Cerpen
Disukai
31
Dilihat
24,006
Meminta sepuluh menit berharga dalam hidup Anda
Drama


Saat memutuskan membaca ini dan terus menggerakkan jari ke atas layar ponsel, saya harap kalian sudah memikirkannya dengan sungguh-sungguh.

Karena, setelah ini, tidak akan ada jalan kembali.

Tidak ada.


.

.

.

.

.

.

.

.


Saya memutuskan untuk menulis ini, setelah beberapa gejolak emosi positif dan negatif yang terjadi sejak kemarin.

Tangan, bahkan seluruh badan saya gemetar karena perasaan saya memperingatkan, bahwasanya saya memasuki wilayah yang sangat mengerikan juga menyakitkan.

Saya terus berkata kepada diri saya bahwa ini harus dilalui. Saya sudah bertekad, jadi ini harus dilakukan.

Beberapa hari yang lalu, saya kontak dengan salah seorang sahabat yang lama tidak bersua.

Saya membantu menerima tamu di pernikahannya, datang ke pernikahan kakaknya, bahkan ayah dan ibunya menganggap saya sebagai salah satu anaknya. Apakah berlebihan jika saya menganggapnya sahabat, meski kami punya lebih banyak perbedaan daripada kesamaan? 

Mungkin tidak.

Kami berbincang melalui pesan singkat dan akhirnya sampai pada topik tulisan-tulisan saya.

Kami berjanji akan berdiskusi kembali, ketika dia sudah membaca baik-baik novel setengah jadi itu.

Sambil menunggu, saya yang memiliki pemikiran cukup aktif, merasa harus selalu melakukan sesuatu. Salah satunya adalah menulis lanjutan chapter untuk diajukan ke platform online yang belum launching.

Akhirnya satu minggu lebih berlalu, saya kembali menanyakan bagaimana tanggapannya pada tulisan itu.

Diskusi yang harusnya singkat, menjadi dua hari lamanya karena kesibukan masing-masing. Sejak awal saya sudah menyiapkan diri, jika dia akan menghindari saya, setelah membaca tulisan itu.

Tulisan saya kompleks. Rumit. Membosankan mungkin, atau, malah memuakkan.

Pada hari ketiga, saya memberanikan diri bertanya padanya arti kata 'tidak menyangka jika saya bisa menulis seperti ini'.

Apakah itu sebuah pujian?

Ataukah sebuah sindiran?

Saya yang sudah mengalami gejolak emosi ekstrim sejak beberapa waktu lalu dan saat ini mengikuti konsultasi personality yang dipandu oleh Coach di sebuah saluran You Tube, memberanikan diri bertanya.

"Maksudnya bagaimana? Apa maksud kamu saya orang yang aneh? Apa pemikiran saya aneh?"

Hati kecil saya mengatakan bahwa saya harus bertanya. Bahwa saya harus siap jika dia akan mengatakan saya aneh.

Tapi jawabannya : tidak.

Dia bilang, justru menurutnya sebagai orang yang belum pernah menerbitkan novel, tulisan saya keren.

Wow!

Apa saya senang?

Jelas!

Tapi apa kalian tahu seberapa jauh kata-kata itu berdampak pada saya?

Itu yang mau saya ungkapkan di sini, saat ini.


Bertahun-tahun, mungkin seumur hidup, saya mencari jati diri saya.

Bukan terkait kepercayaan atau agama.

Tapi secara personality. Saya itu bagaimana? Tidak tahu.

Saya mengesampingkan itu berpuluh tahun lamanya. Saya hanya menganggap kalau diri saya itu aneh.

Saya tidak tahu persis sejak kapan anggapan itu tumbuh. Yang jelas, saya selalu merasa takut.

Takut tidak diterima dalam pergaulan pertemanan sekolah, kampus, kuliah, bahkan bisa dibilang : di semua tempat.

