Masukan nama pengguna
Ia memandang bisu kalender miliknya yang penuh dengan coretan; catatan kecil, simbol-simbol berwarna merah dan hijau, serta beberapa angka yang sengaja ia cetak tebal. Semua hari yang ia lalui selama setahun belakangan tercatat semuanya di sana, tanpa terkecuali.
Pandangannya kemudian turun pada beberapa noda merah yang tampak menggelap, turun menetes di atas tulisan bulan Desember. Itu adalah cipratan darah saat salah satu jemarinya terluka dalam. Sama seperti 365 hari yang telah dilaluinya, penuh tangis, luka, berdarah-darah, hanya untuk mempertahankan seorang pria yang bahkan tidak pernah bersyukur bisa mendapatkan kasih sayang yang begitu dalam darinya.
Gadis itu menarik diri, duduk bersandar pada kursi kantor sambil sedikit memutar-mutarnya dengan bosan. Ia pikir, memutuskan untuk pergi meninggalkan seseorang yang paling ia cintai akan terasa begitu sesak, menyakitkan. Rupanya tidak, rupanya tidak sesakit itu, rupanya tidak sesesak itu, rupanya tidak begitu banyak air mata yang keluar daripada ketika ia masih mempertahankan sosok tersebut.
Lelah, jengah, lebih dulu menyapa sejak beberapa bulan pertama mereka memutuskan untuk bersama. Maka, ketika semesta telah membantunya untuk pergi meninggalkan seluruh perasaannya, tidak ada yang tersisa kecuali rasa hampa serta harapan untuk hari baru yang akan datang.
Semuanya telah usai, bahkan meski pria itu rupanya masih menunggu, duduk di luar pintu tanpa melakukan apapun; terlalu gengsi untuk sekadar meminta maaf. Meski jika pria itu masih menaruh harapan untuk keduanya bisa kembali, gadis itu tetap kukuh berdiri di atas keputusannya.
"Kamu membuat semuanya mudah untukku pergi dengan menyakiti hati dan perasaanku? Lupakan. Aku yang bodoh, selama ini kamu bersama gadis lain disaat aku mati-matian mempertahankan hubungan kita."
Gadis itu menghela napas, tak ingin lagi berdebat, tak ingin lagi mengharapkan apapun. Jika memang pria itu menginginkan ia di dalam kehidupannya, maka pria itu akan memperjuangkannya. Nihil, pengecut memanglah pengecut. Pria itu memilih untuk membiarkan dirinya pergi meski segudang harap masih jelas terpatri.
Sebuah kesalahan fatal, karena gadisnya yang selama ini tak pernah pergi pun bisa pergi dengan sebegitu mudahnya.
Gadisnya yang manis, yang penurut, yang ceria, yang sensitif, yang begitu lembut penuh cinta, telah sepenuhnya menyisakan jasad yang begitu dingin. Tak lagi pria itu melihat betapa hangat dan rapuhnya gadis yang ia mainkan perasaannya.
"Aku pergi. Semoga Tuhan menyertai setiap langkahmu."
Itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan gadis tersebut sebelum ia benar-benar pergi dan tak pernah menginginkan keduanya untuk kembali. Lihat, dirinya bahkan masih bisa mendoakan pria yang telah menyakiti hatinya ribuan kali.
Biarlah, biar Tuhan yang membalas semua perbuatannya. Yang jelas, gadis itu benar-benar tulus. Tak pernah sekali pun ia berbuat curang dengan menutupi banyak hal, pun dengan melirik ke lain hati. Karena ketika ia mencintai, ia akan benar-benar jatuh ke dalamnya dan merengkuh seluruh perasaannya meski di dalam gelap.
Dan kini usai, tak ada lagi kegelapan yang ia lihat karena terlalu jatuh dalam mencinta. Ia memilih untuk tenggelam dalam dunianya yang lain, bekerja, menikmati makanan lezat, pergi ke tempat-tempat yang indah, tanpa perlu mendengar kata 'tidak boleh' dari seseorang yang bahkan tidak pernah menemani kesepiannya.
Gadis itu bagai burung yang baru saja terlepas dari sangkarnya, terbang bebas menaklukan awan. Mengepakkan sayapnya penuh kekuatan meski sangkar yang dibalut emas dan berlian itu tampak indah dan sayang untuk ditinggalkan, namun, apa yang istimewa jika dalamnya penuh noda merah?
Tidak ada yang bisa dibanggakan dari kisah percintaannya kecuali bagaimana akhirnya ia bisa tetap melangkah maju menjadi seseorang yang baru yang tidak menggantungkan kebahagiannya kepada siapapun.
Semuanya telah usai.