Masukan nama pengguna
Nama itu sekarang bergema di setiap ruang bisnis Manhattan: Alishia Moore.
Ia bukan lagi “korban kecelakaan” yang dulu diselamatkan Michael. Ia bukan pula perempuan rapuh dengan tatapan kosong. Kini ia berdiri sebagai sosok yang anggun, percaya diri, dan dihormati banyak orang.
Setiap pagi ia berjalan keluar dari penthouse di Central Park South, ditemani cahaya matahari yang memantul di jendela-jendela kaca gedung tinggi. Gaun kerja rancangan Oscar de la Renta atau blazer minimalis Dior melapisi tubuhnya, sementara langkahnya terbungkus Jimmy Choo yang berkilau. Tak ada yang menyangka, di balik senyum elegan itu, tersimpan masa lalu yang penuh retakan.
Yang lebih mengejutkan, keluarga Johnson—konglomerat raksasa Amerika—menerimanya dengan tangan terbuka.
Bahkan, Raymond Johnson, ayah Michael, sering berkata di depan publik:
“Alishia bukan menantu. Dia anakku sendiri.”
Ucapan itu bukan sekadar basa-basi. Raymond, seorang taipan berusia tujuh puluh dengan reputasi keras, menunjukkan kasih sayang yang nyaris tak pernah ia berikan pada Michael. Ia kerap menggandeng Alishia saat berjalan, menanyakan pendapatnya soal bisnis keluarga, bahkan lebih sering mengundangnya makan siang berdua dibanding putra kandungnya sendiri.
Michael?
Tidak pernah marah.
Ia tahu, ayahnya jarang menaruh kepercayaan pada siapa pun. Justru Michael bangga, karena perempuan yang ia cintai bisa menembus dinding baja yang dulu bahkan ia sendiri gagal runtuhkan.
Karier Alishia berkembang cepat. Awalnya hanya mengurus yayasan teknologi fiktif yang dibentuk Michael, kini ia benar-benar menakhodai organisasi itu menjadi Moore Foundation for Innovation, lembaga filantropi yang mendanai riset siber dan pendidikan digital di negara-negara berkembang. Media menulis tentangnya, bukan sebagai “wanita di samping Michael Johnson”, melainkan sebagai sosok mandiri dengan pengaruh besar.
Relasinya juga nyata.
Ia bersahabat dengan CEO muda dari Jepang, berkoneksi dengan komisaris Uni Eropa, bahkan menjadi pembicara tamu di forum World Economic Forum Davos. Semua pencapaian itu bukan lagi skenario Michael, melainkan hasil kerja kerasnya sendiri.
Dan yang paling membahagiakan:
Michael selalu berada di sisinya.
Bukan sebagai pengawas, tapi sebagai lelaki yang mencintai perempuan dengan seluruh jiwanya. Meski masih menyimpan temperamen keras, Michael melunak ketika bersama Alishia. Ia membiarkan Alishia menegurnya, menahannya agar tidak meledak di rapat, bahkan belajar mendengar lebih banyak.
Di rumah keluarga Johnson, kebersamaan mereka sering terlihat sederhana.
Suatu malam, setelah makan malam besar, Raymond berdiri sambil menepuk bahu Michael.
“Kau tahu, Mikey,” katanya, menatap anaknya, “sejak Alishia ada di sini, aku merasa keluarga ini lengkap. Dia membuatmu lebih hidup. Dan membuatku merasa… punya anak perempuan yang selalu kuimpikan.”
Michael hanya tersenyum kecil, melirik Alishia yang duduk di sebelahnya. Senyum itu bukan senyum arogan pewaris Johnson Company, melainkan senyum seorang pria yang diam-diam berterima kasih pada takdir
Malam itu udara New York dingin, tapi ballroom The Plaza Hotel penuh cahaya kristal dan suara gelas kristal beradu. Johnson Company mengadakan gala tahunan, mengundang politisi, selebritas, hingga investor dari Timur Tengah. Alishia hadir dalam gaun hitam beludru rancangan Elie Saab, rambutnya disanggul sederhana dengan anting mutiara.