Saya akan mencoba memalsukan senyum saya, pura-pura sangat tertarik dengan small talk, mencoba tidak terkejut dan tidak terlihat terganggu ketika orang yang baru kenal langsung mengajak bercengkrama. Bahkan berusaha menghilangkan perasaan bahwa saya memiliki magnet yang membuat mereka begitu nyaman membuka banyak rahasia secara tiba-tiba.

Dan masih banyak lagi.

Tidak. Tolong jangan salah paham.

Saya hanya tidak nyaman, jika terlalu lama membicarakan hal-hal ringan, seperti : eh makanan ini lagi hits lho, tau nggak sih kalo artis ini liburan ke sini sekeluarga … bla … bla.. bla…

Ya, saya lebih suka membicarakan mengenai filosofi, agama, nilai-nilai dan beberapa hal yang bagi sebagian orang adalah hal berat yang tidak bisa dibicarakan saat kita lama tidak berjumpa dengan sahabat lama.

Tentu saja itu membuat muak, kesal, dan sejuta emosi negatif lainnya.

Itu sebabnya di awal tadi, saya sudah memperingatkan jika tidak akan ada jalan kembali.

Karena setelah ini, sangat mungkin kalian akan mengalami perasaan tidak nyaman dan membenci saya.

Berbagai perkumpulan yang saya datangi, adalah kesulitan besar.

Karena saya harus mencoba 'mencocokkan diri' bahkan mungkin 'mengganti identitas saya' agar serupa dengan sekitar.

Mungkin jika ada makhluk yang mirip dengan orang-orang dengan kepribadian melankolis-plegmatis seperti saya, itu adalah bunglon.

Kami memiliki kemampuan berkamuflase.

Mungkin karena kami hampir selalu merasa 'terancam' saat berada di sebuah perkumpulan.

Karena tidak semua orang mengerti apa maksud dari kata-kata kami.

Mungkin, jika ada penggambaran yang mendekati, kami sejenis alien atau makhluk aneh yang tidak diketahui secara baik maksud dan cara berkomunikasi nya.

Saya menganggap diri saya seaneh itu, sebelum mengikuti channel You Tube Coach yang satu ini. Dia bilang karena populasi kami kecil, kami dianggap aneh. Karena sulit untuk memiliki panutan/contoh dari kami (yang bertahan hidup dengan baik).

Selentingan yang saya tahu, banyak yang 'mengaku' berkepribadian ini. Entahlah, mungkin saya juga termasuk orang-orang yang 'mengaku' ini.

Tapi ada satu hal yang mendekati personality ini, kekompleksan berpikir saya. Itu sangat menganggu, tapi justru paling cocok di antara beberapa checklist personality ini.

Apa kalian masih bisa mengikuti?

Jika ingin berhenti, saya maklum.

Tapi bagi kalian yang masih mau membaca, silakan melanjutkan.

Kenyataan itu yang membuat saya sadar bahwa selama ini, ketakutan saya berupa :

1. Takut dicemooh oleh pergaulan karena saya berasal dari keluarga broken home.

2. Takut dicemooh karena saya bukan berasal dari keluarga yang uangnya digunakan untuk beli barang-barang yang dilihat orang, lalu seolah berkata pada yang melihat : eh, kamu bisa beli ini nggak?

3. Takut dicemooh karena saya tidak memiliki prestasi yang bisa dibanggakan sejak lama, terutama saat SMA dan kuliah.

4. Takut dicemooh karena saya perfeksionis parah.

5. Takut dijauhi karena saya sangat galak dan menakutkan saat marah.

6. Takut dicemooh karena saya nggak pernah punya pacar.

Dan ratusan kekurangan/kelemahan saya yang lain karena itu terlihat 'berbeda' di pergaulan, belumlah seberapa.

Ternyata, ketakutan terbesar, terparah, dan yang paling tidak mau saya hadapi secara terang-terangan selama ini adalah : Penolakan.

Saya hampir selalu siap bersembunyi di balik berbagai 'topeng' di perkumpulan berbeda, karena kami punya kemampuan untuk itu. Kami pastikan bukan untuk maksud tidak baik.

