Masukan nama pengguna
NAMANYA Aryan Heriadi. Dia biasa dipanggil Heri. Heri berasal dari salah satu desa di bumi Sakti Alam Kerinci. Anaknya jenius! Kenapa tidak? Waktu S1 di Universitas Andalas saja dia sudah kenal dengan jurnal Sinta, Scopus, ISI atau WoS. Tidak heran dia berhasil menamatkan S1nya dengan predikat cum laude dalam waktu tiga tahun empat bulan. Sayangnya, setelah itu sayap Heri patah! Dia harus kembali ke desanya yang dingin. Di sana Heri tidak bisa apa-apa karena semuanya perlu modal! Tetapi Heri tidak tinggal diam. Heri membulatkan tekad! Dia ingin berhijrah ke Malaysia untuk bekerja sambil melanjutkan kuliah.
Itu memang bukan tekad yang mudah! Tetapi Heri yakin itu adalah tekadnya yang terbaik karena tekad itu sudah dipertimbangkannya sebaik mungkin. Namun tekad Heri ditentang Azhar, tetangga Heri yang sudah menjadi pegawai negeri sejak dua tahun yang lalu dan sudah ‘dipinang’ oleh gadis desa tetangga dengan nominal fantastis.
“Rie! Rie tunggu! Kamu mau kemana pagi-pagi ini?” tanya Azhar sambil menahan motor Heri yang pelan-pelan lewat di samping mobilnya.
“Aku ingin ke kantor imigrasi Wo,” balas Heri dari atas motor.
Heri memanggil Azhar Wo mengikut tradisi Kerinci karena Azhar anak pertama dalam keluarganya dan lebih tua empat tahun dari Heri.
“Jadi kamu memang ingin berangkat ke Malaysia?” tanya Azhar.
“InsyaALLAH Wo,” balas Heri.
“Rie, Wo sudah bilang, lebih baik kamu pikir lagi. Menurut Wo bagus kamu menjadi pegawai negeri dulu supaya aman! Atau honor di kantor Wo sambil menunggu peluang,” pujuk Azhar.
“Tidak bisa Wo. Kasian Emak dan Ayah. Aku ingin membantu mereka.”
“Lalu hubunganmu dengan Eira bagaimana? Bisa-bisa kamu ditinggal nikah sama Eira kalau kamu begini,” hasut Azhar.
“Tidak Wo, dia baik. Hubungan kami juga baik-baik saja selama ini,” balas Heri.
“Baik? Selama ini bukannya kamu sering bilang dia memintamu menjadi pegawai negeri? Di mana baiknya?” tanya Azhar dengan rasa kurang percaya.
“Bukankah itu permintaan yang baik Wo, cuma belum ada peluang,” terang Heri.
“Heri! Lihat Wo! Sudah aman,” ucap Azhar. “Dikasih mobil,” katanya lagi sambil menepuk Avanza hitamnya. “Sekarang Wo tinggal menunggu dijemput,” tambahnya lagi setengah berbisik.
“Astagfirullah! Wo, kok bisa dijemput? Sama cewek?” tanya Heri kaget.
“Rie! Kalau kita pegawai negeri, semuanya aman,” bisik Azhar lagi. “Cewek akan mencari kita! Dipinang seperti Wo!” tambah Azhar dengan rasa bangga.
“Mengucap Wo! Nanti didengar tetangga yang lewat.” Heri mengingatkan Azhar sambil melihat dua wanita yang lewat di samping mereka.
“Kenapa harus malu? Sudah menjadi rahasia umum! Dulu Wo melamar kak Lia pacar Wo, dia menolak! Sekarang emaknya menawarkan seratus juta sama Wo supaya menjadi lakinya!”
“Hissk... Malu Wo! Bawa Istighfar!” pinta Heri.
“Rie. Percayalah sama Wo. Kalau kamu menjadi pegawai negeri, bukan hanya Eira, cewek lain juga akan datang ‘menjemputmu’,” bisik Azhar yang menyerupai bisikan iblis.
“Sudah Wo! Saya ingin mengambil paspor nih. Nanti kita sambung lagi ngobrolnya. Assalamualaikum Wo.” Heri cepat-cepat meniggalkan Azhar yang suka menghasut.
Heri tersenyum sambil mengendarai motornya. Azhar memang menjadi pangeran pujaan di desa mereka sejak dia menjadi pegawai negeri. Tidak ada yang menolak lamarannya! Dia dilirik, dipuja bahkan dipinang untuk dijadikan menantu dengan hantaran seratus juta. Karena itu Azhar mendesak supaya Heri menjadi pegawai negeri sepertinya. Heri tidak peduli! Cara Azhar tidak ada tempat di otaknya apa lagi sampai dipinang oleh perempuan dengan hantaran seratus juta. Itu hanya menjatuhkan harga dirinya sebagai laki-laki! Heri berhijrah dan berhasil mendaftar sebagai mahasiswa S2 di Universiti Putra Malaysia (UPM).
Tetapi Heri harus berjuang secara akademik dan finansial. Setiap pagi Heri harus melawan kantuk demi kuliahnya dan harus bekerja shift malam demi kebutuhan finansialnya. Sekarang Heri sudah di pertengahan semester tiga. Pagi itu Heri nekad berada di kampus dari pukul 8.00 pagi hingga pukul 4.00 sore untuk memberi nota menyerahkan thesis ke fakultas. Malangnya, pegawai fakultas yang bertugas menerima nota itu belum kelihatan sejak pukul 3.30 sore. Heri terus menunggu! Di luar hujan lebat mengguyur kampus UPM. Mahasiswa yang berada fakultas mulai pergi satu persatu. Heri gelisah karena dia harus bekerja pada pukul 7.00 malam. Heri pun menghubungi rekan kerjanya yang bernama Eko.
“Assalamualaikum Ko,” ucap Heri saat Eko menjawab panggilan WhatAppsnya.
“Waalaikumsalam,” balas Eko.
“Ko, tolong bilang sama Encik Yahya aku datang lambat malam ini,” pinta Heri. Heri memang sering datang terlambat karena sibuk dengan urusan kampus.
“Kenapa Rie?"
“Aku ada urusan di kampus. Urusan penting!” kata Heri sambil melihat nota penyerahan thesis yang telah ditandatangani oleh pembimbingnya.
“Wah! Aku bakal backing pekerjaanmu lagi malam ini,” keluh Eko.
“Ya...! Paling dua jam seperti biasa. Tolong ya,” pinta Heri lagi.
“Ya! Sudahlah! Kamu urus saja yang penting dulu. Nanti aku beritahu,” balas Eko.
“Terima kasih Ko,” ucap Heri sambil mematikan panggilannya.
Tidak lama kemudian, pegawai fakultas yang ditunggu Heri pun sampai. Heri menyerahkan nota penyerahan thesis ke pegawai tersebut. Setelah itu Heri pamit dan meredah hujan menuju bus stand kampus untuk menunggu bus ke arah rumahnya yang terletak di luar kampus UPM.
Bulan Oktober nanti genap satu tahun setengah Heri bekerja sebagai cleaning service di salah satu stasiun MRT di Kuala Lumpur. Di waktu yang sama Heri akan mendapat surat senat dari UPM yang menyatakan dia telah berhasil menamatkan S2nya dalam waktu tiga semester. Walaupun kuliahnya hampir tamat, Heri tetap ingin bekerja di Kuala Lumpur. Dia harus membantu orang tua dan dua adiknya yang masih kuliah. Heri tidak mengeluh walaupun harus bekerja sebagai cleaning service. Malam itu Heri terlambat satu jam. Tetapi dia tidak menyerah! Dia tetap menyelesaikan pekerjaannya walaupun telah lewat pukul 12.00 malam.