Ia berdiri di sisi Michael, berbicara dengan senator New York tentang kebijakan keamanan digital. Sorot matanya tenang, senyumnya terkendali. Michael, seperti biasa, menatapnya seolah ruangan itu hanya berisi mereka berdua.
Namun di antara kerumunan, ada sepasang mata lain yang memperhatikannya terlalu lama. Seorang pria berjas abu-abu, wajahnya asing bagi Alishia, tapi tatapannya tajam. Ia tidak menghampiri, hanya berdiri di tepi ruangan sambil meneguk wine, matanya tak lepas darinya.
Alishia mencoba mengabaikan.
Tapi seminggu kemudian, saat ia menghadiri pertemuan yayasan di Brooklyn Navy Yard, pria itu muncul lagi. Kali ini ia lebih dekat, bahkan sempat menyenggol lengannya di lorong.
“Shilla?” bisiknya.
Alishia terhenti. “Excuse me?”
Pria itu tersenyum miring, seolah menyadari kesalahannya. “Maaf, saya kira Anda seseorang yang saya kenal.”
Namun ada sesuatu di nada suaranya—bukan sekadar salah orang. Ada keyakinan di sana.
Dua hari setelahnya, saat Alishia hendak pulang dari kunjungan yayasan, mobilnya dihentikan di jalan sepi menuju George Washington Bridge. Sopirnya dilumpuhkan dengan semprotan gas, dan ia ditarik masuk ke SUV hitam.
Ketika kesadarannya kembali, ia mendapati dirinya di ruangan kecil, dengan jendela ditutup rapat. Pria itu duduk di depannya, menyalakan sebatang rokok.
“Tenang,” katanya. “Aku tidak berniat menyakitimu.”
“Siapa kau?” suara Alishia bergetar, tapi tatapannya tetap tegas.
Pria itu menghembuskan asap. “Namaku Arvin. Aku sahabat Shilla.”
Nama itu—Shilla—jatuh di ruangan seperti batu ke permukaan air.
Alishia berusaha menutupi keterkejutannya. “Saya tidak tahu siapa itu.”
Arvin tersenyum pahit. “Oh, kau tahu. Atau setidaknya, kau harus tahu. Semua orang yang mengenal Michael tahu siapa Shilla. Perempuan yang dulu ia kejar ke seluruh dunia. Perempuan yang menghilang, meninggalkan luka di dadanya.”
Alishia menelan ludah. Tangannya mengepal di pangkuan.
Arvin melanjutkan, nadanya tajam. “Dan sekarang aku melihatmu—kau mirip sekali dengannya. Terlalu mirip. Kau pikir dunia tidak memperhatikan? Kau pikir Michael memilihmu karena kebetulan? Jangan naif, Alishia.”
Ruangan terasa semakin sempit. Alishia ingin membantah, tapi suaranya lenyap.
Ia hanya bisa menatap pria itu, mencari celah di balik tatapan dinginnya.
“Shilla itu nyata,” lanjut Arvin, matanya berkilat. “Dan aku melihatnya setiap kali menatapmu. Jadi katakan padaku, siapa kau sebenarnya? Penggantinya? Bayangannya?”
Alishia menggeleng. “Aku… aku bukan siapa-siapa selain diriku sendiri.”
Arvin terkekeh. “Kalau begitu, semoga kau siap ketika kebenaran datang menjemputmu. Karena aku janji, dunia ini tidak akan membiarkan Michael hidup bahagia dengan bayangan.”
Beberapa jam kemudian, Alishia dilepas begitu saja di pinggir jalan Bronx, tanpa luka fisik. Ia kembali ke mansion dalam diam. Michael tidak tahu. Media tidak tahu. Semua seolah tidak pernah terjadi.
Tapi malam itu, Alishia duduk di depan cermin kamarnya, menatap wajahnya sendiri.
Wajah yang semakin sulit ia kenali.
Ia menyentuh pipinya, membisikkan nama itu.
Shilla…
Untuk pertama kalinya, keraguan tumbuh. Bukan pada dirinya—tapi pada Michael.
Apakah benar Michael mencintainya karena dirinya?
