Cerpen
Disukai
3
Dilihat
7,166
Fail - X
Thriller

Beberapa hal harus disimpan rapat-rapat. Karena bisa jadi itu menyangkut kehidupan seseorang atau banyak orang. Taruhan nyawa.

Apa berlebihan mengatakan, jika sebuah rahasia bisa mengubah segalanya?

Tidak.

Karena sekali rahasia itu terbongkar, maka banyak wajah berubah warna. Bahkan si pembocor rahasia.

Saya di sini ingin memulai cerita.

Bukan cerita saat saya nggak dapet libur barang sehari pun selama sebulan penuh kala bekerja di sebuah apotek kecil.

Bukan pula saat sebelumnya bekerja di sebuah apotek besar. Bos saya justru adalah dosen yang sudah menganggap saya anak sehingga gaji saya sering dilebihin. Bahkan karyawan yang jumlahnya belasan di sana, bisa mengangguk menghormati saya yang piyik kala itu.

Bukan.

Bukan juga saat bos saya di sebuah apotek nun jauh -dekat pantai Samas Jogja- sana suka mengerjai saya, dan saya pura-pura tidak tahu. Salah satunya adalah, dia sengaja bilang bahwa sebelumnya tidak pernah ada yang jaga di sana sampai jam 9 malam saat dapat giliran masuk sore. Saya tidak marah. Dia sengaja memberitahu itu ketika saya akan resign pulang ke planet tercinta. Saya tahu maksudnya : biar masuk rajin terus, padahal saya kos di Sleman, Jalan Kaliurang yang jarak ke sana sudah belasan bahkan puluhan kilometer jauhnya.

Bukan juga cerita tentang atasan seprofesi saya kala bekerja di apotek di salah satu cabangnya di Bekasi Barat, dekat dengan perumahan elit dan berisi orang-orang yang petantang petenteng gayanya. Dia suka sekali memanfaatkan jabatannya untuk menyuruh para pengantar obat/setara Office Boy di apotek yang bertugas mengantar obat dan membantu meracik obat yang sudah disiapkan apoteker, untuk kepentingan pribadinya. Saya pernah mengkonfrontasinya secara langsung untuk tidak menyuruh petugas tersebut karena rumahnya cukup jauh dan kala itu adalah waktu apotek memasuki jam ramai. Padahal saya akan sendirian jika petugas tersebut saya izinkan ke rumah atasan saya tersebut. Namun dia terus menerus 'menyalahkan' saya karena kue ulang tahun anaknya tidak sampai ke apotek untuk dirasakan oleh orang-orang di apotek.

Cerita ini lebih berbahaya.

Ini dahulu wilayah kekuasaan saya untuk saya teriakan kebenarannya.

Saya dikotakkan. 'Diasingkan'.

Dan saya tahu yang harus saya lakukan.

Resign.

Saya tidak berani? Sebagian iya, sebagian tidak.


Cerita lengkapnya akan segera saya mulai.

Mohon duduk yang manis dan jangan lupa siapkan minum. Plus, jangan sampai kebelet pipis karena nanti kamu kebayang-bayang bagaimana kekejaman politik di atas politik yang pernah terjadi tapi mungkin belum kamu tahu, ada di sekitar.

.

.

.

.

Gimana? Udah ambil minumnya, kan?


Suatu hari, saat saya benar-benar enek bekerja di pinggiran ibukota, seorang teman di Joga memberitahu lowongan pekerjaan di perusahaan tempatnya bekerja. Di Jakarta. Saya nggak mau sih, tapi inget Bapak yang melarang balik lagi ke Jogja, meski saya lebih suka di sana. Mungkin mental saya lemah. Di pinggiran ibukota aja udah ngerasa 'didzalimi' sama rekan seprofesi, udah 'nyerah'. Dan begitu ada info lowker itu, dengan semangat, saya melengkapi dokumen yang dibutuhkan. Siapa tahu bisa nabung, abis itu balik ke Jogja. Wkwkwk. Tetep.

Tapi ternyata eh ternyata, kepala cabang di sana menghubungi dan berkata bahwasanya lowongan yang dibutuhkan adalah di Jakarta titik titik.

Dan bukan hanya itu.

Kantor Pusat.

Doeng!

Apa-apaan ini?

Kenapa malah ke sini? Ibukota yang lebih kejam dari ibu tiri!

Dengan senyum getir-getir pahit, saya bilang : oke, tidak apa.

Saat mendapatkan panggilan wawancara, saya menelpon teman saya yang bekerja di kawasan yang sama.

Kami sama-sama kaget karena dia jawab, alamat itu adalah gedung tempatnya bekerja.

Singkat kata, dia bekerja di anak perusahaan.

Setelah diwawancara, saya pun tahu jika tempat saya bekerja juga anak perusahaan lainnya. Jadi perusahaan itu punya 14 anak dan 2 cucu pada waktu itu.

Bapak perusahaannya?

Hohoho… mohon maaf, spill-nya jangan kebanyakan, basah ntar disangka ngompol saya, kan?

Bapak perusahaannya kala itu dipimpin oleh orang yang galak nauzubillah dan ngegemesin banget, karena suasana kantor segedung bisa berubah aja gitu sama kehadirannya.

Macam voldermort, deh.

Jadi ya, jangan langsung dan terlalu percaya jika ada media bilang, bos yang baru itu budaya kerjanya bagus, lho. Semua jadi kerja!

Wealahdalah, Olaf!

Nggak semua. Karena waktu itu ya, seandainya kamu tahu apa yang ada dibalik layar, setelah semua lampu kamera itu padam.

