Cerpen
Disukai
0
Dilihat
5,462
Dua Perempuan
Misteri

Kekacauan terjadi di dalam rumah tua itu. Seorang mengejar yang lain. Seorang lagi memukul yang lain. Di sudut ruangan, berdiri seorang gadis berjaket kelabu. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu bergerak cepat menuju sebuah pintu.

Ruang membaca. Ya, ruang membaca. Pada salah satu dindingnya, sebuah jendela persegi mengintip di balik gorden cokelat tua. Sepertinya cukup lebar untuk dirinya melarikan diri. Namun baru beberapa langkah ia berjalan, sebuah ikat pinggang hitam menjerat lehernya dari belakang.

Gadis itu meronta-ronta. Kakinya menendang-nendang ke udara. Jemarinya berhasil menggapai lengan besar yang mencekiknya, dan meninggalkan beberapa cakaran di sana. Pria pemilik lengan itu mengumpat. Ikat pinggang yang melingkari leher gadis itu ditarik makin kuat.

Paru-paru gadis itu serasa terbakar. Tengkuknya nyeri luar biasa. Wajah gadis itu memerah. Ia menjerit, namun suaranya tak terdengar. Ia masih meronta, namun gerakannya semakin lemah. Gadis itu tahu sebentar lagi ia akan kehabisan napas. Air matanya merebak. Sejak bulan lalu, memang sudah tak ada lagi semangatnya untuk melanjutkan hidup. Tapi ia tak pernah menduga akan mati dengan cara seperti ini.

***

Beberapa jam sebelum gadis itu berada di ambang kematiannya.

Mara berhenti berlari. Tangannya bertumpu di kedua lututnya. Napasnya memburu. Keringat bercucuran. Gadis itu memandang ke sekeliling. Ia tak begitu yakin di mana ia berada sekarang. Namun sepertinya sudah cukup jauh dari rumah. Ia menoleh ke belakang.

Memastikan tak ada orang lain yang mengikutinya. Ayahnya mendengkur keras-keras ketika Mara menyelinap pergi dari rumah. Pria itu tak akan pernah menemukannya lagi. Pria itu tak akan pernah memukulinya lagi.

Mara menegakkan tubuhnya. Sebuah persimpangan tak jauh dari tempatnya berdiri. Ketika ia tengah menimbang-nimbang ke mana seharusnya berbelok, terdengar samar-samar deru kereta api. Itu dia.

“Kiri ….”

Mara mengangguk dan mengambil napas panjang. Ia tidak boleh ragu. Ia tidak punya seorang pun yang bisa dipercaya, jadi ia harus yakin pada dirinya sendiri. Sejak bulan lalu, Mara memang sudah berencana untuk minggat.

Kalau tidak, sudah dipastikan ayahnya akan mengamuk—bahkan mungkin membunuhnya jika perlu. Gadis itu sudah tak tahan lagi. Sejak lahir, hidupnya memang sudah berantakan.

Kini ia tak mau lagi peduli pada ayahnya, atau pada cita-citanya, atau pada seorang laki-laki tampan yang ditaksirnya di sekolah. Ia hanya harus pergi. Pergi jauh. Secepat mungkin. Sebelum perutnya bertambah besar dan para tetangga ribut bergunjing.

Sosok lain datang dari ujung kiri persimpangan. Seorang perempuan berambut ikal. Empat puluh kira-kira usianya. Ia biasa tampil anggun. Pekerjaan menuntutnya demikian. Tapi malam ini, ia hanya mengenakan kaus oblong dan celana korduroi berwarna cokelat pudar. Alas kakinya pun sandal jepit biasa.

Perempuan itu terburu-buru meninggalkan rumahnya tepat tengah malam tadi. Tangannya menggenggam erat tali tas selempangnya yang sudah lusuh. Di sana buku tabungan dan sejumlah uang bersembunyi. Seharusnya ia pergi berlibur ke Bali bulan depan. Namun mengingat suaminya yang tergolek tak bernyawa di ruang keluarga, perempuan itu mau tak mau harus membatalkan rencananya.

Kini perempuan itu berhenti sejenak. Ia mengatur napasnya yang sesak. Kepalanya tertunduk lunglai. Pikirannya kembali melayang pada rumahnya yang nyaman. Ia bekerja keras untuk memiliki rumah itu. Namun besok polisi akan tiba di sana dan menetapkan dirinya sebagai tersangka.

Perempuan itu mengambil napas panjang. Membunuh suaminya adalah sebuah kesalahan. Jauh di dalam hatinya ia masih mengutuki keputusan bodoh itu. Seharusnya laki-laki itu menderita dalam waktu yang lama, bukannya terbebas dari beban dan tanggung jawab dengan cara mudah seperti ini.

