Masukan nama pengguna
Sinopsis
Pendosa yang handal. Predikat yang pantas disandang.
Apakah kau terbebas dari dosa sehingga melakukan penghakiman?
Jika nurani yang berbicara memang seharusnya mengingatkan itu menjadi suatu kebaikan. Tapi tidak dilakukan oleh hati yang dengki karena bisa jadi kau pendosa yang jauh lebih handal tapi kau tidak menyadarinya.
Jelita memang jelita. Kebodohan menyebabkan setan menguasai jiwanya. Sehingga dirinya terpaksa menikah di usia yang sangat muda. Suami yang dianggap tidak bisa menafkahi menyeretnya mengikuti langkah teman sepermainan masa kecilnya menuju lembah hitam. Semenjak itu ia kerap memilih pria berduit saja untuk menjadi pasangan hidupnya. Tak peduli pria beristri atau tidak. Tak peduli dirinya menyandang status seorang candala. Sudah tak berduit lemparkan saja.
Aku lakukan semua ini supaya buah hatiku berpendidikan hingga perguruan tinggi. Aku lakukan semua ini untuk masa depan buah hatiku yang gemilang, pikirnya.
Tujuan yang mulia. Tapi apakah bisa dibenarkan menghalalkan segala cara meski tujuan itu mulia?
Bukan sorotan penuh kebencian yang menggetarkan hati perempuan itu. Tapi kisah lalu tak akan pernah bisa dihapus.
Apakah dirinya mampu mengantarkan buah hatinya menuju masa depan yang gemilang?
Baca kisah selengkapnya yuk!
***
Mengetuk Pintu Surga
Di usianya yang hampir senja, wanita itu masih tampak memikat. Wanita itu tersenyum memandang foto buah hatinya, buah cintanya dengan suami pertamanya.
“Bukan menjadi anak orang kaya membutuhkan effort lebih untuk menggapai cita - cita dan harapan.”
“Aku lakukan semua ini supaya kalian tidak mengikuti langkahku.”
***
(Kisah lalu)
Hanya 600 ribu. Wanita muda itu menghitung lembar demi lembar uang hasil jerih payah suaminya bekerja. Bagaimana bisa kaya raya hanya bersuamikan seorang tukang cuci motor, pikirnya.
Wanita muda itu duduk termenung di salah satu ruangan rumah kontrakannya. Rumah mungil berukuran 5 x 7 meter terdiri dari empat ruang yang bersekat dinding tembok bercat putih. Dapur, kamar mandi, ruang tengah dan ruang depan. Harus tetap disyukuri. Dengan rezeki sebesar ini masih bisa untuk membayar rumah kontrakan. Tapi, apakah bersyukur berarti tidak ada upaya untuk mengubah keadaan. Tidak. Aku harus tetap mengupayakan untuk mengubah keadaan, pikirnya lagi.
“Aku lelah hidup seperti ini.” wanita muda itu menatap putri kecilnya yang sedang tertidur dan mengusap perutnya yang sedang hamil besar.
“Aku tidak mau putriku hidup susah sepertiku.”
Wanita muda itu melangkahkan kakinya keluar rumah. Seorang papa pun membutuhkan asupan supaya bisa tetap berpikir dan bekerja. Isi dompet yang minimalis memaksa wanita muda itu untuk menguras otak sehingga bisa mendapatkan asupan yang bisa bersahabat dengan keadaan. Sepiring nasi, tumis labu dan sepotong tempe sudah membuat lidah bergoyang menemukan sebuah kenikmatan. Tapi, cukupkah membuat putriku bisa berpikir optimal sehingga bisa mengantarkan dia suatu saat nanti menjadi seorang pemangku kekuasaan. Suara hati kecilnya menggumam.
“Berapa semuanya, Bang?” wanita muda itu menyodorkan sayuran dan satu lenjer tempe dan bumbu lainnya pada tukang sayur untuk dihitung total belanjaanya.
“Irit amat, Neng masaknya? Ada tambahan lagi?”