Ngeri, Nemo!

Rasain aja sendiri, deh, kapan-kapan!

Ih, kerja di anak perusahaan, kok bisa tahu yang terjadi di Bapak perusahaan.

Denger baik-baik, Rosalinda. Pernah denger kata-kata : di sini itu tembok aja punya telinga?

Hehe … Kayaknya berlaku di perusahaan mana aja, ya? Apalagi yang kekeluargaannya erat. Meski gontok-gontokan di depan, mereka itu bercanda. Sesama 'kuli' pasti saling bahu membahu, apalagi kalo para atasan seneng-seneng sendiri, nyanyi-nyanyi di tempat karaoke, pijat-pijat plus, ditambah entertaint berbiaya fantastis lainnya, dan bisa ongkang-ongkang kaki sambil nyuruh 'kuli-kuli' itu.

Para karyawan yang dianggap level bawah itu akan berusaha bertahan hidup, salah satunya : dengan punya telinga sambungan. Wkwkwk

Masih penasaran?

Lanjut apa nggak nih?!


Balik lagi ke anak perusahaan, ya.

Meski anak perusahaan itu ibarat sapi perah, tetep nggak bisa berontak kalo duit keuntungannya diambil Bapak. Harus LE-GO-WO.

Bahkan, jika uang itu dibagi-bagi sebagai keuntungan Bapak untuk para pekerjanya a.k.a bonus para karyawan Bapak.

Ngenes ngenes, deh, Lo!

Gigit jari ampe berdarah juga, tuh duit nggak bakal balik.

Tapi, itu kabar kabar ya.

Kabar yang biasanya bener, wkwkwk.


Masuk deh nih ke area berbahaya.

Sebagai anak didik yang pernah PKL di salah satu pabrik farmasi besar di Jakarta, saya pernah dibimbing oleh seorang bos chinese yang 'galak' masalah laporan. Salah satu yang paling saya inget adalah pelajaran tentang struktur organisasi yang diberikan oleh si cici ini.

Kepake dong ilmunya dikit-dikit.

Saya bengong aja gitu pas disodorin struktur organisasi anak perusahan tersebut.

Aneh. Sumpah.

Sebagai fresh graduate yang nggak seger-seger banget, gue ini lebih pinter dari Bapaknya Nemo bahkan si Dory ya!

Masa iya, struktur organisasi gue nggak paham. Lewat struktur organisasi, saya paham job desk.

Makanya itu sungguh aneh.

Saat ini saya akan mulai arogan, ya. Siapkan mental kamu!

Sebagai seorang apoteker di dalam struktur organisasi itu, saya punya job desk sendiri dan membawahi apoteker-apoteker di cabang seluruh Indonesia, mosok tho, aku ini berada di bawah kekuasaan Manager Logistik.

Gitu kok aneh? Itu mah sombong aja.

Eh, sini kukasih tahu, Draco!

Bagaimana bisa seorang Manager Logistik, ngatur-ngatur pengeluaran dan Pengadaan di perusahaan kalo yang tanda tangan hampir semua laporannya itu eike? Bagaimana pula dia mau intervensi, padahal eike punya 'kuasa' untuk bekerja sama dengan divisi lain secara tertulis? Dan dalam kerja sama itu, eike nggak di bawah dia! Tapi di setara/di bawah atasan di divisi lain!

Secara kasar ya, apoteker dicekek disuruh nurut sama Manager Logistik padahal harusnya dia ini 'bebas'. Ada malah divisi semacam pengawas perusahaan. Nah, mungkin harusnya eike ini masuk ke sana! Karena 'bebas' intervensi. Karena selain itu, nggak mungkin juga eike masuk divisi legal.

Apoteker di perusahaan eike itu, nggak boleh memihak berat sebelah.

Harus mempertimbangkan keuntungan & kebaikan perusahaan dan harus lapor ke Badan Pengawas Obat sebagai pengawas perusahaan di bidang farmasi.

Sudah bisa nyambung, kan kita? Mau bilang apa kau, Lae?

Kesimpulannya, Manager Logistik harusnya setara sama Apoteker ini. Kok, ya maunya di atas terus.

Turun woi!

Yang lebih aneh, ada seorang karyawan bagian impor yang ngurusin tetek bengek registrasi obat&alat kesehatan tapi di bawah Manager Logistik.

Dia butuh kebebasan, Mas Bro! Dia harusnya setara kaulah. Dia itu lapornya bukan pada kau tapi langsung pada bagian pengawas perusahaan atau direksi. Sebel, deh.

Nih, kalo masih nggak percaya ya, menurutku, atasan di divisi itu harusnya tahu apa aja ilmu yang dikuasai bawahannya. Betul apa betul? Apalagi kalo bawahannya lebih banyak tanda tangan ini itu daripada bosnya, baik itu impor maupun farmasi.

Kalo dia nggak tahu ilmunya dan semua yang tanggung jawab adalah bawahannya, yakin itu, jabatan itu ada?

Dan kalo impor, dia nggak paham betul alurnya, kefarmasian di bidang distribusi obat nggak tau juga. Lalu dia mau apa?

Kipas-kipas sambil main golf?

Hmm. Keceplosan, kan!


Nih jabatan kayaknya strategis banget lho, Bestie. Sampe katanya ya, disedian budget khusus untuk si manager di bidang entertain.

Jadi kalo ada supplier yang mau biar perusahaan ini ngadaain produk mereka, atau kami yang mau ya ada budget untuk si manager ini.

