Masukan nama pengguna
JEJAK PADA SEKUNTUM MAWAR–BAB 02
“Jejakmu menebarkan harumnya mawar. Berbau khas layaknya parfum yang pernah dikenakan saat raganya masih di dunia. Kamu wanita pertamaku, memberi kehangatan dalam dinginnya duniaku ”
Ruang Hampa, 28 April 2023
Perlahan cuaca berubah sendu. Awan-awan bertiup bagai debu, bubarkan barisan pada tiap-tiap birunya nabastala, turut bersedih meratapi kepergian seseorang. Di bawah naungannya, beberapa gadis merintih, meratapi kepergian sosok yang sangat di sayangi.
“Tidak, aku gak percaya dengan kabar burung ini. Aku mungkin salah baca dan aku gak bisa terima, ini berita palsu!” Riani berteriak gusar, sesekali gadis kelahiran Febuari itu tampak menjawab rambutnya dengan keras.
Gadis itu seakan tak percaya dengan informasi yang telah dia terima dari seseorang. Hatinya hancur usai membaca dua kalimat yang menjelaskan bahwa sahabatnya sudah berpindah ke alam lain.
Genangan demi genangan telah mengaburkan pandangannya, dibalik rasa sedih yang menghujam, dia memaksan diri untuk menelpon teman-teman yang lain.
Lagi-lagi tangis pecah saat gadis yang berada di seberang sana melayangkan protes, seolah tak mempercayai kabar duka yang telah mereka terima melalui via broadcast.
Usai memberi kabar kepada teman-teman yang lain, Riani memutuskan untuk mengurung dirinya di kamar hingga seharian itu dia tak menyentuh makanan dan mogok minum obat.
“Apakah thalasemia menghancurkan segalanya?”
“Menghancurkan asa, pendidikan, perjalanan menuju karir, dan cinta? Aku harus bagaimana? Mengapa satu persatu temanku Engkau ambil?” Gadis itu tak henti merintih.
Berharap dapat memutar waktu, dan mengulang semua kenang-kenang yang telah di lalui. “Andaikan mesin waktu benar-benar nyata, aku ingin kembali memutar kenangan lama. Saat aku merasa bahagia dengan orang-orang yang telah pergi ke dunia lain.”
“Tapi semua semu dan berujung menyakitkan. Mustahil untuk menemukan mesin waktu yang hanya fatamorgana.”
Usai begelut dengan dirinya sendiri, gadis itu menenggelamkan wajahnya hingga akhirnya dia tertidur karena lelah dengan pikirannya. Di dunia mimpi Riani kembali dipertemukan dengan orang-orang yang sudah lama tiada.
Riani kebingungan saat berada pada dimensi lain. Berlari kesana kemari, dengan peluh yang terus mengucur pada tiap-tiap lekuk tubuh. Napasnya terengah-engah, menopang kedua tangannya pada tempurung lutut. Berusaha mengendalikan diri. Perasaan sedih, takut dan amarah berpadu menjadi satu dalam lelahnya.
Kedua netranya terbelalak kala melihat sosok teman-teman yang sangat di cintainya. Wajah-wajah itu memancarkan cahaya, tak seperti saat mereka berada di dunia manusia.
Sosok tersebut mendekatinya, membuat Riani menghindar. Dengan cepat sosok itu merengkuh pergelangannya, membuat gadis itu terkejut saat di sentuh makhluk lain.
“Jangan takut, Riani. Ini aku Chessa,” ucap gadis itu. Senyuman masih tersungging di bibirnya. Mengingatkan Riani akan perihal sahabatnya yang baru saja berpulang.
Gadis kelahiran Febuari itu mendekat, rasa takut hilang seketika saat mendengar nama itu. Nama yang sangat dia rindukan. Dengan lamban dia merengkuh wajah cantik itu, lalu menumpahkan air mata.
“Chesa, ini beneran kamu?”
Gadis itu mengangguk, memegang telapak yang tengah menangkup wajah cantiknya. “Iya, ini aku Chessa sahabat kamu. Teman yang ingin bertemu denganmu untuk terakhir kalinya.”
“Chessa, aku rindu. Aku ingin pergi bersamamu,” ucap Riani. Sayangnya, gadis itu memundurkan langkahnya, menyiptakan jarak antara keduanya. Gadis itu menggeleng.
“Enggak, Riani. Kamu tidak boleh pergi bersamaku, masih ada seseorang yang harus kamu temui dan kamu berhak bahagia,” ucapnya pada tiap-tiap tangis. “Aku tahu saat ini kamu mencintai seseorang, dan aku mohon jangan bersikap labil dalam mencintai.”
“Riani, cintai pangeranmu dengan hati. Jangan hanya mengandalkan logika, aku tahu banyak perubahan positif yang terjadi padamu selama kamu bersamanya. Meski akhirnya hubungan itu berakhir kandas.”
