Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,452
Dibalik Mata yang Kosong
Drama

Namaku Michele Jhonson. Teman-teman memanggilku Mike. Keluargaku memanggilku Mikey—dengan sedikit kelembutan yang hanya mereka miliki. Aku adalah pewaris tunggal Jhonson Company, konglomerasi berbasis perhotelan yang memiliki jaringan di lebih dari dua puluh negara. Dalam hal koneksi, kekuasaan, dan kekuatan finansial, aku tidak kekurangan apa pun. Tapi hari ini, semua itu tak berarti apa-apa.

Aku berada di Bali, Indonesia. Tempat ini adalah simpul terakhir dalam pencarianku terhadap Shilla—perempuan yang pernah mengisi hidupku. Tiga tahun lalu, dia menghilang. Tanpa kabar, tanpa peringatan. Aku mengerahkan segala kekuatanku: detektif swasta, jaringan pemerintah, pengaruh internasional. Semua nihil. Keluarganya menutup mulut rapat. Bahkan ada saat ketika aku mencurigai bahwa mereka memang menyembunyikannya dariku. Tak ada yang bisa kubuktikan. Tapi intuisi ini tak pernah benar-benar mati.

Hari itu, aku tiba di Bukit Asah, Karangasem. Pemandangan di sana memang luar biasa. Langit seolah menyatu dengan lautan, membentang dalam gradasi biru yang menenangkan. Detektifku mengatakan Shilla pernah terdeteksi berada di tempat ini. Jika dia tidak di sini, maka aku akan berhenti. Aku lelah. Ini akan jadi penutup segalanya. Aku sudah bersumpah, jika tak kutemukan dia kali ini, maka aku akan menghapus seluruh jejaknya dari hidupku.

Beberapa jam aku berjalan, hingga berhenti di kursi kayu yang menghadap langsung ke cakrawala. Angin lembut menyapu wajahku. Di antara bisikan angin dan debur laut, kudengar sesuatu. Tangisan. Samar, namun memilukan. Aku berdiri. Suara itu membawaku pada batu besar ke arah timur.

Di sana, aku melihat seorang perempuan. Gaunnya elegan, navy satin yang mahal, tapi penampilannya kusut, kacau, dan wajahnya—mirip. Terlalu mirip.

Aku mendekatinya.

“Siapa lo?” Dia membalikkan badan, tatapannya dingin. “Gue udah bilang gak ada yang boleh nginjek area ini. Mereka berani ngelakuin ini ke gue? Dan lo—gue bakal bikin lo tanggung jawab!”

Aku terdiam. Sikapnya mengintimidasi, bahkan untuk ukuran diriku. Tapi aku mendekat. Dia terlihat tidak stabil. Sebagai psikolog profesional, aku tahu tanda-tanda itu. Dia sedang berada dalam tekanan mental ekstrem.

Tanpa pikir panjang, aku membawanya kembali ke penginapanku—Soori Bali, resort kelas atas di Tabanan. Dia berontak, memaki, melawan. Tapi tenagaku lebih besar. Setibanya di kamar, dia menjadi liar. Melempar barang, berteriak, menangis. Hingga tiba-tiba, dia berlari ke balkon—dan melemparkan dirinya ke kolam infinity yang langsung terhubung ke laut.

Aku menyaksikannya dalam slow motion.

Aku teriak minta bantuan. Beberapa staf hotel berlari bersamaku. Kami menyelam. Dalam waktu yang terasa sangat lama, kami berhasil mengangkatnya ke darat. Saat itu, suasana berubah drastis. Staf hotel tampak pucat. Ada yang langsung menelepon sambil gemetar. Aku tahu, perempuan ini bukan orang biasa.

Kami membawanya ke RS Bali International di Denpasar. Aku ikut dalam ambulans. Selama perjalanan, aku menggenggam tangannya. Dingin. Wajahnya pucat, nyaris tanpa warna.

Sesampainya di rumah sakit, dia langsung dipindahkan ke ruang isolasi dengan pengamanan tinggi. Aku ingin tahu siapa dia, tapi dokter berkata, “Kami tidak memiliki hak untuk mengungkapkan identitasnya.” Semuanya sama. Semua orang yang kukenal dengan mudah bicara padaku—tapi tidak hari itu. Tidak tentang dia.

Selama seminggu aku tinggal di sana. Menemaninya. Memerhatikan setiap detak jantungnya di monitor. Wajah itu… Terlalu mirip Shilla. Tapi bukan. Lebih tegas. Lebih… dalam.