Setelah beberapa bulan bekerja, baru aku tahu Manager ini juga yang tanda tangan (bukan aku) pemesanan obat senilai mil-yaran rupi-ah dari anak perusahan lainnya. Tempat temenku kerja.

Tuh, kan. Sudah kuduga ada udang di balik kulkas.


Nanti bakal lebih seru, karena bakal ketahuan jabatan Apoteker ini sangat penting sampe jika ada dokumen yang nggak ditanda tangan sama si apoteker maka nggak ada barang bisa masuk/keluar dari/ke perusahaan pusat/cabang. Bahkan obat-obat Haji.

Nah, sekarang aku yang perasaannya kayak balon warna hijau di lagu Balonku, kan!

Iya, kau tak salah dengar, Medusa. Itu obat-obat Haji!

Aku kerja di mana, sih?

Nanti juga kau paham. Tapi aku nggak bisa sebut terang-terangan, terlalu berbahaya. Jangan sampai kau gerakkan massa untuk bubarkan perusahaan itu. Banyak orang tak bersalah yang kerja di sana, yang mau kasih makan anak istri mereka dengan halal, lho! Karena yang berbuat itu segelintir aja. Segelintir tapi berkuasa. Huh! Kapok tho!


Lanjut nggak nih?

Pegel euy!


.

.

.

.

.


Sampe mana tadi?


Oh iya, obat-obat haji.

Jadi, kami ini adalah salah satu pedagang besar farmasi yang dipercaya tahun ke tahun oleh sebut saja pihak pemerintah dalam bidang kesehatan ( sebut saja Sehat) untuk menyalurkan obat-obat haji. Termasuk di dalamnya alat-alat kesehatan seperti benang bedah dan lainnya.

Di dalam pemesanan, daftar obat yang dikasih Sehat itu, ditulis dalam komposisi bukan brand-nya. Jadi bebas mau brand apa asal isinya sesuai dengan yang dibutuhkan.

Apa masalahnya sampai di situ aja?

Nggak dong, Datuk Maringgi. Kalo petugas kami di divisi trading yang di bawahi Manager Trading & marketing itu ngantuk, bisa aja yang harusnya obat Spasmodial diganti Neuralgin.

Huh! Monmaap, kerjaan saya mencakup ini dahulu. Ngecekin kerjanya petugas bagian trading, sempet ada yang kurang kompeten jadi saya harus cek satu persatu obat yang jumlahnya ribuan itu bener nggak dipesennya..

Aku dah mulai nangis, Lae!

Segitu nggak berperasaannya mereka. Ini obat haji, tolong jangan main-main. Itu buku Mims yang ada di meja emang nggak dipake? Cocokinlah di sana. Jangan kau tambahin kerjaanku yang banyak ini.

Orang yang rumahnya deket sama apotek aja ku ati-ati banget kasih obat. Ini jauh dari rumah, Mekkah-Indonesia! Apalagi Mekkah dan Haji adalah tempat juga hal sakral buat aku yang beragama Islam.

Ada obat psikotropika dan narkotika juga, lho.

Aku harus keluar tanduk, berubah jadi singa betina bahkan bertransformasi jadi T-rex baru dikasih surat pesanan psikotropika dan narkotika dari si Sehat.

Apa sih pentingnya itu?

Gue laporan woi!

Gue yang nanggung dosa moral dan dosa di akhirat kalo semua ini salah!

Kalo nggak ada surat pesanan resmi, lha kok bisa obatnya kamu pegang dan sebarkan?


Beginilah Indonesia, Permisah!

Sistemnye begimane?!

Obat untuk Haji itu buru-buru banget, lho. Sebagian mereka titip ke petugas yang tahun itu pergi, sebagian besar udah harus sampe sebelum para calon jemaah tiba. Supplier obat psiko dan narkotik kami mengikuti peraturan. Mereka kasih ke kami berdasarkan surat pesanan kami, which is akuh yang tanda tangan surat pesanan itu.

Dasar pesanan kami apa? Surat perjanjian proyeklah, yang ada isi daftar obatnya. Tapi surat pesanan induk belum ada dari yang punya proyek. So, yang nggak taat sapah? Yang ngadain proyek : si Sehat. Tapi kalo dilihat lebih rinci gue juga salah, kan? Ya, begitulah.

Si Sehat ini suka telat ngasih surat pesanan psiko & narkotik ke kami.

Ampun, deh!

Aku nggak tahu bagaimana kronologinya karena nggak ada akses dengan si Sehat. Semua akses hanya pihak terkait aja yang bersinggungan. Gue dikasih yang nggak enaknya.

Padahal dapetin obat psikotropika dan narkotik dalam jumlah lumayan banyak buat disebar ke seluruh cabang di negeri kepulauan ini lama lho. Sampe petugas trading udah balik dari Jeddah pun, surat pesanan dari si Sehat belum kunjung didapatkan, kau pikirlah berapa lama?

Sebel juga aku sama si Sehat.

Jadi gatel juga pengen kuceritain juga kalo aku sempet sebel sama pengawas obat dan salah satu supplier yang 'maksa' mau semua-mua yang dilakukan di perusahaan kami sesuai SOP.

Kau ajalah yang kerjain semua?

Pas bikin SOP tuh praktisi terlibat juga nggak sih? Kok kayak rigid banget aturanmu? Mau nyekek kami yang kerja di perusahaan apa? Nggak bisa win-win solution apa?

Tuh sebelku udah keluar, kan?

Lanjut lagi, ya?

Well, petugas trading juga ada yang ke Jeddah, mungkin Mekkah.

Gue diajak nggak, dibebani masalah moral iya.

Tega bener!

Apa mereka peduli?

