Masukan nama pengguna
Sinopsis
Kisah jalinan persahabatan Vania dan Ramos diawali dengan ketidaksengajaan. Vania semula tidak mau mengenal Ramos karena rasa yang hilang akibat kelakuan Ramos. Tuhan yang mampu membolak - balikkan hati mengubah segalanya. Justru mereka menjalin persahabatan yang manis. Ketulusan hati Vania yang ingin melihat sahabatnya kembali menemukan cahaya membuatnya tidak terusik dengan suara - suara sumbang tentang Ramos. Dunia malam, minuman haram sudah menjadi hal yang lumrah untuk Ramos. Ucapan yang keluar dari bibir Ramos membuat air mata Vania keluar dari pelupuk matanya,
“Terima kasih, kau sudah mau menjadi teman baikku saat orang - orang jijik padaku.”
Apakah Vania masih memiliki kekuatan untuk terus berjuang mengeluarkan sahabatnya dari jalan kegelapan menuju cahaya? Baca kisah selengkapnya yuk
***
Kucing - kucing liar
‘Jangan samakan kepribadianku dengan sikapku. Kepribadianku adalah jati diriku. Sikapku tergantung perlakuanmu kepadaku.’
Aku membaca lembar demi lembar buku yang sarat dengan makna kehidupan. Kutipan ini mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang membuatku menjadi sosok yang tangguh.
***
“Kau baik padaku. Tapi, kenapa di luar sana orang - orang menganggapmu brutal?”
“Kau baik padaku. Jadi aku juga baik padamu.”
Jawaban yang terlontar dari mulutnya membuatku tersenyum.
“Kau sempat tidak mau mengenalku. Kenapa sekarang kau mau mengenalku?” dia balik bertanya padaku
“Hmm….”
Belum sempat mulutku mengucapkan jawaban untuk pertanyaannya, dia sudah menerka sendiri,
“Kau membutuhkanku untuk objek penelitianmu?”
Tebakannya membuat orang - orang menatapku karena tawaku yang terbahak - bahak.
“Tugas kuliahku sudah selesai. Aku mendapat nilai A. Terima kasih sudah menjadi narasumberku.”
“Kita pun selesai?” dia memandangku sesaat kemudian melihat jalanan yang tampak ramai lalu lalang kendaraan.
“Tugas kuliahku selesai. Tapi, tugasku belum selesai.” kataku sambil tersenyum.
“Maksudmu?”
“Aku ingin membuatmu jinak.”
Dia bukan teman kuliahku. Ketentuan Tuhan menuntunku untuk mengenalnya. Awal pengenalan kami tidak sengaja. Itu karena jemariku yang salah menuliskan nomor yang seharusnya kukirimkan untuk teman lamaku.
Hingga pertemanan kami lebih erat saat aku dihadapkan dengan tugas kuliah yang membutuhkan narasumber untuk makalahku. Dia lelaki yang pintar, supel dan menyenangkan. Ketidaksempurnaan pola pengasuhan membentuknya menjadi liar.
***
Temaram malam membuat pandanganku samar. Tapi tidak saat melihatmu. Mataku tertuju pada bangunan kumuh yang terletak di salah satu sudut jalan yang jauh dari keramaian. Bangunan itu tidak memiliki pintu dan jendela. Sekumpulan pemuda tampak di dalam bangunan kumuh itu. Ditemani botol - botol yang sepertinya bukan botol kecap untuk mie bakso ataupun bubur ayam.
“Fir, kau lihat pria berjaket biru itu?” jariku menunjuk ke arah pria berjaket biru dari kejauhan. Mulutnya menyemburkan asap yang dapat menyebabkan pneumonia, kanker tenggorokan, polusi udara dan bahaya lainnya.
Firman teman kuliahku menghentikan laju motornya dan mengamati pria yang aku maksud itu.
“Itu Ramos.”
Aku segera turun dari boncengan motor Firman dan kuserahkan helm padanya.
”Kau mau kemana?” tanya Firman padaku.
“Aku mau menyuruh Ramos pulang. Hari sudah malam. Kasihan ibunya menunggu di rumahnya.”
“Kau pun sama. Kasihan ibumu sudah menunggu di rumah.”
“Kau perempuan. Bahaya jika kau kesana. Itu sama saja kau masuk ke kandang macan. Mereka sedang pesta minuman haram.” kata Firman lagi padaku.
“Cepat naik!” suara Firman lantang ketika melihat kakiku melangkah hendak mendekati Ramos.
Aku geram melihat sekumpulan pemuda itu. Geram kenapa kalian mendorong Ramos masuk ke sarang setan. Geram kenapa kalian menyeret Ramos ke dunia malam. Geram kenapa kalian mengenalkan Ramos pada minuman haram. Aku tak peduli dengan yang lainnya. Aku hanya ingin menarik Ramos keluar dari sarang setan.
