Flash
Disukai
1
Dilihat
5,627
Meja Operasi
Horor

Kepindahanku ke kota ini membawa pengalaman yang luar biasa mengerikan. Aku sedang hamil 8 bulan saat suamiku dipindahkan ke daerah Lampung pedalaman.

Karena keadaan saat itu sedang covit jadi kami tidak bisa keluar daerah, aku menyetujui untuk pembedahan di rumah sakit umum di sana. Rumah sakitnya masih layak beroperasi hanya suasannya membuatku tidak nyaman dengan hamil besar juga membawa buah hati.

Di kamar rawat aku hanya ditemani suami, anak juga minan (orang yang lebih tua) ia yang membantuku. Setelah konsultasi dengan dokter kandungan diputuskan besok siang akan dilakukan tindakan.

Malam harinya aku terbangun jam 1 malam, entah mengapa aku merasakan ada sosok perempuan berbaju putih yang terus melihatku dari balik jendela ruangan. Dengan perut gendut aku turun dari ranjang mendekati jendela itu, membuka tirainya lantas mengamati halaman samping rumah sakit.

Tidak ada apapun meski rasanya hati ini mengatakan ada seorang wanita yang terus mengamati, bahkan mengajak untuk bersamanya. Entah perasaan apa itu, tentu saja aku tidak ingin, aku ingin persalinan lancar.

Gara-gara perasaan aneh itu aku sampai tidak bisa tidur lagi sampai menjelang subuh barulah aku bisa tidur sampai pagi. Hari ini aku sudah mulai berpuasa untuk tindakan siang nanti, sekitar jam dua.

Entah mengapa tiba-tiba kepalaku terasa sakit. Rasnaya ubun-ubunku hendak ditarik keluar. “Mas, panggilkan perawat sebentar. Kepalaku sakit sekali.” Aku memijat kepalaku. Suamiku mendekat membantu memijat dahi.

“Bukan itu, Mas, yang sakit. Yang ini.” Aku membawa tangan Mas Ari pada ubun-ubunku. “Ini sakit, kaya mau ditarik keluar.”

“Ya sudah sebentar, Mas panggilkan perawat.” Aku mengangguk kembali merebahkan badan yang terasa lebih berat dari biasanya.

Karena pembatasan pengunjung rumah sakit ini jadi sangat sepi meski banyak juga yang sedang melakukan perawatan.

Perawat datang memeriksa tekanan darah juga yang lainnya. “Semuanya normal, bu. Tekanan darah ibu stabil, tidak ada pendarahan. Gula darah juga aman,” kata perawat itu. Tapi kepalaku masih saja sakit.

“Saya konsultasi dulu ke dokter, boleh tidak ibu diberi obat dulu.” Kata perawat itu lantas undur diri.

Mas Ari kembali memijat kepalaku, sedangkan si kecil mulai rewel dari tadi malam, untungnya minan selalu menjaga menenangkanku jika si kecil baik-baik saja.

“Kakak, mau sama ibu?” tanyaku. Anak pertamaku menggeleng seperti ketakutan malah kembali memeluk minannya.

“Saya ajak keluar, bu. Kakak ya biar seneng.”

Aku mengangguk meski aneh tidak biasanya kakak tidak mau aku gendong, biasanya sakit saja dia maunya gendongan sama aku?

Sudah minum obat sakit kepala, sudah makan juga, sampai jadwal oprasi harus digeser ke sore hari tapi kepalaku tidak juga membaik. Akhirnya aku putuskan untuk berlanjut ke ruang operasi, mungkin sakit kepala ini hanya keteganganku saja.

Berpisah dengan suami dan anak pertamaku sebelum masuk ruang operasi, anak pertamaku terus menangis saat ranjang yang membawaku didorong masuk ke dalam ruang operasi. Perasaanku semakin kacau melihat tatapannya yang seakan tidak menginginkan aku masuk ke dalam ruangan ini. Tapi apa boleh buat.

Kini aku sudah ada di dalam, menyerahkan nyawaku pada semesat, prosedur mulai perlahan dilakukan aku terlentang diatas meja operasi dengan perut besar. Setelah semua prosedur dilakukan juga suntik tulang belakang dokter bicara kepadaku.