Nggak juga layau!


Dari sinilah mulailah, ada amplop.

Kutanya dong, ini amplop apa? Berasa dongo banget lho, pas mereka senyum-senyum.

Ini bagian dari kerja keras, katanya. Trus kujawab dengan naifnya : kalo memang bonus kenapa nggak dikasih pas gajian?.

Eh, gue tuh beneran nggak tau! Tolong dong dikasih tau yang bener!

Tapi mereka trus lempar aku ke atasan-atasannya, disuruh ngomong sendiri kalo nggak mau terima.

Sampelah ke GM. Bagian terkait.

Kata-katanya sama dan aku pun jawab sama.

Ini tuh aku sungguh-sungguh nggak tau apakah ini bener atau nggak.

Apalagi GM yang kuhadapi ini pernah ngelecehin aku lho, bilang mau salaman dan ngejek aku yang pake jilbab. Dipikir aku nggak mau sentuhan.

Salamannya nggak apa-apa, pikiran dia aja yang mesti dicuci pake Attack tujuh kali plus pake tanah sekali. Iya, kan?

Nggak percaya dong, eike? Tidak diterima lah itu amplop olehku.

Ngerasa jadi pahlawan? Nggak woi! Di sana lo malah dikucilin!

Jadilah sejak ini mereka masang red flag ke aku.

Kerasa kok.

Mungkin aku emang ada turunan makhluk supranatural sekelas Elsa. Eh dia supranatural, kan?

Ya, pokoknya kerasa aja karena saya suka menghubungkan titik-titik petunjuk.


Ditambah nih, sejak awal bos gue, Manager Logistik itu suka banget ngerjain gue.

Gue pernah dimarah-marahin masalah kalibrasi pengukur suhu & kelembaban ruangan yang harusnya ditangani Penanggung Jawab Alkes karena itu ada di ruangan wilayah kekuasaan diaaaaa.

Plis, deh!

Itu urusannya si penanggjung jawab alkes ini hanya terima beres masalah kalibrasi alat ini. Padahal itu tanggung jawab dia. Sertifikat hasil kalibrasinya aja dia yang pegang.

Eh, pernah supplier alkes dateng, bos gue kebakaran jenggot karena sertifikat kalibrasinya ngaco dan dia ditegur sama supplier.

Lha, yang itu emang ngaco karena petugas pihak ketiga (perusahaan tempat kalibrasi alatnya) ngasih labelnya ngawur. Itu sebelum gue dengan rajin bikin label ke alat-alat pengukur suhu dan kelembabab di kantor pusat dan usul ke cabang.

Gue juga udah laporan ke si Manager Logistik ini kalo petugas pihak ketiga ngaco. Dia udah tahu dengan jelas. Eh malah mancing orang marah dengan kekesalan nggak jelas dia.

Gue dipanggil ke gudang lewat ponsel, sempet dimaki, tapi ternyata pas gue sampe, kata Ketua Gudang masalah udah selesai dan beliau malah tahu kalo gue 'dikerjain' sama si dedemit ini.

Ya Allah. Kerjaan gue banyak keleus!

Pas dia sampe ruangan, dia mampir ke meja gue. Dia ngejelasin kalo tadi itu emang chaos jadinya dia kesel karena gue kerja nggak becus.

Gue plerekin dia, lho. Secara sadar nggak sadar. Abisnya nyebelin banget. Eh dia malah ketawa liat reaksi gue.

Tuh penanggung jawab alkes juga diem-diem aja. Ini pada kelainan apa gue yang gesrek sih.

Karena waktu itu masih jaman pake BB, gue bikin status ya di BB gue.

"Kalo gue punya segelas air dan elo kebakar. Gue minum abis tuh air."

Pake bahasa enggeres!

Sebel banget!

Pas ketemu sama si dedemit itu di depan pintu divisi lain, gue masih dongkol. Eh dia malah ketawa seneng gitu!

Beneran kelainan makhluk ini.

Apa jangan-jangan dia baca ya status BB gue? Au ah!

Trus juga, gue pernah disuruh nulis email ke seluruh cabang tentang tata cara pemesanan yang baru ke kantor pusat, padahal dia punya sekretaris.

And you know what? Gue pake email divisi dong bukan email pribadi dari perusahaan.

Dan setelah email yang tata caranya rapi kutulis itu terkirim, ada email tambahan dari sekretarisnya : printer dan fax sedang rusak.

Ada satu kepala cabang yang marah! Dibilanglah nggak becus kerja divisi Logistik ini. Kok kirim petunjuk pemesanan mulai hari ini tapi hari ini juga printer & fax rusak?

Jahara ya kau, Dobby!

Sengaja kau jebak aku?!

Untung aja aku bisa mengendus niat burukmu itu!

Kucing apa ya, gue?

Terus ada lagi.

Manager Logistik ini juga pernah berujar : eh, mau ya nanti kalo kamu jadi Apoteker di cabang baru? Di NTT. Itu nanti kamu tetep jadi apoteker di pusat, kok.

Etttdah? Nggak ada yang lebih serem?

Monmaap, Pak. Dahulu selain meriksa cabang Jogja dan Magelang, saya juga pernah disuruh ke Ambon dan Palangkaraya.

Nggak ada masalah, masih single juga waktu itu dan saya memang suka kerja ke sana kemari. Cuma mereka nggak kunjung kirim struktur organisasi. Padahal dari sana gue menganalisa kejanggalan job desk para apoteker di cabang. Jadi nggak kesampaian deh gue ke Ambon dan Palangkaraya.