“Rie. kamu masih ngepel? Sudah pukul 12 lewat nih. Istirahat yuk, ngantuk,” ajak Eko sambil meletak plastik sampah warna hitam di samping lift dan menghampiri Heri.
“Sebentar ko, nih masih tinggal sedikit. Aku pel dulu biar enak dilihat,” balas Heri. Heri terus mengepel tanpa menghiraukan Eko yang memperhatikannya.
“Eh...! Eh...! Kamu kenapa Ko?” ucap Heri. Dia kaget karena Eko tiba-tiba merebut pel yang digunakannya. “Pekerjaanmu sudah selesai? Itu sampah dalam plastik hitam kenapa ditarok di sana? Cepat letak di belakang sebelum dilihat sama satpam,” kata Heri sambil menunjuk plastik hitam yang diletak Eko di samping lift.
“Sana! Ambil cepat,” perintah Heri.
“Kamu tidak lihat apa? CCTV ada di mana-mana!” Heri mendorong Eko supaya mengambil plastik hitam yang diletaknya di samping lift.
Eko mengambil plastik sampah warna hitam tersebut dan meletaknya di tempat yang tidak terlihat. Di waktu yang sama, Heri segera membereskan peralatan kerja yang dipakainya. Lalu mereka masuk ke dalam ruangan istirahat cleaning service. Heri menukar seragam kerjanya dengan kaos merah hati dan mulai membaca pesan-pesan yang masuk ke WhatAppsnya. Ruangan berukuran tiga kali empat itu cukup nyaman untuk mereka beristirahat sebelum melanjutkan kerja pada pukul 4.00 hingga pukul 6.00 pagi.
“Rie! Kamu chatting sama Eira ya?” tanya Eko ketika Heri ingin merebahkan badannya di atas karpet coklat tua sambil terus melihat WhatApps.
“Aku sedang membalas pesan orang tuaku. Ada yang belum ku balas,” jawab Heri.
“Benar nih?” balas Eko dengan riak wajah kurang percaya.
“Benar! Kenapa Ko?” tanya Heri.
“Tidak! Aku cuma ingin mengingatkan. Kamu tidak perlu membuang waktu memikirkan cewek seperti Eira.”
“Oh ya? Kenapa?” tanya Heri.
“Ya! Prinsipnya jelas. Dia menuntutmu menjadi pegawai negeri. Iya kan?” semprot Eko sambil mengganti seragam kerjanya dengan kaos oblong warna biru laut.
“Iya! Aku tahu Ko. Hmm! Aku malah punya prinsip mau jadi cleaner service saja biar tenang tanpa banyak tekanan,” gurau Heri.
Eko tertawa. Heri pura-pura tidak peduli dengan ucapan Eko. Di hati kecilnya Heri tahu ucapan Eko benar. Eira selalu menuntutnya menjadi pegawai negeri. Inilah yang membuat Heri kesal. Lebih menyakitkan lagi, Eira sering menganggapnya tidak memikirkan masa depan dan mengatakan tujuannya kuliah di Malaysia hanyalah alasan untuk bekerja.
“Rie! Apa kamu memang tidak malu selama ini kamu bekerja sebagai cleaning service bersama kita-kita semua?” tanya Eko sambil memandang Heri.
“Kenapa aku harus malu? Inikan pekerjaan yang halal,” balas Heri dengan bijak
“Iya sih. Tetapi kamu harus mengepel lantai, lap kaca, pintu dan membuang sampah setiap malam. Kamu tidak malu punya ijazah sarjana tetapi kamu bekerja seperti TKI?” tanya Eko.
“Terus demi gengsi kamu ingin aku memakai seragam dinas tanpa gaji? Lalu ke sana kemari dibiayai orang tuaku yang hanya petani?” balas Heri.
“Tidak sih. Tetapi, bagaimana kalau satu saat kamu pulang dan kamu nanti tidak bisa apa-apa di sana. Terus, apa Eira dan keluarganya mau menerimamu?” tanya Eko yang membuat Heri tertawa.
“Jadi kamu tidak percaya rezeki dan jodoh itu diatur oleh ALLAH?” balas Heri.
“Aku percaya! Tetapi kita harus berusaha juga,” kata Eko lagi.
“Ya! Benar! Kita harus berusaha dan usaha itu banyak jenisnya,” terang Heri.
“Ya! Aku tahu. Sudah deh aku mengantuk nih. Besok aku mau kerja lagi karena aku TKI murni yang harus bekerja keras demi permit dan biaya hidup. Kamu itu blasteran TKI dan mahasiswa,” balas Eko sambil berbaring dan memejamkan matanya.
Heri tersenyum. Dia juga mematikan handphonenya. Lalu dia memandang Eko yang sudah memejamkan mata. Tak sampai lima belas menit Heri pun berlayar ke samudera mimpi. Tepat pukul 4.00 pagi dua cleaning service itu bangun kembali untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Malangnya, pagi itu Kuala Lumpur diguyur hujan lebat hingga menjelang tengah hari. Heri terpaksa beristirahat di tempat kerjanya sambil menunggu hujan reda. Lagi pula hari itu tidak ada lagi urusan kampus yang harus dia selesaikan.
EIRA panic! Dia bergegas memasukkan handphone ke sling bag hitamnya dan menyarungkan sling bag itu ke bahunya. Setelah itu dia keluar menuju scoopy biru tua yang diparkir di halaman kantor. Panggilan WhatApps dari ibunya sejam yang lalu membuatnya penasaran! Karena itu Eira meminta izin untuk pulang lebih awal. Setelah dua puluh menit di atas scoopy, Eira sampai di rumah. Wajah putih Eira yang tertutup kaca helem warna gelap terlihat merah merona. Setelah memparkir scoopynya, Eira memberi salam dan masuk ke rumah. Kedua orang tuanya sedang berbual di ruang tamu dan masih berpakaian dinas. Mereka juga baru pulang dan baru sampai di rumah.
“Eira, duduk dulu. Mama dan Papa sengaja menyuruhmu pulang cepat karena ada yang ingin Mama dan Papa bicarakan,” ucap Ibu Yeni dengan wajah girang. Pak Zambri tersenyum dan menganggukkan kepala sebagai isyarat supaya Eira segera duduk.
“Ada apa Mama, Papa?” Eira pun duduk di sofa menghadap ke kedua orang tuanya sambil mengipaskan tangan ke wajahnya yang masih berkeringat. Dia melepaskan sling bag dan meletaknya di atas meja kaca di depannya. Di atas meja itu ada beberapa aqua gelas yang tersusun rapi. Eira mengambil segelas aqua dan meminumnya sampai habis.
“Sebelumnya Mama ingin tahu. Hubunganmu dengan Heri selama ini bagaimana? Apa Heri memang tidak berniat ingin mengikuti tes pegawai negeri tahun ini? Ibu Yeni memastikan.
“Kenapa Ma?” tanya Eira.
“Mama ingin tahu. Dulu Eira bilang dia ingin bekerja di Malaysia. Kalau tidak salah sudah setahun lebih dia di sana,” kata ibu Yeni.
“Benar Ma,” angguk Eira lirih.
“Apa dia bilang ingin pulang tahun ini dan ingin mengikuti tes pegawai negeri? Ini demi masa depanmu Eira,” kata Ibu Yeni lagi.
“Kayaknya... ee... Heri belum mau ikut tes pegawai negeri tahun ini Ma. Kesempatan Heri masih lama. Masih ada sepuluh tahun dari sekarang,” jawab Eira jujur.
