Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,529
Damai Yang Pergi
Drama

Setelah memberi salam, Pak Acep langsung berdiri dan melempar sejadah merahnya ke kursi rotan yang terletak tidak jauh dari tempatnya menunaikan fardu Isya. Dia tidak berzikir, apa lagi berdoa! Dia ingin cepat! Pukul delapan malam nanti siaran lansung debat terbuka pasangan calon (paslon) bupati dan calon wakil bupati segera dimulai!

“Menonton bersama warga pasti seru!” bisik hati kecil Pak Acep. Dia langsung mengganti kain sarung yang dipakainya menunaikan fardu Isya dengan celana panjang hitam. Kemudian dia mengambil kunci motornya yang tergantung di sebuah paku. Setelah itu dia perlahan-lahan mendorong motornya keluar dan melepasi pagar. Dia ingin menonton bersama di Warkop Azam! Warkop Azam adalah warung kopi terbuka yang menjadi tempat warga menonton pertandingan sepak bola bersama menggunakan proyektor. Setelah menghidupkan motornya, Pak Acep memanggil Pak Yono dan mengajaknya pergi bersama.

“Pak Yono!” panggil Pak Acep yang telah berada di atas motornya.

“Ya!” sahut Pak Yono sambil membuka pintu rumahnya.

“Mari kita ke Warkop Azam! Ndak (tidak) perlu bawak motor. Naik be (saja) motorku,” ajak Pak Acep. Dia pun membelokkan motor itu ke pintu pagar Pak Yono.

“Terima kasih Pak Acep. Kalau begitu saya naik motor Pak Acep saja malam ini. Rugi tidak ikut nonton bersama,” balas Pak Yono sambil menutup pintu pagar rumahnya.

“Ayo naik. Kita sudah terlambat,” ajak Pak Acep.

Kemudian, dua tetangga yang bersahabat baik itu meredah gerimis menuju Warkop Azam yang terletak tidak sampai seratus meter dari rumah mereka. Di warung itu, Awin sedang memasang sebuah proyektor dan layar lebar. Awin adalah ketua karang taruna desa mereka. Beberapa warga desa sudah berada di sana lebih awal. Ada di antara mereka yang sedang minum kopi dan teh, ada yang sedang makan nasi goreng dan mie rebus, ada yang hanya minum air putih, ada yang sedang bercanda, dan ada yang sedang bermain catur.

Tepat pukul delapan malam, debat terbuka itu pun dimulai dan ia berlansung dalam beberapa segmen. Pertama, paslon memaparkan visi-misi, kedua menjawab pertanyaan panelis, seterusnya menyampaikan komitmen untuk mewujudkan kabupaten yang maju, sejahtera, dan berkarakter. Suasana di Warkop Azam malam itu sangat seru. Ada yang memuji paslon yang mereka idolakan, ada yang mencaci paslon yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, dan ada yang mentertawakan paslon yang sedang berbicara. Setelah debat itu selesai, Awin lansung mengemas proyektor yang dipasangnya untuk disimpan kembali. Lalu dia memesan segelas teh panas dan semangkuk mie rebus untuk menganjal perutnya yang mulai lapar. Setelah itu Awin duduk kembali bersama warga untuk membahas kembali acara debat yang disiarkan sebentar tadi.

“Bagaimana pendapat Bapak-Bapak semua mengenai debat terbuka tadi? Berdasarkan hasil debat terbuka tadi, siapa yang akan menjadi pilihan Bapak-Bapak?” tanya Awin kepada warga berada di Warkop Azam termasuk Pak Acep dan Pak Yono.

“Saya belum ada pilihan,” jawab Pak Adam yang duduk tidak jauh dari Pak Yono dan Pak Acep sambil meneguk kopi hitam pekat di gelasnya yang masih tersisa setengah gelas.

“Saya belum pasti sama ada ingin memilih atau ndak (tidak), mungkin saya ndak (tidak) milih karena visi-misi yang disampaikan paslon tidak sesuai dengan harapan saya,” akui Pak Zubir yang duduk di tengah-tengah warga.

“Ilaok galoh mpanh, tau lah akau milih lagaloh (Bagus semua, biarlah saya memilih semuanya),” kata Pak Ali dengan logat kerincinya yang kental sehingga membuat warga tertawa.

“Bagus Pak. Itu adil namanya,” gurau Awin yang ikut tertawa sambil mengacungkan kedua jempolnya ke Pak Ali.

“Jangan begitu Pak Ali,” cegah Dede. “Kita tunggu saja hari nyoblosnya. Siapa yang besar siramannya itu yang menjadi pilihan kita,” gurau Dede yang di sambut tepuk tangan warga. Dede adalah mahasiswa jurusan hukum dari Universitas Jambi yang sedang penelitian di sana.

“Apa yang kamu bilang tadi? Kamu seorang mahasiswa tetapi pikiranmu kotor sekali,” ucap Pak Acep yang duduk tidak jauh dari Dede. Pak Acep menganggap ucapan Dede bersifat propaganda.

