Cerpen
Disukai
5
Dilihat
4,254
Di Balik Pintu Kamar Nomor 2
Drama

Di sebuah rumah biasa, ada satu kamar yang tak pernah dibuka, satu nama yang tak pernah disebut, dan satu rahasia yang tak pernah benar-benar hilang. Sampai seseorang datang, mengetuk pintu dan perlahan mengubah segalanya. Bukan hanya soal cinta, tapi juga tentang bagaimana luka bisa pulang sebagai harapan, dan kenangan tumbuh menjadi ruang yang akhirnya bisa dimaafkan."

Part 1 - Kamar Itu Masih Berisik

Namanya Naya Pramesti, 24 tahun, anak kedua dari tiga bersaudara. Sejak kecil, rumah mereka yang berada di pinggir kota Yogyakarta itu tak pernah benar-benar sunyi. Ada saja yang bisa diributkan, terutama kalau semua anggota keluarga sudah lengkap di rumah. Dan puncak kekacauan biasanya terjadi... saat Naya libur kerja.

"NAAYAAA! Kenapa AC kamar kamu nyala terus dari tadi pagi?! Listrik rumah ini bukan kamu yang bayar!" teriak Ibu dari dapur.

"Aku baru nyalain jam sepuluh, Bu! Tadi juga aku matiin kok waktu ke luar!" jawab Naya dari kamar, sambil menyalakan kipas angin, pura-pura patuh.

"Nanti kalo listrik jepret, baru deh ribut semua satu rumah!"

Satu rumah itu berarti: Ibu, Bapak, Kak Rey, si anak sulung yang pulang seminggu sekali dan selalu bawa kabar sok penting dari kantornya, dan Ara, adik bungsu mereka yang masih SMA dan doyan banget ngeluh.

“Kenapa sih rumah ini isinya orang-orang keras semua? Baru jam sepuluh pagi udah kayak rapat RT,” gumam Naya sambil menatap plafon kamar.

Hari itu sebenarnya cukup penting buat Naya. Ia baru aja putus dari pacarnya yang keempat... dalam tiga tahun terakhir. Dan lucunya, semua mantannya bilang hal yang sama sebelum pergi: “Kamu terlalu sibuk mikirin orang lain, tapi nggak pernah izinkan orang masuk ke hidup kamu.”

Kalimat yang aneh, pikir Naya. Apa iya dia selama ini menutup diri? Atau memang sejak kecil, semua yang ada di rumah ini sudah membuatnya terbiasa untuk tidak berharap lebih dari orang lain?


Pukul 11 siang, suara motor terdengar di depan rumah. Suara yang familiar, dan biasanya menjadi pertanda akan datangnya… drama baru.

"REYYY! Bawa apaan tuh?!" Ibu keluar sambil menyambut Kak Rey yang baru turun dari motornya dengan kemeja putih kusut dan wajah yang sok sibuk.

"Ini Bu, titipan Pak Bos. Oleh-oleh dari Bandung. Tapi aku cuma sebentar ya, sore harus balik lagi ke Jakarta."

"Astaga, baru juga masuk rumah!"

Naya keluar dari kamar, mengamati dari balik pintu. Kak Rey memang anak kebanggaan. Anak pertama, kerja di perusahaan multinasional, selalu dianggap paling benar dan paling bisa jadi andalan. Beda banget sama Naya yang masih kerja di agensi kreatif dan sering dianggap “kerjaannya nggak jelas”.

“Eh, Naya! Akhirnya bangun juga,” sapa Rey dengan nada menggoda.

Naya menaikkan alis. "Baru jam sebelas, Kak. Gak usah sok-sokan kayak hidup kamu udah beres semua."

“Wah, drama pagi ini kayaknya masih lanjut, ya,” celetuk Ara dari ruang tamu sambil main HP.


Siangnya, suasana sedikit mencair. Semua ngumpul makan siang bareng. Menu hari itu: sayur lodeh, tempe goreng, dan sambal bawang Ibu yang legendaris.

Tiba-tiba Ibu buka topik aneh.

“Kalian tahu nggak, tetangga sebelah itu mau jual rumah. Katanya anaknya mau pindah ke luar negeri.”

“Yang rumah abu-abu itu?” tanya Rey.

“Iya. Terus aku mikir… kenapa nggak kita beli aja buat kos-kosan?”

Semua langsung diam. Bapak bahkan terbatuk padahal nggak lagi makan.

“Bu, beli rumah? Kita aja masih nyicil mobil dua tahun lagi,” kata Naya.

