Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,725
Gadis yang Melahirkan di Toilet
Thriller

Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tapi aku mencoba menahan diriku untuk tetap diam, meredam gejolak yang menyakitkan di perutku dengan cara mengigit bantal. Setidaknya keinginan untuk berteriak bisa disalurkan dengan cara tersebut. Napasku putus-putus. Terengah-engah menahan sakit yang tiada terkira. 

Seandainya bukan menyangkut aib, aku ingin ayah dan bunda ada di sampingku sembari menggenggam kedua jemariku, menyeka keringat di dahiku dan membisiki diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja. 

Ketika rasa mulas itu sudah tak tertahankan lagi, aku segera bergegas ke arah toilet yang letaknya berada di belakang. Bersebelahan dengan dapur. Aku tidak perlu khawatir suara bayi itu akan mengusik Bunda. Kupikir jarak antara kamar mandi dengan kamar Bunda lumayan jauh untuk bisa membuatnya mendengar keributan dari kamar mandi. 

Kulihat cairan hangat mengalir di paha. Ketuban sudah pecah! Rasa khawatir semakin membuatku menggigil. Dengan tubuh yang serasa dirajam ribuan lemparan batu, aku menutup pintu kamar mandi dan mencoba mengigit bibir bawahku. Tuhan, rasanya sakit sekali.

Aku melihat handukku tersampir di kapstok. Dengan susah payah aku menggapainya. Kain handuk yang tebal itu aku gigit keras-keras hanya untuk mengalihkan rasa sakit dan keinginan untuk berteriak. Jika aku berteriak, maka Bunda akan terbangun dari tidurnya. Aku menyalakan keran air sehingga air mengucur deras ke atas ember yang kosong. Suara gerojokan air di ember besar akan meredam suara eranganku atau tangis makhluk mungil yang berusaha melesak dari celah selangkanganku.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berada di kamar mandi. Yang jelas waktu terasa merambat dengan begitu lambat. Satu menit rasanya seperti tiga kali lipat lebih lama karena gigitan rasa sakit itu semakin intens di panggulku. 

Aku tahu diriku kotor karena telah berbuat zina. Kekotoran jiwaku semakin bertambah karena dahulu aku beberapa kali berusaha menggugurkan kandunganku. Aku tahu anak yang aku lahirkan adalah anak yang tidak diharapkan. Tapi setidaknya aku masih percaya Tuhan. Aku tidak peduli apakah Tuhan membenciku karena dosa-dosaku, aku tetap hamba-Nya. Maka saat itulah kurapal doa dan melangitkannya dengan hati yang ikhlas. Dengan diiringi istighfar dan permohonan ampun yang terus menerus meluncur dari lidahku yang basah.

‘Ya Allah, aku tahu aku kotor. Tapi tolonglah aku saat ini. Tolong berikan aku kemudahan.’

Aku kemudian merasakan puncak rasa sakit. Sesuatu tiba-tiba melesak di selangkanganku. Sesuatu keluar dari sana. Tak ada suara apa pun selain suara air yang deras mengalir dari keran yang kuputar secara penuh.  

Hingga pada akhirnya rasa sakit itu telah lenyap, berganti dengan rasa lelah yang luar biasa. Keringat membasahi seluruh tubuhku, bercampur dengan cipratan air dan darah. 

Tapi aku tidak mendengar tangisan bayi. Dimana suara tangisan itu? Ingin rasanya aku menegakan tubuhku sehingga aku bisa melihat sosok mungil itu. Aku ingin menyentuh dan membelainya. Aku ingin menimangnya. Jiwa keibuanku tiba-tiba muncul. Air mata merembes di mataku. Ya Tuhan, rasa bersalah kini bercampur oleh rasa cinta dan sayang.

Dengan tenaga yang masih tersisa, aku kemudian menegakan punggungku dan menyandarkannya di tembok kamar mandi yang dingin. Disana kulihat sosok mungil berkulit keunguan bercampur noda merah tergeletak tak berdaya. Aku melihatnya dengan terpana. 

Apakah bayiku mati?

Tidak! Dia tidak boleh mati. Dia berhak untuk hidup! Aku ingin membeberkan pengakuan kepadamu sekarang juga. Dalam skenario yang telah aku susun di benak kepalaku sendiri, aku berencana untuk membuang bayiku sendiri. Lebih tepatnya tidak membuang, tapi menitipkan. Kata ‘membuang’ rasanya terkesan kasar. Memangnya bayiku anak kucing sehingga dia harus dibuang? Aku tidak akan membiarkan bayiku dalam kondisi bugil tanpa sehelai benang pun, seperti yang pernah didengar di berita-berita tentang pembuangan bayi itu. Aku akan berusaha untuk tetap membuatnya hidup. 