“Loh! kenapa Pak Acep marah? Apa Pak Acep sudah ada pilihan? Sekarang kita menilainya dari hasil debat terbuka tadi Pak!” balas Dede dengan niat ingin bercanda.

“Baiklah! Kalau dari hasil debat terbuka tadi, pilihan saya tidak berubah. Saya tetap memilih pasangan Bilal-Hadi. Titik!” ucap Pak Acep bangga.

“Pak Acep yakin dengan pilihan Bapak?” usik Dede untuk menghangatkan suasana. “Apakah pilihan Bapak sudah diiringi istikharah atau Bapak asal pilih?” tanya Dede yang membuat geger Warkop Azam dengan gelak tawa warga termasuk Awin dan Pak Yono.

“Kamu sok agamis ya!” Darah Pak Acep mulai panas.“Apa kamu meragukan pilihan saya?” balas Pak Acep sambil menatap tajam ke Dede.

“Bukan begitu Pak Acep. Dari wajah Pak Acep saya yakin Pak Acep ada pilihan lain,” ujar Dede yang membuat warga terkekeh-kekeh dan membuat Pak Acep semakin terpancing emosi.

“Pak Acep. Bukankah pilihan Pak Acep sebelumnya adalah pasangan Edri – Oja? Kenapa tiba-tiba berubah?”

Mendengar ucapan Pak Yono, warga yang berada di Warkop Azam sontak tertawa sehingga ada yang mengurut dada.

“Nah! Ketahuan pilihan Pak Acep berubah,” timpal Awin sambil diiyakan Dede yang membuat suasana Warkop Azam riuh rendah. Pak Acep tidak bersuara. Kemarahannya mulai membakar. Tatapannya mulai berubah panas. Dia pun memelototi warga yang sedang tertawa. Melihat tatapan Pak Acep, warga pun diam.

“Dari hasil berdebat tadi saya tidak setuju dengan pasangan Bilal-Hadi,” terang Pak Yono. “Saya tidak percaya dengan janji mereka. Saya khawatir bereka tidak menepati janji setelah terpilih nanti,” tambah Pak Yono.

“Kenapa Pak? Apa alasannya?” tanya Dede.

“Cara mereka menyampaikan visi-misi saja sudah simpang siur. Cara menjawab pertanyaan panelis juga terbang ke sana ke mari. Ada lagi jawaban yang tidak sesuai dengan bertanyaan,” komen Pak Yono sambil meneguk tes panas yang dipesannya.

“Eh! Hebat juga Bapak satu ini,” ucap Dede di hatinya sambil mengacungkan jempol ke Pak Yono. Pak Acep yang melihat tingkah Dede menjadi semakin emosi.

 “Lalu siapa pilihan Pak Yono?” soal Awin untuk menghangatkan suasana sambil diperhatikan oleh warga yang berada di sana.

“Kalau saya memilih Edri - Oja karena visi – misi mereka sangat jelas. Saya yang bodoh juga faham tujuan mereka,” ujarnya yang disambut tawa warga sambil bertepuk tangan.

“Sudahlah! Semuanya bagus. Semuanya putra-putra terbaik kabupaten kita. Kita tinggal memilih siapa yang terbaik menurut hati nurani kita. Tidak perlu dibawa serius,” kata Eka, mahasiswa jurusan agama di Kerinci yang coba menenangkan suasana.

“Ini baru mantap. Paslon sudah pasti putra-putra terbaik kabupaten kita,” kata Pak Karim yang dari tadi menjadi pendengar setia.

Pak Acep tidak peduli dengan pendapat Eka dan Pak Karim. Dia tetap mempertahankan paslon yang diidolakannya.

“Pak Yono, pasangan yang pandai berbicara itu yang menabur janji palsu! Jangan pilih yang seperti itu. Itu yang menghancurkan masyarakat!” tegas Pak Acep. Tetapi ucapan Pak Acep diolok-olok oleh warga. Wajah Pak Acep berubah. Dia tidak senang duduk. Dia merasa dia sengaja ditertawakan oleh warga yang ada di sana.

“Maaf Pak Acep. Saya dengar Bilal-Hadi besar sawerannya,” sampuk Dede yang membuat warga kembali tertawa.

“Nah itulah yang berbahaya Pak Acep. Jangan pilih yang seperti itu. Jangan mau disewer. Itu dosa besar Pak! Neraka menunggu!” timpal Pak Yono yang membuat Warkop Azam lebih bergegar dengan gelak tawa yang terbahak-bahak.

Mendengar ucapan Pak Yono yang disambut tawa warga, Pak Acep langsung berdiri dan menghempas gelas kopinya ke atas meja sehingga gelas kecil itu pecah. Warga yang duduk di Warkop Azam diam tidak berkutik. Pak Acep yang sudah tersalut emosi menatap tajam ke arah mereka.

“Saya permisi dulu!” kata Pak Acep sambil mengambil kunci motornya yang terletak di samping pecahan gelas kopinya. Dia pun keluar menuju motornya.

