Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,588
Kamar 304
Misteri

Aku, Yuda, tidak pernah percaya pada takhayul. Semua yang ada di dunia ini punya penjelasan logis, dan aku selalu berpikir begitu. Namun, semua yang kupahami tentang dunia berubah ketika aku mendapat tugas untuk menginap di sebuah hotel tua di pinggiran kota. Hotel itu bernama Grand Merdeka, bangunan peninggalan kolonial yang masih berdiri kokoh. Aku, seorang jurnalis lepas, dikirim oleh majalah tempatku bekerja untuk menulis tentang sejarah hotel ini. Sebuah tugas yang tampak sederhana: menginap satu malam, mewawancarai staf hotel, lalu menulis artikel. Tapi aku tidak tahu bahwa malam itu akan menjadi malam terpanjang dalam hidupku.

Setibanya di sana, aku disambut seorang resepsionis tua bernama Pak Rahmat. Ia menatapku dengan ekspresi aneh saat aku menyebut reservasi atas namaku. “Kamar 304, Pak Yuda?” tanyanya ragu. Aku mengangguk. “Iya, kenapa?” Pak Rahmat terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, Pak. Semoga malam Anda menyenangkan.”

Aku membawa koperku naik ke lantai tiga. Hotel ini memang kuno, namun masih memiliki aura keanggunan. Langit-langit tinggi, lampu gantung kristal, dan karpet merah tua di sepanjang lorong menambah kesan klasik. Kamar 304 terletak di ujung lorong. Aku membuka pintunya dan mendapati sebuah kamar luas dengan perabotan bergaya Eropa klasik. Ada ranjang besar, lemari kayu jati, dan jendela besar dengan pemandangan ke taman hotel yang sudah mulai ditelan bayang-bayang malam. Saat aku meletakkan koper, mataku menangkap sesuatu yang aneh. Di meja kecil dekat jendela, ada sebuah cermin tua berbingkai emas. Sekilas, tidak ada yang aneh. Namun, ketika aku menatap bayanganku di sana, rasanya ada sesuatu yang… salah. Aku mengabaikannya. Mungkin hanya kelelahan. Aku mengeluarkan laptop, mulai mengetik beberapa catatan tentang sejarah hotel ini, sampai sesuatu membuatku merinding.

Refleksi di cermin. Aku masih duduk di kursi, tapi bayanganku… bergerak sendiri. Darahku seketika membeku. Aku berbalik, memastikan tidak ada siapa-siapa di belakangku. Kosong. Tapi ketika aku kembali melihat ke cermin, refleksi itu masih di sana, menatapku. Bukan sekadar pantulan, tapi sesosok lain. Aku menelan ludah. Mungkin hanya ilusi optik. Aku bangkit untuk menutup laptop dan memutuskan untuk tidur lebih awal. Namun, saat aku mendekati ranjang, suara ketukan terdengar dari dalam lemari. Tok… tok… tok…

Jantungku hampir melompat dari dada. Aku menatap lemari itu dengan napas tertahan. Mungkin hanya suara kayu yang memuai? Dengan ragu, aku mendekat dan perlahan membuka pintunya. Kosong. Aku menghela napas lega. Namun, saat aku menutup lemari, mataku menangkap bayangan di cermin lagi. Kali ini lebih jelas. Seorang pria berdiri di belakangku dengan mata kosong, bibirnya menyunggingkan senyum yang tidak wajar. Aku berbalik dengan cepat, tapi tidak ada siapa-siapa. Keringat dingin mengalir di pelipisku. Aku bergegas ke pintu, ingin keluar dari kamar ini. Namun, saat tanganku menyentuh kenop, suara berbisik menggema di telingaku.

“Kau juga akan terjebak di sini… seperti aku.” Aku menoleh ke cermin dan melihat pria itu berdiri tepat di belakangku, lebih dekat, lebih nyata. Aku berteriak dan keluar dari kamar, berlari menuju resepsionis. Pak Rahmat menatapku dengan ekspresi yang sudah seperti menduga kejadian ini.

“Anda melihatnya?” tanyanya pelan. Aku mengangguk, masih terengah-engah. “Siapa… siapa dia?” Pak Rahmat menarik napas dalam. “Itu penghuni lama kamar 304, Pak. Seorang pria bernama Adrian yang ditemukan tewas di sana lima belas tahun lalu.” Aku merinding. “Bunuh diri?” Pak Rahmat menggeleng. “Tidak ada yang tahu pasti. Yang ditemukan hanya jasadnya di lantai, dan cermin itu… memantulkan bayangan yang tidak ada di dunia ini.”

Aku memutuskan untuk tidak kembali ke kamar 304. Aku tidur di lobi malam itu, ditemani secangkir kopi dan doa agar pagi segera datang. Saat matahari terbit, aku bergegas pergi dari hotel itu tanpa menoleh ke belakang.

Seketika sampai di kamar kos ku, aku membuka laptopku untuk melanjutkan artikel, mataku membelalak. Di layar laptop, tepat di sudut halaman kosong yang belum sempat kutulis, ada sebuah kalimat yang tidak pernah kuketik sendiri.

“Aku belum selesai denganmu.”