Ke Bali pun saya sanggupi karena diajak atasan kami waktu itu sudah mengerjakan proyek bos besar di Bapak perusahaan. Dahulu kala, Manager ini adalah asisten Manager dan harus tunduk pada pimpinan yang masih fair dengan menilai pekerjaan saya. Tapi berkat Bos Besar di Bapak perusahaan, atasan saya yang fair itu dipindahkan. Jadilah saya terjebak dalam kuasa Manager Logistik. Atasan saya itu dahulu kala, udah ngerekrut saya secara bercanda untuk ditempatkan di Bali. Saya tidak keberatan. Tapi kerja apa dulu? Bukain pintu swalayan sambil bilang "Selamat pagi, Pak." "Selamat sore, Pak"? Ogah banget!

Nah, keceplosan lagi

Saat itu memang Bapak perusahan melebarkan sayap usaha pake duit anak perusahan : tempat saya kerja, untuk bikin swalayan.

Untung? Buntung, Nek!

Duitnya 'ilang', karyawan anak perusahaan nggak dapet bonus.

Dia? Dapet ketenaran karena namanya dipuja-puja.

Nyesek!


Lanjut lagi,

Kalo saya jadi apoteker di NTT ini, otomatis saya harus ngurus izin dan surat lolos butuh. Nggak mungkin dibolehin sama organisasi profesi saya untuk 'nyambi' kerja di dua tempat. Karena sebagai apoteker penanggung jawab.

Apoteker pake surat izin, ya, kerjanya. Jadi, kalo pindah wilayah itu ribet. Dannn tentu saja itu adalah salah satu cara bos agar saya tersingkir dari jabatan saya sekarang. Pasti ujungnya saya harus memilih kerja di pusat atau NTT. Atau bahkan saya nggak boleh memilih, karena harus 'pindah' ke NTT.

Aku bilang lah "Nggak deh, Pak!"

Trus dipaksa: "Tapi (nyebut nama salah satu karyawan yang saya kenal, salah satu sesepuh dan belio jadi kepala cabang di sana) bilang, dia mau jadi kepala cabang asal kamu jadi apotekernya."

Wkwkwk. Ketawa manis dong gue.

Karena kalo muntah ketauan kalo gue nggak suka.

Bisa aja lagi tuh sesepuh. Ampun dah. Mau dikucilin ngajak gue!

Lumayan akrab memang gue sama sesepuh itu. Baik orangnya.

Bahkan pas beliau telpon dari Nusa Tenggara sana, aku titip gelang gading aja, beliau itu… nggak kasih. Wkkwwk

Tapi beliau tau kalo aku nggak gampang dibodohi karena pengetahuanku lumayan.

Waktu beliau tanya tentang patung di Pancoran, aku tahu itu Patung Dirgantara dan masih ada lho gelang dari gading di NTT meski mungkin penjualannya kecil. Bahkan tersembunyi.

Psstt! Out of the record!


Trus balik lagi ke masalah Haji.

Pernah ada kan, ya, obat-obat yang rusak/sisa di perjalanan menuju/dari cabang ke/dari kantor pusat. Salah satunya psikotropika ampul.

Apoteker sebelum gue yang udah purnatugas nggak bisa sembarang menyingkirkan obat itu.

Sebagian expired, sebagian belum. Pun untuk musnahin itu perlu langkah-langkah ribet.

Meski bukan pas gue tugas dapet tuh obat-obat, tetep aja gue takut.

Apoteker sebelum gue curiga kalo itu ampul sengaja dirusak karena disalahgunakan. Ah, mosok? Dia meyakinkan gue kalo ampul yang pecah itu di bagian yang harusnya dipotek. Pas kuperhatiin, nggak juga. Tapi jadi parno kan gue!

Terus pas gue resign, masa ampulnya ilang yang masih bagus-bagus dan utuh padahal udah expired.

Kunci lemari obat itu selalu gue taro di laci meja kerja.

Pasti ada yang ngambil dong, ya?

Petugas gudang?

Buat apa?

Nggak guna obat ED, mah.


Gue lagi dijebak woi!

Gemeteran gue, pas tau itu ilang. Semoga aja ya setelah ratusan tahun cahaya dosa gue terampuni. Siapa yang ambil itu, jelas tahu kalo gue dan semua seprofesi gue taat peraturan meski itu obat udah kadaluwarsa, tetep harus dimusnahkan mengikuti aturan yang ada.

Sekarang udah tau kan kalo wajah gue berubah warna saking takutnya cerita begini? Apa coba yang lebih memalukan daripada cerita keburukan lo sendiri?

Lo boleh ngehujat gue. Gue terima, karena ada banyak hal bergelut di otak gue yang mungkin harus diceritain sekarang.

Ini cuma salah satunya. Ada beberapa hal lagi yang serem banget buat gue sebagai seorang perempuan yang bekerja di antara para lelaki. Dan itu belum siap gue ceritain. Ibarat perempuan di sarang penyamun, banyak manipulasi, intrik dan banyak topeng bertebaran yang dipasang di sana sini karena mereka mungkin mikir banyak cara buat nyingkirin gue.

Fokus ke atasan gue, ya.

Untung pas itu gue udah tanda tangan resign dan nunggu diusir!

Wkwkwk

Gila masih bisa ketawa gue! Tapi mata gue keringetan.

Lagian udah resign, masih disuruh ngajarin apoteker selanjutnya. Dulu aja gue disuruh belajar sendiri!

Iya. Gue ambil inisiatif untuk resign. Secara gue kan maunya kerja di Jogja bukan di Jakarta.