“Mau ke mana Pak Acep? Tunggu dulu. Ada apa ini?” Awin segera menahan Pak Acep yang terus melaju ke motornya yang diparkir di luar warung.

Pak Acep tidak peduli. Dia segera naik dan menghidupkan motornya. Lalu Pak Acep meninggalkan Warkop Azam tanpa sepatah kata.

“Kenapa begini jadinya Bang?” tanya Dede ke Awin. Wajah riang Dede berubah cemas. Dia merasa bersalah karena dialah yang memulainya sehingga Pak Acep terpancing emosi.

“Gawat ini,” balas Awin sambil melihat kelibat Pak Acep yang semakin jauh dan menghilang ditelan kegelapan.

“Awin, Dede. Saya merasa tidak enak! Kamu berdua memang suka memanaskan suasana. Sekarang tolong hantar saya pulang,” pinta Pak Yono ke Awin. “Saya tidak enak sama Pak Acep,” ujarnya lagi. Warga yang masih berada di sana hanya saling berpandangan. Mereka takut salah bicara.

“Saya minta maaf Pak Yono. Saya juga tidak menyangka Pak Acep tersinggung,” kata Dede sambil mendekati Pak Yono.

“Sudahlah! Kamu tenang saja. Sekarang hantar saya pulang dulu,” kata Pak Yono sambil memandang warga yang masih duduk di warung.

“Ya. Pak Yono sebaiknya pulang dulu,” saran Pak Ali.

“Bang. Biar aku saja yang mengantar Pak Yono pulang,” kata Dede ke Awin.

“Ya! Silakan De. Nanti balik lagi ke sini,” balas Awin santai dan menganggap itu hanya masalah kecil yang dapat diselesaikan oleh Pak Yono dan Pak Acep.

“Baik Bang,” kata Dede. Lalu Dede keluar warung dan menghidupkan motornya untuk mengantar Pak Yono.

Sesampai di depan pagar Pak Yono, mereka mendapati rumah Pak Acep sudah gelap. Lampu ruang tamunya sudah dimatikan. Pintu pagarnya juga sudah digembok. Lampu teras Pak Acep yang biasanya menyala sehingga pukul tujuh pagi itu juga sudah dimatikan. Pak Acep betul-betul marah dan tersinggung. Dede merasa bersalah dengan apa yang baru saja terjadi tetapi dia menyembunyikan persaan itu dan menyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Pak Yono. Saya antar sampai di sini saja ya? Saya mau balik ke warung bertemu Bang Awin,” kata Dede.

“Terima kasih Dede. Hati-hati ya,” balas Pak Yono.

“Bagaimana dengan Pak Acep? Nampaknya dia sangat marah,” ungkap Dede.

“Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Saya juga bersalah tadi. Besok saya akan menemuinya dan mengajaknya pergi memancing.” Pak Yono menenangkan Dede. Dede tersenyum lega sambil memandang rumah Pak Acep yang gelap. Lalu Dede membelokkan motornya untuk kembali ke Warkop Azam. Pak Yono membuka pintu pagar rumahnya dan masuk ke dalam.

***

Pak Acep masih tersalut emosi. Kejadian malam tadi telah menjatuhkan air mukanya depan warga desanya sendiri sehingga dia berniat untuk tidak bertegur sapa dengan Pak Yono lagi. Pagi itu dia pergi memancing sendirian dan sengaja memilih lokasi yang jauh dari lokasi Pak Yono selalu memancing. Setelah pulang, dia segera masuk ke rumah tanpa menoleh ke rumah Pak Yono.

“Tetangga sialan,” bisiknya sambil duduk di atas sofa di ruang tamu rumahnya yang menghadap ke rumah Pak Yono.

Tidak lama kemudian, Ibu Trisna keluar membawa sebuah mangkuk yang berisi rendang ayam yang dimasak Ibu Trisna setelah menunaikan fardu Subuh. Dia ingin menghantar rendang itu ke rumah Pak Yono karena dia dan Ibu Ani, istri Pak Yono, sering berbagi makanan kalau mereka memasak sesuatu yang istimewa. 

“Bu! Kamu mau ke mana membawa mangkuk itu?” sergah Pak Acep. Dia tahu istrinya ingin mengantar makanan ke rumah Pak Yono.

“Saya ingin memberi sedikit rendang ke Ibu Ani,” balas Ibu Trisna sambil menyarungkan sandal jepitnya.

“Tidak perlu! Bawa masuk!” teriak Pak Acep sambil mengarahkan istrinya masuk ke dalam.

Ibu Trisna kaget. Dia tidak pernah melihat Pak Acep bersikap seperti itu selama ini apa lagi melarangnya mengantar makanan ke rumah Pak Yono.

“Ada apa Pak? Kenapa Bapak tiba-tiba melarang saya mengantar makanan ke Ibu Ani?” soal Ibu Trisna.

“Pokonya, mulai sekarang saya tidak mengizinkan kamu memberi apa-apa lagi ke orang depan!” tegas Pak Acep dengan menyebut Pak Yono sebagai orang depan.

