Cerpen
Disukai
2
Dilihat
4,560
Hari Bertengkar dengan Ibu
Drama

Setiap kali aku harus bertengkar dengan ibu, aku takut menjadi anak durhaka yang kena tulah kutukan ibu kandungnya. Aku terlalu sering mendengar ajaran tentang betapa mengerikannya menjadi anak durhaka. Lebih-lebih semenjak aku bisa bicara dan mampu membantah kata-kata ibu dengan argumenku sendiri.

Menjelang usia remaja, aku pernah beberapa kali menentang keputusan ibu soal perkara hidupku sendiri yang sejatinya adalah hak prerogatifku sebagai pemilik tubuh dan jiwa. Kala itu aku berpikir bahwa ketika seorang anak sudah mencapai usia dewasa dan matang secara emosional, dia akan terlepas dari kungkungan orangtua. Lebih-lebih jika si anak yang malang itu sudah mampu menghasilkan uang sendiri sehingga dia tidak perlu bergantung pada dompet milik orang tuanya sendiri.

Hanya saja, uang hasil keringatku sendiri harus aku bagi dengan ibu. Pada dasarnya aku bukan seorang anak yang pelit dan tak mau berbagi dengan orang tua sendiri. Bagiku, adalah hal yang wajar jika aku bisa berbagi sedikit rezekiku kepada ibu mengingat tersebab air susunyalah aku bisa tumbuh besar seperti ini. Ibuku pula yang merawatku sampai aku benar-benar bisa mandiri seperti sekarang.

Hanya saja ibu tidak pernah memahami kegundahanku. Ibu selalu begitu. Dia tidak pernah memahami apa yang anaknya ini rasakan. Dia terlalu egois dan hanya memikirkan bagaimana dia bisa bersenang-senang dan anaknya mau tidak mau harus mengamini semua hal yang menyenangkan hidupnya. Aku harus manut pada apa yang dia lakukan, pikirkan, rasakan dan ucapkan. Termasuk dalam urusan uang.

'Tolong transfer Ibu uang. Sekarang. Ibu butuh banget.' Begitulah biasanya dia mengirim pesan singkat lewat WhatsApp.

Satu dua kali aku tidak pernah bertanya untuk apa uang itu digunakan. Kupikir, mungkin uang bulanan yang selalu aku kirimkan kurang. Maka kutransfer uang itu tanpa perlu mengharap ucapan terimakasih. Karena memang ibu tidak pernah mengatakannya. Mengirim uang itu sudah kewajiban anak sehingga tidak perlu repot-repot berterimakasih. Begitu, bukan?

Tapi, lama-lama aku heran juga karena sering sekali ibu meminta ditransfer dengan nominal ratusan ribu di setiap pekannya. Ini tentu di luar uang bulanan untuk belanja yang aku berikan.

'Uang buat apa, Bu?' tanyaku untuk pertama kalinya.

'Buat beli panci.'

'Bukannya panci kita masih bagus, Bu. Bahkan. Panci terakhir yang ibu beli juga belum disentuh.' Ah, terpaksa aku harus mengatakan hal ini setelah khatam menonton serial film dokumenter soal hidup minimalis.

'Yang ini pancinya lucu,' jawab ibu. 'Cepetan tranfser ya. Soalnya livenya sebentar lagi berakhir. Mumpung diskon,' pungkasnya.

Aku menghela napas panjang. Dengan agak berat hati aku mentransfer ibu uang hanya untuk membeli panci yang katanya lucu itu. Aku berani bersumpah, panci itu hanya akan membuat ruangan dapur rumah ibu semakin sumpek.

Di lain kesempatan, ibu kembali meminta, meminta dan meminta. Aku kembali bertanya dengan kalimat yang sama, 'Untuk apa?'

'Untuk beli daster.'

'Untuk beli taplak meja.'

'Untuk beli cangkir cantik.'

Dan pada akhirnya aku hampir gila oleh kebiasaan ibuku yang selalu meminta uang tanpa alasan yang jelas. Aku juga hampir sepenuhnya gila ketika aku tahu ibu telah menyembunyikan aib-aibnya dariku. Tapi aku punya cara untuk mengetahui aib-aib ibu. Ah, andai saja almarhum Bapak tahu bagaimana kelakukan Ibu, sudah pasti Bapak semaput.

Kecurigaanku ini berpangkal pada permintaan ibu yang diluar kebiasaan. Dia memintaku untuk mentransfer uang untuk membeli alat kosmetik dan skincare ini dan itu. Pada mulanya aku merasa heran, karena selama ini ibu tidak pernah memakai alat kosmetik atau skincare.

'Memangnya ibu tidak boleh perawatan? Memangnya merawat kulit dan muka itu hanya monopoli kaum muda seperti kamu?' begitulah jawaban ibu ketika aku bertanya.

Kecurigaanku pada ibu semakin memuncak ketika dia meminta ditransfer empat juta. Untuk apa, tanyaku. Ibu bilang dia ingin berbisnis dan butuh modal untuk itu. Bisnis apa? Aku masih bertanya. Ibu bilang bahwa dia dapat tawaran bisnis reseller baju dari sebuah agen produsen baju muslim. Aku percaya saja dan langsung mengirimi ibu uang. Hanya saja, aku merasa heran karena aku tidak melihat ibu membeli baju untuk dia jual. Dia juga tidak pernah melakukan packing untuk pelanggan-pelanggan yang membeli bajunya. Ketika kutanya tentang itu, ibu marah dan menganggapku banyak tanya.

