Masukan nama pengguna
"Apa-apaan status wahsap kamu?" Sebuah pesan tampak dari status bar ponselku.
Apa lagi ini? Oh Tuhan, memiliki pacar yang super mengatur sangatlah melelahkan. Bahkan, sepertinya caraku bernapas pun salah di matanya.
"Apa sih?" Aku mengetik cepat, atau nanti dia akan semakin marah kalau pesannya diabaikan.
"Itu status kamu maksudnya apa?"
"Ya, apa? Cuma status doang."
"Kamu nyindir aku? Kalau aku gak cukup perhatian sama kamu?"
Aku lelah membaca pesannya. Selalu seperti ini. Apakah hubungan jarak jauh memang membuatnya selalu curiga dan berpikir aneh? Akan tetapi, kurasa dia sedikit berlebihan menanggapi semuanya.
Aku menghapus status yang menjadi sumber masalah itu. Lalu, melemparkan ponsel ke kasur, selanjutnya merebahkan diri.
Benar-benar memuakkan! Hanya perkara status wahsap, dia mampu membuat mood-ku benar-benar memburuk. Aku sedang pusing mencari pekerjaan, dia dengan seenaknya mempermasalahkan hal sepele.
Ponsel berbunyi bersahut-sahutan, antara pesan beruntun dengan beberapa panggilan.
Lelaki itu mau apa lagi? Aku sudah muak menjalaninya.
"Apa sih?" Aku pun membalas pesannya.
"Kenapa statusnya di hapus?"
Ya, semua yang aku lakukan selalu salah dan salah.
"Aku gak mau memperpanjang masalah, kalau kamu gak suka sama statusku, yaudah aku hapus." Sungguh aku sudah tidak punya energi untuk debat sekarang.
"Kalau kamu hapus berarti memang itu sindiran untukku, kan? Kalau bukan, gak bakal kamu hapus."
Astaga, sebenarnya maunya apa, sih? Kenapa menjadi pria yang ribet?
"Terus maumu apa?" Aku sudah tidak tahan lagi.
"Gak usah posting status aneh-aneh."
"Yaudah, toh, sudah kuhapus juga. Kamu aja yang aneh, status begitu doang kesindir. Kalau memang gak merasa, gak usah kesindir." Tidak peduli lagi akan seperti apa nantinya, emosiku benar-benar tersulut.
Memangnya apa yang salah dengan postinganku? Hanya sebuah video suami istri yang saling mendukung satu sama lain. Apakah itu salah?
Perdebatan mulai melebar ke mana-mana, sampai akhirnya air mataku keluar. Dengan tangan gemetar, aku mengetikkan perpisahan. Percuma saja dilanjutkan, hanya akan terus-terusan makan hati.
"Yaudah kalau itu maumu. Lagipula memangnya aku tahan sama cewek egois seperti kamu." Pesannya kembali bertengger di layar ponselku.
"Hapus semua fotoku di galerimu."
"Enak aja, gue masih sakit hati sama lo."
"Terserah, gak usah hubungi aku lagi." Penglihatanku mulai memburam akibat bulir bening yang terus keluar deras. Entah apa yang akan dia lakukan pada fotoku, aku tidak peduli lagi.
"Bagus banget, udah dapat semuanya, dibuang kayak sampah."
"Memangnya aku sudah dapat apa dari kamu?"
Aku tidak merasa pernah meminta sesuatu padanya. Aku tahu mencari uang itu tidak mudah, dan aku belum pernah sekali pun meminta dibelikan barang atau apa pun itu.
Lain halnya dengan barang yang memang dia belikan dengan inisiatifnya sendiri, atau membayarkan makan saat kami jalan. Bukankah itu adalah hal yang wajar dilakukan pria pada pasangannya?
Terkadang aku juga menolak tawaran untuk dibelikan sesuatu, karena merasa tidak enak. Namun, dia adalah tipe pria pemaksa.
Kalau aku menolaknya, dia akan berkata, "Kamu gak mau nerima barang dari pacarmu sendiri? Kamu gak menghargai aku sebagai pacarmu?"