Terus atasan gue itu nanya ke apoteker baru di depan gue, udah diajari A, B, C, M, T, O, belum?

Dengan santainya dia jawab: "Belum." Padahal udah! Abis itu bisa ditebak kan reaksi atasan gue? Apalagi kalo bukan nyindir kasar ke gue, "Gimana sih kok belum diajarin?!"

Pengen gue uyek-uyek tuh pala apoteker baru. Untung aja, gue inget dia seumuran suami gue. Takut kualat sama yang lebih tua.

Apa sudah selesai?

Belum, woi!

Atasan gue masih membayang-bayangi gue ,bahkan setelah gue jelas-jelas mau resign. Doi nanya mulu, apakah gue beneran resign? Alasannya apa? Apa nggak bisa ditahan dulu? dll.

Dih, dulu aja dia sebel banget liat gue kalo ada di depan dia. Kenapa tetiba jadi baik?


Dulu awal gue kerja, gue berhasil ngumpulin Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dan Surat izin Pedagang Besar Farmasi (PBF) seluruh cabang yang jumlahnya lebih dari 40 itu, dalam waktu dua minggu. Dia bilang lama!

Padahal Apoteker pendahulu gue berbulan-bulan baru bisa ngumpulin dua/tiga surat izin PBF cabang dan apoteker hampir nggak ada yang ngasih STRA.

Divisi Legas dan divisi HRD yang gue kasih unjuk dokumen itu aja tepuk tangan dan bilang gue hebat banget. Tapi pas divisi itu minta dokumennya gue dengan tegas bilang, "Enak aja. Ini silakan difotokopi ntar balikin ke saya."

Ngumpulinnya aja gue mesti masuk hari Sabtu sampe orang di cabang heran dan bilang, "Bukannya hari ini kantor ousat libur ya, Mba?"

Gue jawab, "Iya libur. Tapi saya kan udah minta STRA dan surat izin cabang dari kemarin. Saya tunggu difax atau tolong discan dan kirim lewat email. Tolong ya. Saya tungguin ini."

Atau "Mana apotekernya saya mau ngomong. Udah saya hubungin lewat BB nggak bisa. Ditelpon di cabang katanya istirahat jam segini belom balik juga."

Galak kan, gue? Emang ada juga apoteker yang susah dihubungin. Mereka suka dibebani pekerjaan lain. Ada yang jadi marketing dan bagian pesanan juga. Jadi kerjanya meluas ke mana-mana. Nggak jelas. Yang double bagian marketing karena memang sejak awal dia marketing. Tapi sejak PBF harus pake surat izin apoteker/penanggung jawabnya apoteker, maka dia merangkap.

Gue sempet dijutekin sama kepala cabangnya karena 'ikut campur' masalah cabangnya. Tapi itu gue bertindak berdasarkan laporan apotekernya. Jobdesk nya udah berlawanan. Gaji nggak rangkap, kerjaan beban hidup banget. Maunya perusahaan tuh apa?

Kesel gue sama Big bos kalo gini. Dia koar-koar nggak bakal ambil gaji sebelum perusahaan maju. Peduli apa gue?

Sebelum gue tahu kalo alm. Gusdur suka bagiin gajinya sebagai presiden ke orang-orang yang membutuhkan, gue udah enek banget sama Big Bos pimpinan Bapak perusahaan ini. Kenapa nggak dia ambil aja gajinya, terus dia bagiin ke OB/OG yang butuh. Kebanyakan cari muka ke media dan karyawan sih! Males gue denger dia ngomong tiap ada acara perusahaan.

Balik lagi ke bos gue.

Dia juga komplain, kok bisa surat izin formatnya beda setiap cabang?

Kubilanglah, itu kebijakan setiap daerahnya. Padahal dalam hati : kau telusuri sendirilah siapa yang ngeluarin izin-izin itu, kenapa bisa beda format? Jangan kau marahin aja aku. Dikit-dikit salah.

Emang dimaki gue, pas ngumpulin berkas itu.

Pernah juga, gue disuruh nyusun dokumen untuk salah satu utusan supplier obat rantai dingin (in example : vaksin). Gue disuruh ngadepin sendiri coba!

Mungkin karena doa Ibu-Bapak gue, Kakek-Nenek gue, Buyut gue, juga orang-orang sholeh yang doanya selalu diijabah Allah, jadinya gue dilindungin sama Allah. Bisa lancar lho gue, ditanya macem-macem sama Ibu utusan ini. Bahkan, gue berani ngedebat dia masalah SOP dan dia nggak berkutik karena omongan gue masuk akal.

Bos gue? Malah ngobrol-ngobrol santai sama temennya di ruangan, kayak nggak ada apa-apa! Giliran penanggung jawab alkes yang juga jadi bawahan dia, ditemenin kalo ada supplier ke kantor.

Dijatohin abis-abisan mental gue dari awal, pertengahan sampe hampir akhir!

Kan kerasa banget, kalo dia nggak suka sama gue?

Kenapa terus jadi nanya-nanya pas gue mau resign?

Kan, gue jadi mikirnya buruk.


Terus pernah ya, gue kebelet pipis, pas banget harus tanda tangan pesenan beberapa cabang untuk serum dan vaksin.

Ya udah, gue liatin tuh surat pesanan, terus setelah gue timbang-timbang, gue pengen pipis dulu baru tanda tangan.

Ini pertimbangan terjadi hanya sepersekian detik, ya. Jangan dibayangin gue bikin kopi dulu terus duduk-duduk cantik di meja kerja gue. Emang gue agak aneh juga kebelet kok masih bisa mikir.