Ibu Trisna bertambah kaget. Ternyata suaminya tidak main-main. “Kenapa Pak? Ada masalah apa Bapak dengan Pak Yono?” tanyanya penasaran.

Pak Acep memandang istrinya. Lalu pandangannya beralih ke rumah Pak Yono. Tatapan Pak Acep tidak seperti kemaren. Tatapannya kali ini disertai api kemarahannya yang sedang menyala.

“Kamu tidak perlu tahu apa-apa,” balasnya singkat.

Ibu Trisna bingung sambil menatap suaminya. “ Malam tadi saya lihat Bapak dan Pak Yono baik-baik saja. Bapak berdua bahkan pergi bersama ke Warkop Azam,” ujar Ibu Trisna.

Pak Acep memandang istrinya. Lalu dia memandang rumah Pak Yono sekali lagi dengan pandangan penuh kebencian. Lalu pandangannya beralih ke wajah Ibu Trisna.

“Bu, kamu jangan banyak tanya. Kalau kamu tidak mau medengar perintah saya, awas kamu!” ancam Pak Acep sambil marah.

“Apa? Bapak mengancam saya?” tanya Ibu Trisna. “Saya masih belum mengerti apa yang terjadi antara Bapak dan Pak Yono! Ada masalah apa Pak? Bukankah hubungan kita dengan Pak Yono baik-baik saja selama ini?” tanya Ibu Trisna lagi.

Pak Acep masih enggan mengatakan apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Pak Yono. “Saya bilang bawa makanan itu ke dalam!” perintah Pak Acep. Mendengar ucapan Pak Acep yang tidak main-main, Ibu Trisna pun mengalah. Dia membawa kembali makanan yang ingin diberinya ke Ibu Ani ke dapur dan meletaknya di atas meja makan. Setelah itu Ibu Trisna duduk di meja makan dan mencoba memahami apa yang sedang terjadi antara suaminya dengan Pak Yono. Sayangnya, Ibu Trisna tidak dapat menebak apa-apa. Ibu Trisna pun nekad menyelidiki apa yang sedang terjadi. Saat makan malam, Ibu Trisna memberanikan diri menanyakan langsung pada Pak Acep.

“Pak, dari pagi tadi saya perhatikan Bapak tidak bertegur sapa dengan Pak Yono tetangga kita,” kata Ibu Trisna kepada suaminya.

“Kamu bilang apa tadi?” Pak Acep pura-pura tidak mendengar ucapan istrinya sambil meminum segelas air putih.

“Maksud saya, dari pagi tadi saya perhatikan Bapak tidak bertemu dengan Pak Yono, ada apa Pak?” tanya Ibu Trisna terus terang.

Mendengar pertanyaan istrinya, Pak Acep lansung meletakkan gelas di atas meja makan dan melihat ke istrinya.

“Tetangga? Tetangga apaan itu?” balas Pak Acep ketus.

Ibu Trisna memandang suaminya. Dia semakin yakin ada masalah yang tidak selesai antara sang suami dan tetangganya.

“Jadi benar ada masalah antara Bapak dan Pak Yono tetangga kita?” tanya Ibu Trisna lagi.

“Ya, dan kamu tidak perlu tahu itu apa!” tekan Pak Acep.

 “Kenapa kamu jadi seram begini Pak? Kita kan tetangga, kenapa sampai ada masalah antara Bapak dengan Pak Yono?” tanya Ibu Trisna untuk memastikan.

“Saya bilang kamu tidak perlu tahu dan kamu jangan banyak tanya! Kamu tidak mengerti apa-apa. Lebih baik kamu diam saja dari pada kamu membuat saya naik darah!” bentak Pak Acep dengan api kemarahan yang menyala.

Melihat emosi suaminya yang meluap, Ibu Trisna pun diam. Tetapi dia tidak puas dengan jawaban yang diberikan Pak Acep malam itu. Dia harus tahu apa yang sedang terjadi! Dia tidak ingin adanya perselihan antara keluarganya dengan keluarga Pak Yono. Besoknya, Ibu Trisna nekad ke rumah Pak Yono saat Pak Acep tidak ada di rumah. Kebetulan waktu itu Pak Yono berada di rumahnya. Waktu itulah Pak Yono menceritakan kronologis yang menyebabkan Pak Acep salah faham pada dirinya sehingga Pak Acep meninggalkannya di Warkop Azam malam itu dan tidak ingin menegurnya lagi. Mendengar penjelasan Pak Yono, Ibu Trisna mengucap panjang hingga mengelus dada.

“Ya Ibu Trisna. Jadi setelah kejadian itu Pak Acep tidak mau menegur saya lagi sampai hari ini,” ujar Pak Yono.

“Oh! Rupanya begitu ya Pak Yono? Karena berbeda pilihan paslon Pak Acep sampai marah. Saya minta maaf Pak Yono. Saya malu dengan sikap Pak Acep yang seperti anak kecil,” kata Ibu Trisna dengan persaan malu, geram, dan emosi yang bercampur aduk mengingat sikap suaminya.