Atau hanya karena ia terlalu mirip dengan perempuan bernama Shilla?
Sejak malam penculikan itu, dunia Alishia tidak lagi terasa sama. Ia tetap tersenyum di depan publik, tetap menggenggam tangan Michael di acara formal, tetap memimpin rapat yayasan dengan suara mantap. Tapi di dalam dirinya, bayangan nama itu terus bergema: Shilla.
Ia tidak berani menanyakannya langsung pada Michael.
Bukan karena ia takut pada lelaki itu—meski temperamennya bisa meledak sewaktu-waktu—tetapi karena ia tahu, setiap kali nama orang lain disebut di hadapan Michael, tatapan matanya berubah dingin. Ada sisi gelap yang berbahaya di balik karisma dingin itu.
Jadi, ia memilih diam.
Namun tidak berarti pasrah.
Seiring waktu, ia mulai membuat persiapan. Dia masih menjunjung tinggi harga dirinya “Jika benar yang kau harapkan adalah dia maka aku akan pergi tanpa menuntut apapun mikey”.
Di ruang kerjanya yang mewah di mansion, ia menyimpan map khusus berisi:
dokumen properti yang ia miliki atas namanya sendiri,saham pribadi di Moore Foundation yang bisa ia cairkan,
rekening bank offshore yang ia buka diam-diam di Swiss,
dan beberapa surat kuasa yang sudah ia tanda tangani untuk memudahkan penarikan aset tanpa Michael tahu.
Ia bahkan membeli beberapa perhiasan high-value (cincin berlian Harry Winston, kalung Cartier) bukan untuk dipakai, melainkan sebagai aset portable yang bisa dijual kapan saja.
Di sudut lemari, koper kulit hitam selalu siap dengan pakaian seperlunya.
Namun semua itu tidak menghapus kenyataan bahwa ia mencintai Michael.
Lelaki itu bukan sekadar pasangan; ia adalah dunianya, sandarannya, bahkan alasan ia berani menatap dunia dengan kepala tegak.
Michael bisa membuatnya merasa aman sekaligus rapuh.
Ia adalah pria yang menggenggam tangannya saat dunia mencoba merobeknya, tapi juga pria yang membawa bayangan masa lalu ke ranjang mereka.
Malam-malam tertentu, ketika Michael tertidur lelap di sampingnya, Alishia menatap wajahnya lama.
Lalu berbisik pelan, nyaris tanpa suara:
“Apakah aku milikmu, atau hanya bayangan yang kau genggam?”
Tak ada jawaban, hanya deru napas dalam tidur yang tenang.
Dan diam-diam, di balik senyum anggunnya di siang hari, Alishia menyusun rencana pelarian. Bukan karena ia ingin meninggalkan Michael.
Tapi karena ia takut.
Takut suatu hari ia menemukan jawaban yang tak sanggup ia terima.
September datang bersama hawa musim gugur New York. Keluarga Johnson menggelar pesta ulang tahun ke-33 Michael di ballroom hotel milik mereka di Fifth Avenue. Lampu kristal bergemerlap, orkestra live memainkan Bach, dan meja penuh sampanye Dom Pérignon serta hidangan chef berbintang Michelin.
Semua keluarga besar hadir. Para sepupu yang biasanya sinis pada Michael kini menunduk hormat, bukan hanya karena kekayaan dan kejayaannya, tetapi karena Alishia. Kehadiran perempuan itu membuat Michael lebih matang, lebih tenang, lebih disegani. Bahkan Raymond Johnson, sang ayah, tak henti-hentinya memuji menantunya itu.
“Kalian lihat? Michael mungkin anakku yang paling keras kepala. Tapi Alishia-lah yang membuatnya jadi pria yang lebih besar dari dirinya sendiri.”
Para tamu tertawa, semua mata menoleh pada Alishia yang hanya tersenyum anggun. Ia terbiasa dengan sorotan, namun malam itu hatinya hanya berfokus pada satu orang—Michael.