“Kalau begitu sebaiknya kamu jangan membuang waktu dengannya. Tanggung jawabnya kepada orang tua dan adiknya besar. Mama takut! Kalau dia tidak menepati janji, masa depanmu akan sia-sia,” tegas Ibu Yeni.
“Heri memang tidak pernah berjanji ingin pulang apa lagi bilang ingin ikut tes pegawai negeri tahun ini Ma. Dia cuma bilang mungkin dia pulang setelah tamat kuliah di sana,” kata Eira terus terang.
“Kalau begitu sebaiknya kamu jangan berharap padanya lagi. Coba lihat orang lain sibuk mengejar peluang menjadi pegawai negeri. Heri malah ingin menjadi TKI,” ujar Ibu Yeni dengan nada kesal.
“Tidak Ma. Heri juga sambil kuliah di sana. Dia kuliah sambil bekerja shift malam untuk membantu keluarganya dan membiayai kuliahnya,” bela Eira.
“Sudahlah Eira. Mama tidak mau mendengar tentangnya lagi! Tujuannya ke sana sudah jelas untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Kamu jangan sampai tertipu dengan kata-kata manisnya yang mengatakan dia sedang kuliah!” ucap Ibu Yeni dengan nada kesal.
“Tetapi Ma. Heri memang sedang kuliah,” terang Eira untuk membela Heri.
“Begini Eira! Dengar baik-baik apa yang ingin Mama sampaikan!” Ibu Yeni memotong pembicaraan Eira.
“Apa Ma?” Eira mengalah.
“Indra anak Tante Rita yang lulus jadi dosen pegawai negeri di Yogyakarta,” ungkap Ibu Yeni.
“Terus? Kenapa Ma?” Eira bingung dan ingin tahu.
“Eira, ini kesempatan kamu untuk mendapatkan suami yang memiliki pekerjaan tetap. Mama... Mama dan Papa ingin menjodohkan kamu dengan Indra. Kamu setujukan?” tanya Ibu Yeni berterus terang.
“Ya, Papa juga setuju dengan mamamu. Indra itu sudah menjadi pegawai negeri. Dosen lagi. Lagi pula anaknya baik dan menurut sama orang tuanya. Masa depanmu lebih terjamin kalau kamu menikah dengan Indra yang sudah pegawai negeri.” Pak Zambri meyakinkan Eira.
Eira memandang ayahnya. “Te... Te... Tetapi Eira tidak kenal Indra Pa. Indra juga tidak kenal Eira. Kami tidak kenal antara satu sama lain. Eira cuma mendengar tentang Indra dari teman sekantor,” balas Eira polos.
“Maksud Mama, Eira ingin dijodohkan dengan Indra?” tanyanya sambil memandang ibunya.
Ibu Yeni dan Pak Zambri saling berpandangan dan mengangguk. Mereka menangkap isyarat setuju dari Eira walaupun Eira menunjukkan wajah panic.
“Ya, kami ingin menjodohkanmu dengan Indra,” kata Pak Zambri.
Eira tidak percaya karena dia dan Indra tidak kenal antara satu sama lain. Dia pun berpikir apakah Indra menyukainya?
“Kamis depan Mama dan Tante Rita ingin ke resepsi pernikahan anak kawan Mama di daerah Hilir. Setelah itu Mama ingin mengajak Tante Rita jalan-jalan sambil ngobrol. Mama mau Eira bertemu Tante Rita,” pinta Ibu Yeni.
Perasaan Eira menjadi tidak karuan. Dia pura-pura membantah dan mengaku sibuk.
“Bagaimana ya? Lihat dulu Ma. Eira banyak pekerjaan di kantor.” Eira memberi alasan seolah-olah dia tidak tertarik dan tidak ingin bertemu teman mamanya.
“Sudahlah! Kamu jangan terobsesi dengan pekerjaan kantor. Kamu juga bukan pegawai tetap! Kamis depan kamu tidak perlu masuk kantor. Bertemu dengan Tante Rita lebih penting dari pada pekerjaanmu di kantor,” tegas Ibu Yeni.
“Kalau begitu, ya tidak apa-apa Ma,” ucap Eira lirih.
“Bagus,” puji Ibu Yeni.
Eira tersenyum sambil berdiri. Lalu dia minta diri dan masuk kamar. Eira merebahkan diri dengan girang. Dia tahu hubungannya dengan Heri tidak direstui orang tuanya karena Heri bukan pegawai negeri. Orang tua Eira menetapkan syarat mutlak untuk calon menantunya yaitu pegawai negeri. Eira pun begitu, walaupun dia mencintai Heri, dia tetap berharap suaminya nanti adalah seorang pegawai negeri.
Tetapi, saran ibunya membuat Eira bingung! Apakah dia harus menolak Indra yang belum dikenalinya? Sedangkan Indra adalah seorang pegawai negeri. Bukan mudah untuk mendapatkan calon suami yang sudah pegawai negeri di bumi sakti alam Kerinci. Sekarang dia ingin dijodohkan dengan seorang pegawai yang bertugas sebagai dosen. Haruskah dia menolak Indra demi Heri yang belum jelas masa depannya? Eira gelisah! Malam itu sekitar pukul 11.00 malam, Eira membuat panggilan WhatApps ke Heri untuk meminta kepastian.
“Assalamualaikum,” ucap Eira saat Heri menjawab panggilan WhatAppsnya.
“Waalaikumsalam,” balas Heri sambil bergegas bangun dan mengusap wajahnya.
“Rie! Aku udah berkali-kali menelponmu! Kenapa kamu tidak menjawabnya?” tanya Eira dengan nada yang penuh sesalan.
“Oh. Maaf Eira. Aku tadi sedang bekerja. Jadi aku tidak bisa menjawab telpon. Sekarang sudah istirahat.” ujar Heri. “Maaf ya. Ada apa Eira?” sambungnya.
“Kok kamu begitu ya? Kamu kan hanya cleaning service! Kamu memang tidak ingin mengikuti tes pegawai negeri tahun ini?” Eira mulai meninggikan ucapannya agar Heri mengerti keinginannya dalam hubungan mereka.
Heri hanya diam. Dia tahu kalau Eira menghubunginya, pegawai negerilah yang akan menjadi bahan utama. Eira tak pernah menanyakan perkuliahannya selain menyalahkan pekerjaannya sebagai cleaning service.
“Aku belum membuat keputusan apa-apa Eira. Aku punya orang tua dan dua adik perempuan yang perlu bantuanku. Mereka perlu aku,” ujar Heri terus terang.
“Jadi kamu memang tidak peduli dengan masa depan hubungan kita?” Eira memberi ancaman.
“Sudah tentu aku peduli Eira. Aku ...”
“Kalau kamu peduli dengan hubungan kita, kamu harus berjuang Rie! Tahun ini kamu harus menjadi pegawai negeri dan kita akan menikah.” Eira memotong pembicaan Heri sebelum Heri menyelesaikannya.
“Berjuang bagaimana maksudmu Eira?”
“Ya! Berjuang supaya kamu bisa lulus! Menurutmu ingin lulus itu mudah dan bisa tanpa usaha? Sekurang-kurangnya kamu tahu passing-gradenya berapa dan bagaimana kamu harus melewatinya!” tegas Eira.
“Eira! Aku sedang berjuang menyelesaikan kuliahku. Kenapa kamu tidak percaya kalau aku sedang kuliah?” soal Heri.
“Rie! Lagi-lagi kamu bilang alasan kuliah. Lagi-lagi kuliah,” balas Eira dengan nada tegas dan menyakitkan.
“Jadi tujuanmu menelponku malam-malam begini cuma ingin memaksaku menjadi pegawai negeri supaya kita bisa menikah?” soal Heri.