“Makanya kamu kerja yang bener, Naya. Biar bisa bantu keluarga. Kakakmu tuh udah bantu banyak…”

Dan… boom. Ledakan kecil itu terjadi juga.

“Selalu, ya? Ujung-ujungnya banding-bandingin lagi.”

“Aku gak bandingin, aku cuma ngasih contoh.”

“Ya contoh kamu selalu Kak Rey!”

“Naya…” Bapak mulai bersuara, pelan tapi tegas.

“Aku keluar dulu,” potong Naya. Ia bangkit dari meja makan, membawa piring bekasnya ke dapur dengan ekspresi dingin.


Naya duduk di teras belakang rumah. Menghirup udara, mencoba menenangkan hati.

Tiba-tiba terdengar suara dari pagar kecil belakang rumah. Suara laki-laki.

"Permisi... ini rumah Bu Pramesti, ya?"

Naya menoleh. Seorang pria muda, bawa helm dan masker, berdiri sopan di luar pagar. Begitu dilepas maskernya... wajahnya cukup bikin Naya lupa soal drama barusan.

“Iya… betul. Ada perlu apa, Mas?”

“Aku Dio. Katanya ada kamar kosong untuk disewa di sini? Dari Bu Tari, tetangga sebelah.”

Naya mengerutkan dahi. “Kamar kosong? Di rumah ini?”

“Katanya kamar nomor dua… yang pintunya dicat biru?”

Naya bengong. Itu kamar kakaknya dulu, sebelum Kak Rey pindah ke Jakarta. Dan setahunya… gak ada yang pernah bilang kamar itu bakal disewakan.

Naya menatap Dio, pria asing dengan senyum ramah yang berdiri di tengah panasnya siang, sambil berpikir:

Kayaknya... drama di rumah ini baru aja nambah satu babak lagi.


Part 2 – Tamu Baru, Rahasia Lama


“KAMAR NOMOR DUA ITU BUKAN UNTUK ORANG LAIN!”

Kalimat itu meluncur keras dari mulut Ibu, begitu Naya menyampaikan bahwa ada pria yang katanya sudah ‘dijanjikan kamar’ oleh Bu Tari, tetangga sebelah.

“Loh, tapi Bu Tari bilang dia denger langsung dari—”

“Gak usah denger dari orang luar. Kamar itu... milik Kakakmu. Gak ada yang bisa pakai tanpa izin!”

Ibu langsung masuk ke dapur, wajahnya keruh, meninggalkan Naya yang masih bingung. Di depan pagar belakang, Dio masih berdiri, mencoba tetap ramah meski jelas-jelas tidak disambut.

“Maaf ya, Mas Dio,” ucap Naya agak sungkan. “Mungkin ada salah paham. Saya pikir juga aneh, rumah ini nggak pernah disewain kamarnya…”

“Gak apa-apa, saya ngerti,” balas Dio, tersenyum. “Tapi... boleh nanya, emang kenapa kamar itu nggak bisa dipakai?”

Naya terdiam. Sebenarnya, kamar itu biasa saja. Dulunya milik Kak Rey, tapi setelah Kak Rey kerja dan pindah ke Jakarta, kamar itu dikunci. Ibu selalu bilang, itu ‘kamar kenangan’, dan tidak boleh diganggu.

Kenangan apa? Naya pun tidak pernah benar-benar tahu.


Malam harinya, Naya scrolling HP di tempat tidur. Rasa penasarannya membuat dia membuka chat dengan Bu Tari.

Naya: Bu, tadi Mas Dio datang. Tapi Ibu saya malah marah besar.

Bu Tari: Lah? Padahal kemarin saya ngobrol sama Ibu kamu sendiri. Dia bilang boleh, katanya kamar itu kosong.

Naya: Hah?

Naya langsung duduk tegak. Ibu sendiri yang bilang boleh?

Besok paginya, Naya memberanikan diri menginterogasi Ibu.

“Bu... kemarin katanya Ibu sendiri yang bilang ke Bu Tari boleh sewain kamar dua.”

Ibu diam. Wajahnya agak tegang.

“Kamu denger dari siapa?”

“Bu Tari langsung. Kalau Ibu memang nggak mau, kenapa bilang boleh?”

Ibu menarik napas panjang, lalu duduk di kursi kayu dekat jendela.

“Kamu nggak ngerti, Naya. Kamar itu... punya banyak cerita yang nggak semua orang kuat nerima. Dulu... bukan cuma Rey yang pakai kamar itu.”