“Udah cukup, Bang.” jawab wanita muda itu kemudian tersenyum.
“12 ribu, Neng.”
Wanita muda itu menyerahkan selembar uang puluhan ribu dan selembar uang lima ribuan pada tukang sayur itu.
“Ini kembaliannya!”
Sudah ada bahan dan bumbu di tangan untuk membuat dapur berasap. Wanita itu kemudian berlalu. Di kejauhan terlihat seorang gadis cantik dan menarik. Walaupun berpakaian kurang bahan tapi terlihat bukan barang murahan. Tas yang diselempangkan pun sepertinya tas branded. Apalagi kendaraan mesin beroda dua yang ia gunakan pastilah mahal.
Gadis cantik itu menghentikan laju motornya tatkala wanita muda itu berada di dekatnya.
“Ta, darimana?” gadis cantik itu menyapa Jelita, nama wanita muda itu.
“Aku kira bukan kau, Dahlia. Pangling sekali. Aku habis belanja dari tukang sayur.” jawab Jelita sambil memperlihatkan jinjingannya pada Dahlia, teman sepermainan masa kecilnya.
“Kamu mau kemana?” Jelita bertanya pada Dahlia ketika temannya itu terlihat mengamati jinjingannya.
“Belanja. Isi kulkas sudah hampir kosong. Kau mau menitip sesuatu atau untuk anakmu?”
“Tidak.”
Melihat keceriaan putrinya sesaat menghapus kepenatan ruang pikir Jelita. Jiwanya yang lelah telah hilang ketika dirinya asyik mengajak putrinya bermain di ruang tengah rumah kontrakannya. Terdengar suara ada seseorang yang mengetuk pintu. Kakinya pun beranjak dan melangkah menuju ruang depan. Ia bukakan pintu dan tampak Dahlia di hadapannya.
“Masuklah!”
“Suamimu sedang bekerja?”
“Iya.”
Dahlia memberikan dua bungkusan besar pada Jelita. Mata Jelita berkaca - kaca ketika melihat isi bungkusan itu. Beras, susu, kopi, teh, gula, biskuit, sereal, mie instan, dan masih banyak lagi untuk memenuhi kebutuhan dapurnya. Jarang sekali ia mendapatkan karunia sebanyak itu. Bahkan hampir tidak pernah ia dapatkan. Sekalipun tanggal muda saat suaminya memberikan nafkah padanya. 600 ribu rupiah. Sebagian harus digunakan untuk membayar uang kontrakan bulanan, ongkos suaminya menuju tempat bekerja dan tersisa 250 ribu saja untuk mencukupi kebutuhan selama satu bulan. Sepertinya tidak akan terpikirkan untuk membeli apa yang diberikan Dahlia padanya. Karunia itu dititipkan Tuhan pada Dahlia untuk Jelita. Karunia yang sangat dirasakan pemanfaatannya saat diberikan pada sasaran yang tepat.
“Aku lelah.” Jelita mencurahkan isi hatinya pada Dahlia sambil menyodorkan sepiring potongan brownies yang dibelikan oleh temannya itu.
“Kau tidak berpikir untuk bekerja?” tanya Dahlia
Jelita. Wanita muda itu sebaya dengan Dahlia. 20 tahun usianya. Usia yang masih sangatlah muda. Keadaan memaksa dirinya untuk menikah muda. Keadaan akibat kebodohan dirinya sendiri karena tak mampu mengalahkan setan yang menguasai jiwanya. Tapi apalah daya, tidak menikah di usia muda pun, dirinya tidak akan bisa mengenyam pendidikan tinggi karena orang tuanya bukanlah seorang yang berduit. Apalagi di jaman sekarang dengan biaya pendidikan yang begitu tinggi, menjadi sarjana hanya impian saja. Dengan ijazah SMP bekerja apa, Jelita balik bertanya pada Dahlia.
“Kau bekerja dimana? Gajimu besar ya?” tanya Jelita.