Pas gue mau keluar ruangan, dipanggil dengan kasar lho gue, sama Manager Logistik itu.

Gue jawab sambil terburu-buru, kalo gue mau ke toilet.

Keluar dari toilet dipanggillah gue dengan kasar lagi. Padahal itu deket mushola lantai tempat kami kerja. Sampe depan pintu divisi kami. Gue udah mau mencak-mencak.

Pak, Bapak itu pernah kebelet pipis, nggak? Orang kok nggak punya perasaan banget!

Itu udah di ujung lidah.

Tapi, pas ada sesepuh yang bagian impor tadi. Ilang lho amarah gue. Sedaap. Mungkin kesabaran beliau bertahun-tahun ngadepin dedemit satu ini yang bikin suasana enak.

Terus gue senyum. "Nggak ada apa-apa, Pak."

Santai, Natasha. Inhale-Exhale.

Seketika saraf-saraf gue bekerja dan bilang ke gue : dia mau mancing lo marah. Jangan lo kasih yang dia pengen. Sampe lo masuk kubur, jangan sampe lo marah depan dia.

Bener lho. Sampe gue resign nggak pernah gue maki-maki dia.

Kejadian itu berdekatan soalnya, sama perubahan gue jadi singa betina dan bertransformasi jadi T-rex demi mendapatkan surat pesanan psiko dan narkotika Proyek Haji.

Gue emang sempet bilang, selama tuh surat pesanan nggak saya terima, apapun yang disodorin ke meja saya nggak akan saya tanda tangan.

Itu sambil marah-marah, ya bukan sambil makan rujak.

Kaget dong petugas tradingnya.

Gue pas masuk kerja tuh lemah lembut, Gaes. Sampe apoteker pendahulu gue bilang, gue asli Jogja. Widih.

Eh, kok seketika gue jadi macan! Bahkan bisa berubah jadi makhluk purba yang tahunya marah karena dimanfaatkan!

Kenapa saat itu gue nggak berubah jadi Black Widow aja?? Nyesel gue!

Makanya Manager Logistik ini nggak mau gue ngeremehin dia. Gua, ya harus tunduk sama dia.

Abis itu suatu ketika, gue dipanggil, ngobrol berhadapan hanya terpisah meja.

Ditanya-tanya tuh gue, kenapa begini begitu. Gue jawab dengan tenang, harusnya saya yang tanya kenapa Bapak begini begitu sama saya.

Ya udah dirunutin tuh secara jujur, kalo gue sering sakit itu karena pikiran.

Iya lho, dalam 2-3 bulan seenggaknya sekali gua pasti periksa ke dokter di rumah sakit. Peduli apa bayar obat? Direimburse full sama perusahaan.

Tapi, yang sakit itu bukan badan gue. Lebih ke psikologi gue. Gue takut sama dia. Gue bilang gitu. Kalo ada sms dari dia, itu langsung gue apus. Karena gue nggak mau konfrontasi langsung. Mengerikan dia, Bok!

Hahaha. Padahal petugas trading aja takut sama gue.

Gue yang dulu belum belajar tentang manipulatif, Narcissistic Personality Disorder, juga Psychopath, waktu itu ngerasa kalo bos gue lebih bahaya dari orang-orang lain yang pernah gue marahin di sana!

Dulu tuh, GM HRD yang wanita anggun itu pernah juga gue omel-omelin. Karena memang gue ada masalah sama manager HRD nya waktu itu. Tapi bos gue beda, Men! Gue udah ngerasa sejak awal dia ini lebih menakutkan. Mainannya psikologi korban!

Terus gue bilang, mungkin di awal kerja di sana, gue pernah bikin dia kesel tapi nggak sadar. Trus gue bilanglah, gue sama sekali nggak ada niat bikin dia kesel. Sumpah!

Gue inget dulu, gue pernah mau ke Jogja, liat cabang Jogja. Diizinin sama doi, tapi atasannya lagi nyuruh gue ke Magelang, eh gue lupa lapor dia. Marah kayaknya gara-gara itu.

Padahal ya, gue itu kerja keras nyusun 'sistem' yang belum ada. Jadi dahulu kala ada buku tentang cara distribusi obat yang baik (CdOB) tapi tahun jadul, 2003. Sampe gue kerja di atas tahun 2011 itu nggak ada panduan lagi. Ampun, ampun! Jadilah, gue susun dari temuan-temuan orang balai pengawas di cabang dan pengawas obat di pusat. Gue bikin checklist sepanjang ular naga, tau nggak?

Sampe temen gue yang jadi apoteker di Jogja itu bingung, kok gue bisa bikin kayak gitu. Lengkap.

Dia nggak tau aja, gue sering telat makan siang di kantor, duduk berjam-jam depan komputer, sampe pernah begadang di rumah lanjut kerja di laptop demi dapet checklist itu.


Diapresiasi sama bos gue, si Manager Logistik?

Jangan terlalu berharap hujan, saat kamu tahu tidak akan keluar dari dalam goa. Itu yang gue tahu.

Bodo amatlah kalo nggak nyambung!


Nggak ada apresiasi.

Sama sekali!

Yang muji malah kepala cabang Bandung yang memang terdepan masalah SOP di PBF ini. Dibilanglah ke atasan gue dan si manager ini, kalo gue kerjanya bagus. Yes, gue juga pernah ke cabang Bandung.

Bahkan seluruh cabang itu bisa tahu 'keberadaan' gue, meski lewat email, karena gue aktif nyebar info ke semua apoteker. Dan karena 'aksi' gue, apoteker-apoteker di cabang harus dikasih fasilitas komputer sebab gue ngusahain mereka dapet email, yang dibikin temen-teman IT kantor pusat yang udah akrab sama gue.