“Tetapi Bu Trisna jangan beritahu Pak Acep apa yang saya sampaikan. Mungkin sekarang Pak Acep masih marah sama saya. InsyaALLAH besok atau minggu depan dia tidak marah lagi. Sekarang biarkan saja Bu,” pinta Pak Yono sambil dianggukkan oleh Ibu Ani yang duduk di sebelahnya.

“Saya pun berharap begitu Pak Yono. Semoga Pak Yono tidak mengambil hati dengan sikap suami saya,” pinta Ibu Trisna.

“InsyaALLAH tidak Bu Trisna,” kata Ibu Ani. “Yang penting biarkan Pak Acep tenang dulu. Sekarang mungkin dia masih marah,” ucapnya lagi.

“Saya mengerti. Kalau begitu saya pamit dulu Bu Ani, Pak Yono. Hari sudah mau hujan.” Kata bu Trisna sambil berdiri.

“Baik Bu.” Balas Ibu Ani dan Pak Yono serentak.

Ibu Trisna pun pulang ke rumahnya yang terletak tidak sampai dua puluh meter dari rumah Pak Yono. Malangnya, saat Ibu Trisna sampai di rumah, Pak Acep sudah berada di ruang tamu. Pak Acep melihat istrinya meninggalkan rumah Pak Yono. Ketika Ibu Trisna sampai di pintu rumah mereka, Pak Acep langsung meluapkan api kemarahnya.

“Sudah saya bilang ke kamu jangan berhubungan lagi dengan tetangga sialan itu! Kenapa kamu masih ke sana?” sergah Pak Acep saat Ibu Trisma masuk ke rumah.

Ibu Trisna memandang suaminya. Dia tidak dapat menerima bentakan keras suaminya sehingga membuat gendang telinganya bergetar. Dia pun menjawab tanpa ragu.

“Oh, jadi gara-gara paslon Bapak sampai bertengkar dengan tetangga kita?” tanya Ibu Trisna. Dia siap mendengar apapun jawaban yang diberikan oleh Pak Acep.

“Jadi kamu mau saya berbaik-baik dengan orang yang menghina saya di depan orang ramai?” teriak Pak Acep dengan wajah yang merah dan perasaan yang dikuasai emosi.

“Menghina? Menghina bagaimana Pak? Bapak dengan Pak Yono hanya berbeda pandangan dan berbeda pilihan. Belum tentu pilihan Bapak dan pilihan Pak Yono menang!” balas Ibu Trisna dengan suara yang tidak kalah keras.

“Bukan masalah itu. Masalahnya dia menghina saya! Dia menghina saya malam itu di depan orang ramai,” ucap Pak Acep penuh emosi.

“Tidak Pak! Pak Yono tidak menghina Bapak. Bapak yang terobsesi dengan paslon pilihan Bapak sehingga menyalahkan pilihan orang lain. Ingat Pak, semua orang punya pilihan, sama seperti Bapak yang punya pilihan,” timpal Ibu Trisna.

“Jadi semuanya salah saya? Begitu? Kamu menyalahkan saya? Hah?” tanya Pak Acep sambil memeloloti istrinya.

“Saya tidak menyalahkan sesiapa. Saya tidak enak kalau Bapak sampai ribut dengan tetangga kita gara-gara memilih paslon yang berbeda,” balasnya tanpa ragu-ragu.

“Prakk...” Lima biji piring yang terletak di atas meja makan pecah berserakan setelah dibantingoleh Pak Acep.

Ibu Trisna memandang suaminya yang sedang dikuasi api kemarahan dengan perasaan yang sangat geram. Wajah begis Pak Acep membuatnya bertambah sakit hati. Apa lagi Pak Acep berani menghancurkan pinggan mangkuk hanya karena masalah sekecil itu.

“Apa-apaan ini Pak? Jadi gara-gara paslon Bapak mau menghacurkan harta benda kita ya? Kalau pilihan Bapak menang apakah kita akan jadi kaya raya? Apakah nasib kita akan berubah? Tidak Pak! Apa lagi pilihan Bapak kalah,” kata Ibu Trisna yang juga sudah dikuasai emosi.

Mendengar jawaban istrinya, kemarahan Pak Acep semakin berkobar. Dia menarik taplak meja makan di depannya sehingga makanan yang terhidang di atas meja lonjong itu jatuh berserakan di lantai. Tidak cukup dengan itu, Pak Acep membanting vase bunga besar yang terletak tidak jauh dari meja makan sehingga vase itu pecah berserakan di lantai. Melihat tindakan kasar suaminya, Ibu Trisna berteriak sekuat hati sehingga terdengar oleh tetangga kiri-kanan mereka.