Akhirnya aku dapatkan informasi lewat jalur belakang. Namanya Erica Asmita Salindra, CEO dari Aurora Technologies Asia. Kantor pusatnya ada di Bali Techno Park. Dia dikenal luas di dunia teknologi dan keamanan siber. Rekanannya banyak: Jepang, Eropa, bahkan US Defence Tech. Wajar saja semua pihak begitu menjaga mulut mereka. Dia orang besar.

Tapi di balik semua itu, Erica adalah teka-teki. Tak ada keluarga yang datang. Tak ada kerabat. Hanya penjaga berseragam. Semua yang kukenal dalam hidup ini bisa kubeli atau kugerakkan. Tapi tidak Erica. Justru karena itu, aku tertarik.

Aku tak bisa tinggal lebih lama di Bali. Dan aku tak bisa meninggalkan dia di sana. Maka aku mencurinya.

Aku menyewa jet pribadi, menyuap beberapa pihak, dan membawanya keluar dari rumah sakit. Di jet, sudah ada dokterku dan tim medis khusus yang biasa menangani kondisi langka. Kami tiba di New York dalam waktu 27 jam. Erica dipindahkan ke private medical suite di Midtown Manhattan—tempat rahasia yang hanya digunakan jika aku jatuh sakit.

Dari hari ke hari, aku membangun dunianya. Dunia tanpa suara luar. Tanpa berita. Tanpa sosial media. Semua informasi yang masuk ke dia akan melalui aku. Kamar tempatnya dirawat seperti suite hotel: putih bersih, langit-langit tinggi, bunga segar tiap pagi, dan musik klasik yang terus mengalun.

September 2025 – Central Park South

Hari itu dia membuka matanya.

Perlahan. Tanpa kata. Hanya napas panjang yang pecah dari bibirnya. Aku di sana. Tersenyum. Menggenggam tangannya.

“Selamat datang kembali, Alisha,” kataku.

Dia menatapku, kosong. Tak ada reaksi. Hanya ketakutan samar yang menyelinap. Aku memberinya waktu. Tiga hari kemudian, dia mulai berbicara—dalam potongan kata-kata. Dokter menyimpulkan: amnesia total. Semua memorinya lenyap. Nama, latar belakang, hidupnya—hilang.

Aku memberikan dia identitas baru:

Nama: Alisha MooreUsia: 28 tahunKewarganegaraan: Amerika SerikatStatus: korban kecelakaan laut di Bali, tanpa keluarga ditemukanRiwayat: trauma kepala berat, gangguan ingatan, pemulihan penuh dalam pengawasan


Aku memperkenalkan dia pada dunia yang sudah kusiapkan: apartemen penthouse menghadap Central Park, kegiatan sosial di yayasan teknologi fiktif yang kubentuk khusus untuk dia. Teman-temannya? Aktor bayaran. Berita yang dia baca? Sudah dikurasi. Dunia ini adalah puzzle yang kususun untuk menjauhkan dia dari masa lalunya.

Dan dia... jatuh cinta padaku.

 Dia mengira aku pahlawannya. Satu-satunya orang yang peduli. Dan aku tidak menyangkalnya.

Perasaanku padanya semakin dalam. Bukan karena dia mirip Shilla. Tapi karena dia sendiri—dengan mata kosong yang perlahan berubah saat menatapku. Dengan suara pelan yang mulai menyebut namaku setiap pagi.

Namun perjalanan ke sana tidak sesederhana itu.

Awalnya, aku hanya menemuinya karena diminta. Bagian dari pekerjaanku. Evaluasi mingguan. Percakapan-percakapan yang terasa hampa. Dia duduk di pojok ruangan, selalu dengan selimut menutupi kaki, tubuhnya hampir tak bergerak kecuali mata yang mengawasi. Mata itu... awalnya begitu kosong, seperti danau yang airnya membeku.

Setiap pertanyaan yang kulontarkan, dijawabnya dengan kalimat-kalimat pendek, ragu, nyaris seperti gema suara dari lorong sepi. Tapi aku memperhatikannya. Bahkan saat dia pikir aku tidak mendengar. Bahkan saat dia menangis dalam diam—menoleh ke jendela seperti sedang menyembunyikan sisa emosi yang masih ia punya.

