Cerpen
Disukai
0
Dilihat
7,957
Balkon Lantai 4
Romantis

Musik masih mengalun lembut di telinga, membuat dada kian sesak serta bulir bening yang menyeruak ingin keluar tanpa bisa ditahan. 

Bukan karena liriknya yang terlalu menyentuh hati, tetapi kenangan yang dibawa oleh lagu ini yang membuat air mata jatuh tanpa diminta. 

Angin malam membelai wajah, mengingatkanku kembali pada malam itu. Saat aku dan dia duduk berdua di bangku taman City Park. Tempat yang seringkali kami kunjungi sekedar melepas penat dan jenuh sepulang kerja. Menikmati segelas kopi saset yang dijual oleh pedagang keliling. 

Masih terekam jelas di ingatan, saat dia berjoget di hadapanku hanya untuk membuatku tertawa. Lantas, dia akan menyanyikan lagu kesukaannya saat kami kehilangan topik pembicaraan. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan. 

Setelah beberapa bulan aku pindah kerja ke Jakarta, dia perlahan mulai menjauh dan hilang tanpa kabar. Selama ini aku hanya menunggu dan menunggu, dengan harapan dia akan kembali. Akan tetapi, kini aku hanya bisa menangis dan mendengarkan lagu yang sering dia nyanyikan untukku dulu.

Aku mendongak, mencoba menghentikan air mata yang tidak berhenti jatuh, lantas memejamkan mata, membiarkan angin menghapus jejaknya. 

Aku menyandarkan kepala ke pagar besi setinggi tiga meter yang mengungkung balkon tempat indekos ini, saat tiba-tiba sebuah tangan dengan lancangnya mencabut earphone yang terpasang di telinga kiriku. 

"Hei!" ujarku protes sambil berbalik melihat siapa manusia yang menganggu nostalgiaku. Namun, alih-alih peduli, dia malah dengan santainya duduk dan menyenderkan punggungnya ke pagar di belakangku dan memasang sebelah earphone-ku di telinganya. 

"Apa maksudnya ini? Kembalikan!" Aku berusaha mengambil kembali milikku. 

Lagi-lagi, pria itu hanya menghindar, lalu memejamkan mata sambil bersandar di pagar yang sama. Posisi kami saling membelakangi. 

Memang, indekosku berada di lantai empat, yang mana sebenarnya ini adalah satu gedung yang sengaja direnovasi menjadi dua bagian. Sebelah kiri khusus kos putri dan kanan untuk kos putra. Itu juga alasan kenapa pemilik gedung membuat pagar besi yang cukup tinggi di balkonnya, untuk membatasi area putra dan putri. 

Aku merasa beruntung mendapatkan kamar paling pojok yang paling dekat dengan balkon, karena aku bisa menikmati angin malam sambil melihat jalanan yang tak pernah lengang. Namun, sepertinya ketenanganku di balkon sedikit terganggu dengan kehadiran manusia rese ini. 

Tidak mau ambil pusing, akhirnya aku membiarkan pria itu. Punggungnya terasa hangat, sedikit menyentuh punggungku lewat sela-sela pagar besi itu. Kami bersandar pada pagar yang sama, di tempat yang sama, sambil berbagi musik lewat earphone. Ini sedikit aneh, tetapi apa peduliku? 


*** 


Beberapa waktu berlalu, tiap malam lelaki itu melakukan hal yang sama. Mencabut earphone-ku dan memasang di telinganya. Seperti biasa dengan mata terpejam dan punggung yang sedikit menyentuh punggungku lewat sela-sela pagar. 

Entah sejak kapan, aku mulai terbiasa dengan kehadirannya meski kami tidak pernah mengobrol, bahkan sampai saat ini aku belum tahu siapa namanya. 

Entah sejak kapan pula, aku selalu menunggunya dan mulai gelisah ketika lelaki itu terlambat menghampiriku. Entahlah ... aku tidak mengerti. Mungkin selama ini aku merasa kesepian sejak kepergian Iwan sehingga kehadiran lelaki itu sedikit mengobati jiwa yang kosong. 

"Kamu gak punya earphone, ya? Tiap malam numpang dengerin musik dari aku terus." Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari aku memutuskan untuk mencoba berbicara dengannya. 

Hening, tidak ada jawaban. Aku menoleh ke belakang, dan seperti biasa, dia tengah memejamkan mata sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Aku pikir lelaki itu tertidur, maka penyesalan pun datang dari lubuk hati. Aku menyesal mengajak sebongkah batu di belakangku itu bicara. Mungkin memang dari awal aku tidak perlu memedulikannya. 