Kupikir, tidak ada salahnya jika aku memata-matai ibuku sendiri. Pasti ada yang tidak beres dengan ibu. Aku teringat bahwa ibu pernah log in Facebook di laptopku. Siapa tahu aku bisa menemukan sesuatu di Facebook-nya. Aku mulai membuka laptop dengan menggunakan akun ibuku. Bahkan email ibu pun ada di laptopku. Sayangnya aku tidak menemukan apa pun yang mencurigakan. Upaya kedua, aku mencoba menyadap WhatsApp ibu lewat laptopku sendiri. Kupinjam hape ibu dengan alasan memindahkan foto-foto punyaku dan dari situ aku mencoba menyambungkan nomor WhatsApp ibu dengan WhatsApp web di laptop.

Di sinilah semua rahasia ibu terbongkar. Lewat chat yang kugali dengan semangat sekaligus rasa takut, aku menemukan sesuatu yang di luar nalar. Aku menemukan lusinan nomor asing yang mencaci maki ibuku di WhatsApp. Dari semua chat itu, aku bisa tahu bahwa mereka adalah debit collector. Jadi, kemungkinan besar ibu selalu memintaku mentransfer sejumlah uang hanya untuk menutupi utang-utangnya itu. Nomor-nomor tak dikenal dengan kalimat-kalimat kotor dan jahat itu bahkan beberapa kali menelpon ibu dan tak pernah sekalipun ibu mengangkat telpon itu. Lewat chat yang mereka kirimkan, selain sumpah serapah, mereka juga menakut-nakuti ibuku dengan ancaman santet, teror dan pembunuhan. Membacanya saja membuat bulu kudukku merinding. Bagaimana mungkin Ibu bisa bertahan dengan semua hal yang mengerikan ini?

Itu kejutan pertama. Ada kejutan kedua. Ibu sering berbalas pesan dan melakukan video call dengan sebuah nomor yang diberi nama 'Mas Ganteng Cintaku'. Dari namanya saja aku bisa menduga dia adalah pacar ibu. Bahkan beberapa chat mereka menjurus pada chat seks yang sangat menjijikan. Aku geleng-geleng kepala dibuatnya. Apakah ibuku kembali mengalami masa puber di usianya yang keempat puluh lima? Bahkan, semasa aku puber dulu, aku tidak pernah melakukan perilaku separah ibu.

Hatiku berdebar-debar tak karuan. Haruskah aku mengintrogasi ibu dan mengatakan kepadanya bahwa aku mengetahui semua rahasianya?

Aku tahu, jika aku tetap mendiamkan hal ini, aku akan gila. Dan ibuku juga akan sama gilanya dengan semua hal yang membuat dia lupa daratan. Pada akhirnya, di malam Minggu, malam dimana biasa aku pulang ke rumah ibu, aku mempersiapkan diriku untuk mengonfrontasi ibu. Aku siap dengan resiko yang akan aku hadapi.

Seperti biasa, aku pulang dengan membawa oleh-oleh untuk ibu. Dia akan memasang muka cemberut jika aku tidak membawa makanan kesukaannya. Makanan kesukaannya banyak. Martabak manis, jus buah, brownies dan apa pun itu yang manis-manis. Jadi jangan heran jika kau akan melihat tubuh ibuku sedikit gemuk. Kali ini aku membawa martabak untuk ibu.

Malam itu, selesai menandaskan martabak yang kubawa, kuajak ibu bicara. "Aku tahu, ibu punya rahasia."

Ibu menoleh ke arahku dan tertawa sumbang. "Rahasia? Ibu tidak pernah menyimpan rahasia."

"Ya, ibu menyimpan rahasia. Mau aku yang meyebutkannya atau ibu langsung yang memberikan pengakuan kepadaku!"

Ibu mendengkus. "Apa? Coba sebutkan!"

Aku menyebutkan semua rahasia ibu yang terekam di WhatsAppnya. Wajah itu memerah seperti kepiting bakar. Dia menunjuk-nunjuk hidungku dengan mata melotot. "Apa kamu mau menjadi malin kudang yang dikutuk menjadi batu? Pergi dari sini! Kamu sudah melukai hati ibu!"

Aku, tanpa mengatakan sepatah kata pun pergi dari hadapan ibu dengan membawa hati yang terluka. Sejak awal sudah kuduga seperti apa respon ibu. Dua minggu lamanya kami tidak berkomunikasi satu sama lain. Aku tidak perlu repot-repot menanyakan kabar ibu. Hidupku lebih damai dengan hanya menyendiri di apartemenku sendiri. Hingga suatu pagi, ibu mendatangi apartemenku dan meminta maaf. Dia menangis tersedu-sedu sembari mengaku bahwa motornya dibawa kabur dan uang simpanannya dikuras habis. Oleh siapa lagi kalau bukan lelaki bajingan dengan nama kontak 'Mas Ganteng Cintaku'.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)