Perempuan itu mengikat rambut ikalnya yang tebal ke belakang. Ia harus tenang dan berpikir jernih. Samar-samar ia ingat bagaimana senyumnya mengembang ketika memasukkan racun mematikan itu ke dalam kopi. Ada kelegaan aneh yang ia rasakan setelahnya. Mungkin kisah hidupnya memang harus demikian. Mungkin suaminya memang harus mati di tangannya.

Perempuan itu mendesah, menerima keputusannya yang salah. Sekarang ia harus bergerak cepat. Tempat persembunyian. Ya, itu yang ia butuhkan sekarang.

“Oke, kanan ….”

Perempuan itu pun mengangguk yakin. Entah kapan persisnya, tapi ia seperti tidak asing dengan perumahan di sekitarnya. Ia pernah melewati daerah ini. Seingatnya ada stasiun tak jauh dari persimpangan. Seketika itu juga, terdengar deru kereta api di kejauhan. Perempuan itu bergegas. Setengah berlari, ia berbelok ke kanan. Namun ia menabrak sesuatu. Tubuhnya terhuyung-huyung dan hilang keseimbangan. Perempuan itu jatuh terduduk. Di hadapannya, seorang gadis muda menatapnya dengan mata melotot.

Mara bangkit berdiri sambil menepis tanah yang menempel di celananya. Ia memakai kembali tudung jaketnya dan bermaksud untuk segera pergi.

“Hei, kamu masih sekolah, kan?”

“Bukan urusanmu, kan?”

“Ini jam dua pagi. Berbahaya berkeliaran ....”

“Apa, sih, masalahmu?!”

“Ssst ….”

Dua perempuan itu mendengar suara batuk di kejauhan. Lalu disusul dengan suara berat seorang pria. Tidak, bukan seorang. Terdengar ada yang menimpali, dan ada yang tertawa. Percakapan mereka tidak terdengar jelas, namun sudah cukup membuat dua perempuan itu panik. Mungkin para penjaga malam, mungkin juga preman jalanan. Dua perempuan di persimpangan jalan itu saling pandang.

Perempuan itu memandang sekelilingnya, “Lihat!”

Tak jauh dari tempat mereka berdiri, sebuah rumah tua berdiri diam. Pagarnya terbuka, seolah menawarkan jalan keluar bagi keduanya. Perempuan berambut ikal tak pikir panjang. Ia segera menyelinap masuk, lalu memberikan isyarat tangan pada Mara agar mengikutinya. Suara para pria itu semakin mendekat. Sekarang mereka sibuk berdebat. Meributkan calon presiden tahun depan rupanya. Mara mendengus kesal, ia tak punya pilihan. Segera disusulnya perempuan berambut ikal.

Mara masuk ke dalam area rumah tua, bersembunyi di balik dinding besarnya yang mengelupas di sana sini. Gadis itu menahan napasnya. Sekelompok pria yang berdebat itu hampir tiba di depan rumah.

“Sial,” umpat gadis itu dalam hati.

Ia lupa menutup pagarnya yang terbuka. Mara berdiri dengan tangan mengepal, berharap para pria itu tidak usil mengecek rumah demi rumah. Keinginannya terkabul, rombongan itu lewat begitu saja. Mereka sama sekali tak peduli pada rumah tua itu. Menoleh pun tidak. Mara pun mengembus lega.

Sementara itu perempuan berambut ikal sudah berdiri di muka pintu rumah tua. Keningnya mengernyit dalam-dalam. Muncul ingatan-ingatan yang rasanya tak pernah ia miliki. Kepalanya pening. Ia terlonjak kaget ketika Mara menyentuh bahunya dengan heran.

“Ada apa?”

“Ah, tidak. Rumah ini …, seperti tidak asing.”

Mendadak rasa was-was menyelinap masuk dalam benak Mara. Ditatapnya perempuan berambut ikal dengan rasa curiga.

“Tante …, kenapa ada di sini? Jam dua pagi dan sendirian?”

Perempuan yang ditanya diam. Matanya menerawang jauh, sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawab.

“Aku perlu tempat untuk bersembunyi. Aku berencana naik kereta jarak jauh besok pagi.”

“Kenapa?”

Perempuan berambut ikal itu berpaling ke arah rumah tua. Ada sesuatu mengenai rumah itu yang memantik ingatannya. Kini perempuan itu menatap Mara dengan lembut. Di bibirnya muncul seulas senyum yang lelah.

“Aku telah melakukan kesalahan besar. Aku membunuh seseorang.”

Mara tercekat. Susah payah ia menelan ludah.

“Aku akan bermalam di sini,” ujar perempuan berambut ikal sembari memutar knop pintu. Mara mendekat, ia mencengkram lengan perempuan itu. Matanya kemudian sibuk menilai rumah tua di hadapannya. Jendela-jendelanya tampak gelap. Sunyi.