Naya menatap ibu penuh tanya.

“Siapa, Bu?”

Ibu menoleh, matanya mulai berkaca-kaca. Tapi sebelum sempat menjawab, dari arah pagar belakang... terdengar suara.

Tok tok tok.

Dio datang lagi.


"Maaf... saya ganggu lagi ya. Tapi saya beneran butuh tempat tinggal, Mbak. Saya baru pindah kerja ke Yogya, dan kosan saya sebelumnya penuh."

Naya menatap Ibu. Ibu menatap Naya.

Dan tanpa diduga, Bapak muncul dari belakang, menepuk bahu Ibu.

“Mes... mungkin ini waktunya. Kamu gak bisa simpan semuanya terus.”

Ibu terdiam. Lalu dengan nada berat, ia berkata:

“Kalau kamu masih mau, Dio... kamu bisa pakai kamar nomor dua.”


Malam itu, setelah Dio resmi masuk ke rumah mereka sebagai penyewa kamar, suasana berubah canggung. Rey, yang masih di rumah, langsung berkomentar:

“Masukin orang asing ke rumah? Hebat juga Bu sekarang. Dulu aja temen aku nginep semalam ditolak.”

“Rey...” tegur Bapak.

Tapi Dio sendiri tetap tenang. Ia membantu bawa koper, ramah dengan semua anggota keluarga, bahkan memuji masakan Ibu, hal yang jarang dilakukan orang rumah.

“Enak banget, Bu. Saya jarang makan sambal kayak gini. Ada rasa ‘rumah’ banget.”

Ibu hanya mengangguk kecil, belum benar-benar ramah.

Tapi reaksi paling aneh datang dari Ara, si bungsu.

“Mbak Naya, dia cakep juga ya. Kalau jadi pasangan kamu, cucok banget deh.”

“ARA!”

“APA?! Aku cuma bilang yang jujur!”


Dua hari berlalu. Dio mulai membaur. Ia ternyata lucu, banyak cerita menarik, dan... menyebalkan juga kadang.

Suatu malam, Dio mendengar Naya mengomel sendiri di dapur karena panci nyangkut di rak.

“Bentar, Mbak. Biar saya bantu—”

“Gak usah—”

CLANKK!

Rak atas jatuh, dan isi-isinya nyaris menimpa kepala Naya. Untung Dio refleks menarik tangan Naya mundur.

Keduanya terdiam. Jarak mereka... terlalu dekat.

Dio tertawa kecil. “Panci bisa jadi senjata pembuka hati, lho.”

“Apaan, sih...” Naya menarik tangannya. Tapi wajahnya merah.

Dan di balik pintu dapur, Ara mengintip sambil menahan tawa dan mengambil video diam-diam.


Di akhir minggu itu, saat semua mulai terbiasa dengan kehadiran Dio, Naya iseng bertanya:

“Mas Dio, kenapa kamu bisa tahu soal kamar nomor dua?”

Dio terdiam. Matanya menatap ke arah kamar itu.

“Karena... dulu aku pernah ke rumah ini. Waktu masih kecil. Sekali aja. Sama ibuku.”

Naya tercengang. “Kapan?!”

“Sekitar... lima belas tahun lalu. Aku ingat pintu kamar itu warna biru. Dan di dalamnya... ada seorang anak kecil yang terus main mobil-mobilan, gak berhenti meski aku ada di situ.”

“Anak kecil? Kamu ingat namanya?”

Dio mengangguk pelan.

“Namanya... Aldi.”

Dunia Naya mendadak sunyi.

Aldi.

Nama yang sudah lama tak disebut di rumah itu. Nama yang... hanya disebut dalam bisik-bisik. Nama yang membuat Ibu selalu menangis diam-diam di malam hari.

Aldi adalah anak ketiga. Kembarannya Ara.

Dan dia sudah meninggal... enam belas tahun lalu.

 

Part 3 – Rahasia yang Terkubur


Suasana rumah tiba-tiba hening. Nama itu, Aldi, adalah nama yang tabu disebut di meja makan, di ruang tamu, bahkan di kamar tidur. Nama yang jika diucapkan, bisa membuat Ibu mendadak diam selama sehari penuh dan Bapak memutar radio keras-keras agar tidak ada yang membahas lebih lanjut.

Dan sekarang, pria bernama Dio itu menyebutnya seolah dia... bagian dari cerita itu.

