Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,521
GAGAK DAN KUTUK
Horor

Aku menolak percaya pada mitos usang yang menyebutkan bahwa kehadiran gagak adalah pertanda maut. Namun, kenyataan akhir-akhir ini mulai menguji keyakinanku.

Dua hari yang lalu, Cokelat, kucing tua betina yang telah menjadi anggota keluarga selama bertahun-tahun, ditemukan tak bernyawa di sudut teras. Tubuhnya kaku, matanya kosong menatap ke langit-langit yang tak bersuara. Di hari kematiannya, suara pekikan nyaring gagak menggema di atas atap. Empat, mungkin lima ekor, saling bersahutan dengan irama seolah sedang mengumandangkan duka. Mereka terbang rendah mengitari rumah, berputar seperti dalam ritual gelap yang hanya dimengerti oleh makhluk-makhluk malam.

Tepat hari ini, anak-anak ayam peliharaan kami ditemukan mati mengenaskan di kandang belakang. Tubuh-tubuh kecil mereka tercabik, sebagian sudah tidak utuh. Daging mereka tampaknya telah menjadi jamuan makhluk-makhluk bersayap hitam itu.

Dan hanya dua minggu telah berlalu sejak kami pindah ke rumah ini.

Rumah warisan dari mendiang kakek, yang dituliskan dalam surat wasiatnya sebagai hak mutlak ayah—ayah yang kini telah tiada. Warisan yang tak diharapkan, dan ternyata tidak diterima dengan lapang oleh keluarga besar kami.

Sebulan setelah kematian kakek, aku, ibu, dan adikku Aldi dipanggil untuk menghadiri pembacaan wasiat. Ketika kami tiba di rumah tua itu, ruang tamu telah dipenuhi oleh sanak saudara. Mereka menatap kami dengan dingin, tatapan yang seperti ingin menelanjangi niat kami yang bahkan belum terucap. Ada kebencian yang membatu di sana, tertanam dalam sunyi.

Wasiat dibacakan perlahan, setiap katanya seolah menggores udara yang sudah berat oleh ketegangan. Ketika isi wasiat menyebutkan bahwa rumah besar ini diberikan kepada ayah kami, suasana mendadak membara. Protes dan cemooh bermunculan—mereka menolak mentah-mentah keputusan kakek.

"Dia tidak layak! Bahkan tidak pernah menjenguk ayah saat sakit, tidak pernah memberi kabar!" seru salah satu bibi, suaranya pecah oleh amarah.

Namun, di tengah riuh, seseorang berdiri. Kakek Gatot—adik mendiang kakek—mengangkat tangannya, lalu bersuara lantang dan berat.

“Wasiat ini harus dijalankan sebagaimana tertulis. Tidak lebih, tidak kurang. Jika kalian mencoba mengubahnya… bersiaplah. Hal buruk bisa saja terjadi. Silakan, langgar kalau berani. Tapi akibatnya... kalian tanggung sendiri.”

Ucapan kakek Gatot membuat seluruh ruangan membeku. Tak seorang pun berani membantah lagi. Kata-katanya membekukan suasana. Dan akhirnya, kami-lah yang menempati rumah ini. Kami yang menempati rumah ini—bukan karena suka cita, tapi karena keterpaksaan, dengan beban dan kegelisahan yang terus menyusup dalam sunyi. Karena kebutuhan. Karena tak ada lagi tempat untuk kembali.

Ibu mulai kehabisan uang. Sejumlah musibah datang bertubi-tubi: penipuan, perampokan. Dan aku serta Aldi yang sudah terlanjur bersekolah di sekolah swasta, butuh biaya yang tak sedikit.

Hari pertama kami tiba di depan gerbang, seekor gagak besar melintas rendah, lalu berputar mengitari atap rumah. Seolah menyambut atau memperingatkan.

Pak Poniman, penjaga rumah tua itu, membuka gerbang dengan gerakan lamban. Senyumnya tipis, nyaris seperti tidak ada.

“Silakan masuk,” ucapnya dengan suara parau.

Aldi, adikku yang baru berusia tiga belas tahun, menggenggam tangan ibuku erat. Wajahnya pucat.

“S-serem banget, kak…” bisiknya padaku. Ia memang penakut sejak kecil. Tapi hari itu, aku pun tak bisa menyalahkannya.