“Heri! Dengar baik-baik. Aku sudah memberi kesempatan padamu selama ini. Aku tidak mau melanjutkan hubungan kita kalau orang tuaku tidak merestuinya!” tegas Eira sambil mematikan panggilan.
“Eira... Hallo... Hallo... Hallo... Eira,” ucap Heri.
Heri melihat handphonenya dan menghubungi Eira berulang kali tapi panggilan itu tidak dijawab. Heri bersabar dan menunggu sampai besok. Besoknya, Heri menghubungi Eira lagi sekitar pukul 9.00 pagi. Lagi-lagi panggilan itu diabaikan Eira. Heri berpikir positif dan menganggap Eira sedang sibuk di kantor. Kemudian Heri menghubungi Eira lagi pada waktu makan siang, sekali lagi panggilan Heri diabaikan Eira begitu saja. Heri masih bersabar. Dia menghubungi Eira lagi setelah waktu isya, panggilan ini pun diabaikan Eira. Eira tidak menjawab panggilan Heri selama tiga hari berturut-turut tetapi Heri tetap bersabar. Heri tahu ibu Eira tidak akan menerimanya selagi dia bukan pegawai negeri.
AKHIRNYA hari Kamis yang dinantikan itu pun tiba, Eira bersiap untuk menghadiri resepsi pernikahan anak teman ibunya di daerah Hilir. Dia memilih kebaya tunik warna coklat bata dari kain brokat dengan sulaman hitam kecoklatan. Wajah putih Eira makin berseri hasil sentuhan MUA profesional. Eira ingin tampil elegant di depan Ibu Rita. Akhirnya, Eira dan kedua orang tuanya bertemu dengan Ibu Rita di acara resepsi tersebut dan mereka pun menikmati hidangan di satu meja.
Setelah menikmati hidangan dan memberi ucapan selamat kepada kedua mempelai, Ibu Yeni mengajak Ibu Rita ke Danau Kerinci untuk melihat indahnya alam Kerinci yang dijuluki dengan nama sekepal tanah dari syurga. Ibu Rita setuju, ternyata dia datang bersama Indra yang duduk bersama teman-temannya. Ibu Yeni girang, begitu juga dengan Pak Zambri. Inilah kesempatan mereka memperkenalkan Eira kepada Indra. Tidak lama kemudian mereka berangkat menuju Danau Kerinci. Sesampai di sana, Ibu Yeni mengajak Ibu Rita, Indra, Eira dan pak Zambri ke sebuah cafe indah yang menghadap ke danau. Mereka bercerita sambil menikmati kopi khas Kerinci yang harum dan hangat. Ibu Yeni tidak melepaskan kesempatan menayakan cita-cita Indra.
“Oh, jadi sekarang Indra ingin melanjutkan S3 dulu?” tanya ibu Yeni dengan senyum manis yang terukir di bibir merahnya.
“Iya Tante. Saya mau S3 dulu mumpung masih ada waktu,” balas Indra.
“Mumpung masih sendiri maksudnya,” potong Ibu Rita yang disambut tawa oleh Ibu Yeni, Pak Zambri, Indra, dan Eira.
“Maksudnya, syarat menjadi dosen sekarang harus S3 Tante.” Indra meluruskan maksudnya dengan sopan.
“Ya! Sekarang dosen wajib Doktor. Ngomong-ngomong, di mana Indra ingin melanjutkan S3?” tanya Pak Zambri sambil menghirup kopinya.
“Universitas Indonesia saja Om. Saya belum berani keluar negeri. Di luar negeri berat syarat lulusnya.” Indra merendahkan diri.
“Eira sekarang bekerja di mana?” Ibu Rita tiba-tiba memotong pembicaraan dan memandang Eira yang tunduk membisu. Dari tadi mereka lebih banyak bercerita tentang persaingan Indra menjadi pegawai negeri hingga lupa tentang Eira.
“Ee... Eira sekarang mengabdi di kantor pemerintah Tante. Sudah dua tahun,” kata Eira jujur sambil memandang Ibu Rita dengan sopan.
“Oh lama ya? Apa Eira tidak berminat melanjutkan study?” Tiba-tiba Indra bertanya.
Eira salah tingkah namun dia berusaha tenang supaya tidak terlihat gugup di depan calon menantu dambaan sang ibu.
“Sekarang,... Sekarang ingin mencari pekerjaan dulu Bang,” balas Eira.
Indra tersenyum tipis mendengar ucapan ‘Bang’ yang terlontar dari bibir manis Eira. Dia tidak nyaman dengan panggilan ‘Bang’ apa lagi ia diucapkan oleh seorang gadis desa dari bumi sakti alam Kerinci. Indra lebih nyaman gadis Kerinci memanggil namanya atau menggunakan panggilan khusus Kerinci seperti Wo.
“Wah! Sayang sekali,” balas Indra.
"Iya Bang, tapi...”
“Sudah jangan panggil ‘Bang’... panggil saja Indra biar lebih santai,” potong Indra saat mendengar ucapan ‘Bang’ keluar lagi dari bibir manis Eira.
Ibu Rita tertawa geli mendengar ucapan anaknya. Dia tidak mengerti kenapa anaknya alergi dengan panggilan ‘Abang’ atau ‘Bang’ dari wanita.
“Ya. Tante maunya Eira lulus dulu menjadi pegawai negeri. Setelah itu baru memikirkan sama ada melanjutkan kuliah atau bagaimana,” potong Ibu Yeni saat melihat Eira gugup dan kehilangan kata-kata ketika berbicara lansung dengan Indra.
“Oh begitu... Ya tidak apa-apa,” balas Indra.
“InsyaALLAH tahun ini Eira lulus karena persiapan belajarnya sudah matang. Passing-grade hasil try-out Eira juga di atas rata-rata. InsyaALLAH lulus.” Ibu Yeni mulai mempromosikan Eira dengan embel-embel pegawai negeri sambil dianggukkan oleh suaminya yang duduk di samping.
“Bagus Eira, wanita sekarang harus mempunyai pekerjaan,” timpal Ibu Rita yang duduk disamping Indra.
Indra tersenyum mendengar ucapan ibunya. Dia tahu status pegawai negeri adalah dambaan penduduk Kerinci sama ada laki-laki atau perempuan. Banyak yang belajar mati-matian tidak kira siang atau malam demi melewati passing-grade yang ditetepkan pemerintah. Sedangkan Indra yang berstatus pegawai negeri justru tidak merasa istimewa. Tetapi dia tahu di bumi sekepal tanah syurga itu, pegawai negeri adalah segala-galanya sehingga pegawai negeri mendominasi obrolan mereka petang itu. Pukul 5.00 sore barulah mereka pulang. Indra dan Ibu Rita meninggalkan Danau Kerinci, begitu juga dengan Ibu Yeni, Pak Zambri dan Eira. Saat di mobil, Ibu Rita mulai mengkritik Indra dengan berbagai pertanyaan.
“Indra, Mama lihat kamu tadi kok strict sekali? Tante Yeni itu kawan Mama waktu kuliah dulu,” kata Ibu Rita sambil memandang Indra yang sedang menyetir.
“Terus?” tanya Indra.
“Dari kemaren dia bilang ke Mama dia ingin memperkenalkan Eira sama kamu,” katanya lagi.
Indra tersenyum sambil memperhatikan jalan di depannya. Lalu dia memandang sang ibu yang sedang memperhatikan gerak-geriknya.
“Apa salahnya Ma. Cuma kenalankan?” balas Indra.
“Ya. Kenalan. Tetapi kenalan yang serius Indra. Mana tahu ada kecocokan antara kamu dan Eira,” balas Ibu Rita yang membuat Indra tertawa.