Ketika saatnya memberi hadiah, Alishia menyerahkan sebuah kotak berbalut kain satin hitam. Michael membukanya di depan semua orang, dan menemukan sweater rajutan tangan dari kasmir Mongolia murni—bahan paling langka, lembut, dan mahal di dunia tekstil. Butuh waktu berbulan-bulan untuk membuatnya, apalagi dengan pola tangan yang ia rajut sendiri.
“Kamu merajut ini sendiri?” Michael terkejut.
“Ya,” jawab Alishia lembut. “Tidak semua hal bisa dibeli dengan uang. Beberapa hanya bisa lahir dari kesabaran.”
Para tamu bertepuk tangan. Raymond menepuk bahu Michael, tersenyum bangga. Tapi Michael hanya memeluk Alishia, berbisik di telinganya:
“Kamu selalu tahu cara menyentuh hatiku.”
Dan untuk sesaat, Alishia percaya. Ia percaya cintanya nyata.
Namun setelah para tamu pulang dan musik berhenti, Michael mabuk berat di private party kecil yang hanya dihadiri keluarga inti. Whiskey memenuhi meja, wajahnya memerah, dan langkahnya limbung.
Alishia membawanya ke sofa, menyandarkan kepalanya di bahunya.
Tangannya mengelus punggung Michael, menenangkan.
Lalu terdengar gumaman. Parau, hampir tak terdengar.
“Kenapa kau melakukan hal itu padaku… Shilla…”
Alishia membeku.
Tangannya yang semula bergerak lembut berhenti di udara. Suara tawa di ruangan lain memudar, hanya kalimat itu yang menggema di telinganya.
Shilla.
Satu kata yang meruntuhkan seluruh benteng kepercayaannya.
Ia menatap wajah Michael—lelaki yang ia cintai sepenuh hati.
Namun malam itu, ia bukan Alishia bagi Michael.
Ia hanyalah bayangan dari seseorang yang lain.
Senyumnya hilang. Ia tertawa kecil, getir, nyaris tanpa suara.
Dengan tenang, ia menidurkan Michael di kamar pribadinya, menutup selimut, lalu membelai rambutnya sebentar.
“Selamat ulang tahun, Michael,” bisiknya.
“Semoga kau bahagia… dengan bayanganmu.”
Ia pamit pada keluarga dengan alasan lelah, lalu kembali ke mansionnya sendiri.
Begitu tiba, ia langsung masuk ke ruang kerja. Kertas-kertas sudah disiapkan:
kontrak yayasan yang membutuhkan tanda tangannya,surat kuasa untuk akses rekening pribadi,
dokumen properti Manhattan atas namanya,
dan satu map hitam berisi paspor cadangan serta tiket penerbangan yang sudah ia beli sejak lama.
Ia bekerja cepat, efisien, seolah sudah berlatih ribuan kali dalam pikirannya.
Tak butuh waktu lama.
Ketakutannya selama ini akhirnya benar, dan ia tidak akan tinggal untuk menjadi bayangan siapa pun.
Malam itu, koper hitam di sudut lemari akhirnya dibuka. Pakaian dilipat rapi, perhiasan diselipkan, dan di atasnya ia letakkan sweater kasmir kedua—yang semula ia rajut untuk Michael, tapi kini menjadi pengingat bahwa cinta bisa runtuh hanya karena satu kata.
Pukul tiga dini hari, mansion Alishia hening. Hanya suara langkah sepatunya yang terdengar di lantai marmer. Lampu-lampu redup, lorong panjang terasa seperti koridor hotel yang ia tinggalkan untuk terakhir kalinya.
Ia sudah menyiapkan semuanya.
Di koper hitam: paspor baru dengan nama samaran Elena Moore, sejumlah uang tunai dalam mata uang dolar, euro, dan yen, beberapa perhiasan kecil bernilai tinggi, serta laptop yang berisi salinan terenkripsi semua dokumen penting.
Sementara di mejanya, ia tinggalkan map kerja berisi tanda tangan untuk kontrak bisnis yang tidak bisa ditunda, agar yayasannya tetap berjalan meski ia menghilang.
Ia bahkan menutup semua jalur komunikasi resmi—telepon mansion, email kantor, hingga akun media sosialnya.