“Ikut ibu ke dalam,” ucap Ibu singkat. Meski suaranya datar, aku melihat dengan jelas ia menelan ludah sebelum melangkah maju. Cokelat mengikuti kami, berjalan pelan dengan langkah-langkah malas.

Tepat di depan pintu utama, kami disambut oleh sebuah patung kepala gagak yang terpajang di atas kusen. Matanya tajam, paruhnya terbuka seolah ingin berteriak—atau menjerit.

Dan di sanalah kami, memulai hidup baru di rumah warisan yang membawa lebih banyak bayangan ketimbang kenangan.

Malam pertama di rumah itu tidak berlalu tenang. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun karena suara ketukan—bukan dari pintu, tapi dari dinding kamarku. Ketukan itu pelan, tapi ritmis. Seperti suara kuku yang mengetuk kayu. Aku menahan napas. Aldi tidur di kamar seberang. Ibu di kamar ujung. Tapi suara itu… berasal dari dalam dinding.

Esok paginya, Pak Poniman hanya tersenyum saat kutanya apakah rumah ini sering berbunyi aneh di malam hari.

“Kalau rumah tua, memang begitu, Mas,” katanya. Tapi matanya tidak menatapku langsung.

Namun yang membuatku benar-benar merinding adalah ketika aku keluar ke halaman dan melihat si Cokelat—yang sudah kami kubur dua hari lalu—berdiri di bawah pohon mangga. Ia menatapku dengan mata kosong. Dan dari atas pohon, seekor gagak besar menyalak nyaring.

Matahari masih malas terbit ketika aku kembali dari halaman belakang, tempat aku melihat si Cokelat. Tidak ada jejak kucing itu sekarang. Tanah kuburannya masih tergali rapi, utuh, tidak terganggu. Tapi aku tahu apa yang kulihat. Itu bukan mimpi.

“Dia datang lagi ya?” suara berat Pak Poniman menyentakku dari belakang. Aku terlonjak.

“A—apa maksud Pak Poniman?” tanyaku gugup.

Pak Poniman menatapku lama, lalu menengadah ke langit. Seekor gagak terbang melintas.

“Kadang, yang sudah mati… bisa kembali. Tapi bukan seperti yang kita kenal. Apalagi kalau mereka mati tidak wajar,” katanya pelan, seperti berbisik pada udara.

Aku tidak sempat bertanya lebih jauh karena suara ibu memanggil dari dalam rumah. Sarapan sudah siap. Aldi masih terlihat mengantuk dan murung. Dia mengeluh semalam mendengar langkah kaki di loteng, padahal tidak ada siapa-siapa di atas.

“Mungkin tikus,” kataku mencoba menenangkan.

Namun, Ibu justru menatapku dengan raut cemas. “Loteng rumah ini... sudah dikunci dari dulu,” bisiknya. “Katanya, sejak kakek meninggal, tidak ada yang boleh masuk ke sana.”

Dua hari kemudian, Ibu akhirnya membuka sebuah kotak tua dari mendiang ayah. Di dalamnya ada sepucuk surat, tulisan tangan ayah, ditujukan untuk kami.

Kami membacanya bersama.

“Jika surat ini sampai padamu, itu berarti aku sudah tiada dan kamu ditawarkan memasuki rumah itu. Ketahuilah, rumah itu bukan sekadar warisan. Ini adalah penjara—tempat roh yang terikat perjanjian lama.

Gagak adalah penjaga. Mereka tidak membawa maut, hanya mengabarkan. Jika mereka mulai bersuara, itu tandanya segel mulai melemah.

Jangan pernah masuki rumah itu. Jauhi. Jikalau sudah terlanjur masuk, jangan buka loteng. Apa pun yang terjadi, jangan buka loteng. Ayah mohon… segera jual rumah itu beserta isinya untuk modal hidup kalian. pergilah sejauh mungkin.”

Ibu menutup surat itu dengan tangan gemetar. Aldi bertanya lirih, “Rumah ini berhantu?”

Kami saling berpandangan. Tak ada yang menjawab. Tidak ada hal mistis sebelumnya di keluarga kami. Ayah sejak dulu mengajarkan kami untuk tumbuh menjadi orang yang rasional. Ibu juga termasuk orang yang berpikir logis. Semua terasa normal… hingga kini.