“Oh. Maksudnya berkenalan dan mencari kecocokan. Terus ingin menjodohkan Indra dengan Eira. Yang benar saja Ma,” kata Indra sambil terus tertawa geli.
“Kok kamu ketawa Indra? Apa salahnya? Kamu kan sudah bekerja! Artinya kamu sudah mampu membina rumah tangga,” balas Ibu Rita sambil melihat reaksi Indra.
“Jadi karena Indra sudah pegawai negeri? Bagaimana kalau Indra bukan pegawai negeri Ma?” balas Indra.
“Indra. Wajar kalau wanita mencari suami yang sudah pegawai negeri karena suami yang memberi nafkah,” terang Ibu Rita.
“Oh. Jadi sebab itu Tante Yeni ingin memperkenalkan Eira ke Indra?” tanya Indra.
“Ya! apa salahnya?” jawab Ibu Rita.
“Tetapi Indra ingin melanjutkan kuliah dulu Ma. Kalau cuma kenalan biasa tidak apa-apa. Kalau ke tahap serius. Maksudnya ke tahap pernikahan itu tidak mungkin Ma. Indra ingin menyelesaikan S3 dulu, selain itu...”
“Selain itu apa? Eira itu cantik, sopan dan kalem anaknya. Mama senang kalau kamu menikah dengan Eira,” kata Ibu Rita jujur.
“Apa Ma? Astaghfirullah! Kenapa cantik yang menjadi ukuran?” tanya Indra kaget sambil terus melajukan mobilnya dan memandang ke depan.
“Ya! Memang itu kenyatannya Indra.”
“Bukan karena the power of make up Ma?” sindir Indra sambil tersenyum kecil.
“Dia memang cantik dan lemah lembut anaknya,” balas Ibu Rita yang terus mempertahankan Eira.
“Sudahlah Ma. Kalau Tante Yeni nanya lagi, bilang saja Indra mau berteman dengan siapa saja dengan catatan sebagai teman biasa. Titik,” balas Indra.
Ibu Rita menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan anak tunggalnya itu. Sebelum ini ada juga yang ingin menjodohkan Indra dengan anak mereka tetapi Indra menolak. Ada yang menawarkan nominal fanstastis kalau Indra bersedia ‘dijemput’ untuk dijodohkan dengan anak mereka namun Indra tetap menolak.
EIRA tidak karuan. Pertemuan dengan Indra sore tadi memberi kesan yang indah di hatinya. Eira mulai membayangkan sosok Indra yang tenang, dewasa dan penuh wibawa. Ya! Indra memang sosok imam yang sempurna! Dia juga membayangkan sosok Heri yang menurutnya keras kepala, pengangguran, susah diatur, dan sekarang menjadi TKI. Sangat memalukan! Saat pikirannya terbang jauh, handphonenya berdering. Rupanya itu dari Heri. Eira kesal! Dia lansung mematikan panggilan. Sepuluh menit berikutnya, handphone Eira berdering lagi, lagi-lagi itu dari Heri dan lagi-lagi Eira menolaknya. Lalu handphonenya kembali berdering. Kali ini Eira lansung menjawabnya dengan amarah yang memuncak.
“Apa lagi Heri?” bentak Eira dengan nada tinggi. Heri tidak bergeming.
“Heri...! Heri...! Hallo...! Heri... Aku sudah bilang aku tidak akan melanjutkan hubungan kita kalau kamu bukan pegawai negeri!” ketus Eira. Heri masih diam.
Eira kembali meneriakkan ‘hallo’ sambil menyebut nama Heri berkali-kali namun Heri tetap diam membisu. Eira meneriakkan ‘hallo’ sekali lagi dengan penuh amarah dan akhirnya Heri menjawab.
“Assalamualaikum!”
Eira kaget! Itu bukan suara Heri. Eira melihat handphonenya.Ternyata itu Indra. Dalam hitungan detik keringat membahasi wajah Eira. Eira berusaha tenang dan menjawab salam Indra dengan sopan.
“Wa...wa...waalaikumsalam,” balas Eira dengan suara yang terbalik 180 derajat
“Kamu kenapa Eira?” tanya Indra.
“Oh! Tidak ada apa-apa,” balas Eira gugup.
“Maaf ya, mengganggu. Aku cuma ingin meminta maaf waktu di cafe tadi kalau kata-kataku ada yang menyinggung perasaanmu,” ucap Indra santai seolah-olah dia tidak mendengar teriakan Eira yang menyebut nama Heri.
Berbeda dengan Eira. Eira merasa sangat malu hingga kedua tanggannya gemetar. Dia yakin Indra pasti mendengar teriakannya yang menyebut nama Heri dengan kuat dan menuntut Heri menjadi pegawai negeri.
“Oh... Tidak... Tidak apa-apa. Bi...bi...biasa saja kok... ‘Bang’... erk... In... Indra lagi ngapain?” Suara Eira bergetar karena rasa malu yang luar biasa.
“Lagi duduk-duduk di rumah. Aku cuma mau bilang itu saja, aku tidak enak karena mamaku bilang ucapanku tadi strict, mana tahu sudah menyinggung perasaanmu.”
“Oh... Tidak... Aku tidak tersinggung sama sekali Indra.”
“Sudah ya! Aku cuma ingin bilang itu. Assalamualaikum Eira.” Indra lansung menutup panggilan tanpa menunggu Eira membalas salamnya.
Eira masih gemetar. Dia melihat handphonenya lagi dan memeriksa panggilan masuk. Memang benar, tiga panggilan WhatApps tadi dari Heri dan yang terakhir dari Indra. Eira berdiri dan menatap wajahnya di cermin, lalu dia menangis. Imej perempuan lemah lembut yang diciptanya sore tadi hancur bagaikan kaca yang berkecai.
Tetapi Eira tidak bodoh! Dia menggunakan kesempatan itu untuk membangun komunikasi dengan Indra. Dia berpura-pura meminta maaf, berpura-pura tertekan, lalu dia mencari cara untuk ‘curhat’! Semakin lama urat malu Eira semakin putus. Dia mulai menganggap Indra kekasihnya. Akhirnya dia nekad menghubungi Heri untuk mengakhiri hubungan mereka.
“Assalamualaikum,” ucap Eira dengan suara kesal.
“Waalaikumsalam! Eira! Alhamdulillah akhirnya kamu menelponku juga,” ucap Heri sambil masuk ke ruangan istirahat cleaning service malam itu.
“Ya. Sebenarnya ada yang ingin ku sampaikan sama kamu,” kata Eira.
“Oh ya? Apa itu? Aku juga ada yang ingin disampaikan ke kamu. Kamu duluan deh,” kata Heri girang. Eira hanya diam seakan-akan tidak mau berbicara lagi.
“Hallo,” ucap Heri.
“Heri! Aku putuskan untuk mengakhiri hubungan kita sekarang juga!” tegas Eira.
“Apa?” Heri kaget sekaget – kagetnya.
“Ya! Mulai sekarang hubungan kita putus! Kamu jangan menghubungiku lagi!” tegas Eira tanpa mempedulikan perasaan Heri.
“Kenapa Eira? Kenapa?” tanya Heri. Nafas Heri sesak saat mendengar keputusan Eira.
“Kamu tidak peduli dengan hubungan kita dan tidak pernah berusaha untuk mempertahankan hubungan kita,” jawab Eira ketus.
“Dengar penjelasanku dulu Eira,” pinta Heri dengan suara lemah.