“Mas Dio,” Naya mencoba tenang. “Kamu serius pernah ke rumah ini? Waktu Aldi masih hidup?”

Dio mengangguk. “Waktu itu aku diajak Ibu. Katanya, kami mau main ke rumah teman lamanya. Aku masih SD. Cuma sebentar. Tapi... aku gak pernah lupa kamar itu. Bahkan warnanya sama.”

Naya memicingkan mata. “Ibunya kamu siapa, kalau boleh tahu?”

“Namanya Rini.”

Naya seperti tertampar oleh waktu.

Ibu Rini. Nama itu familiar. Terlalu familiar.


Malam itu, Naya mengendap ke kamar Bapak, mengetuk pelan.

“Pak. Aku mau nanya.”

Bapak, yang sedang membaca koran sambil mendengar lagu lawas dari radio kecilnya, menoleh.

“Hmm?”

“Mas Dio... katanya dulu pernah ke rumah ini. Sama Ibunya. Namanya Bu Rini.”

Suara radio mendadak terasa lebih keras, meski volumenya tetap.

Bapak menatap putrinya lama.

“Kenapa kamu tanya itu?”

“Karena Dio tahu soal Aldi, Pak. Dia bahkan tahu warna pintu kamar nomor dua.”

Bapak diam.

Kemudian dengan suara berat, Bapak berkata, “Waktu Aldi meninggal... cuma satu orang yang datang ke rumah kita sambil bawa makanan dan gak banyak tanya.”

Naya menahan napas.

“Bu Rini?”

Bapak mengangguk.

“Kita gak pernah tahu alasan dia datang. Tapi setelah itu, Ibu kamu... selalu kirim parcel ke rumah Bu Rini setiap lebaran. Diam-diam.”

Naya mematung.

Makin banyak hal yang gak ia mengerti. Tapi satu hal pasti: Dio bukan orang asing. Setidaknya tidak untuk masa lalu keluarganya.


Esok harinya, Naya mencari Dio di halaman belakang. Pria itu sedang menyiram bunga sambil bersenandung kecil lagu lawas Koes Plus.

“Lagu siapa tuh?” tanya Naya sambil menyipitkan mata karena silau matahari.

“Lagu legendaris. Bapak aku dulu suka nyanyi ini sambil masak mie.”

Naya tertawa kecil. “Lucu ya... biasanya ibu yang masak.”

“Di rumahku, Bapak yang rajin. Ibu yang suka baca buku. Tapi sekarang dua-duanya udah gak ada.”

Naya terdiam. “Maaf ya…”

Dio tersenyum. “Gak apa-apa. Mungkin itu sebabnya aku ngerasa nyaman tinggal di rumah ini. Berisik, rame, dramatis... tapi hidup. Hangat.”

Naya menatap Dio dalam-dalam. Ada sesuatu dari cara pria itu bicara yang membuat hatinya... tenang.

“Mas Dio. Kamu tahu gak... selama ini, gak ada yang berani nyebut nama Aldi di rumah ini. Bahkan aku sendiri udah hampir lupa suaranya.”

“Aku gak bermaksud ganggu kenangan kalian. Tapi waktu aku lihat kamar itu lagi, aku seperti ditarik ke masa kecil. Aku bahkan ingat... Aldi sempat ngajarin aku main mobil-mobilan. Dia bilang, ‘kamu boleh main, asal jangan acak-acak kotanya.’ Dia bikin kota kecil dari Lego.”

Naya tersenyum samar.

“Itu khas Aldi banget…”


Sore itu, Ibu akhirnya memanggil Naya ke dapur.

“Aku mau cerita sesuatu. Tapi jangan dulu bilang ke adikmu.”

Naya duduk diam, siap mendengar.

“Dulu... sebelum Ara lahir, Aldi sakit. Leukemia. Kami simpan rapat karena gak mau buat semua orang khawatir. Tapi waktu dia makin parah... hanya satu orang yang sering datang ke rumah untuk bantu.”

“Bu Rini?”

Ibu mengangguk. “Dia gak cuma bantu secara fisik, tapi juga secara batin. Dia selalu bilang, ‘kenangan itu bukan untuk dilupakan. Tapi untuk dikenang tanpa sakit.’”

Air mata Ibu menetes. “Aku pernah janji ke Rini, kalau anaknya butuh tempat tinggal suatu hari... aku akan sediakan kamar itu.”

Naya tercekat. Jadi Dio memang datang bukan karena kebetulan.

“Kenapa gak pernah cerita, Bu?”