Aku hanya bisa menatap patung kepala gagak di pintu depan, yang entah sejak kapan mulai retak di bagian matanya. Malamnya, aku mendengar suara dari atas loteng. Suara isakan… seperti suara perempuan menangis tertahan.

Aku tidak bisa menahan rasa penasaran. Malam itu, setelah semua tidur, aku membawa senter dan perlahan menaiki tangga kayu menuju loteng. Anak tangga ketiga berderit pelan, namun tidak mengeluarkan suara keras.

Saat aku sampai di depan pintu loteng, jantungku berpacu cepat. Pintu tua itu tidak digembok, hanya disegel dengan papan dan paku berkarat.

Dengan susah payah, aku mencabut paku-paku itu satu per satu. Begitu papan terakhir lepas, udara dingin menyembur keluar. Bau tanah basah dan darah menguar kuat. Aku membuka pintunya perlahan.

Di dalam, loteng itu penuh dengan lukisan-lukisan wajah. Semua lukisan itu berwarna merah-hitam, dan setiap wajahnya adalah wajah-wajah yang familiar—anggota keluarga kami. Termasuk ayah.

Di tengah ruangan, ada lingkaran merah seperti simbol ritual. Dan di dalam lingkaran itu, duduk seorang perempuan dengan rambut panjang menutupi wajahnya.

Aku terpaku. Dia... perlahan mengangkat kepalanya. Matanya kosong. Tapi bibirnya bergerak dan berkata:

“Kalian sudah melanggar. Darah harus dibayar dengan darah.”

Seketika itu juga, gagak-gagak di luar menyalak keras, dan seluruh lampu rumah padam.

Aku terjatuh mundur, menabrak tumpukan peti kayu di belakangku. Suara dentuman membangunkan seluruh rumah. Ibu berteriak dari bawah, “Kak, kamu di mana?!”

Perempuan itu masih menatapku dari dalam lingkaran. Tapi... sekarang dia tersenyum. Senyum lebar dan kelam yang membuat darahku terasa membeku.

Langkah kakiku limbung saat aku turun kembali ke bawah. Ibu dan Aldi berdiri di tangga, wajah mereka panik. Ibu mengguncang bahuku. “Kamu ke atas ya?! Kamu masuk loteng itu?!”

Aku tidak bisa menjawab. Tapi sebelum aku sempat bicara, terdengar suara lonceng kecil berbunyi dari dalam rumah. Tling... tling... tling...

Kami bertiga saling menatap.

“Di mana suara itu?” tanya Aldi, wajahnya pucat.

Aku pelan-pelan membuka pintu ruang tamu.

Lonceng kecil itu tergantung di leher Si Cokelat.

Dia berdiri di tengah ruangan. Mata kucing itu kini putih seluruhnya. Di belakangnya, darah menetes satu-satu ke lantai kayu. Dari kakinya... atau dari langit-langit?

Aku mendongak. Ada tetesan darah jatuh dari atas, membentuk jejak menuju loteng.

Keesokan harinya, kami memaksa Pak Poniman untuk bicara. Ibu mengancam dengan berbagai cara agar dia menjelaskan semuanya.

Pak Poniman akhirnya menyerah. Dengan suara berat, ia duduk di teras rumah sambil menatap langit yang mulai mendung.

“Dulu... sebelum Kakekmu tinggal di rumah ini, tempat ini adalah lokasi semacam Rumah perkumpulan. Tapi bukan sembarang rumah perkumpulan. Ini tempat orang-orang kuat—tetua-tetua keluarga—melakukan perjanjian dengan roh pelindung, yang mereka sebut ‘Ibu Gagak’.

Perjanjian itu membuat keluarga kalian makmur, disegani. Tapi ada syarat: setiap dua puluh lima tahun, satu darah dari garis keturunan utama harus ‘diberikan’ untuk menjaga keseimbangan. Kalau tidak, roh yang pernah dipanggil itu akan mengambil yang dia mau sendiri.”

Aku menatap Pak Poniman dengan ngeri. “Kau bilang ‘diberikan’? Maksudnya... dikorbankan?”

Pak Poniman mengangguk perlahan.

“Itulah kenapa dulu Ayahmu kabur dari keluarga ini. Dia tahu gilirannya sudah dekat. Tapi sepertinya dia tidak tahu bahwa perjanjian itu bisa diturunkan ke anak-anaknya."