“Semuanya sudah jelas Heri! Jangan menghubungiku lagi mulai sekarang! Assalamualaikum!” tutup Eira tanpa menghiraukan apa yang ingin dijelaskan Heri. Lalu Eira memblokir WhatApps Heri agar cleaning servise itu tidak dapat menghubunginya lagi.
“Heri! Heri! Kamu kenapa?” tanya Eko saat melihat wajah Heri yang pucat sambil mengucapkan hallo dan memanggil nama Eira.
“Eira,” kata Heri dengan suara lemas.
“Dia menuntutmu menjadi pegawai negeri lagi?” tanya Eko.
“Dia memutuskan hubungan kami!” jawab Heri.
“Astgfirullah,” ucap Eko sambil mendekati Heri.
Heri tidak menyerah, dia menghubungi Eira lagi. Dia ingin mengatakan dia telah mendapat surat senat dari UPM lebih awal dan dia siap untuk mengikuti tes pegawai negeri sampai lulus. Tetapi WhatAppsnya sudah diblokir Eira. Heri tetap tidak menyerah! Dia menghubungi Eira lagi secara manual, sayangnya penggilan itu lansung dimatikan Eira.
“Sudah Rie. Cewek desa itu tidak pantas menjadi pendamping hidupmu!” kata Eko.
“Bukan begitu Ko.”
“Sudahlah! Kalau dia mencintaimu, dia akan nerimamu apa adanya. Buktinya, dia tidak bisa menerima keadaanmu,” balas Eko.
Heri mengangguk. Hatinya hancur bagaikan kaca yang terhempas. Rasa sakitnya menusuk hingga ke lubuk hatinya yang paling dalam. Heri tidak menyangka Eira akan bertindak sejauh itu. Betul kata Azhar! Di desanya, laki-laki tidak ada harganya kalau bukan pegawai negeri. Heri menelpon dan menceritakan apa yang terjadi antara dia dengan Eira kepada Azhar. Azhar tidak tinggal diam. Inilah kesempatannya untuk memujuk Heri pulang supaya Heri berjuang menjadi pegawai negeri.
“Rie, Wo dapat informasi baru! Tes dosen pegawai negeri dibuka minggu depan. Siapkan bahan-bahan kamu,” kata Azhar. Azhar sengaja menelpon Heri pada pukul 4.00 pagi demi menyampaikan informasi penting itu.
“Wo, aku belum berniat ingin menjadi pegawai negeri. Aku ingin bekerja di sini dulu untuk membantu orang tua dan adik-adik.”
“Tidak bisa! Kamu harus ikut tes Heri! Yang diminta S2 jurusan Computatuional Mathematics. Jurusanmu Rie. Ini kesempatan kamu!. Tunjukkan pada Eira siapa kamu. Kalau kamu lulus dia bakal jemput kamu.”
“Sudahlah Wo, aku tidak berminat dengan yang seperti itu. Dijemput perempuan hanya menjatuhkan harga diriku saja Wo. Tidak ada jodoh aku dengan Eira. Aku ingin melanjutkan S3 dulu sambil terus kerja,” balas Heri.
“Dengar kata Wo Rie! Apa perlu Wo ke Malaysia menjemputmu? Kamu harus pulang demi harga diri! Harga dirimu sudah diinjal-injak!” tegas Azhar.
Melihat kesungguhan Azhar, Heri pun menyerah. Dia menyiapkan semua bahan yang diperlukan untuk mengikuti tes dosen pegawai negeri tahun itu. Di waktu yang sama dia juga memasukkan permohonan beasiswa ke National Univeristy of Singapore (NUS). Tidak disangka Heri melewati passing grade dengan nilai tertinggi dan dinyatakan lulus. Tiga bulan setelah itu, permohonan beasiswa yang dimasukkan Heri ke National Univerisity of Singapore juga diterima. Heri bersyukur atas dua keberhasilan yang diraihnya dalam waktu yang sama. Dia berterima kasih kepada Azhar dan Eko yang sudah memberinya semangat saat dia down!
EIRA tidak menyerah! Dia terus berusaha membangun komunikasi dengan Indra walaupun Indra sering memberikan respon yang dingin. Kadang-kadang Indra cuek dan membalas seadanya. Akhirnya dia sadar kecantikanya tidak mampu menakluk hati Indra dan uang ibunya tidak dapat membeli harga diri Indra yang diselimuti keimanan. Ibu Yeni pun masuk campur! Dia menyebarkan isu pernikahan Eira dengan Indra ke rekan-rekan kantornya. Dalam waktu dua minggu kabar itu menjadi gunjingan yang memalukan. Indra akan di jemput Ibu Yeni dengan nominal seratus juta!
Isu Indra dibeli Eira dengan nominal seratus juta terus tersebar. Ibu Rita dan Indra kaget dan malu ketika berita itu sampai ke telinga mereka. Mereka pun mencari tahu dari mana kabar itu beredar! Rupanya kabar angin beredar di kalangan teman-teman sekantor Ibu Yeni. Ibu Rita menyuruh Indra menghubungi Eira untuk meluruskan kabar yang menjatuhkan harga diri Indra sebagai laki-laki. Indra pun segera menghubungi cewek yang baru pertama kali bertemu dengannya itu.
“Assalamualaikum Eira,” ucap Indra saat Eira menjawab panggilannya.
“Waalaikumsalam!” balas Eira dengan suara lembutnya.
“Eira. Kamu mendengar kabar yang mengatakan kita ingin menikah?” Heri lansung ke pointnya.
“Iya! Aku mendengarnya Indra. Ada yang menanyakan kapan kita akan menikah.” Jawaban Eira benar-benar kalem dan tenang.
“Lalu kamu bilang apa?” tanya Heri.
“Ee... Aku cuma, aku bertanya ke dia, dia tahunya dari siapa?”
“Loh! Kok kamu menjawabnya begitu?” tanya Indra kaget.
“Kamu mendengar ada yang mengatakan aku dibeli oleh ibumu dengan harga seratus juta?” tanya Indra dengan sedikit menekan.
“Tidak! Tidak ada Indra. Mereka hanya menanyakan kapan kita akan menikah. Lalu aku bilang begitu,” kata Eira.
“Jawabanmu sudah menjatuhkan harga diriku!” tegas Indra.
“A...a...aku tidak tahu harus bilang apa Indra,” ucap Eira polos.
“Sudahlah! Kalau ada yang menanyakan lagi bilang saja tidak ada sama sekali. Kabar itu tidak benar,” ucap Indra
Nafas Eira bagaikan terhenti. “Ya! Ya,” balasnya.
“Lagi pula kita memang tidak akan menikah!” tegas Indra yang membuat perasaan Eira panas dingin.
“Hah!” Itu lah jawaban yang mampu terucap dari mulut Eira.
“Sama-sama kita bilang berita itu tidak benar!” tekan Indra.
“Ya,...” ucap Eira lemas.
“Lagi pula kamu punya Heri yang harus kamu dipertahankan dan aku punya calon istri dan harga diri yang harus aku pertahankan,” ujar Indra bertubi-tubi.
Eira kaget saat Indra menyebut nama Heri. Dia lebih kaget lagi saat Indra mengatakan dia sudah ada calon istri.
“Apa?” tanya Eira. Jantungnya berdebar dan terus berdebar.
“Eira, aku sudah punya calon istri! Aku akan menikah dengannya,” ulang Indra.
Eira terdiam! Pengakuan Indra membuat jantungnya berdebar kuat dan hampir berhenti.
“De... Dengan siapa Indra?” Suara Eira semakin lemas. Tangannya mulai menggigil bagaikan kedinginan.
“Dia sekarang lagi menyelesaikan S2nya di Yogyajakarta,” ucap Indra.
“Oh ya?” Eira tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya.