“Perjuangankan dia, dan tolong jangan membuat kesalahan yang sama seperti apa yang aku lakukan. Jika berpacaran saja kamu takut berkomitmen apalagi jelang pernikahan nanti.”
Usai mengatakannya, gadis itu terisak, dia kembali mendekat. Memberi mawar putih yang datangnya entah darimana. Setelahnya gadis berpesan.
“Jaga adik-adik kita, teruslah menjadi motivator untuk mereka. Percayalah, mereka membutuhkan kamu. Jangan berpikir negatif pada diri sendiri, aku tahu kamu bisa dan kamu kuat.”
“Aku berharap suatu saat nanti kamu dipersatukan kembali dengan pria yang kamu cintai,” ucap Chessa dengan senyuman yang masih menghiasi bibirnya. Sedangkan Riani terbungkam, menatap tak percaya dengan apa yang tengah terjadi.
Perlahan sosok Chessa menghilang bersama teman-temannya yang berubah menjadi sekelebat bayangan putih, membuat Riani kembali terjaga dari tidurnya dan mendapati sekuntum bunga mawar di meja belajarnya.
Gadis itu meraih sekuntum mawar yang berada di atas meja belajarnya. Derai air mata, tak henti berjatuhan membasahi wajah, perlahan kilas-kilas masa lalu kerap membayang di pemikirannya.
“Chessa, kenapa kamu pergi ninggalin aku? Aku butuh kamu, aku gak bisa berjuang sendirian buat adik-adik kita. Aku enggak bisa menjadi motivator buat mereka.”
“Sementara aku masih sulit mengendalikan emosiku, aku enggak bisa, Chessa.” Riani mencium mawar putih itu hingga kedua indera pendengarannya menangkap sebuah suara yang berasal dibalik pintu kamar.
Bergegas Riani menyeka air matanya, mencoba merespon seseorang yang sedang mengetuk pintu kamarnya.
“Iya, sebentar!” respon Riani dari luar. Gadis kelahiran Febuari itu memutar kenop pintu hingga memunculkan sosok sepupunya di sana.
Gadis yang bernama Fania itu menerobos masuk, sekilas dia melirik ke arah mawar cantik itu. Lalu merengkuhnya dengan penuh kagum. “Cantik banget bunganya, Ri.”
“Tumben kamu mau nyimpan bunga?” tanya gadis berpenampilan modis itu.
“Enggak, bukan aku yang beli. Kamu kan tahu aku enggak suka bunga. Mana mungkin aku mau buang uang percuma,” sinis Riani.
“Lah, terus ini apa? Bunga ini datang dari mana kalau bukan kamu yang beli,” tanya sang sepupu.
“Itu bunga dari Chessa, sebelum kamu masuk dia ngasi jejak bunga ini ke aku,” sahut Riani apa adanya.
Gadis itu sama sekali tidak berbohong. Sedangkan Fania terbelalak mendengar ucapan sepupunya. “Why? Chessa? Bukannya teman kamu itu sudah meninggal kemarin, Kak? Masa iya sih dia ke sini nemuin kamu?”
“Jangan halu deh, gak heran kalau kamu jomblo sampai sekarang. Orang kamunya halu,” tegas Fania.
“Siapa yang halu sih? Orang dia ada, dia lagi marah tuh, kamu nyebut-nyebut nama dia.” Riani mengacungkan telunjuknya ke arah pintu yang terbuka dengan lebarnya.
Fania pun mengedar pandangannya ke arah tersebut hingga gadis itu tak melihat apapun, selain tembok pembatas ruangan.
Riani menghela napas, mencoba menawarkan gadis itu untuk membuka mata batinnya. “Kamu mau lihat? Kalau mau aku bisa buka mata batin kamu, kalau kamu enggak percaya sama aku, kamu harus bisa buktikan sendiri.”
Fania mengangguk, kali ini dia merasa tertantang hingga akhirnya dia nekat membuka mata batinnya. “Oke, siapa takut? Paling juga kata-kataku terbukti, bahwa kamu orangnya suka halusinasi.”
“Baik, aku buka sekarang. Sini!” titah Riani, gadis itu pun melangkah maju mendekati Riani. Gadis itu mengerahkan tenaga dalamnya dan membawa mantra hingga akhirnya mata batin Fania terbuka.
“Sekarang buka mata kamu perlahan, dan coba lihat ke arah pintu kamar. Kamu akan berkenalan dengan teman di dunia lain.” Riani memberikan arahan kepada sang sepupu hingga akhirnya gadis itu menjerit ketakutan saat melihat sosok Chessa tengah berdiri di ambang pintu.
“Aaaaagggggrrrrhhhh!”