Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,585
Kutukan Keluarga Bagian II: Kembali
Horor

Setahun setelah meninggalkan pulau Jawa, Adam memulai babak baru dalam hidupnya. Ia menetap di Medan, jauh dari masa lalu yang penuh misteri dan kutukan. Ia diterima di salah satu universitas swasta, mengambil jurusan psikologi, dan mulai menjalani kehidupan kampusnya yang penuh dengan tantangan. Meskipun ia mencoba untuk fokus pada kuliahnya, bayang-bayang masa lalu masih terus menghantui pikirannya.

Adam tinggal di sebuah kos sederhana yang terletak tidak jauh dari kampus. Ia menikmati kebebasan yang ia dapatkan, namun terkadang perasaan kesepian datang menghampiri. Malam-malamnya sering dihabiskan bekerja di swalayan yang terletak di pusat kota. Shift malam memberinya kesempatan untuk menenangkan pikirannya, meskipun terkadang kelelahan fisik dan mental membuatnya merasa semakin terisolasi.

Suatu malam, setelah selesai bekerja, Adam berjalan pulang dengan langkah lelah, menyusuri jalanan yang sepi. Langit di atasnya gelap, dengan hanya beberapa bintang yang terlihat di langit. Saat melewati sebuah gang kecil, ia mendengar suara samar, seperti bisikan yang datang dari belakang. Refleks, ia menoleh, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Perasaan aneh kembali merayap di tubuhnya, sama seperti yang sering ia rasakan semasa di rumah.

Ketika ia memasuki kosnya, Adam merasa tidak nyaman. Sesuatu di dalam ruangan itu terasa berbeda, seolah ada yang mengamatinya. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu dan melanjutkan aktivitasnya, melepaskan jaket dan berbaring di atas kasur. Namun, malam itu, tidurnya kembali terganggu. Mimpi buruk kembali datang menghampirinya. Ia kembali berada di dalam hutan, di atas batu persembahan, dikelilingi oleh ular besar dengan mata merah yang menakutkan.

Dalam mimpi itu, ular-ular itu berbicara padanya dengan suara yang sama seperti yang ia dengar di malam terakhir bersama orangtuanya. "Kamu tidak bisa melarikan diri, Adam. Kutukan ini sudah ada dalam darahmu."

Adam terbangun dengan keringat dingin yang membasahi tubuhnya. Nafasnya terengah-engah, dan ia merasakan perasaan cemas yang mendalam. Ia tahu bahwa mimpi itu bukan sekadar mimpi—ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia hadapi, sesuatu yang tak bisa ia hindari, meskipun ia sudah jauh dari rumah.

Keesokan harinya, Adam mencoba menenangkan diri dengan berfokus pada kuliah dan pekerjaannya. Namun, setiap kali ia melihat cermin atau berada dalam keadaan sepi, bayangan ular besar dengan mata merah itu selalu hadir di benaknya.

Suatu hari, ketika ia sedang bekerja di swalayan, seorang wanita paruh baya mendekatinya. Wajahnya tampak serius, dan matanya seperti bisa melihat langsung ke dalam jiwa Adam. Tanpa mengatakan apa-apa, wanita itu menatap Adam dengan penuh perhatian.

"Ada sesuatu yang mengikutimu, nak," kata wanita itu tiba-tiba, suara rendah namun penuh kekuatan.

Adam terkejut, dan instingnya mengatakan bahwa wanita ini tahu lebih banyak tentang dirinya daripada yang ia inginkan. "Apa maksud Nenek?" tanya Adam, berusaha menjaga ketenangannya.

Wanita itu menggeleng pelan, seakan memahami kebingungannya. "Kutukan keluarga... itu belum berakhir. Tapi kamu punya pilihan, Adam. Kamu bisa memilih untuk melanjutkan atau berhenti di sini."

Mata Adam membelalak, merasa terjebak di dalam misteri yang lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan. Ia belum siap untuk kembali ke masa lalu, namun apa yang wanita itu katakan seakan memberi petunjuk bahwa jalan yang ia pilih masih akan penuh dengan ujian.

"Jangan lari darinya," lanjut wanita itu, "karena kamu akan terus dikejar, sampai kamu menemui akhirnya."

Wanita itu lalu berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Adam yang terdiam di tempat. Perasaan cemas kembali muncul dalam dirinya. Adam merasa bahwa meskipun ia sudah meninggalkan semuanya, kutukan itu masih memburunya—dan kali ini, tak ada tempat untuk bersembunyi lagi.