***
“Akhirnya sampai rumah juga. Tugas kelompokku beres.” suara hatiku menggumam sambil kurebahkan tubuhku di atas tempat tidurku.
Bayangan kelakuan Ramos beserta teman - temannya di alam pikiranku membuat malamku seakan panjang. Menanti fajar dalam kegelisahan.
Firman mengetahui Ramos karena satu daerah dengan rumahnya. Siapa yang tak tahu Ramos. Pria itu terkenal karena kelakuannya yang abnormal, ujarnya.
Sudah beberapa minggu aku tak bersua dengan Ramos. Semenjak tugas kuliahku yang memaparkan kenakalan remaja selesai.
Kuambil telepon genggamku. Rasa kegelisahanku ingin segera kutepis. Jari jemariku menari menuliskan pesan singkat yang ditujukan untuk Ramos,
“Apa kabar?”
Lama aku menanti jawaban. Hingga akhirnya mataku terpejam.
Aku terbangun ketika telingaku bereaksi terhadap suara pesan singkat masuk ke telepon genggamku. Kulihat jam waker yang tergeletak di samping tempat tidurku menunjukkan pukul 03.10 dini hari. Rasa penasaranku dengan jawaban Ramos seakan melenyapkan kantukku. Sengaja aku menyimpan telepon genggamku agak jauh dari tempat tidurku. Kuayunkan kaki menuju rak dekat pintu kamar untuk mengambil telepon genggamku. Aku membaca isi pesan singkat dari Ramos,
“Baik. Kamu apa kabarnya?”
Segera aku membalas pesan dari Ramos, “Kamu masih sama. Kasihan ibumu.”
Terdengar lagi tanda notifikasi pesan singkat masuk ke telepon genggamku. Pesan itu masih dari Ramos.
“Jangan ikut campur urusanku!”
“Tidak ada gunanya aku menjadi baik. Di luar sana, orang - orang sudah menganggapku tidak baik dan tidak akan pernah bisa untuk menjadi baik.”
Isi pesan Ramos menghentakkan hatiku. Sepertinya aku kesulitan untuk meluluhkan jiwa liarnya.
Siapalah aku. Aku tak memiliki kuasa untuk mengubah dirimu atau siapapun juga. Aku pun tak sempurna. Tapi entahlah melihat kelakuanmu hatiku terluka apalagi ibumu. Aku titipkan dia padaMu, Tuhan. Engkau yang memiliki kuasa mengeluarkan ia dari jalan kegelapan menuju cahaya.
***
Suara - suara tentang Ramos yang memanaskan telinga tidak jarang kudengar. Termasuk teman - teman kuliahku. Emosi negatif yang dipelihara olehnya bersifat kekal. Akan selalu terkurung di dalam jiwanya. Bisa jadi menularkan dan menjadi seperti dia. Itu pemikiran mereka. Mungkin yang dikatakan Ramos benar. Untuk apa menjadi baik. Orang - orang di luar sana akan terus mencibir dan menganggap tidak akan pernah bisa menjadi baik. Tapi, suara hatiku berkata lain. Aku akan meminta Tuhanku untuk membolak - balikkan hatinya. Siramilah hatinya yang tandus untuk hijau kembali.
“Van, apa kabar?”
Kubaca pesan singkat dari Ramos. Dia baru menghubungiku lagi setelah seminggu yang lalu mengatakan jangan ikut campur urusannya.
“Baik. Kamu apa kabar?”
Kukirimkan balasan untuk Ramos.
Cukup lama kami saling mengirimkan pesan singkat. Ramos menuturkan bahwa dirinya kembali ke dunia malam semenjak aku sudah jarang menghubunginya.
***
Sudah berbulan - bulan lamanya Ramos tak menghubungiku. Aku kontak dia pun telepon genggamnya tidak aktif. Satu bulan lalu aku mencoba menghubungi telepon genggamnya hanya pesan suara yang kudengar dan itu pun tak jelas,
“Vania, maaf!”
Nada suaranya seperti sedang menangis.
Berbulan - bulan lamanya hatiku, pikiranku bertanya - tanya ada apa dengan Ramos. Hingga akhirnya Firman berkata padaku,
“Ramos masuk bui.”
Sedih. Apa yang terjadi padamu.
Kau tertawan di balik jeruji besi tapi kuharap ini cara Tuhan supaya kau tidak terus tertawan dalam jiwa liarmu.
Hari - hari kulewati tanpa kehadiran Ramos. Ada kekosongan pada hatiku. Tapi aku harus kuat. Tugasku belum selesai.
***
Enam bulan kemudian.