“Sudah ya! Assalamualaikum,” tutup Indra.
Setelah pembicaraan mereka selesai, Eira berteriak! Ibu Yeni mendengar teriakan Eira. Dia bergegas ke kamar Eira.
“Mama sudah Ma...! Sudaaahhh...! Eira malu Ma...! Eira malu...!” teriak Eira sambil menutup wajahnya dengan bantal.
“Ada apa Eira? Apa yang terjadi?” tanya Ibu Yeni sambil mengambil bantal yang menutupi wajah Eira.
“Tolong bilang ke orang-orang yang bertanya Ma. Eira dan Indra tidak akan menikah. Tolong Ma...!” ucap Eira sambil berteriak dan memegang tangan ibunya.
“Bilang ke Mama ada apa Eira?” Ibu Yeni masih belum mengerti.
“Indra menelponku Ma...! Indra bilang dia sudah punya calon isteri...! Dia akan menikahinya!” ucap Eira sambil menangis dan menutup wajah dengan tangannya.
“Ya Allah...!” ucap Ibu Yeni tidak percaya. “Sabar Eira sabar... Indra pasti akan menikahimu. Mama akan menemui Tante Rita,” kata Ibu Yeni sambil terus berusaha menenangkan Eira.
Eira terus memohon supaya ibunya menghentikan semuanya. Pengakuan Indra telah menggoncang jiwanya sehingga Eira malu masuk ke kantor selama sebulan. Akibatnya, Eira sangat tertekan sehingga dia gagal dalam tes pegawai negeri. Ibu Yeni sakit hati melihat keadaan dan kegagalan Eira! Dia nekad menemui Indra dan meminta Indra menemui Eira untuk mengembalikan semangat Eira yang hancur. Akhirnya mereka bertemu di sebuah cafe. Di sana Indra melihat Eira duduk sendirian sambil termenung. Wajahnya pucat.
“Eira, kamu sudah lama menunggu? Kamu datang dengan siapa?” tanya Indra saat menghampiri Eira.
Eira menoleh. “Baru lima belas menit. Aku datang bersama sepupu...! Dia di dalam mobil,” kata Eira sambil memandang ke arah mobilnya dia luar cafe.
“Aku minta maaf Eira. Aku harus berterus terang ke kamu. Aku sudah punya calon istri! Hubungan kami sudah lama! Kami pacaran sebelum aku punya status apa-apa. Aku tidak mungkin meninggalkan dia setelah aku sukses,” ujar Indra.
“Tetapi, orang tua kita sudah setuju dengan pernikahan kita Indra,” rayu Eira tanpa rasa malu dan bersalah.
“Ya! Mereka memang punya rencana untuk menikahkan kita. Tetapi kita berdua sama-sama punya pasangan. Lagi pula mamaku menyerahkan semuanya padaku,” kata Indra.
“Aku tidak punya siapa-siapa Indra. Aku cuma malu! Aku malu sama mereka yang sudah tahu kita akan menikah!” Eira membela diri.
“Eira! Kita hanya diisukan ingin menikah. Sebenarnya, tidak ada kesepakatan antara kita untuk menikah,” kata Indra jujur dan terus terang.
“Ya! Tetapi aku malu kalau kita tidak jadi menikah Indra,” rayu Eira.
“Kalau kita menikah, harga diriku lah yang hancur Eira. Aku menikah karena dibeli perempuan! Aku juga punya harga diri!” tegas Indra.
“Kamu laki-laki, Indra!” balas Eira yang tetap berusaha membela diri.
“Apakah kita harus tunduk dengan isu yang disebarkan? Lagi pula, isu itukan berasal dari kantor mamamu sendiri,” kata Indra.
“Tetapi ini melibatkan harga diriku sebagai perempuan Indra!” balas Eira yang tetap berusaha membela harga dirinya.
“Ya! Aku tahu. Semuanya di luar kendali kita. Tetapi kita punya cara untuk menjernihkan keadaan dan menceritakan faktanya,” kata Indra.
“Itu tidak penting Indra!” bantah Eira.
“Ini penting Eira! Tidak ada yang tahu urusan kita selain keluarga kita,” tekan Indra.
“Tapi...” kata Eira.
“Eira! Bertahanlah dengan Heri! Jangan sia-siakan Heri!” ucap Indra yang membuat debaran jantung Eira semakin tidak terkendali.
“Aku tidak ada hubungan dengan Heri sama sekali Indra. Dia cuma teman biasa,” sangkal Eira dengan suara lemas.
“Aku tahu dia adalah kekasihmu Eira! Sejak kamu menyebut nama Heri, aku melacak siapa Heri di facebook kamu. Akhirnya aku bertemu dengan facebook Aryan Heriadi,” ucap Indra.
Indra mengeluarkan handphonenya dan membuka facebook. Lalu dia memperlihatkan pada Eira bahwa dia telah berteman dengan Heri di facebook.
Eira kaget. “Bagaimana kamu bisa berteman dengan Heri? Indra! Sebenarnya Heri...” ucap Eira tidak percaya.
“Cleaning service yang berjuang mati-matian menyelesaikan S2nya dan membantu orang tuanya! Iya kan?” potong Indra.
“Sebenarnya begini Indra.”
“Eira! Pertahankan Heri atau kamu akan menyesal seumur hidup!” pinta Indra tanpa ragu-ragu sedikitpun.
“Dengar dulu Indra...!” ucap Eira sambil menangis
“Sudahlah Eira! Semuanya sudah selesai! Kita tidak akan menikah. Pulanglah dan sampaikan salamku kepada Tante Yeni,” ucap Indra.
Indra berjalan meninggalkan cafe sambil melambai ke sepupu Eira yang berada di dalam mobil. Eira menangis! Jejak digitalnya di berhasil ditemukan Indra. Entah apa lagi yang sudah ditemukan Indra di media sosialnya. Harga dirinya hancur. Tetapi semuanya bukan salah Indra melainkan salahnya sendiri dan salah ibunya yang mengincar Indra untuk dijadikan menantu. Sekarang dia tahu harga diri Indra tidak dapat dibeli dengan uang. Itulah kenyataan yang harus diterima Eira! Tetapi Eira tidak menyerah! Dia berjanji akan merebut Indra dari siapapun.
LAKI-LAKI yang punya harga diri harus move on! Begitulah Heri memotivasi dirinya agar dia dapat menerima kenyataan bahwa hubungannya dengan Eira sudah berakhir. Heri tidak memberitahu Eira dia sudah diterima menjadi dosen pegawai negeri di Universitas Indonesia (UI) di Jakarta. Hanya Eko, Azhar dan keluarganya yang tahu apa yang dilalui Heri sehingga urusan kepegawaiannya selesai. Setelah itu Heri kembali ke Kuala Lumpur untuk menghadiri acara wisudanya. Sehari setelah wisuda Heri segera mengemas barang-barangnya di tempat istirahat cleaning service. Besoknya dia lansung terbang ke Singapura untuk daftar S3 di National University of Singapore (NUS). Seminggu setelah mendaftar, Heri bertemu dengan pembimbingnya buat pertama kali.
“Good morning, Are you Heri from Indonesia?”
Heri menoleh ke arah seseorang yang menyapanya dari belakang saat dia berdiri di depan ruangan professor yang bernama Professor Weng.
“Ya, Prof. Saya Heri, dari Indonesia.”
Prof.Weng mengangguk. “Mari masuk,” ajak Prof. Weng.
“Terima kasih Prof.” Heri pun masuk ke ruangan Prof. Weng yang full AC.
“Silakan duduk. Saya sudah membaca proposal kamu. Very interesting,” puji Prof. Weng.
“Terima kasih Prof,” kata Heri.