“Karena... aku gak pernah kuat. Tapi mungkin sekarang waktunya.”


Beberapa hari kemudian, hubungan Dio dan keluarga makin dekat. Bahkan Rey yang biasanya skeptis mulai mengajak Dio main catur sambil nonton bola.

Dan malam itu, Dio duduk di teras berdua dengan Naya.

“Kamu tahu?” kata Dio. “Keluargamu ini gila.”

Naya tertawa. “Iya. Tapi aku cinta mereka.”

Dio menatap Naya lama. “Termasuk kamu... aku pikir kamu orang yang susah ditembus. Tapi ternyata, kamu cuma... menunggu orang yang sabar ngetuk pintu hatimu.”

Naya nyengir. “Jadi kamu merasa sabar?”

“Lumayan. Tiga minggu tinggal di rumah ini... aku gak kabur, kan?”

Mereka tertawa bersama.

Lalu, Naya berkata pelan. “Mas Dio... makasih ya. Kamu gak cuma datang bawa cerita, tapi juga ngebuka banyak hal yang selama ini terkunci.”

Dio menoleh. “Termasuk pintu kamar nomor dua?”

“Termasuk hatiku juga.”

Dan untuk pertama kalinya... Naya melihat langit malam yang tidak sekelam biasanya.


Part 4 – Luka yang Belum Sembuh


Dua minggu setelah Dio tinggal di rumah itu, suasana keluarga Pramesti memang lebih hidup. Tapi di balik tawa dan canda, ada riak-riak kecil yang mulai muncul.

Dan salah satu yang merasakannya adalah... Rey.

Malam itu, Rey duduk di ruang tengah. Ia menatap foto lama keluarga mereka yang tergantung di dinding. Di sana, ada Naya kecil, Ara bayi, dirinya sendiri yang masih ABG dan tentu saja, Aldi, si anak ketiga yang selalu tersenyum paling lebar.

Tapi foto itu... seperti menyimpan cerita yang tak lengkap.

Rey menatap ke arah dapur, tempat Dio dan Naya sedang tertawa bersama sambil cuci piring.

"Aku gak tahu kenapa, tapi Mas Dio itu... bikin aku gak tenang," gumamnya.

Ara, yang tiba-tiba duduk di sebelah, ikut nimbrung, “Kenapa? Cemburu karena sekarang Mbak Naya punya partner ngebanyol di dapur?”

Rey melirik, “Bukan gitu. Tapi dia tahu terlalu banyak soal masa lalu kita. Terlalu nyaman, terlalu cepat.”

“Terus?” tanya Ara, serius.

“Terus... kamu gak curiga? Kenapa dia baru datang sekarang? Kenapa dia tahu soal Aldi? Dan kenapa Ibu tiba-tiba berubah jadi lembut sejak Dio datang?”

Ara diam. Ia juga mulai merasa ada yang aneh. Terutama ketika suatu malam, ia mendengar Ibu menangis di kamar sambil menyebut nama... “Rini.”


Besok paginya, Rey menyelidik. Ia pergi ke rumah Bu Tari, sok-sok bantu angkat galon, lalu menyelipkan pertanyaan.

“Bu... Mas Dio itu anaknya Bu Rini yang dulu tinggal di ujung gang itu, ya?”

Bu Tari mengangguk. “Iya. Kamu tahu gak... waktu Bu Rini sakit keras, dia sempat tinggal sebentar sama Dio di rumah kecil warisan neneknya. Setelah ibunya meninggal, Dio sempat pergi ke luar kota.”

“Hmm... waktu kecil, Dio sering main ke rumah ini juga?”

“Sekali aja, kayaknya. Tapi waktu itu aneh. Aku pernah lihat Bu Rini nangis di pagar rumah kamu. Katanya dia bawa kabar buruk soal Aldi. Tapi gak tahu ditolak atau apa.”

Rey mendadak merinding.


Sore itu, Rey mendatangi kamar Dio. Ia mengetuk pintu, tegas.

“Mas, bisa ngobrol sebentar?”

Dio membuka pintu, masih pakai kaus lusuh dan senyum ramahnya. “Boleh. Ayo ke teras.”

Mereka duduk berdua.

“Aku langsung aja ya, Mas Dio. Kamu sebenarnya siapa? Maksudku... kamu tahu terlalu banyak soal keluarga ini. Tentang Aldi, tentang Ibu, bahkan soal pintu kamar nomor dua. Dan aku, sebagai anak sulung, merasa... kamu datang bukan cuma karena butuh tempat tinggal.”