Ramos datang ke rumahku. Ah, itu hanya mimpiku saja. Entah karena kerinduanku atau pertanda lainnya. Aku terbangun dari tidurku. Aku bersiap - siap pergi menuju kampus.
“Van” suara Firman memanggilku dari arah belakang. Aku menoleh ke arahnya dan menghentikan langkahku.
“Ramos sudah bebas.”
“Kok tahu?”
“Ketika penggerebekan terjadi, temanku juga ditangkap. Semalam aku melihat temanku itu ada di teras rumahnya.”
Penyalahgunaan obat terlarang yang membuat Ramos mendekam di balik jeruji besi. Senang mendengar kabar bebasnya Ramos. Sedih, apa dia masih mengingatku. Apa dia masih mau menjadi temanku. Mungkin dia sudah muak denganku. Karena selalu kupaksakan kehendakku. Kehendakku supaya Ramos tidak lagi beringas.
Kubuka tasku. Tanganku merogoh telepon genggamku yang kuletakkan di dalamnya. Kucari nomor Ramos lalu kuhubungi dia. Yang kudengar hanya suara operator yang mengatakan nomor yang anda hubungi sudah tidak aktif lagi. Aku hubungi nomor telepon rumahnya saja. Beberapa detik alunan nada sambung kudengar. Tak lama terdengar suara seorang pria di balik telepon genggamku. Suara itu. Aku mengenal suara itu.
“Ramos?”
Aku memulai pembicaraan.
“Vania? Apakah aku sedang bermimpi? Sebentar, aku cubit dulu tanganku. Oh sakit. Aku tidak bermimpi.”
Sudah berbulan - bulan lamanya aku tidak mendengar suara Ramos. Sekarang aku mendengar suara itu lagi. Celotehannya membuatku tertawa. Tidak kusanggah ketika Ramos mengatakan selama ini dirinya merantau ke luar kota. Aku menyimpan kenyataan di dalam hatiku. Kenyataan yang aku sudah tahu jika dirinya menginap di hotel prodeo. Aku tidak mau meredupkan suasana yang cerah menjadi kelabu. Terekam dalam ingatanku apa yang diucapkan Ramos di balik telepon genggamku. Ibunya menginginkan dia kembali merantau ke luar kota untuk melanjutkan kuliahnya. Tapi Ramos menolaknya. Dia mengatakan jika dirinya pergi, orang yang ingin melihatnya jinak tidak akan bisa melihatnya jinak. Ternyata Ramos ingat dengan perkataanku. Kupikir dia pria yang sudah mati rasa.
***
Aku memang tak sengaja mengenal Ramos. Ternyata dia satu sekolah denganku saat kami masih berseragam putih abu. Saat itu aku tak mengenalnya karena rasaku hilang melihat kelakuannya. Lagipula kami tidak pernah satu kelas.
“Yang aku tahu dulu kau wanita lembut. Kenapa kau berubah menjadi ganas?”
Ramos mengatakan itu setelah mendengarkan keluh kesahku yang bernada kasar sambil memasang muka kesal.
“Teman - temanmu yang mengubah aku menjadi ganas.”
“Ketidaksempurnaanku membuat teman - temanmu tidak waras dan melakukan perundungan padaku termasuk mantan kekasihmu. Rasa sakit hatiku terakumulasikan dan mengubahku menjadi ganas.”
“Karena kau merindukan kasih sayang seorang ayah.”
Pernyataan Ramos membuatku membisu.
“Kau katakan kau merindukan surga.”
“Hapus dendammu! Maafkan, ikhlaskan dan lupakan!”
“Semoga Tuhan bersamamu. Bersamaku. Bersama kita.”
Untaian kata yang keluar dari bibir Ramos menyejukkan jiwaku.
Ramos meredam kekesalanku. Jiwaku sejuk. Aku seperti menemukan tanah yang semula tandus menjadi subur. Sepertinya dia sudah menjinak. Tapi, tiba - tiba ada sesuatu semburan mata air . Bukan mata air yang keluar dari tanah. Air itu keluar dari pelupuk mataku.
“Terima kasih kau mau menjadi teman baikku.”
“Aku akan melanjutkan S2 ku tidak di kota ini.”
“Jagalah dirimu baik - baik!”
Hari itu Ramos berpamitan padaku.
***
Empat tahun kemudian
Entah kenapa malam itu suara lonceng selalu terngiang - ngiang di telingaku. Suara lonceng yang menandakan berlangsungnya pernikahan. Suara itu membuatku teringat pada Ramos. Bertahun - tahun lamanya aku tidak pernah berkabar dengan Ramos. Sudahlah, aku harus tidur. Aku harus mempersiapkan energiku untuk perjuanganku besok. Perjuangan demi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bertahun - tahun kemudian
Aku melihat diriku di depan cermin. Tidak tua hanya menua saja. Sudah rapi dan siap bertugas.