Dahlia menceritakan pekerjaannya pada Jelita. Dirinya berangkat bekerja jam 9 malam dan pulang sebelum adzan shubuh berkumandang. Dari pekerjaannya itu, sedikitnya ia memperoleh satu juta rupiah setiap malamnya. Nilai yang fantastis untuk Jelita. Selama ini uang sebesar itu baru ia peroleh dalam waktu kurang lebih dua bulan. Sedangkan Dahlia memperolehnya hanya dalam waktu satu malam saja.
Lembayung senja menjadi pertanda bagi Jelita bahwa dirinya harus bersiap - siap untuk menepati janjinya. Angin mengusap rambutnya yang panjang dan hitam hingga menyibak menutupi sebagian wajah Jelita. Jelita memang jelita. Hanya keadaan yang menyembunyikan kejelitaannya. Gaun berwarna putih pemberian Dahlia memancarkan kembali pesona Jelita.
Suami Jelita yang melihat istrinya berdiri di teras depan rumah lalu menghampirinya.
“Kau mau kemana?”
“Aku akan pergi dengan Dahlia. Titip anak - anak!”
“Bagaimana dengan Cahaya? Kau harus menyusuinya!”
“Buat saja susu formula! Kemarin sudah kubeli disimpan di lemari.”
Enam bulan lalu Jelita melahirkan putri keduanya. Ruang pikirnya dipenuhi dengan beban kehidupan yang membuat suara hatinya menjerit. Bahkan bibir pun rasanya bersahabat dengan suara hatinya. Ingin dipecahkan saja kepalanya supaya beban berat itu tak lagi ia rasakan. Jelita menumpahkan rasa jiwanya yang lelah pada Dahlia. Sejak kedekatan kembali dirinya denga teman sepermainan masa kecilnya itu membuat Jelita menjadi wanita berbeda. Apalagi beberapa bulan setelah kelahiran putri keduanya, ia kerap menampakkan kecantikannya pada semua orang. Tak jarang kedua putrinya ia tinggalkan untuk pergi bersama Dahlia. Semenjak itu, kesempitan merangkak menuju kelapangan.
“Aku pulang malam.” ucap Jelita pada suaminya yang tak ia hiraukan apakah suaminya mengizinkan atau tidak.
“Jika kau tetap pergi, aku akan mengembalikan dirimu kembali ke rumah orang tuamu!”
Beberapa bulan berlalu, Jelita lebih memilih hidup dalam kelapangan dibandingkan dengan suami yang hanya memberikan nafkah 600 ribu rupiah saja.
Pria beristri yang beberapa bulan ini membiayai hidup Jelita. Amarah suami Jelita tak bisa dielakkan lagi dan mengakhiri ikatan janji suci mereka berdua. Dahlia yang mengenalkan pria beristri itu pada Jelita. Ketidaksabaran membutakan mata hati Jelita. Yang penting anak - anakku hidup berkecukupan. Asupan bergizi dan bisa sekolah hingga perguruan tinggi, pikir Jelita. Lalu pria beristri itu menikahi Jelita tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Sesaat Jelita dan kedua putrinya hidup berkecukupan tanpa kekurangan gizi. Hanya dua tahun saja dirinya menyandang status istri kedua pria itu. Jelita kembali menyandang status dalam kesendirian.
Tak ada lagi perhiasan yang mempercantik penampilannya. Semuanya ia tukar dengan lembaran rupiah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta ketiga buah hatinya. Dua putri dari suami pertamanya, satu putra dari suami keduanya.
“Tak kuizinkan anak - anakku miskin dan kelaparan.”
“Tak kuizinkan anak - anakku bodoh karena kurang pendidikan.” suara hati Jelita berbisik.
Pagi itu, Jelita mengantarkan putri pertamanya menuju sekolah. Raut muka bahagia terpancar pada wajah manis Sinar, nama putri kecilnya. Tangan kirinya menggandeng Cahaya, putri keduanya yang ia bawa serta. Putra ketiganya ia titipkan pada ibunya.
