Masukan nama pengguna
Sepasang pengantin baru sedang berbincang santai di kamarnya. Di sela perbincangan itu tiba-tiba sang suami menggagas sebuah ide.
“Yang, kita bikin perjanjian yuk!”
“Perjanjian? Sang istri berpikir sejenak, “perjanjian apa?”
“Begini, kalau suatu hari Allah memberi kita anak, lalu kamu hamil, begitu anak kita lahir dan ketahuan jenis kelaminnya, di situlah perjanjian ini dimulai.”
“Maksudnya?” Si istri yang masih belum mengerti, lanjut bertanya.
“Maksudnya, kalau anak kita lahir laki-laki, mulai dari memberi nama, menentukan di mana sekolah dan cita-citanya, itu adalah hak mutlak milikku. Sebaliknya, bila anak kita lahir perempuan, boleh deh, terserah padamu mulai dari namanya juga,” pungkas si suami.
“Apa ini termasuk gantiin popok, begadang malam serta nyuciin baju-bajunya juga?” Mata istrinya mulai berbinar menandakan antusias dengan perjanjian itu.
“Boleh! Siapa takut?”
Beberapa bulan berlalu sejak janji itu dibuat. Sampai suatu hari si istri hamil. Keduanya begitu gembira dengan hal itu. Hari demi hari yang mereka lalui terasa lambat. Mereka pun memilih untuk tidak mengetahui jenis kelamin anak mereka sejak awal dan membiarkannya sebagai kejutan di hari kelahirannya nanti.
Akhirnya hari yang dinanti-nantikan itu tiba. Si istri mulai merasakan mulas dan sakit akibat kontraksi yang semakin lama terasa semakin sakit.
Semua saudara, teman dan kerabat yang ikut bersuka cita ingin menyambut kelahiran anak pertama dari pasangan itu mengawal hingga ke rumah sakit.
Di ruang bersalin, dokter serta beberapa perawat membantu si istri berjuang untuk melahirkan si anak dengan selamat. Hingga suara tangisan keras dari sang bayi yang terdengar bagai nyanyian paling merdu bagi kedua orang tuanya, menandakan perjuangan mereka telah berhasil.
Bayi itu dibawa ke hadapan ayahnya untuk diazani. Lalu dikembalikan pada dokter agar diberi perawatan seperlunya sebelum diberikan pada ibunya.
Si suami yang kini telah menjadi ayah baru, kembali berkumpul di ruang tunggu bersama teman-temannya.
“Laki-laki atau perempuan?”
“Alhamdulillah, laki-laki!” jawab si ayah baru dengan wajah yang sangat antusias. Dia begitu bersemangat membayangkan semua hal yang akan dilakukan pada anaknya itu. Dia akan menikmati hari-hari yang menyenangkan mulai dari memberi nama, yang memang telah disiapkan jauh-jauh hari, merawat dan memandikan si kecil dan mempersiapkan semua kebutuhannya.
“Namanya siapa?” tanya salah seorang teman. Si ayah baru, mesem saja. Dia masih merahasiakan nama anaknya yang akan jadi pengumuman tersendiri pada waktu yang menurutnya tepat.
“Gimana kalau namanya Gonzales, biar jadi pemain bola hebat! Biar saja ayahnya hanya pemain bola amatir, mudah-mudahan nanti anaknya bisa jadi pemain bola yang hebat seperti si Gonzales, atau Bachdim bagus juga itu,” usul teman yang lain.
“Mending Ronaldo mah, kalau memang mau yang hebat!” celetuk yang lain lagi.
Sang mertua yang tak lain adalah ayah kandung dari si istri, demi mendengar nama-nama yang “tak becus” menurutnya langsung bereaksi. Terlebih karena melihat menantunya hanya diam saja.
“Nama itu adalah doa! Jangan asal-asalan dalam memilihnya. Biar aku saja yang memberi nama cucuku!”
Si ayah baru yang dari tadi wajahnya berseri-seri tiba-tiba menjadi muram. Sedangkan sang mertua segera beranjak ke ruang rawat inap tempat anak perempuannya berada.
Begitu melihat ayahnya, anak perempuannya yang telah menjadi ibu baru itu, terharu. Terlebih lagi, ayahnya itu, walau sudah sangat tua dan mulai sakit-sakitan semenjak istrinya meninggal, bersedia datang jauh-jauh untuk melihat kelahiran cucunya. Kini dia tahu, bagaimana perasaan suka cita orang tuanya itu ketika dia lahir ke dunia ini. Pastilah, ayah ibuku dulu juga sebahagia kami ini saat aku lahir.
Namun dia tidak menyadari, apa yang telah terjadi di luar sana sampai saat ayahnya mendekat, lalu berkata dengan tegas, “ayah sudah melihat anakmu tadi dan sekaligus memberinya nama: Ibrahim Hanif!”
“Tapi, ayah ....”