"Aslan." 

Aku menoleh, untuk pertama kalinya aku mendengar suara lelaki itu yang ternyata sangat dalam. 

"Nama gue Aslan," ucapnya lagi, menjawab kebingunganku. 

"Nasyra." Aku pun memperkenalkan diri dengan posisi yang masih sama. Saling membelakangi. 

"Udah tahu." 

Menyebalkan. Kenapa lelaki itu tidak memberiku sedikit waktu untuk mengagumi suaranya sebentar saja. Lagi-lagi aku dibuat menyesal bercakap dengan lelaki aneh itu. Aku mencebikkan bibir, kesal. Akhirnya tak menjawab lagi. 

"Lu gak bosen dengerin lagu ini terus tiap hari? Kayak gak ada lagu lain aja." Suaranya memang bagus, tetapi lain dengan perkataannya yang menyebalkan.

"Suka-suka gue, lah. Lu yang cuma numpang gak usah komen," jawabku sinis. 

Hening beberapa saat, kami kembali tenggelam pada pikiran masing-masing. Aku menerawang jauh mengenang masa indah bersama Iwan, bertanya-tanya di manakah dirinya sekarang. Sedangkan Aslan, entah sedang merenung atau mungkin tertidur seperti malam-malam sebelumnya. 

"Turun." Suara berat itu terdengar bersamaan dengan punggung hangatnya yang beranjak serta kabel earphone yang bergoyang karena Aslan melepas yang dipakainya. 

Aku menatapnya tak mengerti. 

"Ayo, turun. Gue tunggu di bawah." Aslan beranjak pergi menyisakan kebingungan dalam diriku. 

"Kenapa masih diem?" 

"Mau ngapain?" tanyaku masih mempertahankan posisi duduk bersandar ke pagar, enggan untuk mematuhi Aslan. 

Lelaki itu berdecak kesal dan kembali menghampiri. "Lu nurut aja." Tangan besarnya mencopot earphone yang terpasang di telingaku. 

"Yaudah, iya." Aku pasrah dan mau tak mau menuruti permintaannya. 

Sebelum menuruni anak tangga menuju lantai dasar, aku terlebih dulu meraih sweater yang tergantung di kamar. 

Sesampainya di bawah, Aslan sudah duduk di atas motor matic hitam dan mengangkat sedikit dagunya sebagai isyarat agar aku segera naik. 

"Mau ke mana?" tanyaku, tak langsung mengikuti instruksinya. 

"Naik aja. Gak akan gue culik juga. Gue gak doyan modelan triplek." 

Ingin saat itu juga aku menyumpal mulutnya itu dengan sandal. Tubuhku memang kecil dan ramping, tapi bukan berarti bisa disamakan dengan triplek. 

"Lama." Lelaki itu protes lagi. 

"Iya, iya! Jangan bawa gue ke tempat aneh-aneh." Aku akhirnya mengalah, memilih untuk duduk di belakangnya. 

"Tenang aja, gue jual juga lu gak akan laku." 

Aku menepuk kasar kepalanya sebelum lelaki itu menarik gas dan membawaku entah ke mana. 

Situasi ini cukup aneh. Kenapa aku bisa langsung percaya dan mengikuti keinginan lelaki yang belum genap seminggu kukenal? Terlebih dari awal sikapnya tidak masuk akal. 

Entahlah ... aku cukup lelah untuk memikirkan itu semua dan jujur saja aku cukup terhibur dengan perjalanan ini. Menghirup udara malam dengan lampu-lampu gantung di depan ruko-ruko yang sebentar lagi tutup. 

Sudah lama sekali sejak Iwan pergi, aku tak pernah lagi dibonceng untuk sekadar berkeliling kota, menghirup udara kebebasan dari penatnya dunia kerja. 

Dulu, Iwan sering mengajakku mengelilingi kawasan perumahan Citra Indah City sepulang kerja. Bagiku, itu menyenangkan saat kami bisa mengobrol berdua di atas motor, meski terkadang banyak kata "hah?" yang kami ucapkan karena suara kami tersamar oleh angin dan suara kendaraan lain. 

Tiba-tiba saja, kenangan itu kembali berputar di kepala satu per satu. Tanpa sadar, aku memeluk tubuh Aslan, menenggelamkan wajahku di punggungnya dan terisak. 

Aslan tidak protes meski kini punggungnya sudah basah karena air mata. 

Aku memeluk Aslan semakin erat. 

