Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,429
Kevin
Komedi


Pagi itu kembali kudapati Kevin dengan kekasih barunya. Ia sudah berganti pacar tiga kali sejak dua hari lalu. Padahal baru kemarin sore saya lihat ia sedang berasmara di kebun belakang rumah yang entah sejak kapan sudah menjadi wilayahnya untuk membuang sperma.

Langkahnya sombong dengan wajah mendongak, kadangkala ia menengok ke belakang, memastikan pacar barunya tidak tertinggal oleh langkahnya yang tegas dan berjarak-jarak. Tidak peduli tatapan orang dan tetangga, ia tetap berjalan angkuh.

Banyak sudah orang mengatakan kepada saya, untuk tidak lagi bergaul dengan Kevin, termasuk orang tua saya. Katanya, kevin itu sangat berbahaya, ia juga jorok, jarang mandi dan suka ubek-ubek comberan. Namun tidak saya indahkan. Karena tidak ada yang salah dengan mengubek-ubek comberan.

Karena tetap mempertahankan Kevin sebagai teman. Akhirnya, belakangan orang tua saya mulai sering marah-marah, terutama jika melihat saya sedang mengobrol sama Kevin. Tetangga juga mulai memberikan tatapan sinis nan jijik kalau melihat saya sedang berbagi makanan dengannya, beberapa bahkan bergumam, “gila kok gak selesai-selesai.”

Saya juga pernah terserang penyakit akibat terlalu dekat dengan Kevin. Pasalnya si Kevin ini terlalu bersemangat dalam hidupnya, ia terlalu sering....Ah sudahlah!

Orang boleh berkata apa pun, tapi saya tidak akan meninggalkan Kevin, kami sudah saling berjanji untuk selalu bersama sampai ajal menjemput, atau menikah.

Tiga tahun menjalani hidup bersamanya benar-benar luar biasa. Bisa dibilang, ia adalah sumber inspirasi, dan saya baginya adalah sumber keuangan. Tapi saya tidak masalah, toh memang satu-satunya yang gratis di dunia ini cuma kentut.

Mengapa ia sumber inspirasi, karena satu hal, ia adalah pembenci paling murni yang pernah saya kenal. Ia terlahir sebagai pembenci natural. Ia akan membenci apa pun tanpa alasan, termasuk pacar barunya itu. Ia hanya menjadikannya sebagai pelampiasan, lalu mencampakkannya layaknya kucing betina yang sudah tak terpakai lagi, lalu ia akan membencinya. Serupa pagi bercinta sore tak lagi saling sapa.  

Kapan hari ia pernah mengatakan, kalau ia membenci orang tua saya dan seluruh orang yang saya kenal. Ia bahkan, sesungguhnya juga membenci saya. Saat saya tanyakan alasannya, ia dengan santainya mengatakan kalau ia tidak memiliki alasan. Membenci semua hal adalah berkah dalam dirinya, bakat yang ia terima sejak lahir. Ia tidak membeda-bedakan untuk membenci, semua mendapat bencian yang sama olehnya, tak peduli suku agamanya, tak peduli partai politiknya. 

Sifat itulah yang akhirnya berusaha saya adaptasi. Jika Kevin adalah si-pembenci natural, saya adalah si-pecinta segala. Tidak peduli seberapa pedih hinaan orang, hati saya selalu mengatakan “mungkin dia sedang ada masalah.” Meskipun saya disambit batu, hati saya akan selalu meyakinkan “mungkin dia belum piknik lagi.” Dan selalu seperti itu.

Saya benci diri saya , saya benci selalu memaafkan, selalu memaklumi, selalu berkata iya, dan diujungnya menyesal hingga uring-uringan di kasur.

Akhirnya, perlahan-lahan Kevin mengajari saya untuk menjadi pembenci natural. Katanya, kamu hanya perlu melihat segala sesuatu sebagai musuh, sebagai ancaman, dan untuk itu diperlukan modal hati yang sangat kelam nan hitam. Melihat dunia dari sisi negatif, karena positifnya dunia hanyalah rekaan, konspirasi dari para pemilik modal, Donald Trump dan Sam Smith.