Dio terdiam cukup lama. Lalu ia berkata pelan.

“Kamu bener. Aku gak datang cuma untuk cari kosan.”

Rey menajamkan mata. “Terus?”

“Aku datang... untuk menepati janji terakhir ibuku.”


Dio pun menceritakan semuanya.

Dulu, ketika Aldi sakit, Bu Rini adalah satu-satunya tetangga yang tahu betapa beratnya kondisi keluarga itu. Diam-diam, ia sering menyumbang biaya pengobatan Aldi. Tapi karena saat itu Ibu dan Bapak masih menolak bantuan luar, Bu Rini hanya menitipkan amplop lewat tukang sayur, atau menyelipkannya di pintu.

Ketika Aldi meninggal, Bu Rini datang untuk memberikan satu kotak kecil isi kenangan dari Aldi, berisi surat dan gambar kecil yang tak sempat dikirim ke Rey dan Naya.

Tapi Ibu dalam keadaan terpukul menolak bertemu siapa pun.

Sejak saat itu, Bu Rini menyimpan semua yang seharusnya milik keluarga Pramesti.

Sampai akhirnya, ketika Bu Rini sakit dan tahu usianya tak lama lagi, ia meminta Dio putra satu-satunya untuk mengembalikan kotak itu... dan membukakan kembali pintu kamar yang pernah penuh tawa dan tangis.


Rey tercekat. Hatinya campur aduk. Ia ingin marah, tapi tak bisa menyangkal bahwa... cerita itu masuk akal. Bahkan menyentuh.

“Aku gak mau ganti posisi siapa pun,” ujar Dio pelan. “Aku cuma mau keluarga ini tahu... bahwa ada cinta yang tersimpan. Dan belum sempat disampaikan.”


Malam itu, keluarga Pramesti berkumpul di ruang tamu.

Dio, dengan suara pelan, meletakkan sebuah kotak kecil di meja tengah.

“Kotak ini... dari Aldi. Tapi selama ini disimpan oleh Ibu saya.”

Ibu gemetar. Dengan tangan bergetar, ia membuka kotak itu.

Di dalamnya... ada tiga benda.

  1. Gambar kota mini dari Lego yang digambar Aldi.
  2. Surat kecil bertuliskan: “Untuk Mbak Naya dan Mas Rey. Makasih udah temenin Aldi main. Maaf kalo Aldi kadang nakal.”
  3. Foto usang Aldi kecil berdiri di depan kamar nomor dua, bersama seorang anak lain... Dio kecil.

Naya menutup mulut. Rey pun tak kuasa menahan air mata. Bapak mengusap kepala Ara yang mendadak menangis meski ia dulu terlalu kecil untuk ingat Aldi.

Dan Ibu... menangis terisak, untuk pertama kalinya tanpa sembunyi-sembunyi.

“Terima kasih, Dio... karena kamu, aku bisa buka kotak ini lagi. Dan bukannya luka... aku malah merasa... anakku belum benar-benar pergi.”

 

Part 5 – Antara Rasa dan Luka yang Sembuh


Setelah malam kotak kenangan itu dibuka, rumah keluarga Pramesti tak lagi sama. Ada semacam kelegaan yang menyelimuti udara, seperti beban bertahun-tahun akhirnya diangkat dari pundak masing-masing.

Ibu lebih sering tersenyum. Bapak terlihat lebih ringan, bahkan mulai lagi kebiasaan lamanya merawat bonsai di teras. Rey mendadak lebih sering bercanda dengan Ara. Dan yang paling terlihat berbeda... tentu saja Naya.

Ia seperti menemukan sesuatu yang lama hilang. Dirinya sendiri.

Dan salah satu yang membantu proses itu, adalah pria yang kini menempati kamar nomor dua: Dio.


Pagi itu, Naya menemukan secarik kertas di pintu kamarnya.

“Mbak Naya, aku masak pancake. Tapi kayaknya bentuknya mirip bantal dilempar. Harus ada yang icip. – Dio”

Naya tertawa sendiri. Ia turun ke dapur dan menemukan piring penuh pancake gosong di satu sisi, mentah di sisi lainnya. Tapi Dio tersenyum bangga.

“Yang penting niatnya,” kata Dio. “Aku pengin belajar masak kayak kamu.”

“Masakanku juga sering gosong, Mas.”

“Ya, tapi masih bisa dikenali. Ini? Ini kayak alat perang.”