Ada hari-hari di mana dia sama sekali tak bicara. Hanya duduk di sana, matanya seperti terperangkap dalam kenangan yang tak bisa disentuh. Dan tetap saja, aku datang. Duduk. Diam bersamanya.

Aku mulai meninggalkan catatan kecil. Kalimat-kalimat tak penting—seperti,

“Cuaca cerah hari ini.”

“Atau setidaknya lebih baik dari kemarin.”

“Atau mungkin memang tidak pernah benar-benar cerah.”

Suatu pagi, aku menemukannya mengangkat secarik kertas itu dan tersenyum. Sangat kecil, nyaris tak terlihat, tapi senyum tetaplah senyum. Senyum pertama yang kulihat darinya. Senyum yang muncul bukan karena kewajiban, bukan karena sopan santun, tapi karena sesuatu di dalam dirinya benar-benar merespons.

Dari sana semuanya berubah pelan-pelan.

Dia mulai membalas catatan-catatan itu.

“Hari ini tidak cerah, tapi aku menyalakan lampu meja.”

“Atau... aku hanya ingin sesuatu yang bersinar.”

Lalu dia mulai bicara. Sedikit demi sedikit. Tentang suara langkah di lorong yang membuatnya resah. Tentang malam yang terlalu panjang. Tentang mimpi-mimpi buruk yang membuatnya terbangun—basah oleh keringat, napas tak beraturan, tapi tidak ada yang memeluknya.

Aku mendengarkan. Bukan sebagai profesional, bukan sebagai evaluator. Tapi sebagai manusia.

Setiap kalimat yang dia ucapkan adalah pecahan kaca dari jiwanya yang retak. Dan aku mengumpulkannya, menyimpannya satu-satu. Tanpa sadar, aku berhenti menyebut ini “kasus”. Aku berhenti memisahkan diriku darinya.

Pada minggu ketujuh, dia mulai menyebut namaku. Awalnya hanya saat aku pamit pulang.

“Michele…” katanya pelan.

Aku menoleh.

“Tolong… kembali besok.”

Dan aku kembali. Bukan karena kewajiban, tapi karena aku ingin tahu apakah dia tidur nyenyak malam itu. Aku ingin tahu apakah dia masih menyebut namaku saat aku tak ada.

Ada satu sore saat dia duduk di taman, tangannya menggenggam cangkir teh yang sudah dingin. Ia menatap langit, lalu bertanya tanpa menoleh:

“Apakah semua orang pergi setelah melihat luka yang tidak sembuh-sembuh?”

Aku duduk di sampingnya.

“Kalau orangnya benar, dia akan tetap tinggal. Meski lukanya tidak pernah sembuh.”

Dia terdiam lama. Lalu untuk pertama kalinya, dia menatapku—bukan dengan mata kosong, tapi dengan mata yang penuh tanya, penuh rasa takut... dan harapan.

“Dan kamu?” tanyanya. “Kamu orang yang benar?”

Aku tidak menjawab. Karena saat itu aku sendiri belum tahu. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak ingin pergi. Tidak dari dia. Tidak dari sorot mata yang akhirnya hidup. Tidak dari suara yang akhirnya menyebut namaku bukan karena butuh, tapi karena ingin.

Aku mulai membawa buku yang ia suka. Musik yang ia takuti. Kami mendengarkannya bersama. Dia gemetar saat pertama kali mendengar lagu yang mengingatkannya pada masa lalu, tapi aku menggenggam tangannya. Dia tak menepis.

Kadang kami tidak bicara. Tapi diam bersamanya terasa seperti percakapan paling dalam yang pernah aku punya.

Dan saat dia mulai bisa tertawa—lemah, kecil, tapi tulus—aku sadar, aku jatuh cinta. Bukan pada Shilla yang pernah kucintai, bukan pada bayangan atau kenangan, tapi pada dia…

Yang sekarang.

Yang nyata.

Yang masih berantakan tapi sedang membangun dirinya kembali—dan entah kenapa, aku menjadi bagian dari bangunan itu.

Mungkin cinta bukan selalu soal ledakan atau gairah. Kadang, cinta adalah tentang siapa yang tetap duduk di sebelahmu saat semua lampu padam. Siapa yang mau menunggu ketika kamu tidak bisa bicara. Siapa yang tetap ada saat kamu bahkan tidak yakin kamu layak dicintai.

Dan aku di sana.

Bukan karena aku pahlawannya.

Tapi karena dia membuatku merasa hidup kembali.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)