Masukan nama pengguna
Rania tersesat. Ia berlari ke sana kemari tak tentu arah. Rasa nyeri di tangan dan kakinya semakin menjadi, tapi Rania tidak boleh berhenti. Jantungnya berpacu cepat seiring dengan napasnya yang memburu. Di sekelilingnya pohon-pohon pinus menjulang. Biru terang di langit perlahan menghilang. Senja menukarnya dengan warna oranye kemerahan.
Rania panik. Tubuhnya gemetar. Kakinya kelelahan. Langkahnya terseok-seok tak karuan. Beberapa kali ia tersandung bebatuan. Lututnya terluka, tapi rasa pedihnya sama sekali tak terasa. Mata Rania nyalang. Kebingungan mengepung gadis itu. Sekelilingnya berputar. Rania jatuh pingsan.
Rania tersentak. Ia bangun di sebuah kedai kopi yang hangat. Cahaya temaram menyambut matanya yang mengerjap. Tangannya gemetar di atas meja kayu cokelat tua. Layar laptopnya gelap. Kehabisan baterai entah sejak kapan. Buku-bukunya berserakan. Pensilnya tergeletak di lantai. Rania mengusap wajahnya yang bengkak. Kakinya lemas. Sama sekali tak bertenaga. Punggungnya basah oleh keringat. Ah, mimpi itu lagi. Untunglah kedai sepi. Tamu sore itu hanya Rania seorang. Pemilik kedai sibuk di balik etalase. Mengatur stoples-stoples yang penuh berisi biskuit coklat.
Rania berkemas. Laptop, buku-buku, alat tulis, semuanya dijejalkan ke dalam sebuah tas berwarna biru tua. Tas kesayangannya. Sepupunya yang membelikan tas itu beberapa waktu lalu. Katanya dibeli dari seorang wanita bertubuh gemuk di pasar malam. Rania menepuk-nepuk tas itu dengan sayang. Gadis itu sebetulnya belum ingin pergi, pekerjaannya belum selesai. Namun, ia beranjak juga menuju pintu, seperti ada menariknya untuk segera pulang hari ini.
Rania berpamitan. Tapi pemilik kedai tidak mendengarnya. Masih terlalu asyik dengan kesibukan menata stoples-stoples. Rania memperhatikannya sejenak. Lusinan stoples biskuit berderet rapi di dalam etalase. Pemilik kedai menunduk, meraih sesuatu di sampingnya. Sebuah kardus lagi. Selusin stoples lain muncul dari kardus itu. Ukurannya lebih kecil, permen jeli warna-warni di dalamnya tampak berdesakan. Mata Rania melembut. Ia masih ingat dengan jelas rasa manisnya. Dulu ibu sering membelikan Rania permen itu. Sambil tersenyum, Rania mengalihkan pandangannya dari etalase. Ia menoleh sekali lagi ke arah tempatnya duduk. Memastikan tidak ada barang tertinggal. Membuka pintu dengan hati-hati, kemudian pergi.
Pemilik kedai tersentak. Lonceng yang digantung di pintu masuk bergemerincing nyaring. Namun tak ada tamu barang seorang pun sore itu. Pemilik kedai meninggalkan kesibukannya. Ia menghampiri meja kayu tempat Rania duduk tadi. Beberapa tangkai bunga bakung putih masih kelihatan segar di dalam sebuah vas ramping dari plastik. Pemilik kedai menengok arlojinya. Pukul setengah lima sore. Ini hari yang ketujuh. Rupanya sudah seminggu Rania terus berkunjung setelah kematiannya.
Pemilik kedai termangu. Ingatannya kembali pada seorang gadis manis yang periang. Gadis itu dan ibunya adalah pelanggan tetap. Ketika sang ibu meninggal tiga tahun lalu, gadis itu hancur. Ia tidak melanjutkan kuliahnya. Ia bahkan tidak menemui teman-temannya lagi.