Tak ada tanda-tanda kehidupan. Ilalang dan rerumputan tumbuh liar tak beraturan. Menemani rumah tua yang sendirian.

“Aku ikut.”

***

Berbagai jenis buku ada di ruangan itu. Mereka berbaris rapi di dalam rak-rak kayu bercat hitam. Menyaksikan Mara meronta-ronta untuk terakhir kalinya. Mata gadis itu kini menutup, pikirannya berkelana. Seorang pria paruh baya yang menyedihkan muncul dalam benaknya.

Seorang teman di kelas pernah bilang bahwa ayah adalah cinta pertama setiap anak perempuan. Mara hanya terkikik sinis. Omong kosong apa itu. Ayahnya hanyalah seorang pekerja serabutan yang selalu pulang dalam keadaan mabuk dan penuh amarah. Sosok yang harusnya menjadi pelindung bagi gadis itu, justru menjadi orang yang bisa mengambil nyawanya kapan saja.

Ayahnya selalu bilang, ia dulu adalah seorang wirausahawan yang sukses. Namun, usahanya hancur tak lama setelah Mara lahir. Anak pembawa sial. Ayahnya selalu bilang begitu.

Mau tak mau, Mara menerima gelar yang diberikan ayahnya. Gelar itu ada benarnya. Ibu bahkan meninggal setelah melahirkan dirinya. Mara pada akhirnya pasrah, jika pada kenyataannya ia memang membawa kutukan atau hal semacam itu. Ia merasa begitu bersalah pada kedua orang tuanya.

Ingatan gadis itu mengembara lebih jauh. Ia sampai pada pertemuannya yang manis dengan seorang laki-laki yang membuatnya percaya bahwa kutukan dalam dirinya sudah berakhir. Laki-laki itu adalah anak baru di kelasnya. Dia perhatian dan tampan. Mara dengan mudah jatuh dalam pelukannya, hanya untuk tahu bahwa ia dipermainkan. Laki-laki itu tertawa ketika Mara mengatakan bahwa dirinya tengah mengandung.

“Itu urusanmu. Kau tahulah harus bagaimana,” laki-laki itu tersenyum mengejek sembari melenggang pergi. Berurai air mata, Mara dipenuhi oleh kemarahan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Dipandangnya lekat-lekat punggung laki-laki yang pernah membuatnya jatuh cinta setengah mati. Laki-laki itu bermaksud menuruni tangga, hendak kembali ke kelasnya.

Pandangan Mara berubah kosong. Ia mendekati laki-laki itu dari belakang. Tangannya terulur ke depan. Menyentuh punggung laki-laki itu, lalu mendorongnya. Mara menyaksikan laki-laki itu hilang keseimbangan. Tubuhnya jatuh berguling. Kepalanya membentur sisi-sisi tangga yang keras dan dingin. Darah kental mengalir keluar dari kepala laki-laki itu ketika Mara melangkah pergi.

Sejak hari itu, Mara menerima takdirnya. Kematian yang harus ia hadapi saat ini pun diterimanya sebagai bagian dari rangkaian nasib buruk. Setelah ini, kehidupannya yang berantakan akan berakhir. Rasa nyeri di paru-paru gadis itu berangsur mereda. Jeratan ikat pinggang di lehernya juga mulai mengendur. Pikiran gadis itu melayang-layang. Inikah rasanya ketika kematian datang? Rasa sakit yang ia rasakan perlahan berkurang. Mara teringat pada ibunya—ibu yang tak pernah ditemuinya; tetapi sangat ia rindukan.

“H-hei! Hei! Bangun! Kumohon, bangunlah …”

Mara tersentak. Dihirupnya udara banyak-banyak. Ia merasakan oksigen kembali mengalir di dalam tubuhnya. Pandangannya masih berkunang-kunang, namun ia mengenali wajah perempuan berambut ikal yang menatapnya dengan cemas.

Gadis itu berusaha memahami apa yang terjadi. Seorang pria besar tersungkur tak berdaya di samping sebuah rak. Pria yang berusaha membunuhnya. Mara mengenali pria itu dari berita kriminal yang ditontonnya dua malam lalu. Pria itu sedang buron. Ia membantai para tetangga yang terus mencibir kondisinya yang pengangguran.

Mara masih ingat peringatan polisi yang didengarnya dari televisi. Namun, sekarang pria itu bukan ancaman lagi. Asbak marmer berlumuran darah tergeletak di sebelahnya. Gadis itu melihat tangan perempuan berambut ikal yang gemetaran. Dipeluknya perempuan itu. Tangis Mara pun tumpah.

“Maaf, ya …, seharusnya aku tidak membawamu ke sini.”