“Sebelum dimulai kita berdoa dulu sebentar meminta kelancaran kelahiran anak, ibu.”

Tidak lama proses pembedahan dimulai, sesaat semuanya lancar. Begitu aku melihat pada arah lampu operasi yang posisinya terpasang permanen di langit-langit ruang. Di sana aku melihat sosok bergelantungan dengan rambut panjang menjuntai.

Aku tidak berani melihat terlalu lama, aku mengarahkan pandanganku ke sisi kanan. Apa itu aku tidak tahu, rasanya semakin panas mendera kulit wajahku, aku semakin merapatkan mata tidak berani membukanya, rasa-rasanya ia ada di atasku sekarang.

“Bu. Kenapa?” tanya dokter anestesi.

Aku hanya menggeleng, perlahan melihat kembali pada arah lampu yang tepat ada di atas badanku, Sosok itu menghilang.

Aku tidak berani mengatakan itu apa, sekarang tiba-tiba ruangan ini rasanya senyap, aku bisa melihat dokter tapi tidak bisa mendengar suara mereka. Keadaan itu terus berlangsung sampai aku melihat seketika ruangan seperti dilanda panik.

Dokter sesaat melihatku, tapi aku tidak bisa mendengar apapun. Dokter lain mendekat entah apa yang ditanyakannya, aku tidak bisa mendengar. Saat aku kembali melihat arah lampu operasi disana sosok itu kembali ada menggantung dengan rambut panjangnya, tepat di atas wajahku.

Aku tidak bisa melihat wajahnya hanya rambut panjang yang terus bergerak berada tepat di atas wajahku. Aku tidak ingin melihatnya tapi entah mengapa aku tidak bisa menggerakan kepala. Sesok itu terus mendekati.

Dalam pikirku apakah ini ambang kematianku?

Aku mengucapkan laa ilaaha illallah jika memang ujung napasku disini. Begitu aku berserah. Bisikan begitu saja hadir disaat aku tidak bisa mendengar apapun.

bagaimana dengan anakmu, siapa yang akan merawatnya

Seketikan suara itu seakan melenyapkan kabut yang menahan pendengaranku, aku kembali bisa mendengar detak jantung juga pompa darah yang keluar dari tubuhku.

“Pegang yang ini!”

Termasuk suara dokter yang terlihat sedang berusaha melakukan tindakan entah apa yang terjadi dengan anakku di dalam rahim. Keadaan mencekam dimana aku belum mendengar suara anakku sedari tadi.

Aku juga merasakan dokter mendorong perutku kuat, semua yang ada disana terlihat tegang. Aku hanya bisa berdoa memohon keselamatan anakku. Karena sejatinya doa seorang ibu menembus langit ketujuh.

Begitu anak itu keluar, dokter terlihat lega meski untuk membuatnya menangis pun lebih lama dari biasanya.

“Kita ada sedikit kendala, bu. Tadi bayi ibu terlepas dari pegangan, kembali masuk dalam rahim, seperti ditarik ke dalam. Sekarang sudah alhamdulilah.”

Aku merinding mendengar ucapan dokter yang masih mengatur napas setelah ketegangan tadi, aku juga mengedarkan pandangan ternyata mahluk itu juga sudah tidak ada, aku masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat barusan.

Apakah ini efek bius?

Entahlah, alhamdulillah semesta masih menjagaku bersama putra kecilku yang selamat.

Setelah lama di ruang operasi akhirnya aku keluar, begitu keluar dari sana mual hebat menderaku sampai aku muntah dengan cara menyampaikan kepal. Mas Ari datang langsung membantu menyeka muntahku juga mencium dahi.

“Kamu lama banget di dalem.” Kata Mas Ari.

Aku melihat air matanya hampir terjatuh, seberapa lamakah aku di dalam?

“Ade mana, Mas?” tanyaku pada Mas Adi. Aku ingin melihat secepatnya keadan buah hatiku.

“Dia harus dirawat dulu, tadi dokter membawanya sampai berlari.”

Sekali lagi aku bersyukur meski keadaan hampir saja tidak berpihak kepadaku.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)