Saya mencoba menjadi orang lain yang cocok dengan lingkungan sekitar, mencoba menyesuaikan dengan keadaan yang ada selama mungkin, meski seringkali kenyataannya membuat saya jengah.

Saya seolah terus menerus berjalan di papan rapuh yang usianya puluhan tahun dan siap hancur kapan saja.

Saya menjaga banyak hal, karena dalam pikiran saya terus bergelut banyak hal juga.

Hal-hal itu saya lakukan, agar bisa 'membaur' dan dianggap, oleh kumpulan yang saya datangi.

Karena saya tidak bisa menemukan orang yang bersedia menjadi teman berdiskusi dari hati ke hati, bertukar pikiran tanpa prasangka, tertawa akan kebodohan masing-masing, dan masih banyak hal lainnya.

Apa itu berarti saya tidak punya sahabat?

Punya!

Sesekali bahkan pernah 'memaksakan' tema pembicaran kepada sahabat. Dia berusaha keras untuk tidak terlihat terganggu.

Tapi dengan feeling yang cukup kuat, bahkan kami sering kali bisa merasakan perubahan emosi lawan bicara hanya dari perubahan nada/mimik wajah yang ditutupi dengan 'sempurna' atau perubahan posisi tubuh saat bicara, dan lainnya.

Perubahan sekecil itu adalah tanda yang tidak bisa kami abaikan.

Karena kami belajar menghubungkan titik-titik tanda, meski itu begitu kecil.

Karena kami pembelajar holistik yang begitu terganggu dengan cara belajar terfragmen, dan 'tidak selesai'.

Seringkali merasa ada sesuatu yang salah jika hanya melihat satu sisi tanpa mempertimbangkan sisi lainnya.

Sehingga kami bisa 'mengerti' jika lawan bicara sudah merasa bosan/tersinggung/tidak nyaman dengan tema yang kami ajukan.

Sedih? Kecewa?

Tidak akan kami tunjukkan kepada kalian.

Kami akan tersenyum dan mengubah topik pembicaran pada hal yang kalian suka. Yang menurut kalian menarik. Dan kami akan menganggap itu sebagai pembicaraan selingan yang membuat bahagia karena kami bisa membuat orang lain merasa lebih baik. Bahkan mungkin merasa bahagia.

Bahagia itu menular. Kami juga suka, karena kami manusia.

Tapi yang membuat kami bersemangat?

Yang membuat kami melonjak girang?

Tentu pembicaraan mengenai hal-hal yang 'aneh' tadi.

Atau tema-tema yang terasa tidak pantas untuk dibahas saat itu,

Atau tema-tema yang mungkin berat dan membuat otak dan dada seperti dibebani benda ratusan ton. Menyesakkan.


Kami hanya merasa berbeda.

Bahwa sebuah nilai dari sesuatu adalah tujuan menarik dalam sebuah pembicaraan.

Kami lebih suka 'menyelam' bukan hanya terpukau oleh permukaan.

Mungkin itu yang menjadikan penolakan adalah hal yang menakutkan.


Berbagai 'standar' saya lalui dalam hidup.

Saat kecil, kakak saya pernah mengaku membereskan rumah kepada ibu saya sepulang beliau bekerja, lalu mendapatkan pujian padahal saya yang membereskan rumah waktu itu.

Saya merasa sejak saat itu, saya tidak memenuhi standar untuk disayang oleh ibu saya sendiri.

Jangan salah, ibu saya adalah orang yang paling perhatian dan menyayangi setelah saya dewasa apalagi setelah menikah.

Kemudian,

Saat SD.

Saya pernah dicecar beberapa teman untuk menjawab pertanyaan mengapa jawaban saya tepat dalam hitungan tapi tidak sesuai rumus yang diberi oleh guru. Saya hanya tidak ingat caranya, tentu saja tidak bisa menjelaskan.