Jujur saja, sebagai anak yang terlahir dari keluarga yang berprinsip bahwa ‘kebaikan bertebaran di udara kecuali di dalam keluarga,’ sulit sekali untuk melihat dunia dari negatifnya saja.

Pernah di suatu jalan-jalan sore, Kevin mengatakan kalau saya sudah memiliki bakat membenci, hanya saja kurang diasah. Untuk itu diperlukan bimbingan yang tepat darinya. 

Pelajaran pertama darinya adalah, saya harus mengejar orang atau anjing atau apa pun yang saya temui di jalan, mengejarnya seperti ingin memakannya. Untuk itu Kevin pun menunjukkannya, ia mengejar seseorang yang ia temui di jalan, seseorang yang selalu menghina saya dan Kevin saat sedang mengobrol di teras rumah. Kevin berlari ke arahnya lalu bertingkah layaknya predator ingin menerkam, ia menerjang orang itu yang akhirnya kabur dengan mode zig zag.

“Dasar manusia brengsek!”

Teriakan Kevin penuh amarah, berat dan mendesis.

Saya pernah mencobanya, mengejar seekor anjing yang saya temui sedang bersantai di depan warung. Saya kejar dan saya teriaki, “dasaaar anjiiiingg!!”

Dan hasilnya, saya dikejar balik oleh si anjing, serta sekumpulan anak muda yang sedang nongkrong di depan warung. Mereka kira saya tadi menghina mereka.

Saya telah gagal di tahap pertama.

Malam gelap berawan, lantun pengajian sayup-sayup terdengar dari pengeras suara mesjid pemukiman yang hanya merupakan titik-titik cahaya dari tempat saya dan Kevin berada, atap rumah. Kami duduk dalam kegelapan, berusaha menyembunyikan adanya kehidupan sedang saling curhat di atas sini.

Kevin berulang kali menyebutkan kepada saya agar tidak menyerah, karena segalanya butuh proses, tidak ada yang instan kecuali jadi artis socmed yang cuma modal joget-joget dan open minded.

Untuk menjadi pembenci profesional kamu harus melatih hatimu, memperkuat karakter lemahmu, dan merubah perspektifmu. Saya hampir saja menganga hingga rahang menyentuh lantai saat mendengarnya, benar-benar terdengar hebat, padahal Kevin tidak pernah sekolah satu kali pun. Kehidupanlah yang menempanya.

“Ada masalah dengan saya Kevin. Kata orang, jika hanya satu orang yang memusuhi kita, bisa jadi orang itu yang bermasalah. Tapi saya, semua orang memusuhi saya, itu artinya memang saya yang ngaco.”

Kevin tidak membalas, ia memberikan tatapan sendu kepada saya, mengasihani saya yang payah ini.

“Untuk itu saya harus membalas mereka semua, saya akan membenci mereka dengan segala upaya.” Tangan saya terkepal, tekad saya bulat, sebulat telanjangnya artis porno. Saya akan menjadi seperti Kevin.

“Miaaaauw.” Kevin menjawab datar, ia memunggungi saya dengan tatapan lurus kepada kelamnya malam.

“Miaauw miauw miiiiiiaaauw. Miiiiiiauw miauw miaauw miiiaauw. ” tambahnya lagi. Kalimatnya sederhana, namun sarat makna, saya hampir menangis dibuatnya.

“Baiklah, saya akan terus berusaha, kamu akan terus menjadi inspirasi saya dalam hidup, Kevin.”

“Miauw, mmmmmiiaaaauw.”

“Kenapa? Kamu adalah sahabat saya satu-satunya.”

“Miaaauw...miaaauuuuw...miaaauw.” 

“Saya tidak peduli orang lain bilang saya gila atau aneh, tidak peduli orang tua saya membenci saya karena berteman dengan kucing yang suka ubek-ubek comberan, tidak peduli semuanya.”

Hampir saya menangis.

“Miaaauuw miaauw meong.”

“Apa? Apa maksudmu saya melanggar kodrat kaum saya?”

 “Ngggggggg ngeeeong, miaaauww, miauw. Meeeeeouuuw, miaauw.”

“Jadi menurutmu ada pembeda antara kucing dan manusia?”

Kevin mengangguk mantap.