“Sinar, tunjukkan bahwa dirimu bisa menyinari dunia dengan ilmu yang kau miliki!” Jelita menyemangati putri sulungnya.
Usianya belum genap seperempat abad. Jelita harus berjuang membesarkan tiga buah hatinya tanpa sosok suami di sampingnya. Tidak ada yang bisa disalahkan. Jelita menyadari semua ini akibat kebodohan di masa lalunya.
“Tak usahlah terkurung dalam ruang masa lalu hanya menghentikan langkah kaki menuju masa depan. Anak - anakku sangat membutuhkanku. Aku ingin memanusiakan mereka. Tidak seperti diriku yang dianggap binatang karena seorang wanita kelas dua.” ucap Jelita dalam hati saja.
Jelita menatap sebuah gedung perguruan tinggi yang megah. Lalu Lalang kendaran beroda empat menyiratkan hanya kumpulan orang berduit saja yang bisa sekolah disana.
Bersyukurlah kalian yang diberikan kelapangan. Manfaatkan kelapangan itu untuk yang berguna! Jika kelapangan yang Tuhan karuniakan padamu membuatmu angkuh dan menghina seorang papa, aku akan meminta pada Tuhanku untuk mencabut kelapanganmu! suara hati Jelita yang dikuasai rasa dendam pada nasib menggumam.
“Ma, nanti dede kalau sudah besar sekolah di sana ya!” Cahaya membuyarkan lamunan Jelita.
Jelita tersenyum dan mengajak Cahaya pulang setelah mengantarkan Sinar ke sekolah.
Apalah dayaku hanya berijazahkan SMP. Upah yang kuterima dari pekerjaan menjadi seorang buruh hanya cukup untuk membeli bakso saja.
Seorang pria muda terpikat dengan kecantikan Jelita. Jelita memang masih muda. Tak tampak dirinya seorang ibu beranak tiga.
“Penghasilan pria itu sama denganku yang hanya seorang buruh. Bagaimana anak - anakku bisa sekolah tinggi.”
Dahlia kembali mengenalkan Jelita pada dunia gila.
Bertahun - tahun Jelita menjadi wanita candala. Demi buah hati alasannya yang tidak dia izinkan hidup papa. Pikirannya semrawut menerima ajakan Dahlia untuk menemani pria - pria yang haus nafsu dunia di ruang temaram. Hanya menemani saja. Setan yang menguasai jiwanya berbisik itu hanyalah dosa kecil. Untuk anak - anakmu yang membutuhkan tumpukan uang untuk membiayai sekolah dan kehidupannya pastilah Tuhan mengampunimu. Dasar setan bisa saja rayuannya.
Lelah. Jiwanya meronta. Hidup apa ini. Ibu macam apa aku ini. Hatinya menangis. Dia kubur nestapanya dalam - dalam meski Sinar menaruh rasa curiga ibu macam apa yang melangkah kala kegelapan. Tak usah ditanyakan lagi pada bibir - bibir sekitar. Sorotan mata yang penuh kebencian sudah menjadi santapan sehari - hari bagi dirinya yang seorang hina.
“Maafkan ibu, nak!”
“Dengan harapan ibu memberikan nama yang indah untuk kalian. Sinar… Cahaya…. Langit. Jangan pernah kau ikuti langkah ibumu yang merangkak di kegelapan! Jangan pernah, nak! Jangan!”
Dia pandangi ketiga pintu surganya yang sedang tertidur lelap. Air matanya tak kuasa menggenang di pelupuk kedua matanya.
Sinar sudah beranjak remaja. Tanpa kehadiran sosok seorang ayah tidak membuatnya kehilangan arah. Gadis itu tumbuh lebih dewasa dibandingkan dengan teman sebayanya. Ia harus menjaga kedua adiknya, Cahaya dan Langit.
Masih ada di dalam lubuk hati Jelita mengharapkan seorang pria baik meminang dirinya.