Ibu menutupi mulutnya, air matanya jatuh.

Aku menoleh ke Aldi. Bocah itu tampak bingung. Belum mengerti apa yang sebenarnya dikatakan. Tapi aku mengerti. Aldi. Dialah satu-satunya anak laki-laki. Darah paling muda dari garis utama.

Sekarang kami sudah tinggal di rumah ini. Segel sudah pecah. Gagak sudah menyalak.

Malam itu... di luar jendela kamar Aldi, belasan pasang mata gagak menatap diam, seperti menunggu aba-aba.

Sudah seminggu sejak insiden di loteng. Tapi kami tidak pernah bicara soal itu lagi.

Ibu mengunci pintu loteng dengan rantai dan gembok besar. Kami menyibukkan diri dengan rutinitas, seolah ingin percaya bahwa semua sudah normal kembali.

Tapi itu tidak benar.

Aldi berubah. Ia tidak banyak bicara lagi. Ia sering berdiri lama di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Kadang, ia tersenyum sendiri—senyum yang asing. Bukan senyum adikku.

Pagi itu aku melihat sesuatu yang membuatku menggigil. Saat sarapan, aku memanggil Aldi beberapa kali. Ia hanya duduk, menatap kosong ke jendela. Lalu, saat aku hendak menyentuh bahunya, dia berbalik dengan gerakan sangat cepat, hampir seperti patah lehernya.

“Kak,” katanya, “kenapa kamu nangis semalam?”

Aku menegang. Aku memang menangis semalam. Tapi… aku menguncinya dalam hati. Tak ada suara. Tak ada yang tahu.

“Aku... nggak nangis,” jawabku cepat.

Aldi hanya tertawa pelan. Tapi tawanya berat. Bukan suara anak tiga belas tahun.

Hari ketiga, Ibu jatuh pingsan setelah menemukan lukisan lama di ruang bawah tanah—lukisan perempuan yang mirip dengan sosok di loteng. Di balik lukisan itu, tersembunyi buku catatan tua milik Kakek.

Dalam buku itu tertulis:

"Jika anak yang ditakdirkan untuk ritual tidak dikorbankan dalam waktu yang ditentukan, roh ‘Ibu Gagak’ akan masuk ke dalam tubuh anak itu. Ia tidak akan langsung mengambil alih, tapi akan perlahan-lahan mengikis jiwanya. Menanamkan kenangan yang bukan miliknya. Hingga yang tersisa hanyalah wadah. Dan wadah itu... akan membuka pintu yang lebih besar.”

Aku membaca ulang kalimat terakhir.

"Pintu yang lebih besar...”

Apa maksudnya?

Dan saat aku menutup buku itu, dari loteng terdengar suara kursi bergeser. Aldi tak ada di kamarnya.

Aku menemukannya duduk di tengah kamar loteng, melingkari dirinya dengan kapur putih yang entah dari mana ia dapat. Dia sedang menggambar simbol yang sama dengan yang dulu kulihat: simbol perjanjian darah.

“Aldi!” teriakku.

Ia mendongak pelan. Matanya kini gelap seluruhnya, seolah pupilnya melebar menelan seluruh cahaya.

“Kak,” katanya dengan suara yang pelan dan menyeramkan,

“aku ingat sekarang... aku bukan Aldi.”

Malam itu, langit tidak seperti biasanya. Bintang-bintang menghilang. Angin berhenti. Gagak-gagak bertengger, tidak bergerak, tidak bersuara. Seperti patung, menunggu sesuatu dimulai.

Ibu tidur dengan nyenyak—entah karena lelah, atau karena sesuatu yang membius pikirannya. Tapi aku terbangun. Bukan karena suara, bukan karena mimpi.

Aku terbangun karena udara di dalam rumah… berbau tanah basah dan darah.

Langkahku membawaku ke kamar Aldi. Pintu kamarnya terbuka sedikit. Lampu remang. Kasurnya kosong.

Dan di dinding kamarnya, tergurat tulisan dengan darah kering:

"Bukan Aldi. Jangan cari."

Aku tahu ke mana harus mencari: loteng.

Pintu loteng terbuka sendiri. Tidak berderit. Tidak berisik. Seperti sudah menungguku.

