Cerpen
Disukai
3
Dilihat
10,665
Hujan Di Hari Jumat
Drama

Langit terlihat berawan dan petir mulai bergemuruh, di sekolah pepohonan melambai ke sana kemari dengan berirama, yang mempertandakan bahwa hujan akan segera datang. Bel istirahat berbunyi, “Wan, kantin yo,” ujar Andre yang mengajak Ridwan.

“Ayo, sebentar tapi,” ujar Ridwan yang menutup bukunya.

Mereka berjalan menyusuri lorong sekolah, "masih jam segini udah mau hujan aja,” ujar Ridwan yang menatap langit.

Sesampainya di kantin mereka memesan dua nasi rames dan dua es teh. Setelah pesanan jadi mereka mencari kursi untuk menyantap makanan dan minuman. “Eh Wan,” ujar Andre.

“Apa?” jawabnya sembari minum es teh.

“Ngomong-ngomong nih nasi enak juga,” ujar Andre sembari tertawa.

“Lah baru tahu,” ujar Ridwan yang bangun dari kursinya dan mengembalikan piring serta gelas ke ibu-ibu kantin.

Bel masuk berbunyi, mereka kembali ke kelas untuk melaksanakan pelajaran kembali. Air dari langit turun dengan deras membuat sekolah tergenang air, angin masuk ke dalam sela-sela jendela yang membuat seisi kelas terasa dingin. Langkah kaki terdengar dari luar kelas pintu diketuk olehnya, “Permisi bu,” ujar pak guru bk.

Bu guru berjalan ke pintu kelas, “Oh iya pak ada apa?” tanya nya.

“Ini Bu saya ingin mengabarkan sesuatu untuk Ridwan,” jawab pak guru bk.

“Kabar apa pak memangnya?” tanya Bu guru yang begitu penasaran.

“Jadi Bu, tadi sehabis bel masuk keluarga nya Ridwan menelepon sekolah bahwa ayah nya meninggal dunia,” jelas pak guru bk.

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, ya sudah saya panggil Ridwan dulu pak,” ujar Bu guru ya kaget dengan apa yang dikabar kan.

Bu guru masuk kembali ke dalam kelas dan memanggil Ridwan untuk ke luar kelas. Ridwan bangun dari kursinya merasa bingung kenapa dia dipanggil. Pak guru pun memberitahu kabar itu dan membuat Ridwan yang sontak kaget. Dirinya berusaha menelepon ibunya tetapi tidak diangkat. Di hari Jumat ini hujan tiba-tiba datang lebih deras dan petir bergemuruh begitu kencang, Ridwan berlari meninggalkan kelas melewati lorong sekolah untuk pergi ke parkiran dengan perasaan yang campur aduk. Sesampainya Ridwan mengambil motor dan memakainya.

Di tengah hembusan angin yang cukup kencang, dipacu motor vespanya dengan kecepatan cukup tinggi, tidak peduli dengan air mata yang jatuh. Butiran-butiran air yang lembut mulai turun dari langit. Butiran air yang menghantam muka terasa bagai kerikil yang tajam, tetapi tak dipedulikannya. Sesampainya, Ridwan melihat banyak orang yang datang ke rumah nya, bendera kuning terpampang di sana. Suara tangisan dari sang ibu terdengar hingga ke luar, bergegas masuk ke dalam rumah. Melihat keadaan itu semua sekujur tubuh Ridwan terasa lemas, air mata tiba-tiba keluar begitu banyak sontak Ridwan memeluk sang Ayah yang sudah dikafani nya. Air mata itu benar-benar keluar begitu banyak, ibu yang berusaha menangani Ridwan. Jenazah diangkat dimasukkan nya ke dalam keranda, dibawa menuju tempat peristirahatan. Hujan begitu deras digali tanah nya itu oleh Ridwan yang masih meneteskan air matanya dan digunakan nya seragam sekolah itu, jenazah diangkatnya dan didoakan.

Suara jangkrik terdengar di sana, sisaan tetesan air hujan jatuh dari atas genting, dan lantunan ayat-ayat suci terdengar begitu keras dari dalam rumah. “Terima kasih pak sudah datang mendoakan ayah saya,” ujar Ridwan kepada pelatih renang nya yang datang untuk tahlilan.

“Iya sama-sama Wan. Tetap semangat ya dan jagalah ibu serta adikmu itu, kamu satu-satunya anak laki-laki di keluargamu,” ujar pelatih sembari memegang pundak Ridwan.

“Iya pak, sekali saya berterima kasih sama bapak,” ujarnya.

Malam hari terasa dingin, di dalam kamar Ridwan menatap langit-langit kamarnya sembari mengingat-ingat masa-masa nya bersama sang ayah. “Yah, kenapa pergi duluan si? Katanya ayah ingin melihat Ridwan menjadi atlet renang yang terkenal, bukannya seperti itu yah. Ridwan merasa takut untuk menghadapi dunia tanpa mu. Apa ayah tidak sedih melihat keadaan Ridwan, ibu, dan adik tanpa kehadiranmu lagi?” ujar Ridwan yang meneteskan air matanya itu.