Malam berikutnya, seperti biasa, dia baru saja pulang kerja, sudah larut—sekitar jam 11 malam—ketika langkahnya tiba-tiba terhenti di ujung gang yang biasa dia lewati. Entah kenapa, malam itu terasa berbeda. Angin berhembus dingin, seolah membawa bisikan tak terdengar. Di sana, di ujung gang, dia melihatnya.

Sosok wanita itu berdiri tegak di bawah cahaya rembulan yang samar, mengenakan kebaya zaman dulu, yang terlihat seperti pakaian kerajaan jaman purba. Kebayanya berwarna emas dengan corak rumit yang terlihat begitu jelas meskipun suasana gelap. Rambutnya terurai panjang, dan wajahnya tampak pucat, tanpa ekspresi. Adam merinding. Ia merasa seakan dunia sekitarnya membeku, dan segala sesuatu di sekelilingnya mulai terasa asing.

Tanpa berpikir panjang, Adam memutuskan untuk menghindar. Dia menggenggam erat tas kerja di tangannya, berbalik langkah dan berjalan cepat menuju swalayan terdekat. Di dalam keramaian yang lebih terasa hangat dan familiar, Adam mencoba menenangkan dirinya. Namun, tubuhnya masih bergetar, merasakan ketegangan yang menempel sepanjang perjalanan.

Di depan swalayan, Adam berdiri lama, berusaha mengatur nafasnya yang masih tercekat. Saat itu, salah seorang pegawai swalayan, Dimas, yang kebetulan tengah berjaga, memperhatikan Adam yang berdiri tanpa membeli barang apa pun.

“Mas Adam? Kenapa lama sekali di luar, nggak beli apa-apa?” Dimas bertanya dengan nada bingung, sambil mendekatkan dirinya ke Adam. Ia memperhatikan ekspresi wajah Adam yang sedikit pucat dan tampak kebingungan.

Adam menatap Dimas, masih belum bisa menyembunyikan rasa cemas yang mengendap di dalam dirinya. “Aku… aku baru saja lihat sesuatu di gang belakang itu,” jawabnya dengan suara terbata, berusaha menjelaskan meski kata-kata terasa sulit keluar. “Ada seorang wanita… pakai kebaya zaman dulu.”

Dimas tertawa ringan, meski dengan ekspresi yang masih penasaran. “Ah, mas, kayaknya kecapekan deh. Gang belakang itu kan gelap, banyak bayangan. Jangan dipikirin, nanti malah makin takut.”

Adam menggelengkan kepala, napasnya mulai terasa lebih cepat lagi. “Bukan, Dimas. Ini bukan cuma bayangan. Wanita itu… dia ada di sana, di ujung gang, dan aku merasa seperti ada yang nggak beres. Seperti… dia bukan dari dunia ini.”

Dimas berhenti sejenak, melihat mata Adam yang penuh kekhawatiran. Untuk beberapa detik, suasana menjadi hening. Dimas sepertinya mulai serius mendengarkan.

“Mas Adam, kamu pasti nggak sendiri yang lihat itu. Sering ada cerita-cerita aneh dari sekitar sini. Gang belakang itu terkenal angker, loh. Banyak orang yang bilang mereka lihat hal-hal yang nggak bisa dijelaskan,” kata Dimas pelan, menambah rasa tegang yang sudah ada.

Adam mengerutkan kening. “Kamu bilang angker? Maksudnya gimana?”

Dimas melirik ke arah gang belakang dengan cemas. “Iya, banyak orang yang bilang mereka lihat sosok seperti itu. Ada yang bilang itu arwah dari masa lalu, ada juga yang bilang itu semacam penjaga tempat ini.”

Adam memutuskan untuk tidak membicarakan hal ini lebih lanjut. Tubuhnya masih terasa dingin, dan pikirannya berputar tentang apa yang baru saja dilihatnya. Dia hanya ingin melupakan kejadian itu, meskipun perasaan tak nyaman itu masih membekas.

“Terima kasih, Dimas. Mungkin aku hanya capek. Aku akan pulang sekarang.” Adam berkata pelan, mengangguk dan berjalan menjauh, meninggalkan swalayan dan kembali ke rumahnya dengan rasa cemas yang terus menghantuinya sepanjang perjalanan.