Aldi berdiri di tengah simbol ritual—tapi kini simbol itu telah berubah bentuk. Tidak lagi lingkaran. Tapi mata terbuka lebar yang menatap langit-langit.

Di sekelilingnya, dinding loteng dipenuhi tulisan-tulisan kuno, yang bergerak perlahan seperti darah yang mengalir. Udara bergetar. Dan di tengah semua itu… Aldi menatapku.

Tapi itu bukan mata adikku. Itu mata yang terlalu dalam. Terlalu hitam. Terlalu… tua.

“Apa kau tahu rasanya melihat ribuan jiwa menggelepar dalam kegelapan? Mereka datang padaku... Mereka masuk ke dalamku... Dan mereka tidak mau pergi.”

Suaranya seperti keluar dari dua mulut: satu suara Aldi, satu suara yang jauh lebih dalam, seperti keluar dari sumur purba.

“Aldi, dengarkan aku—”

“Aldi sudah tidak ada, Kak. Yang tersisa hanya rumah. Dan rumah ini… sekarang aku.”

Seketika, loteng bergetar. Kayu-kayu tua retak, tapi bukan karena rapuh—karena bernapas. Dinding mulai berdetak seperti jantung. Simbol di lantai menyala merah menyilaukan.

Aku mencoba menarik Aldi keluar dari lingkaran.

Tapi tanganku terbakar.

“Aaah!” Aku mundur. Tanganku kini tertulis lambang yang sama: mata gagak.

“Darah kakak. Darah adik. Dua dunia bersatu. Pintu terbuka.”

Dari langit-langit, cakar-cakar hitam muncul, perlahan mengoyak kain realitas. Suara-suara memenuhi ruangan: tangisan, tawa, jeritan, nyanyian nenek-nenek yang tak dikenal.

Lalu Aldi terangkat ke udara, matanya putih, tubuhnya melayang, tangan terentang seperti salib.

Dari mulutnya keluar suara terakhir:

“Kalian menolak memberi. Maka kami akan mengambil… seluruhnya.”

Ketika tubuh Aldi jatuh ke lantai, ia tidak bergerak.

Aku menangis, memeluknya, berharap itu hanya mimpi buruk. Tapi kemudian matanya terbuka perlahan.

Dia duduk tegak.

Ia tersenyum.

“Kak, kau ingat cerita Kakek soal ‘Ibu Gagak’?”

Suara Aldi kembali seperti biasa. Tapi matanya tidak berkedip. Wajahnya pucat dan… kosong.

“Sekarang aku tahu siapa dia. Aku tahu kenapa dia marah. Kita semua salah, Kak.”

Aku mundur. Tubuhku gemetar.

“Dan sekarang... aku akan membantu dia membangun rumah baru.”

Aldi berdiri, dan dari punggungnya, bayangan sayap membentang samar di tembok, mengepak perlahan, seperti gagak bersiap terbang.

Sudah seminggu sejak Aldi menjadi "bukan Aldi".

Ia tidak bicara banyak. Tapi setiap malam, ia menghilang. Kadang aku melihatnya di tengah halaman rumah, berdiri diam, menatap langit.

Kadang, ia hanya duduk di ruang tamu gelap, berbisik sendiri, seakan sedang mendengarkan seseorang dari balik dinding.

Tapi malam itu berbeda.

Saat aku sedang mencoret-coret buku catatan kakek, tiba-tiba pintu kamarku terbanting. Aldi berdiri di sana, tubuhnya gemetar.

“Kak… tolong… aku… masih… di sini.”

Suaranya… suara lamanya. Tapi hanya beberapa detik. Lalu matanya berbalik hitam dan tubuhnya seperti ditarik mundur.

Wajahnya berubah dingin. Suara roh dalam dirinya kembali:

“Jangan ganggu kami. Kau akan membuatnya menderita lebih lama.”

Itu saat aku tahu: Aldi masih berjuang dari dalam tubuhnya. Dan aku harus menyelesaikan yang dia mulai.

Dalam halaman terakhir buku wasiat Kakek, tersembunyi di balik lapisan kulit yang dijahit rapat, aku menemukan lembaran tua, ditulis dengan tinta darah:

“Segel sejati hanya bisa diaktifkan oleh darah yang sadar… dan jiwa yang ikhlas.”

“Tapi ingat: setiap segel butuh penukar. Jika tubuh sudah diambil, maka jiwa pengganti harus dikurung.”