Setahun berlalu cepat. Gadis itu akhirnya bekerja di sebuah tempat bimbingan belajar di pusat kota. Pekerjaan yang sangat sesuai dengan kepribadiannya, begitu pikir pemilik kedai. Rania kembali membuka dirinya sejak saat itu. Ia rutin datang lagi ke kedai. Seringnya untuk menyelesaikan pekerjaan. Terkadang hanya menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan sang pemilik kedai. Ada kalanya juga, ia hanya sekadar duduk diam melamunkan ibunya.
Pemilik kedai menengadah. Air matanya hampir jatuh ketika seorang tamu datang. Seorang wanita bertubuh gemuk. Ia tinggal di sekitar sini. Pemilik kedai tahu benar tamunya yang menjatuhkan diri dengan putus asa di atas sofa di sudut ruangan. Wanita itu berjualan di pasar malam setiap akhir pekan. Ia hidup pas-pasan bersama putra tunggalnya yang bengal. Sudah kedua kalinya wanita itu mampir ke kedai. Mungkin ini yang terakhir. Pemilik kedai ingin meminta wanita itu untuk segera pergi. Namun ia hanya menghela napas dan mengurungkan niatnya.
Wanita gemuk menangis. Tubuhnya berguncang. Ia sesenggukan. Wajahnya bersembunyi di balik telapak tangannya yang besar. Apa yang akan ia lakukan sekarang? Ia tak punya tempat untuk pergi. Namun, warga kota terus mengutuki. Menyuruhnya menghilang dari hadapan mereka. Wanita gemuk tidak tahan. Gadis sialan itu! Rutuknya dalam hati. Mengapa tas biru tua itu bisa ada padanya? Mengapa pula putra kesayangannya harus terlibat dalam perburuan itu? Tangis wanita gemuk semakin menjadi. Putraku malang, putraku malang. Begitu katanya.
Pemilik kedai berdecak. Ia jengkel bukan main. Kepalanya menggeleng heran. Beruntung hukum di kota itu masih berfungsi sebagaimana mestinya. Begitu tubuh Rania ditemukan tak bernyawa di tepi hutan pinus, polisi segera bertindak cepat. Kasus seperti ini bukan yang pertama terjadi. Warga dibuat sangat was-was karenanya. Namun, Rania mengakhiri mimpi buruk itu. Darah di sela kukunya berhasil menyeret para pelaku. Gerombolan anak-anak muda tak bertanggung jawab itu pun segera tertangkap.
Rania tersenyum. Entah mengapa hari ini ia ingin segera tiba di rumah. Langkah kakinya kian bergegas. Diraihnya kunci di saku celananya. Sambil membuka pintu, ia memikirkan menu makan malam. Apa yang akan ia masak hari ini? Mungkin sebaiknya ia memesan nasi kotak saja lewat layanan pesan antar. Rania teringat novel misteri yang baru ia beli kemarin. Ia heran bagaimana bisa sampai lupa.
Pintu terbuka. Rania menghambur masuk. Tak lupa ia menutup dan mengunci pintu. Hidup sendirian menuntutnya untuk ekstra hati-hati. Ia tergesa-gesa melepas sepatu dan buru-buru ingin ke kamarnya. Namun, sebuah pemandangan yang berbeda memaksanya berhenti.
Rania tertegun. Lampu dapur menyala terang. Di meja makan tersaji hidangan kesukaannya. Rupanya Rania tidak sendirian hari ini. Seseorang sedang sibuk di dapur. Ada senandung lirih yang Rania dengar samar-samar. Sebuah senandung yang akrab. Rania meletakkan tas birunya di lantai. Lalu berjalan pelan menuju dapur. Jantungnya berdegub kencang. Tangannya gemetaran. Ia berdiri takjub di pintu dapur. Matanya berkaca-kaca. Ia masih terdiam, rasanya tak percaya. Namun senyumnya perlahan mengembang, bercampur dengan air mata yang tak lagi dapat ditahan. Sosok di dapur itu menoleh, menatap wajah Rania dengan sayang. Tangannya terentang. Menyambut putrinya yang pulang.