Sejak itu mereka mencemooh saya, bahkan meski mereka tidak bisa melampaui NEM saya yang tertinggi di sekolah saat itu. NEM yang memang tidak seberapa itu dicemooh, dengan entang saya menjawab: jika bisa melebihi mengapa memperdebatkan hal itu. "Saya tidak keberatan jika kamu bisa melampaui saya."

Wali kelas saat itu mendukung jawaban saya yang terbuka untuk kompetisi. Tapi saya malah semakin dicibir oleh geng-nya. Saya akui, NEM saya tidak tinggi. Saya belajar sambil nonton TV sehingga NEMnya tidak berkesan bagi sekolah atau siapa pun.

Hei! Toh, saya tidak merugikan siapa pun? Kenapa ingin ribut?

Lagi, sahabat saya, menghindar pulang bersama karena saya seringkali dicegat oleh kawanan anak laki-laki yang merasa kesal karena saya, selaku ketua kelas, keterlaluan dalam menertibkan mereka saat berisik di kelas.

Saat itu, saya merasa tidak memenuhi standar menjadi murid yang baik dan kawan yang baik bahkan sahabat yang baik.


Saat SMP.

Saya difitnah 'menembak' teman laki-laki dan ditolak.

Asumsi saya, sebuah gerombolan yang tenar dengan jabatan di sekolah, menyebarkan berita itu untuk dibuat sebagai alasan laki-laki itu berpacaran dengan seorang anak perempuan. Karena sebelumnya beredar kabar saya dan anak laki-laki itu saling menyukai. Apa itu benar?

Ya.

Tapi setelah difitnah seperti itu, tentu saja saya ingin menjauh selamanya dari anak laki-laki itu. Saya juga hanya ingin tahu siapa yang mengatakannya lalu menjauh dari gerombolan mereka tanpa melakukan apa-apa. Beberapa teman dekat saya kecewa, karena mereka bilang saya harus meluruskan kenyataan dan memulihkan nama baik.

Percuma. Karena selanjutnya, ada kabar jika seorang anak laki-laki lain yang pernah sekelas dengan saya, menyukai saya, sampai-sampai anak perempuan yang naksir berat dengan anak laki-laki ini, mencari saya yang ada di kelas siang. Hanya untuk melirik tajam, melototi bahkan 'mengancam' melalui tatapannya.

Saya takut? Tidak juga. Sebel? Iya. Saya nggak pernah cari masalah sama dia, kok.

Lalu salah satu orang dari gerombolan yang tadi saya maafkan, seorang gadis, malah mengompori seorang anak laki-laki lain untuk 'menembak' saya di depan umum.

Saya bisa 'melakukan asumsi' tersebut pada gadis muda itu karena tingkahnya, juga kata-katanya. Apa dia sedang mempermalukan saya?

Sepertinya begitu!

Meski saat itu terbesit, dia memiliki niat untuk menaikkan rasa percaya diri anak laki-laki ini. Pikiran yang punya sifat saling menghubungkan ini mengatakan bahwa gadis ini sedang membuat saya malu di depan umum.

Saat itu, saya memutuskan lebih fokus pada anak laki-laki yang saat itu mendapat jawaban saya : "Kita ini masih kecil."

Dan dengan cengengesan dia menjawab, "Iya, aku tahu."

Saya tahu betul, anak itu baik sekali dan tidak pernah bermaksud jahat pada saya.

Saya hanya … tidak suka.

Kenapa saya dipaksa melakukan sesuatu yang menurut saya tidak baik?

Itu sungguh tidak berkemanusiaan, dalam pikiran anak seusia saya.

Apa gadis itu pernah tersinggung karena sikap/kata-kata saya sehingga berbuat begitu?

Saat SMP itu saya merasa, tidak memenuhi standar pergaulan. Saya merasa buruk rupa dan buruk hati serta tidak diinginkan oleh pergaulan. Saya ini penganggu yang seharusnya disingkirkan dalam pergaulan.

Tapi saya tidak mau dendam pada gerombolan itu. Mereka anak-anak seperti saya, kan? Mereka tidak bermaksud jahat, kan?