FYI, kebanyakan apoteker di cabang itu nggak semua dikasih komputer untuk kerja. Mereka dianggap petugas biasa. Bener-bener, dah!

Jadi pas gue resign ada yang marah, kesel dan sedih ke gue. Mereka nggak nemu lagi ketua kelompok aneh kayak gue yang mau inget hari ulang tahun mereka, yang mau repot-repot ngingetin mereka kalibrasi alat ukur suhu & kelembaban ruangan, yang mau ngasih info terkait pekerjaan kami via email dan orang-orang di cabang jadi aware kalo apoteker itu berdaya guna dan pada pinter semua, bukan cuma buat syarat nama penanggung jawab ke pihak pengawas dan si Sehat. Dan nggak ada lagi yang rusuh ngumpulin mereka secara daring, untuk saling bantu di bidang lain yang berkaitan dengan pekerjaan kami di perusahaan.

Mungkin, kalo nama gue disebut di depan mereka (kalo mereka masih kerja di sana), bakalan tersulut emosi mereka. Wkwkwk.


Balik lagi ke masalah 'sistem' yang kubuat.

Terus nih, nggak lama keluar dong panduan dari pengawas obat.

Dan checklist yang dibuat sama. Persis!


Dih!

Gue digaji berapa nih sama pengawas obat, kalo bisa nyusun beginian dalam waktu singkat?


Lanjut ke obrolan gue dan Manager, ya.

Waktu itu gue berani bilang, kalo Bapak nggak suka sama saya itu bilang aja. Saya bakal resign dari awal. Tenang aja. Karena menurut saya rezeki itu Allah yang ngatur. Santai aja.

Buat apa saya kerja di sini kalo Bapak nggak suka sama saya?

Bener nggak gue?

Itu gue beneran ngomong dari hati, lho.

Ya buat apa kerja, kalo atasan nggak suka?

Kan yang milih dia juga, selain HRD. Kenapa dari awal dia nggak pilih orang lain aja?

Apa ada titipan apoteker yang harusnya menempati posisi gue?

Kan gitu pikiran gue jadinya.


Terus, dia malah nawarin kerjaan lho, ke gue.

Dia bilang kerjaan gue bagus dan dia ngebentuk usaha kecil-kecilan, siapa tahu gue mau bantu.

Gitu!

Ya Allah, Pak!

Sayang sekali, Anda terlambat!

Kepercayaan gue, ibarat waktu gue yang tersisa di kantor itu. Menipis.

Susah buat percaya lagi.

Setelah banyak hal Bapak lakukan pada saya.

Bagaimana caranya saya bisa percaya kalo itu tawaran tulus dan bukan jebakan betmen?


Atmosfir kerja yang kebanyakan didominasi para pria itu juga kentel banget sama pelecehan, meski sedikit yang terjadi sama gue. Susah buat wanita kerja di tempat yang macem-macem obstaclenya. Mikirin urusan anak-anak, suami, rumah, mertua juga kehidupan sosial di sekitar rumah aja udah nguras tenaga berkilo-kilo Joule.

Apalagi mikir caranya bertahan di tempat kerja. Maka dari itu, kebanyakan ibu-ibu di divisi logistik tepat waktu kalo pulang, anti ngegosip di luar ruangan. Tapi mereka malah digosipin di divisi lain apalagi ibu-ibu divisi HRD dan Marketing yang benci sama ibu-ibu di logistik. Mereka nggak tau aja kerjaan di logistik banyak dan riweuh. Anak buah bener, bosnya … ya gitu deh.

Meski harus tanda tangan atau paraf begitu banyak surat pesanan dan lainnya, gue selalu berusaha mengembalikan ke meja mereka masing-masing. Karena bentuk menghargai sekecil apapun, bisa mereka terima dengan tulus.

Seneng deh.

Tapi ya kalo disuruh balik lagi kerja di sana ... nggak deh, makasih.

Wkwkwk.


Catatan : surat sumpah gue udah dimakan rayap. Udah lupa gue isinya. Semoga menuliskan ini nggak termasuk etika dan sumpah yang harus gue jaga, meski udah beratus-ratus tahun cahaya gue nggak praktek dan memperbaharui surat izin praktek.


Yang mau gue sampein. Selalu hati-hati.

Mau di zaman apa aja, kalo semua sudah mendarah daging bakalan susah diilangin. Harus dibersihin sampe akar-akarnya. Jadi rantainya 'protein'nya putus.


Masih berharap, sih, kalo Indonesia tercinta ini bisa lebih baik. Apalagi kalo inget orang-orang jujur yang kerjanya rajin dan jabatannya nggak seberapa. Mungkin Allah masih nahan nggak mengazab kita karena masih banyak orang-orang kayak begini.

Dan kalo setelah ini, kalian yang membaca jadi benci sama gue, nggak apa-apa. Makasih udah mau baca.

Salam damai, tetap semangat, dan Merdeka!


Eh eh. Terus nih, kejadian di kantor itu kan udah lama, jadi maaf banget kalo nggak bisa persis banget. Gue juga sambil berusaha inget meski campur aduk banget perasaan gue pas di bawa ke masa itu. Terus kalo bacanya keganggu karena gue loncat ke sana ke sini, sori-sori aja. Kan gue lagi sambat, ya.

Hahaha. Enggak enggak. Itu otak gue emang gitu pemikirannya.

Dan ini belum seberapa dibanding tulisan gue satunya di fail Cerpen juga.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)