Jam empat pagi, mobil hitam yang disewanya tanpa nama perusahaan berhenti di depan gerbang belakang mansion. Sopir itu dibayar tunai, tanpa pernah tahu siapa penumpangnya. Kamera CCTV di halaman hanya merekam bayangan samar karena sistem keamanan sudah ia bypass dengan kode khusus.
Setibanya di bandara John F. Kennedy, Alishia tidak masuk lewat jalur utama. Ia sudah membeli tiket kelas bisnis dengan identitas samaran, check-in melalui private terminal yang biasa digunakan para eksekutif.
Di ruang tunggu VIP, ia duduk sendirian dengan segelas espresso. Senyumnya samar, matanya sembab, namun tatapannya tegas.
Di layar besar terpampang: Flight to Reykjavík, Iceland.
Tujuan sementara. Kota kecil yang dingin, jauh dari sorotan.
Pagi yang sama, Michael bangun dengan kepala berat. Ia mencari Alishia di mansion keluarganya—tak ada.
Ia menelpon berkali-kali—tak dijawab.
Dengan gelisah, ia memacu mobil ke mansion Alishia. Pintu terbuka, rumah sunyi. Tidak ada staf, tidak ada suara.
Ia masuk ke ruang kerja. Meja rapi, hanya ada dokumen-dokumen yang sudah ditandatangani. Tidak ada satu pun yang janggal, kecuali fakta bahwa semuanya tampak selesai.
Michael segera menuju ruang rahasia di mansion keluarganya, mengakses rekaman CCTV yang diam-diam ia hubungkan dengan sistem keamanan Alishia.
Dan di situlah ia melihatnya—
Alishia, tengah malam, mengemasi koper, tertawa kecil dengan mata berkaca-kaca, lalu melangkah keluar gerbang.
Michael meremas meja, wajahnya memerah karena marah sekaligus panik.
Ia menekan nomor asistennya.
“Cari dia. Sekarang. Di mana pun dia berada. Aku tidak peduli berapa biayanya.”
Namun laporan demi laporan nihil.
Alishia terlalu pintar. Bahkan kalung berlian dengan tracker kecil yang ia pasang diam-diam telah dilepas dan ditinggalkan di atas meja rias.
Michael membanting vas bunga hingga pecah.
Satu pekan penuh pencarian, tidak ada hasil. Michael mulai terlihat seperti mayat hidup. Ia tetap hadir di kantor, namun saham perusahaannya anjlok. Investor gelisah, media mulai berspekulasi.
Di minggu kedua, asistennya datang dengan wajah tegang.
“Tuan… kami menemukannya. Setidaknya jejaknya.”
Ia meletakkan print-out rekaman CCTV bandara: seorang perempuan berambut panjang, mengenakan mantel gelap, berjalan cepat ke check-in counter. Wajahnya nyaris tak terlihat jelas. Tapi Michael tahu.
Itu Alishia.
Itu Alishianya.
Namun nama di tiket bukan Alishia Moore.
Melainkan Elena Moore.
Michael terdiam lama. Tangannya bergetar, kertas itu diremas hingga hancur.
“Dia bahkan sudah menyiapkan ini… jauh sebelum aku sadar.”
Matanya memerah. Marah, kecewa, takut kehilangan—semua bercampur.
Hari-hari berikutnya, Michael hidup dalam lingkaran kehancuran. Ia mabuk di siang hari, membentak karyawan, memutus rapat bisnis penting, hingga menolak berbicara dengan keluarganya.
Para direktur mendesak, saham terus jatuh, media menulis headline:
“Kekaisaran Johnson di Ujung Tanduk?”
Michael hanya duduk di ruang kerjanya, menatap sweater kasmir hadiah ulang tahun yang masih tergantung di kursinya. Tangannya menyentuh kain lembut itu, lalu wajahnya tenggelam di dalamnya.
“Kenapa kau pergi, Alishia… Bukankah aku mencintaimu…?”
Namun ia tahu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, semua uang, kekuasaan, dan kekuatan yang ia miliki tidak bisa membawanya kembali.
Alishia hilang.
Dan mungkin, tidak akan pernah kembali.
Tahun berganti. Dunia berubah. Tapi Michael Jhonson tidak pernah berhenti.