Itu artinya… aku harus menukar jiwaku sendiri dengan Aldi, menjebakku di dalam tubuh yang dikendalikan roh, agar Aldi bisa keluar.

Tubuh menjadi sangkar. Jiwa menjadi kunci.

Aku tahu risikonya. Jika gagal, aku akan terjebak selamanya, menyaksikan dari dalam kegelapan, tak pernah benar-benar mati.

Malam itu, aku membawa Aldi ke ruang bawah tanah yang sudah kupersiapkan dengan lambang segel baru, dicampur dari ajaran kuno Kakek dan pecahan mantra leluhur dari catatan Gatot.

Aldi berdiri tenang, tapi matanya menatap penuh kebencian.

Aku mulai membaca mantra. Simbol-simbol mulai menyala. Darah dari telapak tanganku mengalir ke tengah lingkaran. Udara menjadi berat.

Lalu tiba-tiba… Aldi berteriak.

“Kak! Hentikan! Jangan kau serahkan jiwamu! Aku… aku bisa melawannya!”

Aku menatap matanya. Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai… Aldi memegang tanganku.

“Kalau kau masuk… kau tak akan bisa kembali. Tapi kalau aku yang mengurungnya dari dalam… mungkin aku bisa—walau hanya sebagian.”

Aku menggigil.

“Kalau kau gagal, kau akan hilang, Di.”

“Tapi kalau aku berhasil… kau dan Ibu bisa hidup. Rumah bisa tenang lagi.”

Kami saling menatap. Tak ada waktu untuk ragu.

Aku menggambar ulang simbolnya. Kali ini, aku bukan kunci. Aldi adalah segel.

Dan aku… harus menjadi penyaksi, satu-satunya yang tahu kebenaran ini.

Aldi melangkah ke dalam lingkaran. Aku membacakan baris terakhir mantra.

Gagak-gagak menjerit di luar. Dinding rumah runtuh satu demi satu.

Lalu dari tubuh Aldi… roh itu keluar. Berbentuk bayangan perempuan bersayap, menggeliat, meronta, berteriak.

Aldi berteriak lebih keras.

“KAKEK! AKU BUKAN KAU! DAN KAMI TIDAK AKAN MENYAMBUNG PERJANJIANMU LAGI!”

Seketika api merah menyambar simbol. Tubuh Aldi membeku. Suara roh menguap dalam jeritan terakhir.

Rumah itu ambruk.

Dua tahun telah berlalu.

Aku tinggal bersama Ibu, di rumah kecil yang jauh dari kampung.

Setiap malam tanggal 7, aku mengunjungi sebatang pohon tua yang tumbuh di tengah lahan bekas rumah lama.

Di sana, ada batu kecil bertuliskan:

“Di dalam tubuh yang pernah retak, jiwa yang kuat telah menyegel keabadian. – A”

Kadang, angin bertiup lembut. Kadang… aku mendengar suara adikku berkata:

“Aku masih di sini, Kak. Tapi jangan khawatir. Rumah ini… sudah kututup.”

Setelah kejadian penyegelan terakhir, aku kembali ke rumah lama hanya untuk melihat-lihat sisa puing. Di antara abu dan tulang kayu yang hitam, aku menemukan kotak besi kecil, tersembunyi di bawah lantai dapur yang terbakar.

Di dalamnya:

– Beberapa foto tua Ayah dengan Kakek

– Secarik kain dengan simbol mata gagak

– Dan sepucuk surat yang tak pernah dikirim

Untuk Gatot, adikku,

Jika surat ini kau temukan setelah kepergianku, maka ketahuilah—anak dari anakku akan datang pada waktunya. Aku telah memastikan dia yang paling lemah, paling mudah dikuasai. Satu-satunya yang bisa dijadikan segel hidup tanpa menolak. Dia akan membawa kutukan terakhir kembali ke dalam rumah.

Biarkan yang lain pura-pura menolak. Jangan ada yang menghalangi.

Jangan campur tangan—karena hanya dia yang bisa membuka dan menutup pintu ini. Dan satu anak lagi, jika ikut dalam pusaran, jadikan saksi untuk menyempurnakan ikatan darah...

-G. (Kakek)

Tanganku bergetar. “Satu anak lagi” itu aku.

Segalanya mulai masuk akal.