“Enggak apa-apa, Tante. Sekarang kita tahu tempat persembunyian para buronan ini. Kita bisa lapor polisi.”

“Aku rasa kita tidak perlu lapor polisi, Sayang …. Kurasa rumah ini akan mengurung mereka selamanya …."

Mara menatap perempuan berambut ikal dengan heran.

“Kamu bisa bangun? Ayo, kita harus cepat, sebelum salah satu dari mereka menyerang lagi.”

“Ke mana?”

“Keluar dari sini.”

Melalui pintu ruang baca, kedua perempuan itu menatap ngeri pada pemandangan di hadapan mereka. Orang-orang di dalam rumah itu sibuk berkelahi. Ada yang mematahkan kaki meja untuk dijadikan senjata, ada yang melempar vas dan gelas dengan membabi buta. Kedua perempuan itu segera menutup pintu ketika salah satu vas melayang ke arah mereka, lalu pecah menghantam pintu.

Kedua perempuan itu terkejut bukan main. Napas mereka terengah-engah. Mara segera meraih salah satu lemari. Sekuat tenaga didorongnya lemari itu untuk menahan pintu. Perempuan berambut ikal dengan sigap membantunya.

“Kenapa mereka malah berkelahi?”

“Mungkin mereka kira, itulah cara untuk bisa keluar dari tempat ini.”

Mara menatap perempuan berambut ikal penuh tanya.

“Lupakan mereka. Ayo, ikuti aku.”

Mara hendak mengajukan pertanyaan lagi, tapi diurungkannya. Perempuan berambut ikal berjalan cepat tanpa bicara. Mara bergegas mengikuti perempuan itu dengan kepala yang sesak oleh pertanyaan.

Keduanya menelusuri lorong demi lorong di ruang membaca. Melintasi rak demi rak. Rasanya seperti masuk di sebuah labirin yang tiada berujung. Semua rak dan susunan buku tampak sama, namun jika diperhatikan, koleksi buku pada setiap lorong berbeda.

Perempuan berambut ikal terus berjalan tanpa ragu. Mereka tiba di sebuah lorong berisi buku-buku tentang perkembangan manusia. Mulai dari masa prenatal, anak dan remaja, dewasa dan periode krisis paruh baya, hingga lansia dan kematian.

Kedua perempuan menyusuri lorong itu dengan cepat. Mereka kemudian tiba di sebuah sudut. Pintu berwarna senada dengan rak-rak buku yang sudah mereka lewati berdiri menyambut. Perempuan berambut ikal membuka pintu itu.

Keduanya memasuki sebuah ruangan putih yang kosong. Hanya ada sebuah lemari berukuran sangat besar di tengah ruangan. Lemari itu memiliki tiga pintu dengan tiga keterangan berbeda.

Pintu paling kiri bertuliskan masa lalu. Pintu tengah bertuliskan masa kini. Sementara di pintu sebelah kanan tersemat tulisan yang mengundang rasa penasaran kedua perempuan itu; masa depan.

Mara masih tak percaya dengan penemuan ini. Ia bersiap di depan pintu sebelah kiri.

“Tante, aku pilih pintu ini. Kalau benar, kalau pintu ini bisa membawaku kembali ke masa lalu, aku ingin memulai semuanya dari awal lagi. Aku mau memperbaiki apa yang salah.”

“Dan apakah yang salah itu?”

Mara terdiam. Pikirannya berkecamuk. Dari mana nasib buruk ini bermula? Pembunuhan yang ia lakukankah? Pertemuannya dengan laki-laki itu? Penipuan yang membuat ayahnya bangkrut? Atau kelahirannya yang telah merenggut hidup ibunya?

Perempuan berambut ikal mengamit lengan gadis itu.

“Ikutlah bersamaku. Mari kita pergi ke tempat di mana kita bisa memulai segalanya dari awal lagi.”

Perempuan berambut ikal berdiri tegap di hadapan pintu tengah. Mara tak mengerti. Kepalanya dipenuhi begitu banyak pertanyaan. Keberadaan rumah ini saja sudah sangat tak masuk akal baginya.

“Kenapa Tante begitu yakin?”

Perempuan berambut ikal menatap Mara dengan sayang.

"Untuk memperbaiki hidup, masa lalu sama sekali tak bisa membantu. Karena segala sesuatu yang sudah terjadi di masa lalu tak pernah bisa kita ubah. Hal buruk hanya akan terus berulang. Bisa dengan cara yang berbeda. Dan terkadang, bisa lebih buruk. Keputusan di masa kinilah yang kita butuhkan.”

“Tapi kenapa Tante begitu yakin?”

“Memilih masa lalu hanyalah kesia-siaan. Percayalah. Karena …”

“Karena?”

“Aku sudah keluar dari rumah ini melalui pintu itu. Beberapa kali.”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)