Saat SMA.

Bapak saya secara spontan masukkan saya ke tempat les paling dekat sekolah karena rangking saya memalukan. Dua terbawah di kelas pada semester 1 kelas 1. Paling buruk selama saya sekolah.

Saya merasa, saya tidak memenuhi standar menjadi anak baik bagi Bapak saya.

Tapi Bapak saya juga mengajarkan banyak hal baik yang kelak berguna dalam hidup.

Saat SMA, sahabat saya sejak SMP marah karena laki-laki yang dia suka, malah suka kepada saya. Selain itu, karena saya dan dua teman lain mengetahui hal itu lebih dulu, dia mencemooh saya di depan kelas dan memutarbalikkan fakta, juga membawa-bawa agama sebagai dalih kekecewaan hatinya.

Saya merasa tidak memenuhi standar sebagai sahabat yang baik.

Sejak saat itu, saya menghindari banyak teman laki-laki karena tidak ingin ribut dengan siapapun apalagi teman/sahabat saya di masa datang.

Selain itu, saya pernah ditegur oleh teman berjilbab yang hatinya menurut saya baik. Dia salah paham saat itu karena dia menyarankan agar saya lebih membela sahabat saya yang berjilbab dan mencemooh tadi meski dia salah, dibanding sahabat saya yang lain yang beragama berbeda. Saya menentang itu. Saya katakan dengan tegas jika saya akan membela siapapun yang benar, tidak pandang agamanya apa.

Saya merasa tidak memenuhi standar menjadi muslimah yang baik.

Meski di sisi lain, saya merasa menjadi manusia yang menjalankan kewajibannya.

Saya dibenci oleh guru fisika sejak kelas 1 SMA karena saya dengan enteng menjawab tidak tahu/lupa ada PR karena saya memang tidak memperhatikan dan belum punya buku panduannya saat itu.

Sejak itu, saya diincar sampai kelas 3 SMA. Beberapa teman saya bahkan mengetahui, jika saya sengaja dicemooh di depan kelas oleh beliau karena salah menjawab soal di papan tulis. Padahal terhadap kawan lain, jika ada yang salah tidak dicemooh seperti saya.

Atau ketika saya terlambat dan dihukum di meja piket guru sampai satu jam pelajaran untuk menyapu masjid sekolah. Guru fisika ini langsung mencatat saya alpha hari itu, tidak seperti murid lain yang tidak diperhatikannya jika terlambat masuk kelas. Bahkan ketua kelas yang terlambat saja bisa luput dari mata elangnya.

Dan saat piket itu, satpam yang jelas jelas melihat saya sedang membayar angkot tahu saya tidak terlambat, hanya dia saja yang bersikeras menutup gerbang. Dan dua kakak kelas yang juga terlambat malah asyik mengobrol saat hukuman menyapu berlaku. Padahal wakil kepala sekolah hadir di sana dan dua kakak kelas ini tidak ditegur, malah saya yang disuruh menyapu dengan cepat agar bisa segera masuk kelas.

Jangan salah, saat perpisahan, saya yang berinisiatif lebih dulu salim kepada guru fisika ini dibanding murid lainnya dan dengan bangga dia menyebutkan syarat agar bisa diluluskan adalah semua murid harus salim padanya. (Seperti yang saya lakukan).

Tapi semua itu membuat saya merasa, saya tidak memenuhi standar menjadi siswa yang baik. Saya gagal.


Sekolah itu bahkan bukan sekolah pilihan pertama saya, Bapak saya menyuruh saya mengganti pilihan sekolah karena alasan logis yang bisa saya terima.

Entah beruntung atau sial, saya lolos pilihan pertama dan melewatkan pilihan kedua yang merupakan idaman saya.

Saya berusaha menghibur diri karena menurut info dari kakak saya, di sekolah itu nantinya ada pelajaran bahasa Jepang, Jerman dan Prancis.

Dan lagi lagi, pelajaran bahasa itu luput dari nasib saya saat itu.