“Apakah perempuan hina seperti diriku pantas mendapatkan pria baik.”
Lupakan. Itu hanya pertanyaan yang menggelitik
Pria setengah abad meminang dirinya. Entahlah pria baik atau bukan. Ia mengenalnya saat bekerja di tempat hiburan. Bukan pria beristri tapi pernah beristri. Pria itu pemilik salah satu café ternama. Tanpa berpikir panjang, Jelita menerima pinangannya. Ia harus mengeruk uang sebanyak mungkin untuk putrinya yang sebentar lagi harus masuk perguruan tinggi. Banyak uang bukan jaminan kebahagiaan. Tetapi tidak memiliki uang lebih tidak membahagiakan, pikir Jelita.
“Ibu, aku tak rela pria itu menyakitimu. Kenapa ibu masih bertahan dengannya?”
“Ibu masih membutuhkannya. Tunggu hingga kau lulus kuliah.” jawab Jelita pada Cahaya.
Pria itu menafkahinya serba berkecukupan. Bahkan mampu membiayai putrinya hingga perguruan tinggi. Tetapi, Jelita harus membayar semua itu dengan makian bahkan tamparan. Akibat ulah suami ketiganya yang hilang akal karena mabuk - mabukkan setiap malam.
Derita menjauh pergi. Ketiga buah hatinya telah menyinari dunianya yang dulu gelap dan kini bercahaya. Rasa perih dan luka perlahan terobati. Sinar, putri pertamanya telah menikah yang ia yakini dengan seorang pria baik. Cahaya, putri keduanya menjadi seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri ternama. Langit, putra ketiganya masih mengenyam di salah satu perguruan tinggi swasta. Tak perlu Jelita turun ke lembah hitam lagi. Kedua putrinya membalas jerih payahnya dengan kehidupan yang berkecukupan dengan jalan kebaikan.
Jelita memutuskan untuk hidup berpisah dengan suami ketiganya.
***
(Terbangun dari kisah lalu)
Suara adzan membangunkan Jelita dari lamunan kisah lalunya. Air mata tak kuasa ia tahan karena teringat betapa kotor dirinya.
Tuhan, aku seorang pendosa. Tapi aku tak sanggup dengan nerakaMu… tak akan sanggup, Tuhan.
Ampuni aku, Tuhan! Ampunilah aku!
Air mata terus mengalir membasahi kedua pipinya mengingat masa lalunya yang nista. Kedua pipinya yang basah langsung ia seka ketika terdengar suara putrinya memanggilnya.
“Ibuu…. “
Tampak Sinar dan Cahya berjalan mendekatinya. Kedua tangan Cahaya menutup mata sang ibu.
“Kami punya kejutan untuk ibu.”
Perlahan mata Jelita terbuka dan melihat sebuah kunci pintu rumah di hadapannya di pegang oleh Sinar.
“Mulai bulan depan, ibu tidak perlu memikirkan mencari rumah kontrakan lagi! Kami membelikan rumah untuk ibu.”
Mata Jelita berkaca - kaca kemudian memeluk kedua putrinya yang sudah ia besarkan dengan penuh perjuangan. Meski jalan yang ia tempuh ia sadari itu adalah suatu kesalahan besar.
“Anak - anakku, terima kasih kalian sudah menyayangi ibu. Ibu mendidik dan menyekolahkan kalian karena sudah menjadi tugas ibu.”
“Anak - anakku, kini kalian adalah pintu surgaku. Ibu tidak berharap harta berlimpah dari kalian. Hanya satu yang ibu pinta dari kalian! Hanya kalian yang bisa menyelamatkan ibu. Selipkan nama ibu dalam setiap doa kalian! Do’akan supaya Tuhan mempersilahkan ibumu untuk masuk ke dalam surgaNya!”
Kisah lalu yang penuh kenistaan ia kubur dalam - dalam. Kutahu Tuhanku Maha Pengampun. Suara hati Jelita mengiba pada Tuhannya.