Lantas sekarang dia meminta mengembalikan semuanya? Omong kosong! Jadi, semua perlakuan manisnya itu hanya tipuan semata?
"Ya, kamu pikir aja sendiri. Masih punya otak, kan?"
Kata-katanya terasa begitu menyakitkan.
"Yaudah, hitung semua biaya yang kamu keluarin buat aku. Aku transfer sekarang juga."
"Gak usah, deh. Anggap aja gue sedekah."
"Iya, aku memang miskin! Tapi aku masih punya harga diri." Kalau saja orangnya ada di depanku, mungkin aku sudah berteriak kencang tepat di gendang telinganya.
"Yaudah, gue tunggu TF-nya."
"Berapa, gue bilang." Aku sudah kehilangan kontrol. Menarik kalung perak yang terpasang di leher hingga lepas, lalu melemparnya ke luar jendela.
"Itung aja sendiri. Jadi cewek cuma manfaatin uang cowoknya doang."
Sakit! Itu sangat menyakitkan! Makian yang keluar dari orang yang aku cintai adalah hal paling menyakitkan. Rasanya sesak.
Aku membuka aplikasi M-Banking. Aku masih memiliki sedikit simpanan yang tadinya aku sisakan untuk dana darurat. Namun, kali ini aku tidak pikir panjang dan langsung mentransfer sejumlah uang pada rekening lelaki b*jingan itu.
Sejumlah uang melayang begitu saja demi menebus harga diri yang sudah terinjak oleh manusia tidak tahu diri itu.
Aku tidak merasa telah memakai uang pria itu lebih dari yang aku transfer sekarang. Kami menjalani hubungan jarak jauh, dan hanya bertemu sekali dalam dua bulan saat dia pulang kampung. Dia memang selalu membawa hadiah kecil dan membawaku jalan serta membayariku makan. Namun, aku tidak pernah meminta jalan-jalan ke tempat mewah dengan makanan mahal.
Setiap jalan, duduk di taman sambil makan bakso pinggir jalan. Lagipula, selama menjalani hubungan, aku dan dia hanya pernah beberapa kali saja bertemu dan jalan-jalan. Hadiah yang diberikan pun hanya sebuah boneka beruang kecil, jaket couple dan sebuah kalung perak yang harganya tidak terlalu mahal.
Sungguh, aku tidak pernah meminta, hanya menerima pemberiannya. Mungkin iya, sekali dua kali aku memintanya mengisikan pulsa saat aku benar-benar kepepet, tetapi uangnya selalu aku ganti.
Aku mengirimkan foto bukti transfernya.
"Lain kali kalau gak ikhlas ngasih, mendingan gak usah sok baik inisiatif beliin. Malu kalau ujung-ujungnya diminta lagi." Setelah mengirim pesan itu, aku memblokir nomornya dan semua akun sosial medianya.
Terkesan kekanak-kanakan, tetapi sepertinya lebih baik seperti ini. Aku tidak ada urusan lagi dengannya.
***
"Eh, lo putus sama Juna?" Kira, sahabatku, datang ke rumah dan tiba-tiba membahas soal dia.
"Kalo lo ke sini cuma buat bahas dia, mendingan pulang, gih." Aku mengusir Kira.
"Dengerin dulu. Lihat postingan di FB-nya. Dia post foto lo, terus maki-maki lo." Kira memperlihatkannya padaku.
Aku tidak tertarik untuk melihatnya. Apa pun yang ingin dia lakukan aku sudah tidak peduli. Meski dirinya menyumpahi dan memaki aku di media sosial, itu hanya akan membongkar kebusukan dirinya sendiri.
"Biarin aja." Aku menjauhkan ponsel Kira.
Kira menatapku iba. Tidak harus bercerita panjang lebar padanya, aku tahu Kira sudah mengerti.
"Dasar, selalu merasa si paling berjuang, si paling effort!" Kira mengumpat.
Aku tidak menyesal meninggalkannya. Aku juga tidak menyesal telah mengenalnya, karena bagaimana pun, aku pernah merasakan bahagia bersama dirinya, Muhammad Junaedi Rhamdani.
***
Majalengka, 19 Oktober 2023