“Heri. Untuk semester ini, saya mau kamu buat literature review dulu dan jelaskan ‘gaps of research’ yang menjadi alasan kamu memilih penelitian ini.”
“Saya akan buat Prof,” kata Heri penuh semangat.
Professor Weng mengangguk. “PhD ini program full research. Kamu harus banyak membaca dan membuat literature review. Selain itu kamu harus memantapkan bahasa Inggeris kamu karena jurnal dan dissertasi kamu semuanya ditulis dalam bahasa Inggeris.”
“Baik Prof,” balas Heri dengan wajah yang sedikit cemas.
Prof. Weng tahu rasa cemas di hati Heri. Dia tersenyum. “Jangan cemas. Kamu tidak sendirian. Saya akan membimbing kamu sampai kamu bergelar Doctor of Philosophy.” Prof. Weng memberi semangat.
“Terima kasih Prof.” Heri tersenyum lega dengan komitmen Prof. Weng.
“Selain itu, saya sudah mengirim email ke kamu tentang apa yang harus kamu kerjakan. Dalam email itu saya sudah mengatur jadwal bimbingan dan diskusi penting kita kedepannya. Baca baik-baik. Saya ingin kamu seminar proposal di akhir semester satu dan submit artikel ke jurnal Q1 paling lambat akhir semester dua. Kamu baca baik-baik email saya,” terangnya.
“Baik Prof,” ucap Heri.
“Baiklah. Kalau begitu kamu boleh pergi. Kalau kamu ada keperluan dan ada yang ingin ditanyakan, jangan segan-segan menamui saya di sini.”
“Baik Prof,” ucap Heri.
Heri segera ke perpustakaan utama NUS setelah meninggalkan ruangan Prof. Weng. Di sana dia membuka email yang dikirim Prof. Weng menggunakan komputer perpustakaan dan memahami semua instruksi yang diberikan Prof. Weng satu persatu. Heri tidak kaget. Dari S1 dia sudah membaca jurnal yang terindek Sinta, Scopus, ISI atau WoS. Sekarang jurnal inilah yang menjadi makanan hariannya demi segulung ijazah PhD. Dengan tekad yang bulat, Heri berhasil seminar proposal pada akhir semester satu dan memasukkan jurnal pada akhir semester dua. Di pertengahan semester tiga, jurnal yang dimasukkan Heri pada semester dua berhasil diterbitkan di jurnal Q1. Heri bersyukur karena dia telah memenuhi syarat untuk promosi doktor. Sekarang tugas Heri adalah menyelesaikan dissertasinya.
Keberhasilan demi keberhasilan yang diraihnya membuat Heri bagaikan elang yang terbang. Dia menerjang badai yang menerpa dengan sayapnya yang kuat. Sosok gadis desa yang mendewakan seorang pegawai negeri kini menjadi masa lalu yang semakin hilang dari ingatannya. Heri berhasil menyelesaikan dissertasinya dan menerbitkan dua lagi jurnal ilmiah. Akhirnya, Heri lulus S3 dalam waktu kurang dari tiga tahun. Setelah itu Heri kembali ke UI untuk menjalankan tugasnya sebagai dosen dan menjadi mentor mahasiswa S3 UI menulis jurnal ilmiah.
Sedangkan Eira masih terkatung-katung dengan mimpinya untuk menjadi istri Indra. Dia dan ibunya terus mengincar Indra apapun caranya. Satu hari Ibu Yeni nekad menemui Ibu Rita sekali lagi untuk ‘menjemput’ Indra. Kali ini dia berani menawarkan moninal fantastis seratus lima puluh juta rupiah. Tetapi Indra tidak tinggal diam. Dia tidak akan membiarkan harga dirinya jatuh untuk kali ke dua. Dia menghubungi Eira untuk menyelesaikan semuanya malam itu juga secara tegas apapun resikonya.
“Maaf Eira, apapun yang kamu lakukan kita tetap tidak akan menikah,” tegas Indra dalam panggilan.
“Tolonglah Indra! Mamaku akan buat apa saja yang penting kita menikah,” pinta Eira tanpa rasa malu sedikitpun.
“Kamu tidak bisa membeliku dengan uang! Tidak pernah bisa,” tegas Indra.
“Bukan Indra! Aku cuma malu. Sekarang orang-orang mengatakan kita akan menikah setelah kamu lulus S3,” ucap Eira.
“Sudahlah Eira! Semua berita yang tersebar selama ini adalah dari mamamu sendiri. Dia lah yang menjatuhkan harga dirimu selama ini,” tegas Indra.
“Tidak Indra! Mamaku cuma ingin yang terbaik untukku. Itu saja,” balas Eira.
“Karena aku pegawai negeri kamu ingin dia membeliku dengan uang?” tekan Indra.
“Bukan Indra, bukan!”
“Kalau bukan, kamu sudah lama menerima Heri!” ujar Indra lagi.
“Aku tidak bisa menerima Heri karena tujuannya tidak jelas Indra.” Eira mulai menangis.
“Jadi benar karena aku pegawai negeri?” Indra terus menekan Eira.
“Ya! benar!” Akhirnya Eira mengaku dengan jujur.
“Karena aku dosen yang akan mendapat gelar Doktor?” tambah Indra.
“Ya!” jawab Eira sejujurnya sambil menangis.
“Hanya karena status pegawai negeri kamu sanggup membuat apa saja termasuk mempermalukanku dan mempermalukan dirimu sendiri?” tanya Indra tegas.
“Tidak Indra, bukan begitu! Dengar penjelasanku dulu!” pinta Eira.
Indra menggeleng-gelengkan kepala dan beristighfar. Dia meminta Eira membuka emailnya melalui laptop. Lalu Indra mengirim satu link ke Eira. Indra meminta Eira membuka link yang dia kirimkan. Eira pun membuka link yang dikirim Indra. Ternyata itu adalah link profil Heri di situs researchgate. Di profil Heri tertulis status Heri sebagai dosen pegawai negeri di Universitas Indonesia. Dia menyelesaikan S1 di Universitas Andalas, S2 di Universitas Putra Malaysia dan S3 di National University of Singapore.
“Cleaning service yang kamu rendahkan selama ini adalah pembimbing penulisan jurnal ilmiah mahasiswa S3 UI! Dosenku!” ucap Indra dibalik panggilan WhatApps.
“Apa?” tanya Eira. Matanya terbelalak tidak percaya dengan apa yang tertera di layar laptopnya.
Dia membaca profil Heri yang tertulis di researchgate dan melihat jumlah jurnal ilmiah yang ditulis Heri. Tidak ada kata yang terucap di bibir Eira saat melihat keberhasilan cleaning service yang dihinanya dulu. Waktu itu juga Indra mematikan panggilan. Eira meraung! Keringat dingin membahasi dahinya.
Dia kehilangan Indra dan tidak mungkin kembali lagi pada Heri. Tiga bulan berikutnya Eira mendapat kabar dari Azhar yang mengatakan Heri telah menikah dan tinggal di Jakarta. Istri Heri bernama Yanti, yaitu adik Eko teman kerja Heri di Malaysia. Yanti baru saja menyelesaikan S1nya di Universitas Negeri Jakarta. Eira pun stress! Dua bulan berikutnya, Eira sekali lagi dikejutkan dengan kabar yang menyakitkan. Indra akan menikah dengan ‘calon istri’ yang pernah diberitahunya pada Eira. Eira histeris sehingga mengagetkan rekan-rekan sekantornya. Lalu Eira pingsan. Rekan-rekannya menghantarnya pulang ke rumah. Eira depresi! Sejak itu Eira tidak mau bertemu dengan sesiapapun.