Aku terpaku menatap layar laptop. Jari-jariku gemetar, tidak berani menyentuh keyboard. Jantungku berdetak begitu kencang hingga terasa menghantam dadaku dari dalam. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin ada kalimat yang muncul sendiri di dokumen kosongku? Kepalaku langsung berputar ke segala arah, memastikan aku masih sendirian di kamar kos ku. Jendela tertutup rapat, lampu menyala terang, dan pintu terkunci dari dalam. Aku bahkan tidak membawa siapa pun pulang. Lalu, siapa yang menulis itu? Seketika, aku teringat sesuatu. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan keberanian untuk mengecek metadata dokumen di laptopku. Aku ingin tahu kapan tepatnya kalimat itu muncul. Jemariku dengan ragu membuka properti file. Matahari pagi sudah menyelinap masuk melalui celah gorden, tapi aku tidak merasa aman.

Lalu aku melihatnya. Waktu modifikasi terakhir: 04:03 pagi.

Darahku membeku. Pukul 04:03 pagi, aku sedang tidur di sofa lobi hotel, ditemani lampu remang-remang dan suara kipas angin yang berdecit pelan. Aku tidak menyentuh laptop sama sekali sejak semalam. Lantas, siapa yang menulisnya? Aku menelan ludah dan menutup laptop dengan cepat. Tidak. Ini tidak masuk akal. Aku mungkin hanya terlalu lelah, pikirku.

Aku memutuskan untuk mandi dan menenangkan diri. Namun, saat aku masuk ke kamar mandi dan berkaca di cermin, aku membeku lagi. Ada sesuatu di sana. Bukan bayanganku—tapi bayangan lain. Bayangan seseorang berdiri di belakangku. Refleksi itu hanya bertahan satu detik sebelum menghilang. Namun, itu cukup untuk membuatku mundur dengan panik, nyaris terpeleset di lantai kamar mandi yang basah. Aku tidak bisa mengabaikannya lagi. Aku harus kembali ke hotel itu.

Siang harinya, aku kembali ke Grand Merdeka. Aku tidak bisa bekerja atau berpikir jernih sejak kejadian pagi tadi. Saat aku tiba, aku langsung menemui Pak Rahmat yang sedang berdiri di meja resepsionis. Begitu melihatku, ekspresinya berubah.

“Anda kembali?” tanyanya dengan nada khawatir. “Aku perlu bicara dengan Anda,” kataku. Ia mengangguk, lalu mengajakku duduk di ruang santai kecil di dekat lobi.

“Sebenarnya… ada sesuatu yang tidak Anda katakan padaku,” ujarku, mencoba mengontrol nada suaraku agar tetap tenang. “Siapa sebenarnya Adrian? Kenapa dia masih… ada di sana?”

Pak Rahmat menatapku lama. Lalu ia menghela napas. “Saya tahu Anda akan bertanya tentang itu.” Ia menyesap kopinya sebelum mulai bercerita. “Adrian adalah tamu yang menginap di kamar 304 lima belas tahun lalu. Seorang jurnalis… sama seperti Anda.” Jantungku berdegup kencang.

“Dia datang ke sini untuk menulis tentang hotel ini, mencari tahu sejarahnya, dan… menemukan sesuatu yang seharusnya tidak dia temukan.” Aku menatapnya tajam. “Apa yang dia temukan?”

Pak Rahmat menatap lurus ke depan. “Sesuatu yang berusaha keluar.” Aku merinding. “Adrian menghilang tepat sehari setelah ia melihat sesuatu di cermin kamar itu,” lanjutnya. “Polisi hanya menemukan laptopnya terbuka dengan satu kalimat yang ditulis di sana.” Aku sudah bisa menebaknya.

“Aku belum selesai denganmu.”

“Jasadnya tidak pernah ditemukan,” lanjut Pak Rahmat, suaranya hampir berbisik. “Tapi beberapa tamu yang menginap di kamar itu setelahnya… mulai mendengar suara-suara, melihat bayangan di cermin, dan merasakan kehadiran yang tidak seharusnya ada.” Aku menggenggam lengan kursiku dengan erat.

“Tapi kenapa aku?” tanyaku. Pak Rahmat terdiam sesaat. Lalu ia menatapku dengan raut wajah yang sulit dijelaskan.

“Kami sudah lama menunggu seseorang yang bisa melihatnya sejelas Anda,” katanya. “Adrian belum pergi. Dia masih di sana… dan dia ingin Anda menggantikannya.” Aku terdiam.

“Gantikan?” aku mengulang kata itu pelan. Pak Rahmat mengangguk. “Kamar 304 membutuhkan seseorang untuk… menjaga apa yang ada di dalamnya.” Aku merasakan bulu kudukku meremang. Aku bangkit dari kursi dengan napas memburu. Ini semua gila. Aku harus pergi. Namun, sebelum aku bisa bergerak lebih jauh, suara Pak Rahmat menghentikanku. “Sudah terlambat.”

Aku menoleh ke arah cermin besar di sudut ruangan. Di sana, aku melihat diriku berdiri. Tapi ada yang salah. Aku tidak sedang tersenyum, tapi bayanganku… tersenyum lebar. Kemudian, dalam sekejap mata, dunia di sekelilingku berubah. Aku kini berada di dalam kamar 304 lagi. Dan dari luar, terdengar suara Pak Rahmat yang berbicara kepada seorang tamu baru di meja resepsionis.

“Kamar 304, ya?” tanya tamu itu. Pak Rahmat tersenyum tipis. “Semoga malam Anda menyenangkan.”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)