Selama tiga tahun, saya harus bertahan dengan pelajaran bahasa Jepang karena aturan baru berlaku. Itu membuat saya belajar mandiri Bahasa Jerman dan Prancis di masa mendatang.

Saya juga harus berkompromi, saat Bapak ingin saya masuk jurusan IPA, sementara saya menyukai pelajaran-pelajaran di IPS. Kecuali akuntansi.

Karena akuntasi-lah, arahan Bapak terasa logis.

Saya bertekad tidak bertemu pelajaran ini hingga kapanpun di masa datang dan berusaha menyesuaikan diri dengan pelajaran IPA sebaik mungkin. Yang bisa ditebak : minim.

Saat teman-teman saya bersinar dengan keberhasilan mereka di jurusan itu, saya terpuruk.

Apa saya menyesal?

Demi janji yang telah saya ucapkan, atas kebencian mendalam pada Akuntasi, saya dengan bangga menyebut usaha saya sudah sangat baik.

Apalagi dengan segala yang terjadi sejak kelas 1. Saya membuktikan pada diri sendiri bahwa saya bisa bertahan.

Tapi apa dampak paling saya rasakan?

Saya begitu takut ditolak.

Saya sudah sering ditolak tapi takut ditolak?

Terdengar begitu klise dan palsu, ya?


Tidak sampai kalian tahu bahwa saya tidak lulus SPMB dan harus mengulang tahun berikutnya.

Tidak sampai kalian tahu bahwa kehidupan saya begitu sepi sampai sahabat yang saya mencemooh itu kembali dan mengatakan bahwa tidak ada orang di kampusnya yang mau diperlakukan seperti saya dulu. Entah itu sindiran atau cemooh lain.

Dia sudah biasa melakukannya kepada saya.

Atau tidak sampai kalian masuk ke dalam lingkaran pertemanan baru yang semuanya terlihat pintar, cerdas dan menyenangkan.

Sebagai manusia normal, saya akan menjaga 'wajah' saya agar tidak terjerembab malu, seperti saat saya SMA.

Tapi begitulah hidup. Masih ada satu dua orang yang tidak suka dengan saya. Menjauhi bahkan dengan sengaja memamerkan bahwa dia lebih baik dari saya. Berkali-kali.


Seperti yang saya katakan tadi, perubahan sedikit dari lawan bicara, bisa saya tangkap dengan cepat. Dengan sedikit analisa, kemungkinan benar dari asumsi saya tersebut adalah 90%.

Terdengar arogan? Lihat kan, sekarang kalian mulai membenci saya.


Saya kembali bertahan, pergi ke beberapa tempat dengan budget minim untuk menghibur hati, karena satu-satunya tempat saya bisa beristirahat justru tempat tinggal orang ini juga.

Pelan-pelan, saya membersihkan dan mengobati luka saya yang tidak berdarah itu.

Sampai pada hal-hal menyenangkan lain, yang terjadi bersama sahabat-sahabat dan teman-teman baik hati lainnya, mengisi lembaran kehidupan semasa kuliah.


Selain penolakan yang kerap didapat, apresiasi menjadi hal yang tidak mungkin terjadi pada diri saya.

Saat sahabat saya mencemooh, saya membiasakan diri dan pada akhirnya menganggap itu adalah candaan biasa.

Hati saya mulai kebal.

Topeng saya mulai terpahat lebih bagus.

Bahkan orang yang merasa lebih baik dan suka menyindir itu sudah saya maafkan. Karena saya tidak suka keributan sejak dulu. Itu begitu menganggu, membuat tidak nyaman.


Sampai saat bekerja, hampir tidak ada apresiasi yang layak saya dapatkan.

Pernah tidak libur satu hari pun dalam satu bulan, saat bekerja.

Diintimidasi/dimanipulasi atasan yang berprofesi sama.

Atau bahkan saat saya berhasil membuat sebuah sistem yang belum ada di kantor saya yang terakhir, karena sistem tersebut belum diluncurkan oleh institusi terkait, pun tidak ada apresiasi. Selain politik kantor.


