Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,476
Jalan Melati Nomor 12
Horor

Aku bekerja sebagai sopir taksi malam di kota ini. Bukan pekerjaan yang mewah, tapi cukup untuk membayar sewa kamar kos dan makan sehari-hari. Aku menyukai malam, karena suasananya lebih tenang meskipun kadang ada penumpang aneh yang naik ke mobilku.

Namun, malam ini berbeda. Jam menunjukkan pukul 23:45 ketika aku menerima pesanan terakhir sebelum pulang. Lokasinya di daerah yang agak terpencil, dekat dengan sebuah taman tua yang jarang dikunjungi orang-orang. Aku menghela napas. Pasti orang yang baru saja pulang dari pesta atau tempat nongkrong. Mobilku berhenti di titik jemput. Aku menoleh ke luar jendela, mencari penumpang. Sepi. Jalanan kosong, hanya ada deretan pohon besar yang berayun perlahan diterpa angin malam. Aku menunggu beberapa detik sebelum akhirnya seseorang muncul dari bayangan pepohonan.

Seorang wanita muda. Ia mengenakan gaun putih panjang, rambutnya tergerai hingga menutupi sebagian wajahnya. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara. Ada sesuatu yang aneh dengannya, tapi aku tidak mau berprasangka. Mungkin dia hanya kelelahan. Wanita itu masuk ke kursi belakang tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aku menoleh melalui kaca spion. “Mau ke mana, Mbak?” tanyaku. Ia terdiam sejenak, lalu dengan suara pelan menjawab, “Jalan Melati Nomor 12.”

Aku merasakan hawa dingin aneh mengalir di dalam mobil, tapi aku mengabaikannya. Aku mulai menyetir, membiarkan suara radio mengisi keheningan. Beberapa menit berlalu, dan aku mulai merasa ada yang tidak beres. Wanita itu sama sekali tidak bergerak, tidak memainkan ponsel, tidak bersandar, bahkan napasnya pun nyaris tidak terdengar. Aku melirik kaca spion lagi. Ia sedang menatapku. Jantungku hampir berhenti. Tatapannya kosong, dingin, dan tajam. Seperti sedang mengawasiku. Aku berusaha tetap tenang. “Mbak pulang kerja?” tanyaku, mencoba mencairkan suasana. Tidak ada jawaban. Aku mulai merasa gelisah, tetapi tetap fokus menyetir. Jalan Melati Nomor 12 tidak terlalu jauh, hanya sekitar lima belas menit perjalanan. Aku terus mengemudi, berharap segera sampai. Namun, saat aku berbelok ke sebuah persimpangan, aku melirik kaca spion lagi. Wanita itu sudah tidak ada.

Aku mengerem mendadak. Mataku membelalak. Kursi belakang kosong. Tidak ada suara pintu terbuka, tidak ada tanda-tanda dia turun. Dia… menghilang. Aku menoleh ke belakang, berharap ini hanya ilusi. Tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya kursi kosong dan udara dingin yang tiba-tiba menyelimuti tubuhku. Darahku membeku. Aku harus pergi dari sini. Aku tancap gas, mengabaikan segala kemungkinan logis yang bisa menjelaskan ini. Aku hanya ingin keluar dari tempat ini secepatnya.

Beberapa menit kemudian, aku akhirnya sampai di Jalan Melati Nomor 12. Dengan tangan gemetar, aku melihat rumah yang ada di alamat itu. Sebuah rumah tua, lampu di berandanya masih menyala redup. Aku turun dan mendekati pagar. Aku tidak tahu kenapa aku melakukan ini, tapi ada dorongan kuat dalam diriku untuk mencari tahu. Aku mengetuk pintu perlahan. Seorang pria tua membuka pintu. Ia menatapku dengan tatapan heran.

“Maaf, Pak,” kataku ragu. “Saya tadi mengantar seorang wanita ke alamat ini. Tapi… dia menghilang di jalan.”

Mata pria tua itu langsung melebar. Wajahnya mendadak pucat. “Wanita? Seperti apa dia?” tanyanya pelan. Aku menelan ludah. “Gaun putih panjang, rambut panjang menutupi sebagian wajah…”

Pria itu menarik napas dalam, lalu masuk ke dalam rumah. Ia kembali membawa sebuah bingkai foto. Ia menyerahkannya padaku dengan tangan gemetar. Aku melihat foto itu. Itu dia. Wanita yang naik ke mobilku tadi. Tapi… foto itu sudah berwarna kekuningan, tanda usianya puluhan tahun.