Adam melangkah mondar-mandir di depan swalayan, matanya masih terpaku pada gang yang gelap di ujung jalan, tempat ia melihat sosok wanita itu tadi malam. Pikirannya kacau, antara rasa takut dan rasa penasaran yang terus mengganggu. Sambil menunggu, dia memutuskan untuk berdiri saja di depan swalayan, berusaha menenangkan diri.

Tak lama kemudian, Joko, salah satu karyawan swalayan, yang baru saja selesai bekerja, mendekat dengan senyum lebar dan logat Medannya yang kental. “Eh, Dam, mungkin itu si Kunti, kau jangan takut, kayak Abang Joko, berani dong! Jadi laki harus jantan, Dam,” katanya, setengah bercanda, setengah serius.

Adam mengalihkan pandangannya ke Joko, merasa tak tahu harus jawab apa. "Kuntilanak?" ujarnya, mencoba terdengar santai meskipun dalam hatinya masih ada rasa khawatir. "Kau jangan main-main, Joko."

Joko tertawa lebar, menyandarkan tubuhnya pada rak-minuman. “Iya lah, Dam. Jangan takut, kan aku berani! Bacot kau, Dimas, kan dim? Ini cuma hal biasa aja, mungkin ada angin, mungkin juga dia cuma lewat,” katanya sambil memiringkan kepala dan melanjutkan candanya.

Dimas, yang sedang merapikan beberapa barang di belakang, mendengarnya dan mendekat dengan langkah pelan. "Joko, jangan sembarangan ngomong. Bisa jadi memang ada sesuatu yang nggak bisa kita jelasin," ujar Dimas, dengan nada yang sedikit lebih serius.

Joko memutar bola matanya, tidak terpengaruh dengan peringatan Dimas. "Yah, udahlah, Dimas. Kalau dia takut, biarin aja, nggak usah dibesar-besarin. Tapi Dam, serius deh, jangan takut, jadi laki-laki itu harus bisa hadapin semua, kan? Jangan kayak anak kecil, takut sama hal kayak gitu." Joko kembali tersenyum nakal, memperlihatkan giginya yang sedikit cokelat.

Adam terdiam sejenak. Meski Joko tampak santai dan cenderung bercanda, ada rasa khawatir yang semakin kuat menghimpitnya. "Gue nggak bilang gue takut, Joko. Cuma… aneh aja. Rasanya itu bukan hal biasa. Gue ngerasa ada yang aneh dengan sosok itu. Bukan halusinasi."

Dimas menatap Adam dengan serius, menyadari bahwa Adam benar-benar merasa terganggu. "Kalau kau merasa ada yang aneh, mungkin lebih baik kau bicarakan sama orang yang ngerti soal hal kayak gitu. Jangan dibiarkan. Itu bisa jadi gangguan yang nggak keliatan."

Adam mengangguk pelan. "Iya, gue coba cari tahu lebih lanjut, Dimas," jawabnya, meskipun hatinya masih terasa berat. Dengan perasaan campur aduk, dia melangkah keluar dari swalayan, berusaha menenangkan pikiran dan berharap tidak ada lagi kejadian yang sama. Namun, bayangan sosok wanita dalam kebaya itu tetap menghantuinya, membuat setiap langkahnya terasa semakin berat.

Saat Adam berbalik untuk melangkah pergi, tiba-tiba terdengar suara berat seperti sesuatu yang jatuh dari atas, tepat di atas atap swalayan. Bunyi itu keras, namun saat Adam, Dimas, dan Joko menoleh ke langit-langit, tak ada apa-apa. Keheningan langsung menyelimuti sejenak.

"Eh, apa itu?" Adam bertanya, matanya membesar, merasakan ketegangan yang kembali menyergapnya.

Joko, yang semula terlihat santai, kini mulai menunjukkan ekspresi sedikit terganggu. "Hah, itu kayaknya suara jatuh dari atas, ya? Gila, Dam, kau denger juga kan?" katanya dengan logat Batak yang kental. "Tapi, nggak ada apa-apa. Mungkin cuma binatang di atap. Jangan terlalu dipikirin, kau."

Dimas, yang lebih cenderung berpikir rasional, menatap ke atas dengan cermat. "Mungkin itu cuma angin, Joko," jawabnya dengan tenang, meskipun ekspresinya juga tampak sedikit waspada. "Atau ada sesuatu yang terjatuh dari atas, bisa jadi barang bekas."

Namun, Adam merasa tak nyaman dengan situasi itu. "Nggak ada yang jatuh, kok. Itu suara kayak dari tempat yang kosong, nggak ada benda jatuh di atap swalayan."