Selain sahabat yang di awal sebutkan tadi, yang mengapresiasi 'keberhasilan' saya adalah suami saya.

Pekerjaan ibu rumah tangga yang tidak ada habisnya atau pekerjaan menulis saya seringkali diapresiasi oleh beliau dengan sangat baik. Meski seringkali saya merasa itu beliau lakukan karena saya adalah isterinya. Meski saya tahu bahwa standar beliau begitu tinggi mengenai pekerjaan, itu tidak menjadikan saya begitu saja menerima pujian atau apresiasi yang diberikan olehnya. Tidak cukup bukti bagi saya jika penilaian beliau obyektif.


Tapi sahabat saya yang sudah lama tidak bertemu ini, dia sudah bekecimpung lama di dunia kepenulisan. Meski saat ini sedang rehat. 

Dia tidak punya keuntungan apa pun saat menyebutkan kalimat di atas. Mungkin saja dia melakukannya karena tidak enak hati. Mungkin saja dia berbohong.


Meski saya tidak terlatih menilai melalui jarak jauh, pada kalimatnya ada kata-kata. Dari situlah saya menilai.

Menyusun kembali titik-titik untuk membuat kesimpulan, cukup sulit untuk dijabarkan.


Sampai di sini, ketakutan saya mulai berkurang.

Saya mungkin takut jika kalian sebagai teman/kenalan/sahabat/saudara akan mencemooh saya, menolak saya masuk dalam kumpulan pergaulan kalian, tapi perasaan itu sekarang sudah berkurang.

Hati saya merasa lega.

Karena sepertinya, saya melakukan sesuatu yang harusnya saya lakukan sejak lama.


Menjadi diri saya sendiri.


Menjadi orang yang berani mengakui bahwa dirinya tidak sempurna, sering berkamuflase menjadi orang lain agar 'diterima'.

Menjadi orang yang ternyata sok.

Menjadi orang yang ternyata menyebalkan.

Menjadi orang yang ternyata mengecewakan.


Mungkin akan ada yang membenci saya.

Mungkin juga akan ada yang memaklumi.

Mungkin teman/kenalan/sahabat/saudara akan menjauhi saya,

Memutuskan hubungan dengan saya,

Atau bahkan tidak lagi mau mengenal saya dalam hidupnya.


Saya tahu resiko ini begitu besar.

Tapi saya bersedia ambil resiko itu sekarang.


Saya tidak lagi takut dilabeli ini dan itu.

Saya mungkin menangis setelah mendengarnya.

Tapi ketakutan itu jauh berkurang.

Dan hati saya terasa lebih lega dan nyaman.


Terima kasih sudah bersedia membaca tulisan ini.


Sepertinya ini bukan slice of my life, tapi the story of my life. Karena seperti yang saya sebutkan tadi, saya cukup terganggu dengan pikiran terfragmen dan tidak utuh. Terutama untuk saya sendiri. Mungkin pikiran saya bisa menerima jika yang melakukan pikiran terfragmen tadi adalah orang lain dan itu cocok untuknya. Karena itu adalah dirinya sendiri.

Jadi, jika orang lain bersedia menerima diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kenapa saya tidak berbuat hal yang sama?

Karena ketakutan yang begitu besar dan kekompleksan berpikir saya, saya merasa penolakan yang akan terjadi persentasenya besar.


Dan saat ini, di sini, saya sedang melampaui perasaan itu.


Saya bersyukur karena Allah Subhanahu wa ta'ala menciptakan saya menjadi saya yang seperti ini.

Ditertawakan atau dicemooh atau digunjingi atau sanjung, kenyataan bahwa saya seperti adanya saya, tidak akan berubah.

Dan karena itulah saya bersyukur.

Ini semua lengkap.

Ini semua indah.

Ini semua tercipta begitu 'sempurna'.


Terima kasih Allahu Rabbi…

Alhamdulillah.


Semoga semua makhluk berbahagia.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)