Wajahnya kini dingin seperti patung marmer. Senyum lenyap, mata membeku. Ia tidak lagi tampak seperti lelaki pewaris kerajaan perhotelan, melainkan predator yang lahir dari luka. Setiap langkahnya membawa bau darah.
Perusahaannya dulu jatuh. Sahamnya runtuh. Namun dari reruntuhan itu lahir kekuatan baru: jaringan gelap yang menyelimuti dunia. Dari pelabuhan-pelabuhan kecil Afrika sampai gedung pencakar langit di Manhattan, semua orang tahu, semua orang berbisik — nama Michael bukan lagi sekadar nama, tapi ancaman.
Dia mencari. Selalu mencari.
Alishia.
Setiap laporan tentang seorang perempuan asing, setiap wajah samar yang mirip, setiap gosip tentang wanita misterius di kota terpencil — ia kejar. Dan setiap kali harapan itu palsu, dunia membayar harganya.
Puluhan nyawa hilang hanya karena satu petunjuk palsu. Kota kecil terbakar hanya karena satu keluarga menyembunyikan nama. Tidak terhitung berapa darah yang menodai tangannya, semua demi satu perempuan yang bahkan mungkin tidak ingin ditemukan.
Keluarganya sendiri pun hancur. Daddy Jhonson pernah mencoba menghentikannya. Malam itu, suara tua itu bergetar, “Mikey, cukup. Kau akan menghancurkan semua yang tersisa.”
Michael hanya menatapnya dengan mata kosong, lalu berbisik,
“Mikey sudah mati saat dia pergi.”
Sejak malam itu, bahkan keluarga sendiri tidak lagi berani mendekat. Ia bukan lagi anak, bukan saudara, bukan manusia. Ia bayangan.
Di dunia bawah, namanya disejajarkan dengan legenda. Mereka menyebutnya The Phantom King — raja tanpa hati, yang berkuasa di dua dunia.
Di dunia atas, namanya beredar dalam rapat-rapat rahasia. Pemerintah, konglomerat, militer — semua menyebutnya dengan takut.
Tak seorang pun bisa menyentuhnya.
Namun di balik semua kekuasaan itu, ada satu nama yang selalu ia ulang dalam kesendiriannya:
Alishia.
Kamar pribadinya di mansion gelap dipenuhi foto-foto samar, catatan intelijen, potongan rekaman CCTV yang membeku di layar. Setiap malam ia duduk di kursi kulit hitam, menatap peta dunia dengan jarum-jarum merah yang menancap.
“Dimana kau, Alishia…” bisiknya, suara yang lebih mirip doa daripada ancaman.
Dan dunia bergetar.
Karena semua orang tahu, selama Michael Jhonson masih bernapas, pencarian itu tidak akan pernah berhenti.
Setiap kota bisa terbakar, setiap nyawa bisa hilang, setiap kerajaan bisa runtuh — semua hanya karena seorang pria tak berhenti mengejar bayangan.
Dunia yang mengenalnya merindukan Alishia.
Dunia yang tidak mengenalnya, kini tahu satu nama:
Alishia Moore.
Bagi mereka yang tak pernah melihatnya, ia bukan sekadar wanita. Ia adalah bayangan dalam doa yang dipanjatkan dengan putus asa, sebuah legenda yang lahir dari darah dan ketakutan.
Di mata dunia, Alishia adalah paradoks.
Ia disebut sebagai hantu yang membentuk predator paling berbahaya, tapi sekaligus satu-satunya yang mungkin bisa menahannya.
Mereka tak tahu apakah ia masih hidup, atau hanya mitos yang tumbuh dari bisikan gelap.
Namun satu hal pasti:
setiap kota yang hancur, setiap darah yang tumpah, selalu kembali pada namanya.
Dan di balik ketakutan itu, ada harapan yang tak bisa dipadamkan:
bahwa jika dunia masih punya penyelamat, itu hanya bisa datang dari dia.
Alishia Moore.
Wanita yang hilang dari pandangan, namun menjadi satu-satunya nama yang dunia serukan…
antara harapan dan kehancuran.