Suara teriakan Ibu Trisna juga terdengar sampai ke rumah Pak Yono. Ibu Ani mendengar teriakan itu. Dia pun berlari ke rumah Pak Acep untuk memastikan apa yang sedang terjadi. Saat dia sampai di sana, Ibu Rita tetangga sebelah kanan dan Ibu Helma tetangga sebelah kiri Ibu Trisna juga sedang bergegas ke rumah Pak Acep. Ibu Ani terkejut melihat keadaan ruang makan Ibu Trisna yang berantakan dan penuh dengan pecahan kaca serta makanan. Pak Acep berdiri di samping meja makan sambil mencekak pinggang dan memandang mereka bertiga dengan wajah yang tersalut emosi.

“Kamu! Kenapa kamu ke sini?” tanya Pak Acep ke Ibu Ani dengan nada kasar.

Ibu Ani berpura-pura tidak mendengar pertanyaan Pak Acep. Lalu dia menghampiri Ibu Trisna yang sedang ditenangkan oleh Ibu Rita dan Ibu Helma. Ibu Ani juga tidak ingin menjawab pertanyaan Pak Acep karena dia takut jawabannya nanti akan membuat Pak Acep bertambah marah.

Melihat sikap Ibu Ani yang cuek dan tidak memperhatikan pertanyaannya, Pak Acep pun semakin marah.

“Keluar kamu dari rumah ini!” usir Pak Acep tanpa rasa malu sedikit pun.

“Pak!” sergah Ibu Trisna. “Kenapa Bapak mengusir Ibu Ani? Sikapmu itu yang salah,” Ibu Trisna memberi pembelaan karena menganggap sikap suaminya sudah sangat keterlaluan.

“Sudah Bu Trisna! Sudah! Nanti didengar sama tetangga yang lain,” pujuk Ibu Helma sambil mengusap bahu Ibu Trisna, begitu juga dengan Ibu Rita dan Ibu Ani. Mereka bertiga sama-sama menenangkan Ibu Trisna yang sudah emosi.

“Bikin malu! Laki-laki apa kamu itu? Gara-gara paslon kamu sanggup ribut dengan tetangga dan ribut sama istri,” sindir Ibu Trisna tanpa menghiraukan tetangganya yang berada di rumahnya.

Mendengar ucapan istrinya, Pak Acep bertambah marah dan malu. Dia mengambil satu lagi vase kemarik besar di sudut rumahnya dan ingin menghempasnya ke lantai. Tetapi Ibu Rita dengan sigap menghalangnya.

“Pak Acep. Kalau Bapak berani bertindak kasar lagi, saya akan memanggil polisi atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga! Kami bertiga akan bersaksi!” ancam Ibu Rita sambil dianggukkan oleh Ibu Ani dan Ibu Helma.

Mendengar ancaman itu, Pak Acep bertambah marah tetapi dia berusaha mengawal perasaan supaya Ibu Rita tidak sampai memanggil polisi.

“Kamu bertiga! Keluar dari rumah ini! Keluar sekarang juga,” usir Pak Acep tanpa rasa malu. “Keluar sekarang,” ulangnya sekali lagi.

“Baik! Kami akan keluar sekarang juga. Tetapi kalau Bapak sampai melakukan tindak kekerasan dan menghancurkan barang, saya tidak segan-segan memanggil polisi.” ancam Ibu Rita sekali lagi.

“Saya bilang keluar!” teriak Pak Acep.

Mendengar teriakan Pak Acep yang telah hilang rasa malu, Ibu Ani, Ibu Helma, dan Ibu Rita segera meninggalkan pasutri yang sedang bertengkar itu tanpa banyak bicara. Ibu Trisna dan Pak Acep terus adu mulut tanpa diketahui kapan mereka berhenti bicara.

***

Seminggu setelah kejadian itu, Pak Acep masih enggan menyapa Pak Yono. Setiap kali melihat Pak Yono, Pak Acep segera mengelak. Pak Acep juga tidak menjawab sapaan Pak Yono setiap kali Pak Yono menyapanya. Pak Yono tidak peduli. Dia tetap berusaha memperbaiki hubungannya dengan Pak Acep sebelum diketahui oleh tetangganya yang lain. Sore itu Pak Yono bertemu lagi dengan Pak Acep saat mereka sama-sama ingin ke Warung Azam. Saat melihat Pak Yono, Pak Acep lansung mengurung niatnya dan kembali ke rumah. Hujan pun mulai turun. Semakin malam curah hujan semakin tinggi. Hujan itu terus mengguyur desa hingga menjelang Subuh.

Keesokannya, banyak tempat di desa itu menjadi titik banjir. Puluhan rumah penduduk dimasuki air sehingga mencapai setengah meter. Rumah Pak Yono adalah salah satu rumah yang dimasuki air. Pak Yono dan istrinya pun terpaksa mengerahkan tenaga dari siang hingga sore untuk mengeluarkan air yang bergenang dari ruang tamu rumahnya hingga ke dapur tanpa bantuan siapapun. Malangnya, sekitar pukul tujuh malam, hujan lebat kembali turun beserta ribut petir sehingga air yang memasuki rumah Pak Yono lebih banyak dari sebelumnya.