Joko tertawa kecil, berusaha meredakan ketegangan. "Lah, jangan-jangan itu si Kunti yang tadi malam. Bisa aja dia lagi main-main, Dam. Kalau kau takut, nanti saya jagain!" katanya sambil tersenyum nakal, meskipun nada suaranya kali ini sedikit lebih tegang.

Dimas menggulung matanya, "Sudahlah, Joko. Jangan bikin tambah takut, kali. Kau ini kalau bercanda seringnya malah bikin merinding."

Namun, Adam tidak bisa menepis perasaan cemasnya. "Gue nggak tau, Dimas. Itu bener-bener nggak beres. Gue nggak yakin kalau itu cuma suara biasa," jawabnya, tangannya terkepal erat, berusaha menenangkan diri.

Setelah sejenak hening, Joko akhirnya berkata, "Udahlah, Dam, jangan kebanyakan mikir. Yang penting, kita bareng-bareng aja. Kalau apa-apa, kan ada kita," katanya, mencoba memberi ketenangan, meskipun dengan nada yang agak canggung.

Adam tetap diam, mata masih tertuju pada langit-langit, seolah mencari jawaban atas perasaan aneh yang tiba-tiba menyerangnya.

Tiba-tiba, suara jeritan Mila terdengar dari dalam tempat penyimpanan, yang biasa digunakan untuk menyimpan barang-barang di belakang swalayan. Suaranya tajam dan penuh ketakutan, seolah-olah dia sedang dalam bahaya.

"Mila?!" teriak Adam, langsung berlari menuju sumber suara, diikuti oleh Dimas dan Joko yang ikut terkejut. Mereka tahu ada sesuatu yang sangat salah.

Dimas berlari paling depan, wajahnya tampak panik. "Mila! Mila! Kau di mana?!" teriaknya, memanggil-nama sambil membuka pintu tempat penyimpanan. Namun, tiba-tiba dia terhenti. Wajahnya berubah pucat, dan tangannya gemetar saat menatap ke dalam.

Di sana, di tengah ruang penyimpanan, terdapat beberapa kotak makanan yang biasa ada di Indomaret. Tapi yang membuat Dimas, Adam, dan Joko terkejut adalah kenyataan bahwa ada beberapa anak ular yang bergerak-gerak di dalam kotak-kotak itu, menjalar ke sana kemari. Yang lebih mengejutkan lagi, ada beberapa ular dewasa yang muncul dari balik kotak, matanya memerah seperti sedang marah.

"Ini… ini nggak mungkin!" Dimas bergumam, kebingungan. "Kemarin, aku cek tempat ini, nggak ada apa-apa. Semua box makanan baru, tidak ada ular!"

Adam merasa tubuhnya merinding. "Apa-apaan ini? Mila, kau nggak apa-apa?" teriaknya, khawatir. Mila, yang masih terlihat ketakutan, berdiri terhuyung-huyung di pojok ruangan, jelas terlihat ketakutan.

Joko, yang sebelumnya terlihat santai, kini tampak lebih serius. "Dam, Dimas, ini nggak beres. Siapa yang nyimpen ular-ular ini di sini?" suaranya terdengar lebih berat, bahkan dia yang terkenal berani pun terlihat gelisah.

"Ini bukan ular biasa," kata Adam, suaranya bergetar. "Kemarin aku juga periksa dan tempat ini aman. Kenapa sekarang tiba-tiba ada ular? Ada yang nggak beres!"

Dimas berusaha menenangkan Mila, yang masih menggigil ketakutan. "Tenang, Mila. Kami di sini. Kau nggak akan sendirian," katanya, berusaha menenangkan. Tapi, dalam hati Dimas sendiri, dia merasa tidak yakin.

Joko menggenggam tangan Dimas, mencoba menguatkan dirinya. "Jangan takut. Kita keluar dulu, aku akan telepon orang yang bisa bantu kita dengan ini," katanya, sambil mundur perlahan, menarik Dimas dan Adam menjauh dari ruang penyimpanan yang kini dipenuhi dengan ular-ular itu.

Namun, di balik kepanikan itu, suara gemericik dan gesekan halus terdengar lagi, seolah ular-ular tersebut semakin banyak. Dan tiba-tiba, terdengar suara halus yang menggema di dalam ruang itu.

"Apakah kalian tidak menyadari?" suara itu datang begitu pelan dan mendalam, seolah berasal dari dalam tanah. "Ini baru permulaan…"

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)