Keesokan paginya, suara motor terdengar dari luar rumah, “assalamualaikum Wan,” ujar Andre dan Banyu.

“Waalaikumsalam, eh Andre sama Banyu. Ada apa kalian datang kesini?” ujar Ridwan yang menyuruh mereka untuk masuk ke dalam rumah.

“Ini Wan kita mau nganterin tas sama barang-barangmu yang kemarin ditinggal,” ujar Andre sembari memberikan tas dan barang-barang tersebut.

“Oh iya terima kasih banyak ya Andre Banyu,” ujar Ridwan.

“Iya sama-sama Wan. Oh iya kita turut berduka cita wan atas meninggal nya ayahmu, kami harap kamu dan keluargamu diberi ketabahan,” ujar Banyu.

“Iya, terima kasih ya,” ujar Ridwan.

Ibu pun datang membawakan dua cangkir teh dan cemilan, “ini diminum dulu tehnya keburu dingin nanti,” ujar ibu sembari menaruhnya di atas meja.

“Iya bu, maaf jadi merepotkan saja,” ujar Andre.

“Sudah, tidak apa-apa. Diminum ya ibu mau ke belakang dulu,” ujar ibu yang menuju ke belakan untuk mencuci baju.

“Oh iya Wan, gimana latihanmu?” tanya Banyu sembari memakan biskuit.

“Tidak tahu,” ujar Ridwan.

“Lah kok tidak tahu, bukan nya sebentar lagi kamu akan mengikuti PON ya?” tanya Andre yang heran.

“Entahlah belum kupikirkan,” jawabnya.

Adzan dzuhur berkumandang, Ridwan dan temannya segera menuju ke masjid untuk melaksanakan salat zuhur. Hari terus berlalu dan tibalah hari Kamis, “eh nyu,” ujar Andre yang memukul pundak Banyu.

“Hah apa?” tanya Banyu yang sibuk dengan ponsel nya.

“Udah mau seminggu ini kok Ridwan belum berangkat sekolah ya,” ujar Andre yang bertanya-tanya.

“Ya mana aku tahu. Di wa aja coba,” ujar Banyu.

“Sudah ku wa tapi centang 2,” ujar Andre yang melihat ponsel nya.

“Ya sudah ditunggu aja Ndre. Eh iya nanti pulang sekolah beli bakso yuk yang dekat stasiun itu,” ujar Banyu.

“Ayo aja kalau aku mah,” ujar Andre.

Bel masuk pun berbunyi, mereka menuju ke kelas untuk melakukan pembelajaran. Waktu terus berjalan dan bel pulang berbunyi, “Banyu, jadikan makan bakso,” ujar Andre sembari membereskan buku nya.

“Jadi dong,” jelas Banyu.

Mereka pun menuju ke parkiran untuk mengambil motor, berangkatnya mereka melewati kerumunan siswa-siswi yang sedang mengantri mengambil motor.

Sesampainya, motor diparkirkan di depan gerobak persis, “pak, pesan baksonya dua sama es teh dua ya,” ujar Banyu sembari melihat-lihat kursi untuk mereka tempati.

Pesanan mereka pun datang, asap dari mangkok terlihat jelas di sana. Makannya bakso itu, beberapa menit kemudian Andre melihat seorang laki-laki yang tengah mengelap meja di restoran seberang sana. Laki-laki itu persis sekali dengan Ridwan, berbadan tinggi, berambut cepak, memakai sepatu berwarna coklat, dan menggunakan celemek. “Eh nyu, itu bukan nya Ridwan,” ujar Andre sembari menunjuk laki-laki tersebut.

“Eh iya, Ridwan berarti selama ini tidak berangkat sekolah karena bekerja di restoran,” ujar Banyu yang melihat laki-laki itu.

“Apa kita hampiri saja itu Ridwan?” tanya Andre sembari mengunyah bakso.

“Jangan Ndre, kasihan kalau kita hampiri. Besok saja kalau Ridwan sudah berangkat sekolah kita tanyakan,” jelas Banyu.

Mereka pun selesai makan dan menuju untuk pulang. Keesokan harinya di sekolah, “Andre, kamu tahu tidak Ridwan belakangan ini tidak masuk kenapa? Soalnya kemarin ibu wa ibunya Ridwan katanya Ridwan berangkat sekolah,” tanya Bu guru yang begitu penasaran.

“Ehh itu bu kemarin saya sama Banyu pulang sekolah liat Ridwan lagi kerja di restoran gitu bu,” jelas Andre.

“Kerja? Ya sudah kalau begitu terima kasih ya Ndre,” ujar bu yang langsung meninggalkan Andre dan menelepon ibu Ridwan. Ibu pun datang ke sekolah dan Bu guru menjelaskan apa yang sudah diberi tahu Andre.

Sore hari menjelang malam, suara motor vespa terdengar dari luar sana, dibukakannya pintu rumah oleh ibu. “Baru pulang?” tanya ibu sembari menatap Ridwan.

Ridwan melewati ibunya yang tengah berdiri di depan pintu, “Ridwan, ibu mau ngomong sama kamu,” ujar ibu yang menutup pintu rumah.