Dede yang lewat di depan rumah Pak Yono waktu itu merasa simpati saat melihat aliran air yang begitu deras memasuki rumah Pak Yono dan beberapa rumah di sebelahnya. Dia menghentikan motornya. Kemudian Dede masuk ke rumah Pak Yono yang sedang digenangi air. Pak Yono dan Ibu Ani sedang memindahkan barang-barang berharga di dalam rumahnya ke tempat yang aman. Tanpa membuang waktu, Dede segera menelpon beberapa kawannya untuk membantu Pak Yono menahan aliran air yang terus merembet masuk hingga ke kamar Pak Yono. Setelah itu Dede meninggalkan rumah Pak Yono untuk memanggil Awin.

Ketika ingin menghidupkan motornya, Dede kaget melihat sosok Pak Acep dalam gelap yang sedang menyumbat selokan di depan rumahnya dengan tiga karung yang bersisi pasir. Akibatnya, air dari selokan rumah Pak Yono mengalir lebih deras mamasuki pagar rumah Pak Yono. Air itu terus mengalir ke ruang tamu, kamar dan dapur Pak Yono. Pak Yono tidak menyadari perbuatan Pak Acep karena lampu di teras dan di depan rumah Pak Acep sengaja di matikannya Pak Acep. Dede beristighfar!

“Pak Acep!” teriak Dede sambil mengarahkan lampu motornya ke Pak Acep.

Pak Acep tidak peduli! Dia terus merapikan karung yang dimasukkannya ke selokan. Dede yang melihat tingkah laku Pak Acep itu pun marah.

“Apa yang Pak Acep buat dengan karung itu? Pak Acep menyumbat selokan?” teriak Dede melawan kuatnya suara hujan.

Pak Acep tidak peduli dengan teriakan Dede. Dia terus menyumbat selokan dengan karung yang kedua sehingga air diselokan itu mengalir lebih deras menuju rumah Pak Yono.

“Pak Acep. Hentikan Pak! Perbuatan Pak Acep ini melanggar undang-undang! Bapak sudah menganggu kenyamanan warga! Bapak bisa dituntut mengikut undang-undang!” ancam Dede.

Pak Acep tetap tidak peduli. Dia meneruskan perbuatan kotornya dan meletak karung yang ke tiga sehingga selokan di depan pagarnya tersumpat dengan sempurna. Air pun mengalir dengan sangat deras ke rumah Pak Yono.

“Saya minta Bapak hentikan perbuatan kotor Bapak ini sekarang juga,” Kata Dede dengan suara lantang.

Ibu Trisna yang mendengar kelantangan suara Dede segera keluar. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Pak Acep menyumbat selokan sehingga air mengalir deras ke rumah Pak Yono. Ibu Trisna berteriak memarahi suaminya.

Mendengar pasutsi itu bertengkar, Dede pun pergi. Dede berniat melaporkan perbuatan Pak Acep ke kepala desa atau ke polisi karena perbuatan Pak Acep sudah menganggu kenyamanan warga sekitarnya. Tetapi Dede mengurungkan niatnya. Dia menemui Awin untuk melaporkan kejadian itu ke Awin terlebih dahulu.

“Assalamualaikum Bang Awin,” ucap Dede sambil mengetuk pintu rumah Awin.

“Assalamualaikum,” ulangnya sekali lagi dengan suara yang lebih keras karena suara hujan lebih nyaring dari pada suara Dede.

“Waalaikumsalam! Eh kamu De? Ada apa De? Ayo masuk dulu,” ajak Awin sambil membuka pintu dan mempersilakan Dede ke ruang tamu.

“Tidak perlu Bang. Aku di luar saja. Aku basah kuyup,” kata Dede.

Awin memandang Dede. “Ada apa ini De? Kenapa kamu sampai basah begini?” tanya Awin.

“Ada yang ingin aku bicarakan Bang,” Kata Dede setengah berbisik sambil melihat ke dalam rumah Awin.

Melihat gelagat Dede yang seperti dikejar hantu, Awin pun keluar dan mengajak Dede duduk di teras. “Bilang saja, cuma Abang yang ada di rumah. Ada apa De?” tanya Awin.

“Begini Bang, waktu aku lewat depan rumah Pak Yono dan Pak Acep, aku melihat Pak Acep sedang menyumbat selokan di depan rumahnya dengan tiga karung pasir. Akhirnya, air mengalir deras ke rumah Pak Yono. Rumah Pak Yono sudah digenangi air Bang!” kata Dede.

Awin lansung berdiri. “Gawat ini De,” kata Awin.

“Ya, ini semua gara-gara saya! Bagaimana ini Bang? Apa perlu kita panggil kepala desa?” tanya Dede ketakutan.

“Tidak perlu! Mari kita ke sana dulu! Kita suruh Pak Acep membuka sumbatan selokan yang diletaknya. Kalau dia tidak mau, baru kita pikirkan cara lain,” saran Awin.

“Baik Bang. Mari kita pergi sekarang. Pakai motorku saja Bang,” kata Dede.

“Ayo kita pergi,” balas Awin.

