna-warnanya.”
Mereka saling tersenyum. Tak butuh kata perpisahan. Karena ini bukan akhir.
Ini awal dari janji yang akan terus dijaga.
“Tapi satu hal yang gue bingung, siapa yang buat undangan tanpa nama itu?” Ucap Rey
Epilog Singkat – Lima Tahun Kemudian
- Rey dan Alya menikah sederhana di taman kecil itu. Mika jadi MC, Raka nyanyi lagu receh yang bikin semua ketawa sambil nangis.
- Dino buka warung kopi kecil bernama “Langit & Senja”, tempat ngumpul tahunan mereka.
- Mika menulis buku berjudul “Misi 7: Tentang Kita yang Pernah Kecil” dan viral.
- Raka jadi influencer dadakan dengan konten “Nostalgia Sehat Bareng Geng Lama”.
- Dan setiap tahun, tanpa absen, mereka bertemu.
Tak ada lagi yang menghilang. Tak ada lagi yang ditinggalkan.
Karena misi telah tuntas.
Dan hati pun sudah lengkap.