"Penolakan" keluarga besar saat warisan dibacakan—terlalu seragam, terlalu dramatis.

Mereka tidak benar-benar marah.

Mereka pura-pura, agar kami merasa menang.

Kami “diberi” rumah itu agar kami datang ke sana sendiri, tanpa mereka perlu menyentuh kutukan itu langsung.

Aku teringat sorot mata Kakek Gatot saat berkata:

“Harus dijalankan sesuai tertulis. Kalau mau diubah, akibatnya kalian tanggung sendiri!”

Itu bukan peringatan untuk semua orang. Itu adalah peringatan untukku, agar aku tidak merusak rencana yang sudah disiapkan bertahun-tahun.

Jadi bukan rumah yang diwariskan.

Tapi kutukan.

Dan Aldi adalah tumbal yang sudah ditentukan.

Aku kembali ke kota, mendatangi satu-satu keluarga besar yang dulu duduk di ruang tamu Kakek saat wasiat dibacakan.

Sepupu-sepupu Ayah. Anak-anak dari Gatot. Mereka semua tahu. Beberapa mencoba menutup pintu. Beberapa mencoba menyuap.

Tapi mataku—mata seseorang yang telah melihat roh Ibu Gagak—tak bisa lagi dibohongi.

Malam itu aku kembali ke rumah salah satu dari mereka.

Dan untuk pertama kalinya… aku membawa satu simbol baru.

Simbol pengembalian kutukan.

“Kalian lemparkan kutukan ini ke tubuh adikku. Sekarang aku bawa rumah itu ke tubuh kalian.”

Dan ketika gagak pertama mendarat di pagar rumahnya malam itu, dia tahu:

Tumbal tidak bisa dilimpahkan tanpa harga.

Satu per satu, keluarga itu mengalami hal yang sama:

– Anak-anak mereka bermimpi mata besar mengintip dari langit-langit

– Suara tangisan anak kecil dari lemari

– Ayam dan burung peliharaan mereka mati mencurigakan

– Dan ketika mereka menengok ke cermin… wajah mereka tidak sepenuhnya milik mereka sendiri

Kutukan itu bukan lagi soal rumah.

Kutukan itu kini punya nama baru. Aldi.

Dan aku… aku bukan saksi lagi.

Aku adalah pembawa pesan, penyebar warisan yang telah dikotori.

Dulu kutukan ini butuh rumah untuk tinggal.

Tapi sekarang, rumah itu hidup di dalam darah.

Aldi mungkin telah menyegel roh itu, tapi tidak membunuhnya.

Karena kutukan bukan untuk dimusnahkan.

Kutukan hanya bisa diwariskan—dan dibalas.

Dan setiap keluarga yang menyetujui perjanjian Kakek, kini menyimpan retakan di jiwanya.

Tinggal menunggu waktu. Sampai Ibu Gagak kembali memanggil nama mereka satu per satu.

Pagi itu, aku berdiri di depan rumah Kakek Gatot.

Sama seperti rumah kami dulu—tua, berlumut, terlalu sunyi untuk ukuran manusia. Tapi tidak ada burung gagak. Mereka tidak mendekat ke rumah ini.

Kakek Gatot sudah menunggu di beranda. Seakan tahu aku akan datang. Tangannya menggenggam tongkat kayu gelap dengan ukiran mata gagak di kepalanya.

“Akhirnya kau datang juga. Anak sulung dari anak durhaka.”

Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap. Dan di balik mataku, Aldi berbisik:

“Dia tahu, Kak. Dia tahu segalanya sejak awal.”

Kami duduk. Tidak saling bicara beberapa menit. Sampai akhirnya aku buka suara:

“Kenapa kau lakukan itu ke Aldi?”

“Karena jika bukan dia, maka kalian semua akan habis.”

Matanya tajam. Tidak ada penyesalan.

“Kami butuh satu yang lemah untuk menjadi segel. Dan satu yang cukup kuat untuk menjadi saksi. Kalian sempurna.”

“Kau menjual keluarga sendiri.”

“Bukan menjual. Menjaga. Ini sudah terjadi selama tujuh generasi. Kalau tidak begitu, roh itu akan keluar dan menghancurkan garis darah kita sepenuhnya.”

“Maka biar hancur. Daripada harus mengorbankan anak-anak sendiri.”