Mereka berdua pun tancap gas menuju rumah Pak Acep dan Pak Yono tanpa menghiraukan hujan yang sedang mengguyur desa. Dede membawa motor dengan kecepatan tinggi sehingga wajah dan baju yang mereka pakai basah kuyub akibat kuatnya densitas hujan. Tidak sampai lima menit, Awin dan Dede pun sampai di depan rumah Pak Acep dan Pak Yono. Tanpa mereka duga, di depan rumah dua sahabat baik yang telah berselisih itu sudah dikerumuni warga. Ada yang membantu mengangkat karung pasir yang diletak Pak Acep di dalam selokan di depan pagar rumahnya. Ada yang mengarahkan aliran air akibat tingginya curah hujan. Ada yang membantu Pak Yono memindahkan barang-barang di dalam rumahnya yang sudah digenangi air.

“Sekarang apakah Pak Acep puas? Rumah saya sudah dipenuhi air gara-gara Pak Acep menyumbat selokan!” kata Pak Yono dalam hujan yang diringi petir.

“Kenapa kamu menyalahkan saya? Rumah kamu memang lebih rendah dari pada rumah saya. Sebab itulah air masuk ke dalam!” balas Pak Acep sambil berteriak di depan pagar rumahnya.

“Pak Acep, Pak Yono. Sudah Pak! Sekarang kita pikirkan bagaimana mengatasi air ini agar tidak masuk ke rumah yang lain,” kata Dede ke Pak Acep.

“Apa kamu bilang? Semua ini gara-gara kamu! Mahasiswa celaka!” ucap Pak Acep penuh emosi.

“Pak Acep, bawa istighfar Pak. Bawa istighfar!” pinta Awin sambil membantu warga mengarahkan aliran air dalam hujan yang memakin lebat.

“Sekarang dimana paslon pilihanmu? Sudah tiga hari air masuk ke rumah kamu. Kenapa dia tidak datang membantumu?” tanya Pak Acep dengan emosi.

“Wah sudah Pak Acep. Jangan membawa-bawa masalah paslon lagi,” kata Dede. “Kita selesaikan masalah air ini. Ini gara-gara Pak Acep yang menyumbat selokan,” kata Dede tanpa segan silu.

“Apa kamu bilang? Kamu masih menyalahkan saya?” tanya Pak Acep.

“Mata saya sendiri melihat Pak Acep menyumbat selokan tadi dengan tiga karung pasir dan ini akibatnya! Menyusahkan warga. Bapak seharusnya banyak mengucap! Bukan banyak menimbulkan masalah,” tengking Dede yang membuat Pak Acep naik pitam.

“Kamu jangan menasehatkan saya! Kamu siapa? Mahasiswa celaka!” Pak Acep balas menengking Dede.

“Pak Acep! Sekarang tenang! Jangan sampai gara-gara paslon Pak Acep dan Pak Yono tidak bertegur sapa! Paslon pilihan Pak Acep dan Pak Yono itu tidak kenal dengan Bapak berdua. Apa demi mereka Bapak sanggup sibut? Apa keuntangan yang Pak Acep dan Pak Yono dapatkan?” teriak Awin dalam hujan.

“Ya, benar Pak. Sekarang Pak Acep lihat sendiri apa yang sedang terjadi. Gara-gara berbeda pilihan, gara-gara berbeda sudut pandang, tepatnya gara-gara paslon, Pak Acep dan Pak Yono sudah menjadi musuh!” kata Dede.

“Kalau malam itu salah saya, saya minta maaf Pak Acep. Saya anggap ini teguran untuk saya agar saya menjaga lisan ketika bercanda. Tetapi Pak Acep yang lebih tua juga harus bisa mengawal diri. Jangan karena paslon kita tidak bertegur sapa apa lagi sampai ribut dengan tetangga! Apa gunanya?” tanya Dede dalam hujan.

Mendengar ucapa Dede, Pak Acep diam. Dia seolah-olah terbangun dari mimpi yang tidak diinginkan. Dia mengusap tetesan hujan yang membasahi wajahnya sambil memandang tetangganya yang sibuk mengeluarkan air dari rumah Pak Yono. Ibu Trisna juga sibuk membantu membereskan air di rumah Pak Yono. Pak Acep memandang rumahnya yang gelap dan tidak dimasuki air.

“Dede! Kamu kenapa berdiri di sana? Ayo bantu!” panggil Awin.

Dede pun segera membantu Awin dan warga lainnya mengawal aliran air supaya air itu tidak memasuki rumah Pak Yono dan rumah-rumah di sekitar rumah Tak Yono. Pak Acep masih dengan kekuatan egonya, dia masih marah, dan dia tidak peduli apa yang sedang terjadi ditengah-tengah petir yang berdentum dan hujan yang mengguyur desa. Dia masuk ke rumahnya tanpa mempedulikan warga yang sibuk membantu membereskan rumah Pak Yono dan mengarahkan aliran air. Satu-satunya yang dilakukan Pak Acep setelah sampai di rumah adalah menyalakan lampu teras dan lampu di depan rumahnya.

TAMAT

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)