Menurut Kevin, saya bisa menjadi pembenci seperti dia, tapi itu melanggar kodrat manusia. Membenci itu perlu alasan, meskipun alasannya tidak logis, setidak logis pembenci di ajang pemilu pilpres.

Ia pernah mengatakan kepada saya dulu sekali, dan kini ia mengulanginya lagi. Semakin sering ia mengatakan, semakin benci saya dengan takdir saya sebagai manusia. Lebih enak jadi kucing, bisa selalu membenci dan tidak peduli. Cat always Hate.

“Saya akan jadi sepertimu, meskipun kita beda jenis.” Saya menggumam pelan.

“Miaauw,” balasnya dengan nada bass dan berwibawa.

“Ya, saya paham.”

Tak lama.

“WOY ORANG GILA!”

Tiba-tiba suara dari bawah memecah, si tetangga yang dulu dikejar kevin.

“Ngomong sama kucing lagi lo, gil? Stress lo!”

Suaranya semakin kencang, tidak peduli adzan sedang berkumandang.

“Miaaauw, miauw...miauw.” Kevin berucap, masih dengan nada berwibawa.

“Tapi mungkin dia lagi ada masalah, Vin. Makanya bertingkah begitu.” Balas saya. Hati saya kembali memaklumi. Dasar saya si lemah

Kevin tidak membalas lagi, tapi tatapannya mengunci, mengintimidasi, dan menegaskan saya harus berbuat apa. Saya sedikit salah tingkah dengan tatapan Kevin yang seperti itu. Seolah-olah saya satu-satunya yang bersalah di malam itu.

Saya pun menghela napas panjang, mencoba tidak membenci diri sendiri karena selalu memaklumi keadaan. Kevin benar, meskipun tidak berbicara, tapi ia benar. Dalam kehidupan nyata, ada kalanya kita memaklumi, ada kalanya kita harus membenci.

“Baiklah....” Saya pun menguatkan hati.

Sembari berdiri, saya menatap tajam dan menenung ke arah orang yang belakangan saya ketahui namanya Jongkok, panjangnya Aykiu Jongkok.

Agaknya Jongkok mulai salah tingkah, padahal saya pun belum berucap. Saya mengambil pecahan genteng sebesar ibu jari lalu membidiknya. Setelah akurasi dirasa tepat, dengan kekuatan penuh saya lemparkan ke Jongkok . Melesat cepat, keras, tajam, dan...salah sasaran. Malah terkena kaca mobil orang.

Jongkok mematung, tidak menyangka akan dilempar oleh orang gila ini. Ia pun segera berlari setelah melihat saya sedang mengambil ancang-ancang untuk lemparan kedua.

Saya menarik napas panjang, terduduk kembali di sebelah Kevin yang kini sibuk menjilati pantatnya.

“Lega sekali rasanya, Vin.”

“Puurrrrrrr...”

“Terimakasih, ya.”

“Purrrrrr...purrrr.” 

Kevin mendekat ke saya dan mulai menjilati wajah saya. Saya tidak tahu apa maksudnya, tapi saya kira itu semacam penghargaan untuk diri saya. Penghargaan karena saya sudah menjadi pribadi yang baru.

Ia menjilati wajah saya dengan sangat serius, padahal ia baru saja menjilati pantatnya sendiri.

“Puuuuurrrr...” Kevin menambahkan dan membelakangi saya, ekornya diangkat tinggi – tinggi, menghadapkan itu pantat ke wajah saya. Sebuah penghargaan tertinggi dari kucing untuk sahabatnya.

Dia tidak tahu kalau sayalah yang seharusnya berterimakasih kepadanya, karena dirinya,  malam ini hidup saya berubah, karena dirinya kini saya menjadi lebih berani, berani untuk membenci, terutama kepada mereka yang membenci saya duluan, dan juga berani untuk bertindak.

 Saya pun membuka celana dan memberikan pantat saya kepada Kevin sebagai tanda penghargaan.

Angkasa mulai meresapkan warna kemerahan ditengah gelapnya malam, pertanda akan hujan. Suam mulai melembapkan udara, lalu perlahan langit menitikkan air hujan. Kami berdua tetap pada posisi, saling memberi penghargaan dan menunggu siapa yang jilat duluan.

Kami pun menutup malam yang luar biasa itu dengan saling memantati.

 

 

 

 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)