“Bu, aku pergi. Assalamu’alaikum.” Aku mendekati ibuku yang sedang berada di dapur.
“Wa’alaikumsalam. Kau belum sarapan?”
“Di sekolah saja.”
“Hati - hatilah!”
“Iya, bu.”
Aku bersiap melaksanakan tugasku untuk mengikuti pelatihan di salah satu sekolah.
“Akhirnya pelatihan selesai juga.” Aku bergegas menuju pintu keluar.
Ketika langkah kakiku terayun di lorong sekolah, kulihat gadis kecil berseragam berlari menuju arahku. Tiba - tiba ia menabrakku.
“Hati - hati, nak! Kau bisa terjatuh.” aku memegang tangan gadis kecil itu.
“Kau tidak apa - apa?” aku menatap matanya.
Ya Tuhan, gadis kecil ini mengingatkanku pada seseorang.
“Aku tidak apa - apa, Bu. Maaf!”
“Ayahku sudah menunggu di depan jadi aku terburu - buru.”
“Siapa namamu?”
“Rania”
“Nama yang cantik. Wajahmu juga cantik.”
“Boleh ibu tahu siapa nama ayahmu?”
“Ayahku tampan. Dia seorang pengacara hebat. Nama ayahku Ramos Sigal.”
“Ibu, aku harus segera menemui ayahku.”
“Ibu… ibu kau tidak apa - apa?” Rania memegang tanganku ketika aku tampak terdiam.
“Oh iya ibu tidak apa - apa.”
“Silahkan temui ayahmu! Hati - hatilah!”
Aku berjalan di belakang Rania. Ingin memastikan gadis kecil ini supaya tidak terjatuh lagi.
Saat aku mendekati gerbang sekolah. Kakiku terasa sulit digerakkan. Aku hanya bisa mematung saja. Kulihat Rania berlari menuju sebuah mobil yang terparkir di seberang gerbang sekolah. Seorang pria keluar dari mobil itu. Gadis kecil itu menghampirinya.
“Ayah, aku ada les tambahan pulang jam 3 sore.”
“Kau sudah makan siang?”
“Sudah.”
“Baiklah. Ayah akan kembali jam 3 sore.”
Gadis kecil itu membalikkan badannya dan berlari kembali masuk ke sekolah. Lari gadis kecil itu terhenti ketika melihatku berdiri di depan gerbang.
“Ibu, itu ayahku.” jari kecilnya menunjuk pada Ramos. Seketika Ramos melihat pada kami berdua.
“Ayahku tampan kan?”
Sekejap aku menatap mata Ramos. Kemudian memandang gadis kecil itu sambil tersenyum dan meminta Rania untuk segera masuk ke sekolah.
Ramos berjalan menghampiriku.
“Apa kabar?” Ramos memulai pembicaraan.
“Baik. Sudah lama kita tidak bertemu. Sekarang kau sudah memiliki anak. Dia mirip sekali denganmu.”
“Iya. Maaf! Aku tak mengundangmu saat aku menikah.”
“Tidak apa.”
“Aku kembali ke kota ini ketika putri kecilku itu mulai masuk SD.”
“Kau mengajar disini? Tapi aku baru melihatmu.”
“Tidak. Aku tidak mengajar disini. Hanya pelatihan saja.”
“Kau sudah menikah?” Ramos bertanya padaku.
“Belum.”
“Menikahlah! Hidupmu akan lebih terarah.”
Aku hanya menghela nafasku kemudian menoleh ke arah Ramos.
“Aku melihat itu padamu. Kau lebih tenang sekarang.”
“Ramos, apakah kau masih ingat dengan perkataanku yang dulu?”
Ramos mengerutkan dahinya sambil melihat ke arahku.
“Aku ingin melihatmu jinak.” kuulang lagi perkataanku yang dulu pada Ramos.
Ramos tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Sekarang ada yang lebih berhak atas dirimu. Tugasku sudah selesai. Ketentuan Tuhan, aku bisa melihatmu sudah berubah. Tetaplah baik!”
Ramos kembali tersenyum.
“Sekarang kau akan kemana?” tanya Ramos
“Aku akan kembali ke tempat mengajarku.”
“Vania, sekali lagi terima kasih kau sudah mau menjadi teman baikku saat orang - orang membenciku. Jaga dirimu! Dan ingat pesanku tadi, menikahlah!” Ramos berkata sambil menatap mataku.
Aku melihat Ramos. Dari sorot matanya aku bisa melihat dia sudah berubah. Dia sudah menemukan kesempurnaan hidup. Pasangan beserta buah hati yang memberikan ketentraman jiwa dan menjadi semangat hidupnya.
Aku berpamitan pada Ramos. Dan kulanjutkan hidupku menuju masa depanku.