“Ini anak saya,” kata pria itu dengan suara bergetar. “Dia meninggal tiga puluh tahun yang lalu.” Aku mundur selangkah, tubuhku terasa lemas. “Dia… bunuh diri di taman itu. Sejak saat itu, banyak yang melihatnya berjalan sendirian di malam hari.”

Aku tidak bisa berkata-kata. Pria tua itu menatapku dalam. “Kau tahu apa yang lebih aneh?” bisiknya. Aku hanya bisa menggeleng. Pria itu menarik napas panjang sebelum menjawab,

“Tiga puluh tahun lalu… dia meninggal tepat pada malam ini. Malam tanggal 17 Maret.”

Aku langsung berlari ke mobil tanpa menoleh lagi. Aku menyalakan mesin dan melaju sekencang mungkin. Di kaca spion, aku melihatnya lagi. Ia tersenyum. Dan aku berteriak. Aku menekan pedal gas sekuat tenaga, napasku tersengal-sengal. Jalanan terasa begitu panjang, padahal aku hanya ingin segera keluar dari kawasan ini. Aku melirik kaca spion lagi. Kosong. Tidak ada siapa-siapa di kursi belakang. Tapi aku tahu aku tidak sedang sendirian. Rasanya ada sesuatu yang memperhatikan, menempel di leherku seperti bayangan yang tidak mau pergi.

Aku terus melaju, tidak peduli bahwa aku sudah melanggar batas kecepatan. Ketika akhirnya aku sampai di dekat kontrakanku, aku mengerem mendadak dan langsung keluar dari mobil. Aku tidak peduli mobilku masih menyala, aku hanya ingin berada di dalam kamar, di balik pintu yang terkunci. Begitu aku masuk, aku menghempaskan tubuhku ke kasur, mencoba mengatur napas. Tanganku masih gemetar. Aku memejamkan mata, mencoba meyakinkan diriku bahwa ini semua hanya ilusi. Hanya kelelahan. Namun, saat aku hampir tertidur…

Tok… tok… tok.

Seseorang mengetuk pintu. Jantungku mencelos. Aku menatap jam dinding. Pukul 00:03. Siapa yang datang selarut ini? Aku menelan ludah dan berjalan ke pintu. Dengan tangan gemetar, aku membuka sedikit celah, mengintip ke luar. Tidak ada siapa-siapa. Hanya lorong gelap dan udara dingin yang mengalir masuk. Aku menghela napas, berusaha berpikir logis. Mungkin angin. Mungkin hanya perasaanku. Aku menutup pintu kembali dan menguncinya rapat. Tapi begitu aku berbalik… Wanita itu berdiri di kamarku. Gaunnya lusuh, rambutnya menutupi wajahnya, dan tubuhnya tampak sedikit melayang di atas lantai. Aku ingin berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar dari tenggorokanku. Ia perlahan mengangkat wajahnya. Dan aku melihatnya. Matanya bolong. Kosong. Hitam pekat. Aku terjatuh ke lantai, tubuhku membeku. Ia melangkah mendekat. Suara berbisik keluar dari bibirnya yang membiru.

"Aku belum sampai rumah..." Aku tidak bisa bergerak. Napasku tercekat. Lalu semuanya menjadi hitam. Aku terbangun di dalam mobilku. Mesin mati. Jalanan sepi. Aku melihat ke sekeliling dengan panik. Ini… masih di taman tempat aku menjemputnya tadi malam. Bagaimana aku bisa kembali ke sini?! Aku mengusap wajahku, mencoba berpikir. Napasku masih berat, tubuhku masih berkeringat dingin. Aku mengambil ponsel, ingin mengecek waktu. Pukul 23:45. Mataku membelalak. Itu… waktu ketika aku pertama kali menerima pesanan tadi malam. Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Kemudian, aku mendengar suara pintu belakang mobil terbuka. Seorang wanita dengan gaun putih panjang masuk.

"Jalan Melati Nomor 12," katanya pelan. Aku membeku ketakutan.

Aku terjebak.

Dan kali ini, aku tidak yakin bisa keluar.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)