Tawa mereka pecah di dapur. Ibu lewat sambil geleng-geleng kepala, “Saya tinggal sebentar, dapur berubah jadi Stand Up Comedy.”


Hari demi hari, keakraban itu tumbuh jadi kebiasaan. Dan kebiasaan... pelan-pelan berubah jadi rasa.

Suatu malam, Naya dan Dio duduk berdua di teras, seperti biasa. Tanpa lampu terang, hanya ditemani lampu taman yang temaram dan suara jangkrik dari kebun belakang.

“Kamu tahu gak, Dio?” bisik Naya.

“Apa?”

“Aku dulu paling benci rumah ini.”

Dio menoleh. “Serius?”

“Iya. Karena isinya cuma teriakan, perbandingan, dan... luka yang gak pernah sembuh. Aku sering mikir, lebih baik tinggal di luar aja, ngekos, hidup sendiri. Tapi entah kenapa, aku selalu pulang.”

“Karena kamu kuat.”

“Bukan,” Naya tersenyum tipis. “Karena... hatiku terlalu rapuh kalau sendirian.”

Dio menatap Naya. Lama.

“Mungkin itu sebabnya aku ke sini,” katanya pelan. “Karena kamu butuh seseorang yang gak sekadar tahu kamu kuat, tapi mau nemenin kamu... bahkan pas kamu lemah.”

Jarak di antara mereka hanya sejengkal. Tapi jantung Naya berdegup seperti mereka terpisah dua dunia.

“Dio... aku takut.”

“Takut apa?”

“Kalau rasa ini cuma karena luka lama yang sembuh. Bukan karena benar-benar cinta.”

Dio menarik napas dalam. “Kalau gitu... jangan dicintai sekarang. Tapi izinkan aku ada. Besok. Lusa. Sampai kamu yakin.”


Keesokan harinya, berita tak terduga datang.

Dio mendapat tawaran kerja di luar kota. Bandung. Gajinya lebih besar, posisi strategis, dan perusahaan itu adalah tempat mendiang ayahnya dulu bekerja. Tawaran yang... seharusnya tidak bisa ditolak.

Tapi saat makan malam, Dio belum cerita pada siapa pun.

Naya mencium keganjilan. Dio lebih pendiam, tidak selucu biasanya. Bahkan pancake paginya hampir bisa dimakan.

Sampai akhirnya, setelah semua tidur, Dio duduk di ruang tengah, termenung.

Naya mendekat. Duduk di sampingnya. “Kapan berangkat?”

Dio kaget. “Kok tahu?”

“Insting.”

Dio tersenyum kecil. “Mereka minta aku mulai minggu depan.”

Naya terdiam. “Pergi?”

Dio menatapnya. “Menurut kamu... aku harus?”

Naya menghela napas panjang.

“Kalau kamu pergi demi impianmu... pergi.”

“Tapi... kalau aku tinggal demi kamu?”

“Jangan.” Naya tersenyum pahit. “Jangan tinggal demi orang lain. Aku pernah lihat Ibu berkorban untuk semuanya, dan akhirnya... dia kehilangan dirinya.”

Dio terdiam.

Lalu Naya menambahkan, “Tapi kalau suatu hari kamu kembali bukan karena luka, bukan karena janji ibumu, tapi karena kamu pengin bangun pagi dan masak pancake walaupun gosong bareng aku... maka pintu rumah ini akan selalu terbuka.”

Dan untuk pertama kalinya, Dio menitikkan air mata.


Seminggu kemudian, Dio berangkat. Kamar nomor dua kembali kosong. Tapi kali ini, kosongnya bukan karena luka. Tapi karena harapan.

Ibu mengganti warna pintu jadi kuning muda. “Biar cerah,” katanya.

Rey kembali ke Jakarta. Ara fokus persiapan kuliah. Dan Naya? Ia tetap di rumah, tapi dengan hati yang tak lagi berat.


Satu bulan berlalu.

Satu pagi, saat Naya turun ke dapur, ia melihat panci di rak atas sudah rapi. Tapi ada hal aneh.

Ada piring pancake di meja. Dan... ada catatan.

“Masih gosong. Tapi aku janji, akan terus belajar. – D”

Naya tersenyum. Ia berbalik, dan di ambang pintu... Dio berdiri, membawa koper dan senyum hangat.

“Aku gak bisa masak. Tapi aku bisa nyapu. Nemenin Ibu belanja. Ngejagain Bapak kalau bonsainya kejatuhan daun. Jadi... boleh gak aku tinggal lagi di kamar nomor dua?”