“Kau terlalu muda untuk paham. Kita tidak menyembah kegelapan. Kita menyimpan kegelapan itu agar tidak menelan dunia. Lagipula semua keluarga besar kita mendapatkan manfaatnya. Harta berlimpah, Harta yang tak pernah habis walau dihamburkan bagaimana pun caranya. Uang dan rejeki datang dengan begitu gampangnya.”

“Dengan darah bocah 13 tahun?”

Gatot tertawa kering.

“Hanya butuh satu pengorbanan. Hanya satu saja.’’

“Kau pikir hanya Aldi? Kau pikir hanya kalian? Anak-anak dari garis keturunan ini selalu ‘dipilih’. Sejak jaman penjajahan Belanda. Sejak leluhur kita pertama kali membuat perjanjian dengan Ibu Gagak di hutan

Kakek Gatot membawaku ke ruang bawah tanah rumahnya—tersembunyi di balik rak buku. Tangga batu menurun ke dalam tanah basah.

Di sana, tergantung photo anak-anak dari berbagai jaman. Semua sepia. Beberapa hitam putih. Semua terlihat… mirip.

Di dinding belakang, ada lukisan besar perempuan bersayap gagak. Matanya dibuat dari batu obsidian yang bersinar samar. Di bawahnya tertulis:

“Yang menjaga jiwa dunia adalah mereka yang disegel oleh dagingnya sendiri.”

Gatot menatapku.

“Tapi sekarang segel itu tidak sempurna. Karena kau melanggar bagian terakhir dari ritual: pengorbanan pembimbing. Kau seharusnya menyerahkan adikmu atau dirimu. Tapi kau memilih menolak semua.”

“Karena aku manusia. Bukan penjilat neraka.”

''Asal kau tahu, Ayahmu tetap hidup karena ia memilih mengorbankan kembarannya daripada dirinya sendiri. Ayahmu memang orang beruntung karena Ayahmu dan kembarannya telah berbagi darah yang sama. tapi sayangnya sepertinya keberuntungan itu hanya milik ayahmu. Kembaran ayahmu, seorang lajang yang tidak punya anak. Kutukan itu memutuskan kembali lagi, kembali ke penerus darah ayahmu, yaitu kalian.''

“Kalau begitu... maka bersiaplah. Karena jika segel tak lengkap... dia akan mencari tubuh baru. Dan yang paling matang untuk dijadikan wadah adalah kau.”

Aku angkat simbol besi dari dalam tasku—satu-satunya peninggalan dari pusaka Kakek (ayahku). Sebuah kunci pembalik segel, yang dulu dianggap terlarang karena bisa menghancurkan roh sepenuhnya.

Tapi, seperti kata Aldi:

“Kalau dia tidak bisa disegel, mungkin dia bisa dimusnahkan…”

Gatot melotot.

“Jangan! Itu akan membakar semua ikatan darah! Kau akan menghapus seluruh silsilah!”

“Bagus. Kalau silsilah ini dibangun dari darah anak-anak tak bersalah, maka biarlah terbakar.”

Simbol itu kugoreskan ke lantai ruang bawah tanah. Batu mulai retak. Lukisan Ibu Gagak bergetar. Obsidian di matanya meneteskan darah.

Gatot meraih tongkatnya, tapi aku lebih cepat. Kutarik kekuatan dari Aldi yang tertinggal di dalamku.

“Untuk Aldi. Untuk Ayah. Untuk semua yang kalian korbankan. Aku… tidak akan menjadi segel kalian.”

Ritual terbalik dimulai.

Tanah gemetar. Lukisan terbakar. Di atas, gagak-gagak terbang tak menentu. Beberapa jatuh dari langit, terbakar sendiri.

Gatot jatuh berlutut. Matanya berdarah.

“Kau tidak tahu apa yang kau lakukan… roh itu tak akan mati. Ia akan jadi liar! Tak ada yang mengurungnya!”

“Lebih baik liar dan bebas… daripada terus memakan anak-anak!”

Terakhir yang kulihat adalah mataku sendiri berubah merah—tapi bukan karena roh. Karena silsilah darah di tubuhku sedang menyala.

Lalu semuanya meledak dalam cahaya hitam.

Rumah Gatot kini hanya puing. Tapi tak ada api. Tak ada asap. Hanya… rumah yang perlahan hilang seperti ditelan bayangan.



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)