Tidak! Ini Aslan, bukan Iwan! Tubuh Iwan cukup gempal dengan perut yang menggelembung, rasanya seperti memeluk boneka teddy bear besar, sedangkan tubuh yang kupeluk ini ramping dan dapat kurasakan tulang punggungnya yang keras dan menonjol. 

Iwan akan mengambil salah satu tanganku untuk dia cium di sepanjang perjalanan. 

Iwan akan berceloteh panjang lebar, yang terkadang tak terlalu aku dengarkan karena suaranya tersamar. 

Iwan akan membawaku ke City Park untuk menikmati segelas kopi saset yang dihidangkan abang-abang dengan bermodalkan termos dan gelas plastik yang dibawa menggunakan sepeda ontel tua. 

Itu dulu, saat aku masih berada di kota hujan bersama Iwan. Lain cerita dengan sekarang yang bahkan aku tak tahu akan di bawa ke mana. Terlebih bersama orang 'asing'. 

Tiba-tiba saja, salah satu tangan Aslan menggenggam tanganku, lantas menciumnya sekilas. 

"Ngapain keliling kota kalau cuma mau basahin punggung orang," celetuknya. 

Aku mengangkat kepala, "So-sorry ...." 

"Besok cuci baju gue." 

Aku mengabaikan perkataan Aslan, lantas berusaha menikmati pemandangan Jakarta yang jauh berbeda dengan Bogor. 

Sayatan di dalam hati terasa semakin perih. Kini, semua tak sama lagi. 


*** 


Beberapa bulan berlalu, aku dan Aslan semakin dekat. Aku merasa mulai nyaman, dan kami sering menghabiskan waktu bersama, meski tak jarang mulut laknatnya itu sering membuatku kesal. Namun, perlahan aku mulai mengikhlaskan kepergian Iwan. Mengenangnya tidak semenyakitkan dulu. 

Ataukah mungkin aku sudah mulai tertarik pada Aslan? Entahlah, aku bahkan masih ragu untuk mencintai seseorang lagi. Namun, jujur saja, aku merasa nyaman berada di dekat Aslan. 

Malam ini, aku pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Setelah selesai membersihkan badan, aku beranjak menuju balkon dengan semangat karena melihat Aslan dari balik jendela kamar, dia sedang duduk di balkon juga. 

Aku berniat untuk menjahilinya, tetapi tertahan karena melihat Aslan sepertinya sedang serius berbicara dengan seseorang. Akhirnya, aku mengintip tanpa ingin mengganggunya. 

Tampak Aslan sedang melakukan panggilan video dengan seseorang. Penasaran, aku mendekat. Betapa terkejutnya aku saat melihat siapa yang ada di layar laptop itu. 

Iwan! 

Benarkah itu Iwan? 

Apa hubungan Aslan dengan Iwan? 

Aku semakin penasaran, dengan hati-hati aku mendekat dan menguping sedikit pembicaraannya. Aku memang tidak tahu apa yang dikatakan Iwan karena Aslan menyambungkan laptop dengan headphone yang kini bertengger di telinganya. Namun, aku bisa mendengar suara Aslan dengan jelas. 

"Mau sampai kapan seperti ini terus?" 

"Memangnya kalau wanita itu baper ke gue, Abang mau tanggung jawab? Sekarang aja dia nempel terus." 

"Ya, kenapa gak jujur dan ngomong langsung aja kalau Abang udah nikah karena dijodohin Ayah?" 

Mataku terbelalak, kaki seolah kehilangan kekuatan untuk menumpu tubuh. Aku menutup mulut dengan telapak tangan agar isakan ini tidak terdengar. 

Jadi, selama ini Iwan sudah menikah tanpa sepengetahuanku dan menghilang tanpa penjelasan? Membiarkan aku berharap dia akan kembali? Jangan bercanda!  

"Bang, gue gak bisa terus-terusan ngurusin mantan lo. Kalau dia udah lupain lo, terus apa? Gue yang jadi korban." 

"Masalahnya, dia lupain lo, tapi baper ke gue." 

"Bang ... please! Gue gak tahu bakal jadi begini. Gue bilang mau bantu jagain mantan lo sampe dia lupain lo, gue pikir gak akan serumit ini." 

"Bang ... gue juga punya cewek yang harus gue bahagiain."

Entah apa lagi yang Aslan ucapkan, aku sudah tidak dapat mendengarnya lagi. Tubuhku sudah ambruk ke lantai.

Seperti ada yang mencabik dan menghantam diriku bertubi-tubi. Sesak, tenggorokanku tercekat. Aku ingin berteriak sejadi-jadinya, tetapi tidak ada suara yang keluar. 

Apa-apaan semua ini? 

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)