Naya tak menjawab. Ia hanya melangkah pelan... dan memeluk Dio.


Part 6 – Rumah yang Pulangannya Selalu Sama


Semenjak Dio kembali, rumah itu tak lagi terasa seperti rumah biasa. Ada tawa baru yang lebih jujur. Ada obrolan pagi yang hangat. Bahkan suara nyanyian Ibu saat di dapur yang dulu hanya terdengar sesekali, kini muncul hampir setiap hari.

Dan kamar nomor dua... kini bukan lagi ruang kenangan yang penuh luka.

Melainkan ruang harapan.


Ibu mengganti gorden, menaruh tanaman kecil di jendela kamar itu, dan sesekali masuk hanya untuk merapikan bantal, meski Dio protes setiap kali.

“Bu, ini saya yang tidur, bukan boneka!”

“Biar kayak kamar hotel. Biar adem liatnya.”

Tapi semua tahu, itu hanya caranya Ibu menunjukkan cinta.


Satu hari, saat sore yang teduh, keluarga Pramesti berkumpul di teras rumah.

Rey sedang cuti, duduk berselonjor sambil mengelus kucing liar yang jadi warga tetap rumah. Ara sedang belajar make up sambil nyoba contour hidung Bapak, yang dengan pasrah jadi model.

“Jadi, Mas Dio,” kata Rey sambil menyeruput teh. “Kapan kamu resmi jadi bagian dari keluarga ini?”

Dio nyengir, canggung. “Saya belum ditanya sih…”

“Biar saya tanya sekarang,” potong Bapak tiba-tiba. Semua menoleh.

“Dio, kamu serius sama Naya?”

Dio menegakkan duduknya. “Serius, Pak.”

“Kamu tahu hidup itu gak selucu pancake gosong, kan?”

Semua tertawa, termasuk Ibu yang ikut menyenggol lengan Bapak. Tapi kemudian suasana menjadi hening. Dio menatap mata Bapak.

“Saya tahu, Pak. Dan justru karena hidup kadang getir, saya mau jalaninya bareng orang yang bikin hidup itu jadi lebih ringan.”

Bapak diam sejenak. Lalu mengangguk pelan.

“Kalau gitu, habis lebaran... lamarlah anak saya.”

Naya yang sedari tadi diam, memukul tangan Bapak pelan. “Pak! Gak romantis banget, sih!”

Ara tertawa keras. “Itu kayak ngelamar karyawan, bukan anak orang!”

Dio tertawa. Tapi dalam matanya, ada kilat kesungguhan yang tak bisa disembunyikan.


Beberapa bulan kemudian…

Hari itu, halaman rumah penuh lampu hias dan tenda sederhana. Ibu sibuk di dapur, Rey mondar-mandir jadi MC dadakan, Ara jadi seksi dokumentasi, dan Bapak... duduk tenang di pojok, sambil senyum-senyum.

Sore itu, Naya dan Dio resmi bertunangan.

Tak perlu pesta besar. Tak perlu seragam wah. Hanya keluarga, beberapa tetangga, dan tawa yang hangat.

Ketika Naya berjalan ke arah Dio, memakai kebaya krem sederhana dan senyum lebar, hatinya penuh.

Ia teringat semua hari ketika rumah ini terasa seperti beban. Ketika pintu kamar nomor dua adalah simbol dari luka yang tak pernah selesai.

Tapi sekarang?

Sekarang kamar itu adalah tempat di mana cinta tumbuh. Di mana luka berdamai. Di mana hidup kembali disusun pelan-pelan, satu tawa, satu doa, satu pancake gosong, dalam satu keluarga.


Malam itu, ketika tamu sudah pulang, dan rumah kembali sepi, Naya dan Dio duduk di tangga depan.

“Gimana rasanya?” tanya Dio.

“Seperti... pulang ke rumah. Tapi kali ini, gak sendirian.”

Dio menggenggam tangan Naya.

“Terima kasih udah izinkan aku masuk. Ke rumah ini. Ke hati kamu.”

Naya mengangguk pelan. “Dan terima kasih karena... kamu gak sekadar ngetuk pintu. Tapi juga bantu aku buka gemboknya.”

Mereka saling berpandangan, lama, lalu tertawa.

Lalu masuk ke rumah.

Dan menutup pintu.

Pintu kamar nomor dua.

Yang kini… tak lagi menyimpan air mata.

Tapi penuh dengan cinta, kenangan, dan masa depan.

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)