“Mau bicara apa bu?” tanya Ridwan menuju ke kamarnya dan menaruh tas di atas kursi belajarnya.

“Kamu selama minggu ini tidak sekolah bukan? Kamu bekerja kan Ridwan,” ujar ibu sembari memegang pundak.

“Kalau iya memang kenapa?” tanya Ridwan yang menepis tangan sang ibu.

“Untuk apa kamu bekerja? Tugasmu itu cuma belajar Ridwan bukan bekerja, paham tidak kamu,” ujar ibu dengan nada tinggi sembari menatap mata sang anak.

“Bu, Ridwan juga ingin membantu ekonomi keluarga ini. Semenjak ayah meninggal ekonomi kita menurun bu. Sedangkan anak laki-laki di rumah ini hanya Ridwan bu,” ujar Ridwan dengan nada tinggi.

“Ibu tahu kamu anak laki-laki di rumah ini, bukan berarti kamu melakukan hal itu. Ibu masih ada Wan, ibu juga masih bisa mencari uang untuk keluarga ini. Ibu cuma ingin kamu fokus dengan masa depan mu itu saja Ridwan. Apakah kamu tidak mengingat bagaimana dengan keinginan ayahmu Wan, dia ingin melihat menjadi seorang atlet renang yang terkenal, apa kamu tidak ingat? ” ujar ibu dengan nada yang sedikit terisak.

Ridwan yang mendengar itu semua menepiskan wajah dari ibunya dan pergi ke luar kamar. Air sedikit demi sedikit jatuh dari langit, Ridwan duduk di teras depan rumah sembari mengingat atas percakapan ibunya tadi, membayangkan bagaimana dirinya bersama ayah yang membahas mengenai masa depannya untuk menjadi atlet renang yang terkenal. Keesokan harinya, suara langkah kaki terdengar dari luar sana berjalan menyusuri lorong-lorong sekolah. “Weh, Ridwan udah berangkat lagi," ujar Andre yang melihat ke Ridwan menaruh tas nya dan ingin pergi keluar.

“Eh Wan, mau ke mana pagi-pagi gini?” tanya Banyu yang penasaran.

“Kamar mandi. Mau ikut?” yanya nya sembari berjalan ke luar kelas.

Bel masuk berbunyi, semua siswa-siswi melaksanakan pembelajaran dengan tertib. Di sore harinya selepas pulang sekolah Ridwan pergi untuk latihan renang di klubnya. “Eh Wan, akhirnya berangkat juga.” ujar pelatih.

“Iya pak, kemarin ada urusan jadi tidak berangkat,” jawab Ridwan sembari menaruh tas nya di dalam loker.

“Urusan apa Wan?” tanya pelatih sambil menatapnya.

“Bukan apa-apa pak,” jawab singkat Ridwan yang sedang melakukan pemanasan.

“Sudah cerita saja, tidak apa-apa kok Wan,” ujar pelatih.

Ridwan berjalan mengarah ke pelatih dan duduk di samping nya. Menceritakan tentang ibunya dan keinginan sang ibu. Pelatih yang mendengar itu semua merasa setuju dengan ibunya, karena dia tahu bahwa Ridwan memiliki potensi yang baik di dunia renang sehingga renang itulah masa depan nya nanti. Waktu demi waktu, hari demi hari, bulan demi bulan, sudah tidak terasa tibalah hari Jumat yang di mana merupakan pelaksanaan pertandingan PON bagi Ridwan. Suara terdengar keras dari atas tribune, mendukung Ridwan sebagai perwakilan dari Jawa Tengah. Pertandingan dimulai, semua nomor dada diambilnya. Kini nama itu tersebut di atas podium satu, lima medali emas telah disabet olehnya, betapa bahagia nya sang ibu melihat anaknya yang telah mendapatkan kejuaraan itu, air mata terus berderai di sana. Di dalam hati Ridwan berkata, “ayah lihatlah anakmu ini mendapatkan banyak sekali medali emas dan selangkah lagi Ridwan akan menjadi atlet terkenal yah. Ridwan berharap ayah bisa melihat Ridwan dari sini, ikut merasa senang atas keberhasilanku. Yah tolong doakan Ridwan, ibu, serta adik di sana. Terima kasih yah saat masih hidup, engkaulah idolaku, semangatku untuk menghadapi dunia ini. Ridwan sayang ayah,” ujar Ridwan yang sembari menyanyikan lagu Indonesia Raya dan air mata menetes begitu banyak.

Dari kisah yang berjudul “Hujan Di Hari Jumat” dapat diambil pesan bahwa, jika kita ditinggal orang tercinta bukan berarti harus menyerah untuk menjalani hidup dan mengejar masa depan, karena sejatinya sesuatu masih ada selama ada seseorang di sekitarnya untuk mengingatnya. "Hidup adalah serangkaian perubahan alami dan spontan. Jangan melawan mereka itu hanya menciptakan kesedihan. Biarkan kenyataan menjadi kenyataan. Biarkan segala sesuatu mengalir secara alami ke depan dengan cara apa pun yang mereka suka." - Lao Tzu


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)