Ya, jadi jauh-jauh hari aku berniat untuk menitipkan anakku di depan rumah orang lain atau menyimpannya di tempat keramaian. Seminggu yang lalu aku sudah membeli selimut bayi dan satu setel baju bayi dari toko perlengkapan bayi yang letaknya tak jauh dari sekolah. Selimut dan baju bayi itu aku simpan di dalam lemari baju paling bawah. 

Kemudian aku berencana untuk menyelimuti bayiku dan membawanya keluar rumah. Tujuanku adalah rumah Pak RW yang jaraknya kurang lebih 500 meter dari rumahku. Aku akan menyusuri jalan setapak di belakang rumah yang melewati kebun bambu, sawah dan kebun katuk. Kemudian aku akan menyimpan bayiku tepat di depan rumah Pak RW. Aku akan menyimpan bayiku di dalam kardus mie instan. Aku akan membuntalnya dengan baju dan selimut sehingga bayiku tidak mati kedinginan. Aku akan menyelipkan secarik kertas di kardus tersebut. Meminta siapa pun yang menemukan bayiku untuk menamainya ‘Meira’. Nama yang indah bukan? Bahkan nama itu sudah aku pikirkan sejak jauh-jauh hari. Tentu saja aku tidak menulis dengan gaya tulisanku, aku mencoba menulis dengan tulisan yang tidak biasa sehingga tidak ada orang yang tahu bahwa itu tulisanku, Tulisan Rara anak Bu Darmawan. 

Tapi…sepertinya skenarioku tidak akan sesuai rencana. Bayiku tampak terlihat kurus, keriput, rapuh dan bahkan tidak menangis. 

Dengan derai air mata yang tidak bisa aku tahan, aku menatap ngeri bayiku sendiri. Kemudian jemariku–meski gemetar--mencoba menyentuh jemari-jemari kecilnya yang keriput dan bercambur dengan noda darah. Kuangkat bayi itu dan kuciumi dia dengan isak tertahan.

Kutelengkan kepala dan kuharap aku bisa menemukan detak jantungnya berdegup di permukaan daun telinga. Tapi aku tidak menemukan detak itu.

Dia tidak menangis

Dia juga tidak berdetak

Itu artinya dia mati

‘Selamat tinggal, Meira. Maafkan Mama, nak,’ lirihku dengan perasaan yang sedih. 

Sekarang aku harus mengganti skenario dengan rencana lain. Dengan sisa-sisa tenaga, kubawa jasad bayiku keluar dari kamar mandi. Tubuhku agak limbung. Bahkan aku tidak yakin apakah aku masih kuat untuk melakukan pekerjaan yang harus aku selesaikan? Aku tidak peduli jika aku ambruk. Yang penting aku harus berusaha.

Kusimpan jasad bayiku di dalam kardus bekas mie instan yang sudah aku siapkan di dalam kamar. Tak lupa aku menyelimutinya dengan selimut bayi. Baju mungilnya juga telah kusiapkan di dalam kardus. Setelah itu aku kembali ke kamar mandi untuk membereskan kekacauan yang ada di sana.

Pertama, aku harus menyiram sisa-sisa darah yang ada di lantai dan kloset sampai bersih. Itu saja tidak cukup. Aku masih membaui anyir darah di dalam kamar mandi. Untuk hal ini aku juga sudah mengantisipasinya dengan membeli dua botol pemutih dan wipol yang kusiramkan untuk menghilangkan anyir itu.

Setelah selesai, aku kembali ke kamar, membawa kardus itu keluar menembus kegelapan malam. Tak lupa mengambil cangkul yang ada di belakang rumah. Cangkul itu biasa digunakan Ayah untuk berkebun. Aku tidak pernah menggunakan cangkul, tapi aku pernah melihat bagaimana ayah atau orang-orang menggunakannya.

Kau pasti sudah menduga-duga sedari tadi apa yang akan aku lakukan. Ya, dugaanmu benar. Aku akan menguburkan jasad bayiku di kebun bambu sebelum fajar menyingsing. Mudah-mudahan aku sanggup untuk melakukannya. Jika menuruti kondisi tubuhku, rasanya aku ingin menyerah. Tapi aku tidak akan sanggup untuk menanggung aib itu. Benarlah apa yang dikatakan orang-orang, dalam kondisi terdesak, manusia akan mampu melakukan apa pun yang dianggap sebagai kemustahilan. 

Aku berusaha menyeret langkahku meski agak gontai. Sementara aku tidak menyadari bahwa Pak Pur--tetangga yang rumahnya hanya berjarak selemparan batu dari rumahku-- tengah kencing di balik rerimbun pohon rambutan. Dan lelaki itu memicingkan matanya, berusaha mengenaliku yang tengah berjalan di jalan setapak itu. 

Baca selengkapnya di novel 'Kisah yang Belum Usai' di aplikasi Kwikku

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)